Oleh : H.Hanif Hanani Tamjiz , SH,MH
Labbaika Allahhumma labbaik, labbaika
laa syariika laka labbaik. Innal hamda wa ni’mata laka wa al mulka laa
syariikalaka
Itulah bacaan talbiyah yang dilantunkan oleh
berjuta-juta orang yang pergi haji, tiada kalimat terindah selain bacaan
tersebut.
Kemudian, orang-orang yang menjalankan haji
mendapat jaminan dari Allah Swt melalui Sabda Rosul-Nya Muhammad Saw, roja’a
ka yaumi waladat-hu ummuhu “ Maka ia kembali suci ,seperti bayi yang baru dilahirkan dari rahim ibunya (tanpa dosa). Dalam haji
itu Allah akan menampakkan bebarapa manfaat bagi orang-orang yang
menjalankannya.
Haji Mabrur
atau hajjul mabrur dapat diartikan sebagai haji yang diterima oleh Allah
Swt. Berdasarkan pengertian tersebut diatas , ibadah haji hanya ada dua macam
yaitu haji makbul atau yang diterima dan haji mardud atau yang ditolak.
Haji yang diterima ini diberi batasan sebagai
ibadah haji yang tidak dicampuri dengan dosa, sepi dari riya’ dan tidak
dikotori dengan rofas, fusuq dan jidal.
Ketika ditanya oleh Sahabat tentang haji mabrur
Rosul Muhammad Saw bersabda : Al hajju mabruuru laisa lahu jaza’an illal
jannata, faqila ma birrul hajji ya rosuulaallah ? Faqola : It’amut ta’ami wa
tayyibul kalaami ( R.Ahmad ‘an Jabir) yang artinya : “Haji mabrur itu tidak
ada balasan lain, kecuali surga. Maka ditanyakan apakah haji mabrur itu ya
Rosulallah ? beliau menjawab ; memberi makan dan berkata baik.”
Adapun perbedaan antara haji makbul dan haji
mabrur adalah , haji makbul yaitu ,haji yang diterima dan mendapat
pahala sesuai dengan apa yang dijanjikan Allah Swt dan menghapuskan kewajiban
haji, sedangkan haji mabrur adalah haji yang mampu mengangkat pelakunya
kelak bisa lebih baik dari hari-hari sebelum ia berhaji “ Amaluhu ba’dal
hajji khoirun min qoblihi” Artinya “ Amal perbuatannya setelah ibadah haji
lebih baik dari pada sebelumnya “
Namun demikian , gelar mabrur tidak hanya
semata-mata menjadi milik oleh yang berhaji, ada kalanya gelar mabrur diberikan
kepada orang yang ikhlas menolong dan mengentaskan orang-orang dengan hartanya
, ada cerita yang bisa kita ambil sebagai I’tibar.
Adalah, Abdullah bin Barok, suatu saat , beliau
yang terkenal sebagai orang ‘alim dan wara’ , beliau menjalankan ibadah haji,
ketika beliau selesai melakukan thowaf ifadhoh, beliau tertidur didepan ka’bah
karena kelelahan, dalam tidur, Abdullah bin Barok, bermimpi mendengar
perbincangan dua Malaikat yang sedang berdialog. Salah satu malaikat bertanya
kepada Saudaranya ,”Kamu tau berapa orang yang berhaji pada tahun ini ? Malaikat
yang satunya menjawab tidak tau, kemudian malaikat yang bertanya tadi memberikan
menjawab pertanyaannya sendiri dengan mengatakan” Orang yang berhaji pada tahun
ini ada enam ratus ribu orang” , kemudian malaikat yang tadi bertanya kepada
Saudaranya bertanya lagi, dari enam ratus ribu orang itu, berapa yang diterima
oleh Allah Swt, ibadah hajinya? , malaikat satunya menjawab lagi, “tidak tau,
hanya Allah Swt saja yang mengetahui”, lalu dijawab kembali oleh malaikat yang
bertanya, “ketahuilah bahwa dari jumlah orang yang menjalankan haji sebanyak
enam ratus ribu itu, yang mabrur hanya satu orang”, nama orang itu adalah , mu’afaq
dari Damsyik, dan karena kemabruran Si Muaffaq itulah, maka seluruh jama’ah
haji yang berjumlah enam ratus ribu orang itu , semuanya menjadi mabrur.
Mendadak sontak, Abdullah bin Barok, terbangun
dari tidurnya dan tidak berhenti memikirkan mimpi yang baru saja ia alami,
beliau sangat penasaran, terhadap orang yang bernama Muafaq dari Damsyik yang
menjadi satu-satunya orang yang hajinya mabrur, yang kemudian bisa memberikan
safaat kepada jama’ah haji yang lain, sehingga semua menjadi mabrur.
