Senin, 29 September 2014

IBU

Ibu, kadang aku rindu untuk kembali kerumahmu, ketika sepi dan tak ada yang menghibur lagi
Aku ingin kembali kepangkuanmu, masih kuingat ketika masa kecil, kami berenam sering membuatmu tak nyaman, kami nakal tapi engkau tidak pernah marah, bahkan kadangkala engkau melindungi dan menutupi kesalahanku agar ayah tak menghukum atas kesalahanku.
aku rindu belai kasih sayangmu , tatkala aku sakit engkau terjaga semalaman  kau bingung mencari obat untuk menyembuhkan luka-lukaku bekas tersandung,terjatuh ketika bermain bola, kau berusaha menyembuhkan sakitku walau aku tau hanya dengan olesan minyak kelapa, aku tau bukan obat itu yang meringankan lukaku, tapi kasih sayang dan perhatian pada anakmu.

MEMBANGUN KELUARGA SAKINAH



Oleh : Hanif Hanani Tamjiz putu soeta
Email :hanifhanani05@gmail.com
Membangun sebuah komitmen didalam keluarga itu sangat penting masing masing pihak suami atau isteri sebagai pelaku harus rela untuk menahan ego masing masing, agar tujuan berkeluarga itu tercapai dengan elegan tanpa harus melaui berbagai macam konflik yang kadang kala akan memakan korban, mungkin dari anggota keluarga kita , bahkan sangat mungkin berdampak pada pasangan suami istri itu sendiri.
Kelurga Sakinah , menjadi ultimate goal bagi sebuah keluarga yang dari keluarga itu akan muncul generasi yang akan datang (the next generation)  , yang harus kita upayakan agar generasi yang lahir setelah kita itu menjadi generasi yang unggul, bukankah Nabi kita Muhammad Saw pernah bersabda bahwa pada hari akhir nanti, umat dari nabi-nabi akan di lombakan dalam hal banyaknya jumlah atau kwantitasnya , tetapi perlu diingat juga Firman Allah yang mensinyalir bahwa pada masa mendatang akan lahir generasi yang “mengkhawatirkan” atau khoofu atau lemah, siapa generasi itu ? yaitu angkatan muda yang meninggalkan sholat dan memperturutkan hawa nafsu. 
Dalam kehidupan modern ini , sinyalemen seperti yang saya sebut diatas semakin nampak bahkan menjadi kenyataan yang sangat mencengangkan  , masif , merambah lintas strata sosial, bukan hanya lahir dari kalangan proletar tetapi terjadi juga di kalangan jetset ,the have dan dari keluarga-keluarga yang dalam masyarakat tampak sebagai keluarga yang terpandang baik dari sisi ekonomi maupun status sosialnya
Menurut Abraham Maslow, manusia memiliki lima tingkat kebutuhan hidup yang senantiasa bakal dipenuhi sepanjang masa hidupnya. Lima tingkatan yang dapat membedakan setiap manusia dari sisi kesejahteraan hidupnya,
Kebutuhan tersebut berjenjang dari yang paling mendesak hingga yang akan muncul dengan sendirinya saat kebutuhan sebelumnya telah dipenuhi. Setiap orang pasti akan melalui tingkatan-tingkatan itu, dan dengan segala daya upaya ditempuh untuk mencapainya, namun tidak banyak orang  yang dapat meraih  high step dari piramida ini.
Lima tingkat kebutuhan dasar menurut teori Abraham Maslow adalah sebagai berikut :
1. Kebutuhan Pokok (Fisiologi needs)
Contohnya adalah : Sandang , pakaian, pangan , makanan, papan / rumah, dan kebutuhan biologis seperti buang air besar, buang air kecil, bernafas, dan lain sebagainya.
2. Kebutuhan akan rasa aman (safty needs)
Contoh seperti : Bebas dari tekanan , bebas dari ancaman, bebas dari rasa takut, bebas dari teror.
3. Kebutuhan Sosial (social needs)
Misalnya adalah : Memiliki teman, memiliki keluarga, kebutuhan cinta dari lawan jenis, dan lain-lain.
4. Kebutuhan Penghargaan (Esteem needs)
Dalam kategori ini dibagi menjadi dua jenis, Eksternal dan Internal.
- Sub kategori eksternal meliputi : Pujian, piagam, tanda jasa, hadiah, dan banyak lagi lainnya.
- Sedangkan sub kategori internal sudah lebih tinggi dari eskternal, pribadi tingkat ini tidak memerlukan pujian atau penghargaan dari orang lain untuk merasakan kepuasan dalam hidupnya.
5. Kebutuhan Aktualisasi Diri
Yaitu kebutuhan akan aktualisasi diri atau jati diri sebagai manusia yang butuh identitas dan pengakuan dari orang lain.
