Oleh : H.Hanif Hanani,SH,MH
Sesungguhnya perkawinan atau rumah
tangga adalah suatu situasi dan kondisi
yang dibangun oleh dua pihak ,laki-laki dan perempun sebagai suami-isteri, untuk saling membahagiakan, dan
ikatan perjanjian itu, bukan hanya ikatan lahir saja, tetapi juga merupakan
ikatan batin, dan perjanjian yang kuat, teguh atau “mitsaqon gholidhon”, sejalan dengan Firman Allah Swt dalam Alqur’an “ Dan diantara tanda-tanda Kekuasaan-Nya
adalah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri , supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya
, dan menjadikan diantara kamu rasa cinta dan rasa kasih sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (Ar-Ruum:21).
Hampir tidak pernah ada , orang yang
menikah hanya untuk sementara waktu, atau hanya untuk main-main saja , semua
ingin agar pernikahan itu langgeng, lestari, dalam istilah orang jawa “ sampai
kaken –kaken, ninen- ninen, tan ginggang datan serambut, kadyo mimi lan
mintuno” begitu orang jawa membuat istilah atau menggambarkan bagaimana ,
sebuah keluarga yang menjadi idaman, atau dalam istilah agama disebut “ Keluaga
sakinah”.
Di dalam Islam perkawinan atau yang lazim disebut “Nikah”adalah sebuah
peristiwa khusus , sehingga tidak mungkin disembunyikan atau disangkal. Menurut Syari’at Islam setiap
perbuatan hukum harus memenuhi Rukun dan Syarat , begitu banyak Rukun dan Syarat dalam perkawinan Islam, Rukun adalah unsure
pokok dalam setiap perbuatan hukum, adapun Syarat ialah unsure pelengkap dalam
setiap perbuatan hukum. Apabila kedua unsure itu tidak terpenuhi maka
perbauatan itu dianggap tidak sah menurut hukum.
Rukun perkawinan dalam Islam antara lain :calon pengantin pria ,
calon pengantin wanita ,Wali nikah,dua orang saksi dan Ijab(Ijab adalah
penyerahan dari wali kepada mempelai pria dan Qobul (penerimaan nikah dari
mempelai pria) tanpa rukun yang saya
sebut diatas itu perkawinan tidak
sah.Selain Rukun Nikah , ada beberapa Syarat , untuk masing masing pihak yang tersebut dalam Rukun nikah, misalnya
syarat calon mempelai pria adalah, Islam , baligh , berakal, terang
lelakinya ( bukan banci), tidak dipaksa,
tidak beristri empat orang, bukan mahrom calon istri, tidak mempunyai istri
yang haram dimadu dengan calon istri, mengetahui calon istri tidak haram
dinikahinya, tidak sedang dalam Ihram Haji atau Umroh.
Point yang ingin saya sampaikan adalah, ketika pasangan pengantin
itu tiba tiba menyangkal adanya pernikahan atau salah satu pihak dalam tekanan
atau paksaan pihak lain, atau salah satu pihak bukan beragama Islam, inilah
yang harus dicari benang kusutnya, diakui atau tidak di Negara Indonesia yang
kental dengan religiusitas dan adat istiadat timur ini, pernikahan masih
dianggap peristiwa yang sacral atau bisa disebut Devina Institution atau Hukum Tuhan, maka selayaknya produk
hukum Tuhan itu dihargai sesuai dengan kaidah- kaidah yang berlaku dinegara
yang sangat menjunjung tinggi adat istiadat, baik yang berkaitan dengan agama ,
kepercayaan maupun norma-norma lain.Nah apabila kemudian suami menyangkal telah terjadi Akad Pernikahan, disinilah letak
inkonsistensi seorang suami yang tadinya sudah bersyahadat , menjadi
Mu’allaf dan mengaku tidak ada
paksaan dalam pernikahannya, kemudian dia sangkal itu seolah-olah tidak ada
peristiwa apapun yang terjadi?
Mengajukan
Cerai Gugat atau Pembatalan Nikah.
Jangan pernah bermain-main dalam hal perkawinan, apalagi dengan latar belakang
perbedaan agama, kalau perbedaan Suku, Ras ataupun antar golongan , lambat laun akan dapat ter
akulturasi dan ter-asimilasi, tetapi kalau perbedaan itu menyangkut
agama dan keyakinan , sekali lagi jangan dibuat sensasi dan permainan.
Orang awam akan mengatakan , gitu aja kok repot, kalau pihak isteri
merasa dibohongi, gugat cerai aja kan
selesai permasalahnnya, tidak sesederhana itu, akibat hukum yang timbul dengan
adanya perceraian adalah, para pihak akan mendapat status baru, Janda dan Duda,
status hukum tersebut akan melekat selama pasangan itu belum menikah lagi,
belum lagi permasalahan hubungan persemendaan, artinya kalau pernikahan itu
dianggap sah, lalu keduanya bercerai maka dalam ajaran agama Islam selamanya
hubungan antara menantu dengan mertua tidak dapat terhapus, belum lagi yang
menyangkut harta gono gini, kemudian pihak bekas istri akan mengalami masa
iddah, yaitu masa menunggu diamana dalam kompilasi hukum Islam masa
iddah seorang wanita yang dicerai oleh suami itu , tiga kali suci atau
sekurangnya Sembilan puluh hari sejak dijatuhkannya Talak oleh suami,
artinya apa? , bekas isteri hanya dapat menikah
lagi setelah melewati waktu Sembilan puluh hari sejak dijatuhkannya putusan
talak oleh pengadilan agama.