Maka dicarinyalah orang yang bernama mu’afaq dari
Damsyik itu, setelah sekian lama dicari dan bertanya berkali-kali kepada setiap orang yang dijumpai, maka ditunjukkanlah rumah
Muafaq, dan bertemulah dengan Mu’afaq, maka disampaikanlah maksud kedatangannya
dan ditanyakanlah , dan diceritakan pula tentang hal ihwal mimpinya.Dengan
terkejut Muafaq menjawab bahwa dirinya tidak berangkat berhaji tahun ini, namun
demikian Abdullah bin Barok tetap
percaya pada mimpinya , kemudian bertanya kepada Mu’afaq, amal apakah kiranya
yang dapat mencapai pahala mabrur setingkat dengan amalan orang yang
menjalankan ibadah haji, bahkan pahalanya dapat memberi safaat kepada jama’ah
haji yang lain, yang jumlahnya enam ratus ribu orang.
Lalu berceritalah Mu’afaq tentang amal
perbuatannya , begini ceritanya : “ Saya Mu’afaq adalah tukang sol sepatu,
walaupun saya hanya sebagai tukang sol sepatu, yang hasilnya tidak seberapa,
tetapi saya sesalu memohon pada Allah Swt agar diberikan jalan , untuk dapat
menunaikan ibadah haji. Maka saya , mulai menabung dari hasil jerih payah saya
, dalam waktu yang lama terkumpulah uang sejumlah enam ratus Dirham, uang sejumlah itu menurut perkiraan
saya cukup, untuk bekal perjalanan haji ke Makkah.
Maka saya membulatkan tekad untuk menjalankan
ibadah haji, menjelang saya berangkat , ketika perbekalan sudah saya taruh
semua diatas pelana kuda saya, saya berpamitan
kepada istri saya, istri saya rela juga melepas kepergian saya, namun dia punya
satu permintaan , kebetulan istri saya sedang hamil, apa permintaannya dia
bilang “ saya rela melepaskan engkau untuk menjalankan ibadah haji ke tanah
suci, namun sebelum engkau berangkat , kabulkanlah, saya punya satu
permohonan, saya mencium aroma
masakan yang lezat dan gurih.Sedangkan asal dari aroma itu
adalah masakan yang sedang dimasak
tetangga kita, tolonglah saya dimintakan apa yang sedang dimasak tetangga kita
itu, sedikit saja”
Karena cintanya kepada istriku , maka kucarilah
sumber dari bau masakan yang aromanya sampai tercium hidung istriku, maka
bertemulah saya dengan orang yang sedang memasak daging, dengan halus saya
menyapa orang itu, sambil kukatakan “ Wahai tetanggaku, daging apakah yang
sedang engkau masak, sehingga membuat istriku ingin mencicipi masakan lezatmu
itu “ tetangga saya , yang sedang memasak itu menjawab “ wahai Mu’afaq, aku
sedang memasak daging Keledai, baunya memang enak dan lezat, tapi ketahuilah
bahwa , masakan ini halal untukku dan keluargaku akan tetapi haram untuk engkau dan istrimu” .Aku kaget
dengan jawaban tetanggaku itu, daging
apakah gerangan yang haram untuk saya dan istri saya , tetapi halal untuk
tetangga saya dan anak-anaknya.
Lalu aku mendesak tetanggaku itu , untuk
menceritakan tentang jawaban , halal untuk dia dan haram untukku, maka
tetanggaku itu mulai bercerita “ Ketahuilah wahai Mu’afaq, semenjak aku
ditinggal mati oleh suamiku, maka aku dan anak-anakku,hidup dalam kemiskinan dan kefaqiran, suatu hari,
anak-anakku menangis karena tidak bisa menahan perutnya yang lapar karena sudah
tiga hari kami tidak mendapatkan makanan, maka kubujuk anak-anakku agar tidur
untuk melupakan rasa laparnya, sementara aku mencari-cari sesuatu untuk dapat
dimakan sebagai pengusir lapar anak-anakku, maka aku melihat bangkai Keledai ,
dengan terpaksa saya mengambil sebagaian daging bangkai Keledai itu, yang kemudian
aku masak , seperti yang engkau lihat ini”.
Aku tertegun, pantaskah aku menyiapkan uang enam
ratus Dirham dan semua bahan makan untuk kugunakan sebagai perbekalanku
menunaikan ibadah haji, sementara tetanggaku, berhari-hari kelaparan,
sampai-sampai memasak daging Keledai yang semestinya haram untuk dimakan, maka
aku bergegas pulang kerumahku, saya ambil seluruh uang dan semua makanan yang
kupersiapkan untuk perbekalanku, dan kuserahkan kepada janda tetanggaku itu,
untuk mencukupi kebutuhannya dan anak-anak yatim yang ada dalam tanggungannya. Mungkin
itulah amalanku sehingga, aku menjadi haji mabrur dalam mimpimu dan membuat engkau mencariku dari tempat yang
jauh.
Saudaraku, semoga cerita ini , dibaca oleh
orang-orang yang berulang kali berhaji dan berumroh, sementara masih banyak
saudara-saudara kita yang hampir saja mati karena kelaparan.
Wa Allahu a’lamu bi Assawab
Salamkanci, 12
Dzulqo’dah 1433
Tidak ada komentar:
Posting Komentar