Alfin Tofler, pernah meramalkan masa depan manusia modern ini dengan mengatakan  bahwa manusia akan tergoda dengan tiga hal : 1. Food 2. Fasion dan 3. Fun. Mari kita telaah masing masing hal yang diindikasi menggoda manusia modern itu. Food atau makanan, semestinya makan yang menjadi kebutuhan primer manusia, agar manusia  menjadi lebih berdaya , lebih sehat atau paling tidak,dapat  meningkatkan mobilitas dari manusia , tetapi kenyatannya sekarang ini manusia dihadapkan kepada berbagai macam penyakit yang timbul dari efek buruk apa yang telah dikonsumsinya, mungkin makanan yang mestinya hanya untuk mencukupi kebutuhan perut bergeser menjadi trend atau gaya hidup yang berlebih lebihan , foya-foya dan tidak lagi memikirkan orang lain , bahkan makan  menjadi tujuan hidup,hidup untuk makan bukan lagi makan untuk hidup ,  jadinya ada golongan  manusia yang sekali makan harganya bisa cukup untuk makan orang satu kampung , inilah mungkin yang disebut sebagi manusia “Abdul butun” atau pengabdi perut.
Fashion, atau pakaian , tujuan adanya pakaian adalah untuk menutup aurot , ,sebenarnya itu tujuan utamanya , apalagi bagi komunitas umat Islam , pakaian itu    dirancang untuk menutup aurot sebagai sarana beribadah kepada Tuhan, sebab tanpa menutup aurot ibadah kita , terutama sholat tidak ada nilainya tanpa dipenuhi syarat tertutupnya aurot. Namun dalam perkembangan mode  , pakaian berubah menjadi style atau gaya , maka fungsi dari pakaian yang tujuan semula menjadi penutup itu telah dimanipulasi menjadi sarana untuk riya’,pamer  atau sesuatu yang didewa-dewakan , orang cenderung berlomba bisa berpakaian trendy, branded,  tanpa memahamai kaidah-kaidah berpakaian yang wajar, benar dan humanis. Bahkan yang lebih ironis lagi gaya pakaian muslimah yang lazim disebut jilbab beralih menjadi jilbob, yaitu pakaian yang  sekedar hanya menutupi rambut , tetapi tidak menutupi aurot “Dada” yang semestinya wajib “diamankan”, apa jadinya ?  
Fun : atau kesenangan , orang modern berlomba-lomba untuk mengejar kesenangan, kadang lupa bahwa hidup didunia ini hanya bersifat sementara, dan apa yang didapatkan dengan cara-cara tidak fair pasti akan berakibat buruk. Dalam bahasa Alqur’an kesenagan ini sering disebut sahawat  atau keinginan, ketertarikan , dihiasi manusia itu dengan kesenangan terhadap wanita, anak-anak keturunan, dan kesenangan yang berlebihan terhadap emas dan perak, kuda-kuda perang , dan binatang ternak dan sawah ladang, itulah perhiasan kehidupan didunia, dan kepada Allah tempat kembali yang terbaik.Berpijak dari keterangan ini jelaslah bahwa kesenangan yang ada didunia ini sifatnya semu, sementara dan hanyalah perhiasan kehidupan  dan tujuan hidup yang ideal adalah mempersiapkan tempat kembali, untuk bertanggung jawab kepada Sang Maha Pencipta.Bukankan manusia diciptakan ini untuk menyiapkan Rumah yang baik di kampung Akhirat, walaupun dunia tidak harus dilupakan , kita hanya disuruh berbuat dan bertindak baik, akhsan sebagaimana Allah telah berbuat baik kepada kita, dengan menyempurnakan penciptaan manusia lebih sempurna dari mahluk yang lain, dan kita juga di larang membuat kerusakan dimuka bumi, dan Tuhan tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas atau tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.Secara tidak sadar kita kadangkala menjadi mahluk yang paling buas, melibihi perilaku binatang yang paling buas sekalipun, bahkan binatang Harimau yang telah dijuluki binatang buas sekalipun, rekornya dapat dikalahkan oleh mahluk kecil dan lemah yaitu manusia.Harimau juga mencari makan ,berburu mangsa tetapi setelah mendapatkan satu mangsa harimau hanya makan ala kadarnya, disimpan sedikit untuk persediaan barangkali nanti dia tidak berhasil memperoleh hewan buruan, tetapi manusia dengan keserakahannya bahkan berkilah menumpuk harta untuk makan, tetapi kalau dikalkulasi dimakan anak cucu tujuh turunan hartanya tidak akan habis.Banyak juga manusia yang berlaku dan bertindak menjadi serigala bagi manusia lain Homo homini lupus
Salamkanci , Medio September 2014

Jumat, 30 Mei 2014

MAKALAH TEORI HUKUM


LATAR BELAKANG DAN PERKEMBANGAN
CRITICAL LEGAL STUDIES
Oleh : H.Hanif Hanani Tamjiz putu Soeta


A. LATAR BELAKANG CRITICAL LEGAL STUDIES
Teori hukum tradisional mengajarkan, hukum merupakan seperangkat aturan dan prinsip-prinsip yang memungkinkan masyarakat mempertahankan ketertiban dan kebebasannya. Para penganut teori hukum tradisional berkeyakinan bahwa hukum haruslah netral dan dapat diterapkan kepada siapa saja secara adil, tanpa memandang kekayaan, ras, gender atau harta. Meskipun mereka tidak satu pendapat mengenai apakah dasar yang terbaik bagi prinsip-prinsip hukum, yakni apakah dasarnya adalah wahyu Tuhan, etika sekuler, pengalaman masyarakat, atau kehendak mayoritas. Akan tetapi, umumnya mereka setuju terhadap kemungkinan terpisahnya antara hukum dan politik, hukum tersebut menurut mereka akan diterapkan oleh pengadilan secara adil.
Para teoritisi postmodern percaya, pada prinsipnya hukum tidak mempunyai dasar yang objektif dan tidak ada yang namanya kebenaran sebagai tempat berpijak dari hukum. Dengan kata lain, hukum tidak mempunyai dasar berpijak, yang ada hanya kekuasaan. Akhir-akhir ini, mereka yang disebut juga dengan golongan antifoundationalistis, telah mendominasi pikiran-pikiran tentang teori hukum dan merupakan pembela gerakan Critical Legal Studies. Yang menjadi ukuran bagi hukum bukanlah benar atau salah, bermoral atau tidak bermoral melainkan hukum merupakan apa saja yang diputuskan dan dijalankan oleh kelompok masyarakat yang paling berkuasa.
Karena itu, para postmodernist ini menentang hukum dengan mengatakan bahwa hukum tidak berdasarkan benar atau salah secara universal, tetapi hanya perwujudan kekuasaan oleh 1 (satu) kelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat lainnya. Dalam bidang hukum. Muncul gerakan yang menantang teori hukum tradisional, gerakan itu disebut dengan gerakan critical legal studies.
Critical Legal Studies timbul sebagai kritik terhadap keadaan krisis hukum yang gagal berperan sebagai alat perubahan dan sebagai alat untuk mencapai keadilan yang sebenarnya. Krisis hukum itu bersumber pada gejolak sosial pada masa tahun 1960-an. Pada masa itu, praktik hukum menampilkan 2 (dua) wajah keadilan yang kontras. Di satu sisi, beberapa pengadilan dan beberapa bagian dari profesi hukum telah menjadi juru bicara bagi kelompok masyarakat yang tidak beruntung. Tetapi di sisi yang lain, pada saat yang bersamaan, hukum menampilkan sosoknya yang dilengkapi dengan sepatu boot dan berlaku represif untuk membasmi setiap anggota masyarakat yang membangkang.
Critical Legal Studies merupakan sebuah gerakan yang muncul pada tahun tujuh puluhan di Amerika Serikat. Critical Legal Studies lahir karena pembangkangan atas ketidak puasan terhadap teori dan praktek hukum pada saat itu, khususnya terhadap teori dan praktek hukum dalam bidang-bidang sebagai berikut :
Terhadap pendidikan hukum
Pengaruh politik yang sangat kuat terhadap dunia hukum
Kegagalan peran hukum dalam menjawab permasalahan yang ada
Sebagaimana diketahui bahwa banyak kekecewaan terhadap filsafat,teori, dan praktek hukum yang terjadi di paruh kedua dari abad ke-20. Sedangkan aliran lama yang mainstream saat itu, semisal aliran realisme hukum, di samping perannya semakin tidak bersinar, semakin tidak populer, dan juga ternyata tidak dapat menjawab berbagai tantangan zaman di bidang hukum. Sangat terasa, terutama pada akhir abad ke-20, bahwa diperlukan adanya suatu aliran dan gebrakan baru dalam praktek, teori, dan filsafat hukum untuk menjawab tantangan zaman tersebut.
Menyadari akan kebobrokan hukum yang sudah sampai pada tataran teoritis dan filsafat ini, maka pada akhir abad ke-20, tepatnya mulai dekade 1970-an, beberapa ahli hukum mulai melihat hukum dengan kacamata yang kritis, bahkan sangat kritis, dengan gerakannya yang terbilang revolusioner, akhimya memunculkan suatu aliran baru dalam filsafat hukum, yang kemudian dikenal dengan sebutan “aliran hukum kritis” (critical legal studies).
Gerakan critical legal studies mulai eksis dalam dekade 1970-an yang merupakan hasil dari kofrensi tahun 1977 tentang critical legal studies di Amerika serikat. Pada saat yang hampir bersamaan atau beberapa waktu setelah itu, kelompok-kelompok ahli hukum dengan paham yang serupa tetapi bervariasi dalam style, metode dan fokus , juga lahir secara terpisah dan independen di beberapa negara lain selain Amerika Serikat, seperti di Jerman, Prancis.
Di Inggris, gerakan critical legal studies ini dibentuk dalam konferensi tentang critical legal studies pada tahun 1984. Pada tahun tersebut, diundang para ahli hukum untuk membicarakan pendekatan yang kritis terhadap hukum, mengingat adanya kesenjangan yang besar antara hukum dalam teori (law in books) dengan hukum dalam kenyataan (law in actions) dan kegagalan masyarkat merespon masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat. Konferensi yang dianggap sebagai peletakan batu pertama bagi lahirnya gerakan Critical Legal Studies tersebut dilakukan oleh suatu organizing committee yang beranggotakan sebagai berikut: Abel, Heller, Horwitz, Kennedy, Macaulay, Rosenblatt, Trubek, Tushnet dan Unger. Meskipun aliran critical legal studies belum tentu juga mempunyai teori yang bersifat alternatif, tetapi paling tidak, dia sudah punya sejarah.
Fokus sentral pendekatan critical legal studies adalah untuk mendalami dan menganalisis keberadaan doktrin-doktrin hukum, pendidikan hukum dan praktek institusi hukum yang menopang dan mendukung sistem hubungan-hubungan yang oppressive dan tidak egaliter. Teori kritis bekerja untuk mengembangkan alternatif lain yang radikal, dan untuk menjajagi peran hukum dalam menciptakan hubungan politik, ekonomi dan dan sosial yang dapat mendorong terciptanya emansipasi kemanusiaan.
Dalam perkembangan lebih lanjut, pendekatan critical legal studies telah melahirkan generasi kedua yang lebih menitikberatkan pemikiran dan perjuangannya dengan menggunakan hukum untuk merekontruksi kembali realitas sosial yang baru. Mereka berusaha keras untuk membuktikan bahwa di balik hukum dan tatanan sosial yang muncul di permukaan sebagai sesuatu yang netral, di dalamnya penuh dengan bias terhadap kultur, ras atau gender. Generasi kedua dari critical legal studies sekarang muncul dalam wujud Feminist Legal Theories, Critical Race Theoriest, Radical Criminology dan juga Economic Theory of Law.
B.POKOK-POKOK PEMIKIRAN CRITICAL LEGAL STUDIES
Aliran critical legal studies memiliki beberapa karakterisik umum sebagai berikut:
  1. Mengkritik hukum yang berlaku yang nyatanya memihak ke politik dan sama sekali tidak netral.
  2. Mengkritik hukum yang sarat dan dominan dengan ideologi tertentu.
  3. Mempunyai komitmen yang besar terhadap kebebasan individual sesuai dengan batasan-batasan tertentu. Karena itu aliran ini banyak berhubungan dengan emansipasi kemanusiaan. Karena hal itulah, maka tidak mengherankan apabila pada perkembangannya di kemudian hari Critical Legal Studies ini melahirkan pula Feminist Legal Theory dan Critical Race Theory.
  4. Kurang mempercayai bentuk-bentuk kebenaran yang abstrak dan pengetahuan yang benar-benar objekif. Karena itu, ajaran ini menolak keras ajaran-ajaran dalam aliran positivisme hukum. Aliran critical legal studies menolak unsur kebenaran objektif dari ilmu pengetahuan hukum, dan menolak-pula kepercayaan terhadap unsur keadilan, ketertiban, dan kepastian hukum yang objektif, sehingga mereka mengubah haluan hukum untuk kemudian digunakan sebagai alat untuk menciptakan emansipasi dalam dunia politik, ekonomi, dan sosial budaya.
  5. Menolak perbedaan antara teori dan praktek, dan menolak juga perbedaan antara fakta dan nilai yang merupakan karakteristik dari paham liberal. Dengan demikian aliran ini menolak kemungkinan teori murni (pure teory) tetapi lebih menekankan pada teori yang memiliki daya pengaruh terhadap transfomasi sosial yang praktis. Sejalan dengan hal itu, namun dalam kalimat yang berbeda, Gary Minda dengan mengutip pendapat dari James Boyle mengatakan bahwa, “Critical Legal Studies offered not merely a theory of law, but a hopeful self-conception of a politically active, socially responsible [vision] of a noble calling”.
Pada prinsipnya, critical legal studies menolak anggapan ahli hukum tradisional yang mengatakan sebagai berikut:
  1. Hukum itu objektif. Artinya, kenyataannya adalah tempat berpijaknya hukum
  2. Hukum itu sudah tertentu. Artinya, hukum menyediakan jawaban yang pasti dan dapat dimengerti
  3. Hukum itu netral, yakni tidak memihak pada pihak tertentu.
Disamping menolak ketiga anggapan tersebut, para penganut ajaran critical legal studies mengajukan pandangannya sebagai berikut:
Hukum mencari legitimasi yang salah
Dalam hal ini, hukum mencari legitimasi dengan cara yang salah yaitu dengan jalan mistifikasi, dengan menggunakan prosedur hukum yang berbelit, dan bahasa yang susah dimengerti, yang merupakan alat pemikat sehingga pihak yang ditekan oleh yang punya kuasa cepat percaya bahwa hukum adalah netral
Hukum dibelenggu oleh kontradiksi-kontradiksi
Dalam hal ini, pihak penganut critical legal studies percaya bahwa setiap kesimpulan hukum yang telah dibuat selalu terdapat sisi sebaliknya, sehingga kesimpulan hukum tersebut hanya merupakan pengakuan terhadap pihak kekuasaan. Dengan hukum yang demikian, mereka akan berseru ”pilih sisi/pihakmu, tetapi jangan berpura-pura menjadi objektif”. Dalam hal ini, hakim akan memihak pada salah satu pihak (yang kuat) yang dengan sendirinya akan menekan pihak lain.