Gugatan perceraian diajukan oleh
istri atau kuasanya kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman penggugat disertai alasan yang menjadi dasar gugatannya.
Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Majelis Hakim
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat gugatan
perceraian didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama.Pemeriksaan gugatan
perceraian dilakukan dalam sidang tertutup. Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak .
Dalam sidang perdamaian tersebut , suami istri harus datang secara
pribadi. Selama perkara belum diputuskan , usaha mendamaikan dapat dilakukan
pada setiap sidang pemeriksaan. Apabila tercapai perdamaian , maka tidak dapat
diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan yang ada dan telah
diketahui oleh penggugat sebelum perdamaian tercapai.
Pengadilan Agama
setelah berkesimpulan bahwa kedua belah tidak mungkin lagi didamaikan , dan
telah cukup bukti-bukti maka Pengadilan Agama menjatuhkan putusannya . Terhadap
putusan tersebut para pihak (penggugat atau tergugat) dapat mengajukan banding.
Setelah putusan
tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap maka Panitera Pengadilan Agama atau
pejabat Pengadilan Agama yang ditunjuk berkewajiban selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari mengirimkan satu helai salinan putusan tersebut tanpa bermaterai
kepada Pegawai Pencatat Nikah yang wilayahnya meliputi tempat kediaman
penggugat dan tergugat untuk mendaftrakan putusan perceraian dalam sebuah
daftar yang disediakan untuk itu.
Pembatalan
Nikah (Fasid Nikah,faskhun nikah)
Pernikahan
dapat dibatalkan, apabila setelah berlangsung akad nikah diketahui adanya
larangan menurut hukum ataupun peraturan perundang-undangan tentang perkawinan.
Pembatalan
perkawinan dilakukan oleh Pengadilan Agama dalam daerah hukum tempat pernikahan
dilangsungkan atau tempat tinggal kedua suami istri. Yang dapat mengajukan
pembatalan pernikahan yaitu :
a. Garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri;
b. Suami atau istri;
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
d. Pejabat yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang-undangan menurut
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 16 ayat (2).
Maka lebih tepat pilihan untuk memilih penyelesaian hukum , melalui pembatalan nikah/ Fasid,
apabila pembatalan nikah yang diajukan diterima oleh Hakim, maka apabila diputuskan oleh
Pengadilan Agama, perkawinan itu Fasid atau Rusak, perkawinan
keduanya batal, implikasi hukum nya sangat minimal, status isteri bukanlah
Janda, tetapi Perawan atau Gadis sebab
hakim memutuskan bahwa perkawinan yang terjadi pada keduanya batal demi hukum ,
karena ada salah satu syarat dari perkawinan yang tidak terpenuhi.
Menurut ulama’
syafi’iyah ada beberapa macam pernikahan yang dikategorikan sebagai pernikahan
fasidah. Di antaranya ialah :
1.
Nikah as – syighar, contohnya : aku nikahkan
putriku dengan dirimu dengan syarat kamu menikahi diriku dengan putrimu,
sedangkan maharnya berupa alat vital dari masing-masing putrinya, dan apabila
hal tersebut tidak dijadikan mahar maka pernikahannya sah dengan cara membayar
mahar mitsl
2.
Nikah mu’tah : yaitu sebuah pernikahan yang
dibatasi dengan waktu tertentu
3.
Pernikahan yang dilakukan pada saat ihram baik
ihram haji atau umrah
4.
Nikahnya orang yang sedang melakukan iddah
5.
Pernikahan yang dilakukan oleh pemuda muslim dengan wanita kafir ghairu
kitabiyyah
6.
Pernikahan seorang wanita muslimah dengan
pemuda kafir
7.
Pernikahan satu wanita dengan beberapa pria,
yang tidak diketahui siapa yang terlebih dahulu melakukan aqad. Apabila
diketahui maka itulah yang pernikahannya dianggap sah
8.
Pernikahan yang dilakukan pemuda muslimah
dengan wanita yang pindah-pindah agama kecuali pindah ke agama islam
9.
Menikah dengan orang yang telah dilamar oleh orang lain
10.
Pernikahannya orang muhallil yang hanya ingin menjadi batu loncatan agar
mantan suaminya bisa kembali lagi. Akan tetapi dalam persoalan ini menurut imam
Abu Hanifah dan imam Syafi’I dihukumi sah karena secara dzahiriyah telah
mencukupi syarat dan rukun pernikahan.
Sedangkan konsekuensi hukum dari pernikahan ini adalah tidak diwajibkannya
membayar mahar, nafaqah dan sama sekali tidak ada hubungan dengan mertuanya
(setelah itu boleh menikahi mertuanya) dan anak yang diperoleh dalam pernikahan
tersebut tidak ada hubungan nasab dengan dirinya (anaknya boleh dikawin)
Sedangkan yang dimaksud dengan Faskhun
Nikah yaitu melalui keputusan hakim suatu perkawinan dinyatakan rusak
karena suatu hal yang terjadi pada hubungan suami isteri tersebut sedemikian
rupa sehingga bila perkawinan itu diteruskan akan melanggar hukum perkawinan
yang telah digariskan oleh syara’
Beberapa
faskhun nikah dengan keputusan hakim ialah:
1.
Faskhun Nikah sebab masuk Islamnya salah
seorang suami atau
isteri, sehingga tejadi perkawinan antara muslim/muslimah dengan
non muslim/muslimah
2.
Faskhun Nikah sebab murtadnya suami,
isteri atau keduanya
3.
Faskhun Nikah sebab Li’an
Wa-Allahu a’lamu bi asshowab
Semali,Salamkanci,Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar