HAKIKAT TASAWUF
Pendahuluan
Istilah “sufi” atau “tasawuf”
tentu sangat dikenal di kalangan kita,terlebih lagi di kalangan masyarakat
awam, istilah ini sangat diagungkandan selalu diidentikkan dengan kewalian,
kezuhudan dan kesucian jiwa.
Bahkan mayoritas orang awam beranggapan bahwa seseorang tidak akan
bisa mencapai hakikat takwa tanpa melalui jalan tasawuf. Opini ini
diperkuat dengan melihat penampilan lahir yang selalu ditampakkan oleh
orang-orang yang mengaku sebagai ahli tasawuf, berupa pakaian
lusuh dan usang, biji-bijian tasbih yang selalu di tangan dan bibir yang selalu
bergerak melafazkan zikir, yang semua ini semakin menambah keyakinan orang –orang
awam bahwasanya merekalah orang-orang yang benar-benar telah mencapai derajat
wali (kekasih) Allah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebelum kami membahas tentang
hakikat tasawuf yang sebenarnya,
kami ingin mengingatkan kembali bahwa penilaian benar atau
tidaknya
suatu pemahaman bukan cuma dilihat dari pengakuan lisan atau
penampilan lahir semata, akan tetapi yang menjadi barometer adalah
sesuai tidaknya pemahaman tersebut dengan Al Quran dan As Sunnah
menurut apa yang dipahami salafush shalih. Sebagai bukti akan hal
ini kisah khawarij, kelompok yang pertama menyempal dalam islam yang diperangi oleh
para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah pimpinan Ali bin
Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berdasarkan perintah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal kalau kita
melihat pengakuan lisan dan penampilan lahir kelompok khawarij ini maka tidak
akan ada seorang pun yang menduga bahwa mereka menyembunyikan
penyimpangan dan kesesatan yang besar dalam batin mereka,
sebagaimana yang digambarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
beliau menjelaskan ciri-ciri kelompok khawarij ini, beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
“…Mereka (orang-orang khawarij) selalu mengucapkan (secara lahir)
katakata yang baik dan indah, dan mereka selalu membaca Al Quran tapi
(bacaan tersebut) tidak melampaui tenggorokan mereka (tidak masuk
ke
dalam hati mereka)…” (HSR Imam Muslim 7/175 – Syarh An Nawawi,
cet.
Darul Qalam, dari ‘Ali bin Abi Thalib rodhiallahu ‘anhu).
Dan dalam riwayat yang lain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“…Bacaan Al Quran kalian (wahai para sahabatku) tidak ada artinya
jika
dibandingkan dengan bacaan Al Quran mereka, (demikian pula) shalat
kalian tidak ada artinya jika dibandingkan dengan shalat mereka,
(demikian pula) puasa kalian tidak ada artinya jika dibandingkan
dengan
puasa mereka.” (HSR Imam Muslim 7/175 – Syarh An Nawawi, cet.
Darul
Qalam, dari ‘Ali bin Abi Thalib rodhiallahu ‘anhu)
Maka pada hadits yang pertama Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjelaskan tentang ciri-ciri mereka yang selalu mengucapkan
kata-kata
yang baik dan indah tapi cuma di mulut saja dan tidak masuk ke
dalam hati mereka, dan pada hadits yang ke dua Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam menerangkan tentang penampilan lahir mereka yang selalu mereka
tampakkan untuk memperdaya manusia, yaitu kesungguhan dalam beribadah
yang bahkan sampai kelihatannya melebihi kesungguhan para
Sahabat radhiallahu ‘anhum dalam beribadah (karena memang para Sahabat
radhiallahu ‘anhum berusaha keras untuk menyembunyikan ibadah mereka karena
takut tertimpa riya).
Yang kemudian prinsip ini diterapkan dengan benar oleh Ali bin Abi
Thalib radhiallahu ‘anhu, sahabat yang meriwayatkan hadits di atas,tatkala
kelompok khawarij keluar untuk memberontak dengan satu slogan yang mereka
elu-elukan: “Tidak ada hukum selain hukum Allah ‘Azza wa Jalla .” Maka Ali bin
Abi Thalib radhiallahu ‘anhu menanggapi slogan tersebut dengan ucapan beliau
radhiallahu ‘anhu yang sangat masyhur -yang seharusnya kita jadikan sebagai
pedoman dalam menilai suatu pemahaman- yaitu ucapan beliau radhiallahu ‘anhu:
“(slogan mereka itu)
adalah kalimat (yang nampaknya) benar tetapi dimaksudkan untuk kebatilan.”
Semoga Allah ‘Azza wa Jalla
merahmati Imam Abu Muhammad Al arbahari yang mengikrarkan prinsip ini dalam
kitabnya Syarhus Sunnah
dengan ucapan beliau : “Perhatikan dan cermatilah –semoga Allah
‘Azza wa Jalla merahmatimu- semua orang yang menyampaikan satu ucapan/pemahaman
di hadapanmu, maka jangan sekali-kali kamu terburuburu untuk membenarkan dan
mengikuti ucapan/pemahaman tersebut,sampai kamu tanyakan dan meneliti kembali:
Apakah ucapan/pemahaman tersebut pernah disampaikan oleh para sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam radhiallahu ‘anhum atau pernah
disampaikan oleh ulama Ahlusunnah? Kalau kamu dapati ucapan/pemahaman tersebut
sesuai dengan pemahaman mereka radhiallahu ‘anhu berpegang teguhlah kamu dengan
ucapan/pemahaman tersebut, dan janganlah (sekali-kali) kamu meninggalkannya dan
memilih pemahaman lain, sehingga (akibatnya) kamu akan terjerumus ke dalam
neraka!” (Syarhus Sunnah, tulisan Imam Al Barbahari hal.61, tahqiq Syaikh
Khalid Ar Radadi).
Setelah prinsip di atas jelas,
sekarang kami akan membahas tentang
hakikat tasawuf, agar kita bisa melihat dan menilai dengan jelas
benar atau tidaknya ajaran tasawuf ini.
finisi Tasawuf/Sufi
Kata “Shufi” berasal dari bahasa Yunani “Shufiya” yang artinya:
hikmah. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa kata ini merupakan
penisbatan kepada pakaian dari kain “Shuf” (kain wol) dan pendapat
ini
lebih sesuai karena pakaian wol di zaman dulu selalu diidentikkan
dengan
sifat zuhud, Ada juga yang mengatakan bahwa memakai pakaian wol
dimaksudkan untuk bertasyabbuh (menyerupai) Nabi ‘Isa Al Masih
‘alaihi
sallam (Lihat kitab kecil “Haqiqat Ash Shufiyyah Fii Dhau’il Kitab
was Sunnah” (hal.13), tulisan Syaikh DR. Muhammad bin Rabi’ Al Madkhali).
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Ada perbedaan pendapat dalam
penisbatan kata “Shufi”, karena kata ini termasuk nama yang menunjukkan
penisbatan, seperti kata “Al Qurasyi” (yang artinya:
penisbatan kepada suku Quraisy), dan kata “Al Madani” (artinya:
penisbatan kepada kota Madinah) dan yang semisalnya.
Ada yang mengatakan: “Shufi” adalah nisbat kepada Ahlush Shuffah (Ash
Shuffah adalah semacam teras yang bersambung dengan mesjid Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang dulu dijadikan tempat tinggal
sementara oleh beberapa orang sahabat Muhajirin radhiallahu ‘anhum
yang miskin, karena mereka tidak memiliki harta, tempat tinggal dan keluarga di
Madinah, maka Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan mereka tinggal
sementara di teras tersebut sampai mereka memiliki tempat tinggal tetap dan
penghidupan yang cukup. Lihat kitab Taqdis Al Asykhash tulisan Syaikh Muhammad
Ahmad Lauh 1/34, -pen), tapi pendapat ini (jelas) salah, karena kalau benar
demikian maka mestinya pengucapannya adalah:
“Shuffi” (dengan huruf fa’ yang didobel).
Ada juga yang mengatakan nisbat kepada “Ash Shaff” (barisan) yang
terdepan di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla , pendapat ini pun salah,
karena
kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah “Shaffi”
(dengan harakat fathah pada huruf “shad” dan huruf “fa’” yang
didobel.
Ada juga yang mengatakan nisbat kepada “Ash Shafwah” (orang-orang
terpilih) dari semua makhluk Allah ‘Azza wa Jalla , dan pendapat
ini pun
salah karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya
adalah:“Shafawi”.
Ada juga yang mengatakan nisbat kepada (seorang yang bernama)
Shufah bin Bisyr bin Udd bin Bisyr bin Thabikhah, satu suku dari
bangsa
Arab yang di zaman dulu (zaman jahiliah) pernah bertempat tinggal
di
dekat Ka’bah di Mekkah, yang kemudian orang-orang yang ahli nusuk
(ibadah) setelah mereka dinisbatkan kepada mereka, pendapat ini
juga
lemah meskipun lafadznya sesuai jika ditinjau dari segi
penisbatan, karena
suku ini tidak populer dan tidak dikenal oleh kebanyakan
orang-orang ahli
ibadah, dan kalau seandainya orang-orang ahli ibadah dinisbatkan
kepada
mereka maka mestinya penisbatan ini lebih utama di zaman para
sahabat,
para tabi’in dan tabi’it tabi’in, dan juga karena mayoritas
orang-orang yang
berbicara atas nama shufi tidak mengenal qabilah (suku) ini dan
tidak ridha dirinya dinisbatkan kepada suatu suku yang ada di zaman jahiliyah
yang tidak ada eksistensinya dalam islam. Ada juga yang mengatakan –dan pendapat
inilah yang lebih dikenal- nisbat kepada “Ash Shuf” (kain wol).” (Majmu’ul
Fatawa 11/5-6).
Tasawuf adalah istilah yang sama
sekali tidak dikenal di zaman para
sahabat radhiallahu ‘anhum bahkan tidak dikenal di zaman tiga
generasi
yang utama (generasi sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in). Ajaran
ini baru
muncul sesudah zaman tiga generasi ini. (Lihat Haqiqat Ash
Shufiyyah hal.14).
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, “Adapun lafazh “Shufiyyah”,
lafazh ini tidak dikenal di kalangan tiga generasi yang utama. Lafazh ini baru
dikenal dan dibicarakan setelah tiga generasi tersebut, dan telah dinukil dari
beberapa orang imam dan syaikh yang membicarakan lafazh ini,seperti Imam Ahmad
bin Hambal, Abu Sulaiman Ad Darani dan yang lainnya,dan juga diriwayatkan dari
Sufyan Ats Tsauri bahwasanya beliau
membicarakan lafazh ini, dan ada juga yang meriwayatkan dari Hasan
Al
Bashri.” (Majmu’ Al Fatawa 11/5).
Kemudian Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwasanya ajaran ini pertama
kali muncul di kota Bashrah, Iraq, yang dimulai dengan timbulnya sikap
berlebih-lebihan dalam zuhud dan ibadah yang tidak terdapat di kotakota
(islam) lainnya. (Majmu’ Al Fatawa 11/6).
Berkata Imam Ibnu Al Jauzi: “Tasawuf adalah suatu aliran yang lahirnya
diawali dengan sifat zuhud secara keseluruhan, kemudian orang -orang
yang menisbatkan diri kepada aliran ini mulai mencari kelonggaran dengan
mendengarkan nyanyian dan melakukan tari-tarian, sehingga orang-orang awam yang
cenderung kepada akhirat tertarik kepada mereka karena mereka menampakkan sifat
zuhud, dan orang-orang yang cinta dunia pun tertarik kepada mereka karena melihat
gaya hidup yang suka bersenang-senang dan bermain pada diri mereka.” (Talbis
Iblis hal 161).
Dan berkata DR. Shabir Tha’imah dalam kitabnya Ash Shufiyyah Mu’taqadan
Wa Maslakan (hal. 17): “Dan jelas sekali besarnya pengaruh
gaya hidup kependetaan Nasrani -yang mereka selalu memakai pakaian
wol ketika mereka berada di dalam biara-biara- pada orang-orang yang
memusatkan diri pada kegiatan ajaran tasawuf ini di seluruh
penjuru dunia, padahal Islam telah membebaskan dunia ini dengan tauhid, yang
mana gaya hidup ini dan lainnya memberikan suatu pengaruh yang sangat jelas
pada tingkah laku para pendahulu ahli tasawuf.” (Dinukil oleh Syaikh Shalih Al Fauzan
dalam kitabnya “Haqiqat At Tashawuf” hal. 13).
Dan berkata Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir dalam kitab beliau At Tashawuf,
Al Mansya’ wa Al Mashdar hal. 28: “Ketika kita mengamati lebih dalam
ajaran-ajaran tasawuf yang dulu maupun yang sekarang dan ucapanucapan mereka,
yang dinukil dan diriwayatkan dalam kitab-kitab tasawuf yang dulu maupun
sekarang, kita akan melihat suatu perbedaan yang sangat jelas antara ajaran
tersebut dengan ajaran Al Quran dan As Sunnah.
Dan sama sekali tidak pernah kita dapati bibit dan cikal bakal
ajaran tasawuf ini dalam perjalanan sejarah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan para sahabat beliau radhiallahu ‘anhum yang mulia,
orangorang yang terbaik dan pilihan dari hamba-hamba Allah ‘Azza wa Jalla , bahkan
justru sebaliknya kita dapati ajaran tasawuf ini diambil dan
dipungut dari kependetaan model Nasrani, dari kebrahmanaan model agama
Hindu, peribadatan model Yahudi dan kezuhudan model agama
Budha.” (Dinukil oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya
“Haqiqat At
Tashawuf” hal. 14).
Dari keterangan yang kami
nukilkan di atas, jelaslah bahwa tasawuf adalah ajaran yang menyusup ke dalam
Islam, hal ini terlihat jelas pada
amalan-amalan yang dilakukan oleh orang-orang ahli tasawuf,
amalanamalan asing dan jauh dari petunjuk islam. Dan yang kami maksudkan di sini
adalah orang-orang ahli tasawuf zaman sekarang, yang banyak melakukan kesesatan
dan kebohongan dalam agama, adapun ahli tasawuf yang terdahulu keadaan mereka
masih lumayan, seperti Fudhail bin ‘Iyadh, Al Junaid, Ibrahim bin Adham dan
lain-lain. (Lihat kitab Haqiqat At Tashawwuf tulisan Syaikh Shalih Al Fauzan
hal. 15).
ns-Prinsip Dasar Ajaran Tasawuf yang Menyimpang dari
etunjuk Al Quran dan As Sunnah1
Orang-orang ahli tasawuf
–khususnya yang ada di zaman sekarangmempunyai prinsip dasar dan metode khusus
dalam memahami dan menjalankan agama ini, yang sangat bertentangan dengan
prinsip dan metode Ahlusunnah wal Jamaah, dan menyimpang sangat jauh dari Al Quran
dan As Sunnah. Mereka membangun keyakinan dan tata cara
peribadatan mereka di atas simbol-simbol dan istilah-ist ilah yang
mereka
ciptakan sendiri, yang dapat kita simpulkan sebagai berikut:
Pertama, mereka membatasi ibadah hanya pada aspek Mahabbah (kecintaan)
saja dan mengenyampingkan aspek-aspek yang lainnya, seperti aspek Khauf (rasa
takut) dan Raja’ (harapan), sebagaimana yang terlihat dalam ucapan beberapa
orang ahli tasawuf, “Aku beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla bukan karena aku
mengharapkan masuk surga dan juga bukan karena takut masuk neraka!?” Memang
benar bahwa aspek Mahabbah adalah landasan berdirinya ibadah, akan tetapi
ibadah itu tidak hanya terbatas pada aspek Mahabbah saja –sebagaimana yang
disangka oleh orang-orang ahli tasawuf–, karena ibadah itu memiliki banyak
jenis dan aspek yang melandasinya selain aspek Mahabbah, seperti aspek
khauf,raja’, dzull (penghinaan diri), khudhu’ (ketundukkan), doa dan
aspek-aspek lain.
Salah seorang ulama Salaf
berkata: “Barang siapa yang beribadah
kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan kecintaan semata maka dia
adalah
seorang zindiq, dan barang siapa yang beribadah kepada Allah
dengan
pengharapan semata maka dia adalah seorang Murji’ah, dan barang
siapa
yang beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan ketakutan semata
maka dia adalah seorang Haruriyyah (Khawarij), dan barang siapa
yang
beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan kecintaan, ketakutan
dan
pengharapan maka dialah seorang mukmin sejati dan muwahhid (orang
yang bertauhid dengan benar).” Oleh karena itu Allah ‘Azza wa
Jalla
memuji sifat para Nabi dan Rasul-Nya, yang mereka senantiasa
berdoa
kepada-Nya dengan perasaan takut dan berharap, dan mereka adalah
orang-orang yang selalu mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan
siksaan-Nya.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Kebanyakan orang-orang yang
menyimpang (dari jalan Allah), orang-orang yang mengikuti ajaranajaran
bid’ah berupa sikap zuhud dan ibadah-ibadah yang tidak dilandasi ilmu
dan tidak sesuai dengan petunjuk dari Al Quran dan As Sunnah,mereka terjerumus
ke dalam kesesatan seperti yang terjadi pada orang-orang Nasrani yang
mengaku-ngaku mencintai Allah, yang bersamaan dengan itu mereka menyimpang dari
syariat-Nya dan enggan untuk bermujahadah (bersungguh-sungguh) dalam
menjalankan agama-Nya, dan penyimpangan-penyimpangan lainnya.” (Kitab Al
‘Ubudiyyah, tulisan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah [hal. 90], cet. Darul Ifta’,
Riyadh).
Dari uraian di atas jelaslah bahwa membatasi ibadah hanya pada
aspek Mahabbah saja tidaklah disebut ibadah, bahkan ajaran ini
bisa
menjerumuskan penganutnya ke jurang kesesatan bahkan menyebabkan
dia keluar dari agama islam.
Kedua, orang-orang ahli tasawuf umumnya dalam menjalankan
agama dan melaksanakan ibadah tidak berpedoman kepada Al Quran dan
As Sunnah, tapi yang mereka jadikan pedoman adalah bisikan jiwa dan
perasaan mereka dan ajaran yang digariskan oleh pimpinan-pimpinan
mereka, berupa thariqat-thariqat bid’ah, berbagai macam zikir dan
wirid
yang mereka ciptakan sendiri, dan tidak jarang mereka mengambil
pedoman dari cerita-cerita (yang tidak jelas kebenarannya),
mimpi-mimpi,
bahkan hadits-hadits yang palsu untuk membenarkan ajaran dan
keyakinan mereka. Inilah landasan ibadah dan keyakinan ajaran Tasawuf.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Orang-orang ahli Tasawuf
dalam beragama dan mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla
berpegang teguh pada suatu pedoman seperti pedoman yang dipegang
olehorang-orang Nasrani, yaitu ucapan-ucapan yang tidak jelas maknanya, dan cerita-cerita
yang bersumber dari orang yang tidak dikenal kejujurannya,kalaupun ternyata
orang tersebut jujur, tetap saja dia bukan seorang (Nabi/Rasul) yang terjaga
dari kesalahan, maka (demikian pula yang dilakukan orang-orang ahli Tasawuf)
mereka menjadikan para pemimpin dan guru mereka sebagai penentu/pembuat syariat
agama bagi mereka,sebagaimana orang-orang Nasrani menjadikan para pendeta dan
rahib mereka sebagai penentu/pembuat syariat agama bagi mereka.”
Ketiga, termasuk doktrin ajaran Tasawuf adalah keharusan berpegang
teguh dan menetapi zikir -zikir dan wirid-wirid yang ditentukan dan diciptakan
oleh guru-guru thariqat mereka, yang kemudian mereka menetapi dan mencukupkan
diri dengan zikir-zikir tersebut, beribadah dan
mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan selalu
membacanya, bahkan tidak jarang mereka mengklaim bahwa membaca zikir-zikir
tersebut lebih utama daripada membaca Al
Quran, dan mereka menamakannya dengan “zikirnya orang-orang khusus.”