Tidak ada yang namanya prinsip-prinsip dasar dalam hukum
Ahli hukum yang tradisional percaya bahwa prinsip yang mendasari setiap hukum adalah ”pemikiran yang rasional”. Akan tetapi menurut penganut aliran ini, pemikiran rasional itu merupakan ciptaan masyarakat juga, yang merupakan pengakuan terhadap kekuasaan. Karena itu, tidak ada kesimpulan hukum yang valid yang diambil dengan jalan deduktif maupun dengan verifikasi empiris.
Hukum Tidak Netral
Penganut critical legal studies berpendapat bahwa hukum tidak netral, dan hakim hanya berpura-pura atau percaya secara naif bahwa dia mengambil putusan yang netral dan tidak memihak dengan mendasari putusannya pada undang-undang, yurisprudensi atau prinsip-prinsip keadilan. Padahal mereka, selalu bisa dan selalu dipngaruhi oleh ideologi, legitimasi, mistifikasi yanng dianutnya untuk memperkuat kelas yang dominan.
Di samping itu, aliran critical legal studies ini juga berbeda secara konsepsi dengan pendekatan hukum secara sosiologis (sociolegal studies). Pendekatan pada hukum secara sosiologis memiliki kelemahan utama berupa terabaikannya karakter orientasi kebijaksanaan hukum (policy oriented). Khusus untuk masalah ini, berbagai altematif pendekatan baru telah dilakukan oleh para ahli hukum, seperti munculnya ajaran berupa sosiologi hukum kritis (critical sociology of law) atau pendekatan pada hukum (dan juga pada fenomena sosial lainnya) berupa pendekatan secara dialektikal yang modern, semacam yang dilakukan oleh ahli pikir seperti Derrida, atau bahkan seperti yang dimunculkankan oleh Hegel, yang kemudian dikembangkan lebih lanjut, antara. lain oleh Bhaskar, dengan doktrinnya berupa “realisme kritikal dialektis” (dialectical critical realism). Pendekatan nonkonvensional terhadap hukum seperti ini sudah barang tentu sangat bertentangan dengan pendekatan-pendekatan hukum secara klasik, yang terialu menekankan pada cara berpikir “identitas” (identity thinking).
Aliran critical legal studies merupakah suatu aliran yang bersikap anti-liberal, antiobjektivisme, antiformalisme, dan antikemapanan dalam teori dan filsafat hukum, yang dengan dipengaruhi oleh pola pikir postmodern, neomarxism, dan realisme hukum, secara radikal mendobrak paham hukum yang sudah ada sebelumnya, yang menggugat kenetralan dan keobjektifan peran dari hukum, hakim, dan penegak hukum lainnya terutama dalam hal keberpihakan hukum dan penegak hukum terhadap golongan yang kuat/mayoritas/berkuasa/kaya dalam rangka mempertahankan hegemoninya, atau keberpihakan hukum terhadap politik dan ideologi tertentu.
Esensi pemikiran critical legal studies terletak pada kenyataan bahwa hukum adalah politik. Dari pemikiran law is politics itu, critical legal studies berarti sudah langsung menolak dan menyerang keyakinan para positivis dalam ilmu hukum yang mengembangkan pemikiran hukum liberal. Critical Legal Studies berusaha untuk membuktikan bahwa di balik hukum dan tatanan sosial yang muncul ke permukaan sebagai sesuatu yang netral, sebenarnya di dalamnya penuh dengan muatan kepentingan tertentu yang bias kultur, ras, gender, bahkan kepentingan ekonomi. Menurut pandangan critical legal studies, doktrin hukum yang selama ini terbentuk, sebenarnya lebih berpihak kepada mereka yang mempunyai kekuatan (power), baik itu kekuatan ekonomi, politik ataupun militer. Oleh karena itulah, maka dalam memahami masalah hukum juga harus selalu dilihat dari konteks power-relations.
Sebagai salah satu contoh dari hal tersebut di atas, dapat dilihat dari praktik hubungan antarnegara. Dalam hubungan antarnegara, kekuatan sering digunakan oleh negara maju terhadap negara berkembang untuk:
  1. Terlibat dalam kebijakan dalam negeri negara berkembang.
  2. Menekan negara berkembang agar negara berkembang itu melakukan tindakan yang sesuai dengan kebijakan dari negara maju.
Proses intervensi dan penekanan yang dilakukan oleh negara maju seperti itulah yang kemudian dibungkus dengan suatu bentuk perjanjian internasional, agar tampak lebih manusiawi. Dalam keadaan yang demikian itu, maka tepatlah jika Karl Marx menganggap bahwa fungsi utama dari hukum itu adalah untuk menyelubungi atau menutup-nutupi hubungan antarkekuatan yang timpang.
Ada berbagai macam varian di dalam arus critical legal studies. Varian itu disebabkan karena adanya beragam latar belakang sumber intelektual dan orientasi politik dari para pemikir yang ada di dalam critical legal studies. Walaupun memang berisiko mengakibatkan terjadinya penyederhanaan dalam memandang critical legal studies, tetapi setidaknya dapat disebutkan 3 (tiga) varian utama dalam pemikiran critical legal studies ini, yaitu:
  1. Arus pemikiran yang diwakili oleh Unger, yang mencoba mengintegrasikan 2 (dua) paradigma yang saling bersaing, yaitu paradigma konflik dan paradigma konsensus.
  2. Arus pemikiran yang diwakili oleh David Kairys, yang mewakili tradisi pemikiran hukum marxis atau tepatnya mewarisi kritik marxis terhadap hukum liberal yang dianggap hanya melayani sistem kapitalisme. Arus pemikiran ini mempunyai kecenderungan kepada sosialisme humanistik sebagai komitmen politiknya.
  3. Arus pemikiran yang diwakili oleh Kennedy, yang menggunakan metode ekletis yang membaurkan sekaligus perspektif strukturalis, fenomenologis dan neo-marxis.
Roberto Unger dalam bukunya mengakui tentang adanya penjabaran dari pihak yang boleh dibilang konservatif terhadap kritik kaum critical legal studies tentang formalisme. Menurut pihak konservatif tersebut, kritikan oleh kaum critical legal studies tersebut hanya valid jika ditujukan terhadap konstruksi hukum yang sistematik dari para ahli hukum yang sangat ambisius dan tidak valid jika ditujukan terhadap argumentasi yang khusus dan problem oriented dari pihak lawyer dan hakim dalam praktek. Akan tetapi, menurut Unger, kritik kaum critical legal studies terhadap ajaran formalisme, sebenarnya juga dalam rangka mempertahankan ajaran formalisme dengan berbagai argumentasi, di samping, juga dalam rangka menunjukkan bahwa tidak benar tindakan yang memisahkan antara penalaran hukum (legal reasoning) dan politik, ideologi, dan filsafat.
Para penganut aliran Critical Legal Studies juga mengritik pandangan modern tentang organisasi pemerintahan. Sebab, menurut para penganut aliran critical legal studies tersebut bahwa setiap sarana untuk membatasi kekuasaan negara, akan cenderung juga merugikan masyarakat. Karena itu, diperlukan suatu cara yang bersifat resolusi, di mana dapat terjadi pembatasan kekuasaan negara tanpa membatasi aktivitas negara yang bersifat transformatif.
Critical Legal Studies menyatakan bahwa masyarakat liberal dipenuhi dengan dominasi dan hierarkhi. Kelas atas membentuk struktur yang berlaku bagi lainnya untuk memperlancar kehidupannya. Negara hukum yang ideal adalah yang dapat menandai kontradiksi dan hierarkhi dalam masyarakat liberal. Jika dikatakan bahwa hukum tidak bertugas untuk menemukan kebenaran, tetapi menemukan kompleksitas yang telah ada, maka teori hukum tidak akan bermakna tanpa teori sosial.
Kebenaran pernyataan tentang kehidupan sosial sesungguhnya telah dikondisikan oleh seluruh sistem sosial yang berlaku. Kebenaran bersifat relatif menurut masyarakat tertentu atau kelompok sejarah tertentu. Seseorang secara keseluruhan struktur sosial adalah produk sejarah, bukan alam. Sejarah dipenuhi dengan pertentangan-pertentangan, dan aturan sosial merupakan garis pemisah yang menggambarkan posisi masing-masing. Kekuatan menjadi hak, kepatuhan menjadi tugas, dan untuk sementara pembagian hierarkhi sosial menjadi kabur.
Critical Legal Studies mencoba untuk mempengaruhi realitas sosial. Struktur yang ada merupakan penggunaan kepercayaan dan asumsi yang menciptakan suatu masyarakat dalam realitas hubungan antar manusia. Struktur kepercayaan atau ideology tersebut memiliki potensi terselubung dalam tendensinya untuk mempertahankan dinamikanya sendiri untuk menciptakan doktrin hukum yang menyalahkan kondisi dan alam. Bagi critical legal studies, kesadaran hukum adalah alat yang berhubungan dengan pikiran untuk melakukan penindasan. Hal ini merupakan cara untuk menyembunyikan atau menghindari kebenaran fundamental bahwa segala sesuatu itu dalam proses perubahan dan kehadiran.
Namun demikian, walaupun ada beragam arus pemikiran dalam critical legal studies ini, para pemikir critical legal studies tersebut tetaplah bersatu dalam pokok pemikiran yang tidak puas dan melancarkan kritik terhadap paradigma hukum liberal. Untuk mengkritisi doktrin hukum yang telah terbentuk selama ini, critical legal studies menggunakan metode:
  1. Trashing, yaitu dilakukan untuk mematahkan atau menolak pemikiran hukum yang telah terbentuk. Teknik trashing dilakukan untuk menunjukkan kontradiksi dan kesimpulan yang bersifat sepihak berdasarkan asumsi yang meragukan.
  2. Deconstruction, adalah membongkar pemikiran hukum yang telah terbentuk. Dengan melakukan pembongkaran ini, maka dapat dilakukan rekonstruksi pemikiran hukum.
  3. Genealogy, adalah penggunaan sejarah dalam menyampaikan argumentasi. Genealogy digunakan karena interpretasi sejarah sering didominasi oleh pihak yang memiliki kekuatan. Interpretasi sejarah ini yang kemudian digunakan untuk memperkuat suatu konstruksi hukum.
C.KELEBIHAN DAN KEKURANGAN CRITICAL LEGAL STUDIES
Kelebihan critical legal studies terdiri dari berbagai macam pemikiran yang dikemukakan oleh banyak ahli hukum. Pemikiran-pemikiran tersebut bervariasi dari pemikiran yang bercirikan marxian ortodok sampai pada pemikiran post-modern. Ada beberapa kesepahaman antara pemikiran-pemikiran tersebut, yaitu ketidakpercayaan terhadap netralitas hukum, struktur sosial yang hierarkhis dan didominasi ideologi kelompok tertentu, dan keinginan untuk merombak struktur sosial.
Kekritisan critical legal studies dalam memahami realitas sosial dan tata hukum serta komitmen untuk mengembangkan teori hukum berdasarkan praksis sosial untuk merombak struktur sosial yang hierarkhis adalah kelebihan utama critical legal studies. Kekuatan ini diwujudkan dalam bentuk analitis kritis terhadap tata hukum, nilai-nilai
dan rasio-rasio hukum yang digunakan oleh para hakim yang selama ini disebut
netral dan benar secara obyektif.
Kelebihan lain dari critical legal studies adalah perhatiannya yang sangat besar
terhadap pengakuan individu sebagai subyek kehendak utama dalam tatanan sosial.
Kelebihan ini seperti membangkitkan kembali pandangan eksistensialis Kant-ian
yang akhir-akhir tergerus oleh gelombang modern dan industri sehingga
menimbulkan keterasingan individu subyektif karena tersedot arus budaya massa yang
abstrak.
Namun teori ini tidak terlepas dari berbagai kekurangan. Sebagaimana pemikiran kritis, apabila tidak digunakan secara tepat dengan mengingat tujuan dan batas penggunaan, kritisisme bisa berujung pada nihilisme. Atau paling tidak terjebak pada lingkaran kritik tanpa ujung dalam tingkatan wacana sehingga melupakan tugas praktis terhadap masyarakat.
Kelemahan lain adalah dari sifat asli pemikiran kritis yang selalu
dalam dirinya sendiri melakukan dekonstruksi sehingga perubahan dan gejolak
selalu terjadi. Padahal realitas masyarakat selalu cenderung mempertahankan
nilai-nilai dan tatanan lama dan hanya mengijinkan perubahan yang tidak terasa.
Akibatnya critical legal studies sangat sulit menjadi mainstream pembangunan hukum. Tugas utama critical legal studies adalah melancarkan kritik untuk perubahan yang dilakukan oleh orang lain.
D.PERKEMBANGAN CRITICAL LEGAL STUDIES DI INDONESIA
Critical Legal Studies bagi kalangan hukum di Indonesia sendiri masih dianggap
baru. Perkembangan awal critical legal studies digunakan oleh kalangan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk memahami kebijakan dan struktur hukum yang menindas.
Hal ini sesuai dengan mainstream utama pemikiran LSM yang cenderung kritis dengan menggunakan pemikiran-pemikiran marxian dan mazhab kritis. Namun untuk saat ini kita tidak tahu apakah para aktivis LSM masih cenderung kritis dalam pemikiran-pemikirannya.
Saat ini Indonesia berada dalam masa transisi yang ditandai oleh pergulatan kekuatan-kekuatan yang mencoba untuk mendominasi baik dari dalam negeri maupun kekuatan kapitalis internasional yang sangat-sangat membahayakan. Maka sudah saatnya pemikiran-pemikiran critical legal studies juga digunakan untuk memahami, mengkritik, membangun, dan menerapkan hukum di Indonesia yang terlalu banyak carut marut di dalam penerapannya
Pemikiran Critical Legal Studies juga telah mempengaruhi pemikiran para ahli hukum di Indonesia. Hal itu dapatlah dipahami, karena keadaan hukum di Indonesia mirip dengan keadaan hukum di Amerika Serikat pada saat Critical Legal Studies ini lahir. Jadi dengan demikian, penggunaan metode yang ditawarkan oleh Critical Legal Studies memang akan sangat membantu dalam memberikan pemahaman terhadap keadaan hukum di Indonesia. Untuk hal ini, menarik juga untuk memperhatikan pendapat dari Ifdhal Kasim yang menyatakan: “Kajian-kajian hukum Critical Legal Studies saya kira sangat relevan kita gunakan dalam menganalisis proses-proses hukum di Indonesia, dalam menganalisis proses-proses pembentukan dan penerapannya maupun untuk menganalisis suatu doktrin hukum dan bagaimana ia telah berfungsi mengabsahkan suatu sistem sosial atau kebijakan tertentu. Saya kira memang sangat diperlukan suatu analisis yang dapat mengungkap “hidden political intentions” di belakang berbagai konsep, doktrin dan proses-proses hukum di sini”.
Penggunaan critical legal studies untuk menganalisis hukum di Indonesia
paling mudah dilakukan terhadap pembangunan hukum pada masa orde baru. Pada
masa inilah dapat dilihat secara jelas kepentingan-kepentingan ekonomi dan
politik dominan yang menghuni ide tata hukum. Kepentingan atas pertumbuhan
ekonomi memaksa kebijakan kemudahan usaha dengan jalan pemberian kredit yang
disertai dengan deregulasi dan debirokratisasi. Kepentingan pembangunan ekonomi
mensyaratkan stabilitas politik yang dilakukan dengan cara mengurangi hak sipil
dan politik rakyat
Selain hal tersebut, perlu pula diperhatikan, bahwa pada saat menggunakan metode critical legal studies dalam menganalisis keadaan hukum di Indonesia, tetaplah harus memperhatikan faktor-faktor tertentu yang sifatnya khas dan mungkin hanya ada di Indonesia, seperti faktor nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia atau faktor agama. Bahkan untuk faktor agama ini, akan sangat mungkin menjadi hambatan untuk dilakukannya kajian yang kritis terhadap hukum. Misalnya saja, tentu akan sulit untuk melakukan kajian yang kritis terhadap kemungkinan dibentuknya peraturan perundang-undangan yang melegalkan perkawinan sesama jenis kelamin (homoseksual) di Indonesia. Hambatan terhadap kajian kritis semacam itu, tentu terletak pada keyakinan masyarakat Indonesia yang pada umumnya masih menganggap bahwa perilaku homoseksual itu adalah dilarang oleh agama (bertentangan dengan nilai agama). Jadi, dalam menggunakan metode critical legal studies ini tetaplah “kontekstualisasinya diperlukan”.
DAFTAR PUSTAKA
Anom Surya Putra, Teori Hukum Kritis: Struktur Ilmu dan Riset Teks, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003
Fitzpatrict, Peter dan Alan Hunt, Critical Legal Studies, Basil Blackwell Ltd, New York, 1987
Fuady, Munir, Aliran Hukum Kritis (Paradigma Ketidakberdayaan Hukum). PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.
Roberto Mangabeira Unger, The Critical Legal Studies Movement , Harvard University Press, Cambridge, 1986
W , Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum Susunan I, (diterjemahkan Mohammad Arifin), Rajawali Press, Jakarta, 1990
W , Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum Susunan III, (diterjemahkan Mohammad Arifin), Rajawali Press, Jakarta, 1990
Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis (Paradigma Ketidakberdayaan Hukum), Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003, hal 1.
Ibid
Ibid, 2
Munir Fuady, op.cit, hal.3
Ibid
Peter Fitzpatrict dan Alan Hunt, Critical Legal Studies, Basil Blackwell Ltd, New York, 1987, hal 2
Ibid, hal.90
Munir Fuady, op. cit, hal 6
Ibid, hal 6-7
Abdulkadir Jailani, “Hukum Internasional Pasca Perang Irak: Legalisasi Politik Internasional dan Politisasi Hukum Internasional”, dimuat dalam Jurnal Hukum Internasional, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Volume 2, Nomor 2, Januari 2005), hal 336
Hikmahanto Juwana, “Hukum Internasional dalam Konflik Kepentingan Ekonomi Negara Berkembang dan Maju”, (Pidato Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 10 November 2001), hal 7.
Ifdhal Kasim, Mempertimbangkan Critical Legal Studies dalam Kajian Hukum di Indonesia,terjemahan dari karya Roberto Mangabeira Unger, The Critical Legal Studies Movement, Cambridge Harvard University Press, 1986, hal. 24
Hikmahanto Juwana, op.cit, hal 8
Ifdal Kasim, loc. cit, hal. 29-30
Anom Surya Putra, Teori Hukum Kritis: Struktur Ilmu dan Riset Teks, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal 18
Roberto Mangabeira Unger, The Critical Legal Studies Movement , Harvard University Press, Cambridge, 1986, hal 18