Adapun zikir-zikir yang tercantum dalam Al Quran dan As Sunnah mereka
namakan dengan “zikirnya orang-orang umum”, maka kalimat (Laa Ilaha Illallah)
menurut mereka adalah “zikirnya orang-orang umum”,
adapun “zikirnya orang-orang khusus” adalah kata tunggal “Allah”
dan
“zikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus” adalah kata
(Huwa/Dia).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Barang siapa yang
menyangka
bahwa kalimat (Laa Ilaha Illallah) adalah zikirnya orang-orang
umum, dan
zikirnya orang-orang khusus adalah kata tunggal “Allah”, serta
zikirnya
orang-orang khusus yang lebih khusus adalah kata ganti (Huwa/Dia),
maka dia adalah orang yang sesat dan menyesatkan. Di antara mereka ada yang berdalil
untuk membenarkan hal ini, dengan firman Allah ‘Azza wa Jalla :
“Katakan: Allah (yang menurunkannya), kemudian (sesudah kamu
menyampaikan Al Quran kepada mereka), biarkanlah mereka
bermain-main dalam kesesatannya.” (QS. Al An’aam: 91)
(Berdalil dengan cara seperti ini) adalah kesalahan yang paling
nyata
yang dilakukan oleh orang-orang ahli Tasawuf, bahkan ini termasuk
menyelewengkan ayat Al Quran dari maknanya yang sebenarnya, karena
sesungguhnya kata “Allah” dalam ayat ini disebutkan dalam kalimat
perintah untuk menjawab pertanyaan sebelumnya, yaitu yang Allah
‘Azza
wa Jalla dalam firman-Nya:
“Katakanlah: Siapakah yang
menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh
Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab
itu
lembaran-lembaran kertas yang terpisah-pisah, kamu perlihatkan
(sebagiannya) dan kamu sembunyikan sebagian besarnya, padahal
telah
diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapakmu tidak
mengetahuinya? Katakanlah: Allah (yang menurunkannya).” (QS. Al
An’aam: 91)
Jadi maknanya yang benar adalah: “Katakanlah: Allah, Dialah yang
menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Nabi Musa shallallahu
‘alaihi
wa sallam.” (Kitab Al ‘Ubudiyyah hal. 117).
Keempat, sikap Ghuluw (berlebih-lebihan/ekstrem) orang-orang ahli
Tasawuf terhadap orang-orang yang mereka anggap wali dan guru-guru
thariqat mereka, yang bertentangan dengan aqidah Ahlusunnah wal
Jamaah, karena di antara prinsip aqidah Ahlusunnah wal Jamaah
adalah
berwala (mencintai/berloyalitas) kepada orang-orang yang dicintai
Allah
‘Azza wa Jalla dan membenci musuh-musuh Allah ‘Azza wa Jalla .
Allah
‘Azza wa Jalla berfirman:“Sesungguhnya wali (kekasih/penolongmu)
hanyalah Allah, Rasul-Nya dan
orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan
zakat,
seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (QS. Al Maaidah: 55)
Dan Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman
setia.” (QS. Al Mumtahanah: 1)
Wali (kekasih) Allah ‘Azza wa Jalla adalah orang-orang yang
beriman
dan bertakwa, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya
mereka tunduk (kepada Allah ‘Azza wa Jalla ). Dan merupakan
kewajiban
kita untuk mencintai, menghormati dan meneladani mereka. Dan perlu
ditegaskan di sini bahwa derajat kewalian itu tidak hanya
dikhususkan pada orang-orang tertentu, bahkan setiap orang yang beriman dan
bertakwa dia adalah wali (kekasih) Allah ‘Azza wa Jalla , akan tetapi kedudukan
sebagaiwali Allah ‘Azza wa Jalla tidaklah menjadikan seseorang terjaga dari kesalahan
dan kekhilafan. Inilah makna wali dan kewalian, dan kewajiban kita terhadap
mereka, menurut pemahaman Ahlusunnah wal Jamaah.
Adapun makna wali menurut orang-orang ahli Tasawuf sangat berbeda
dengan pemahaman Ahlusunnah wal Jama’ah, karena orang-orang
ahli Tasawuf memiliki beberapa kriteria dan pertimbangan tertentu
(yang
bertentangan dengan petunjuk Al Quran dan As Sunnah) dalam masalah
ini,sehingga mereka menobatkan derajat kewalian hanya kepada orang-orang tertentu
tanpa dilandasi dalil dari syariat yang menunjukkan kewalian orang-orang
tersebut. Bahkan tidak jarang mereka menobatkan derajat kewalian kepada orang
yang tidak dikenal keimanan dan ketakwaannya,bahkan kepada orang yang dikenal
punya penyimpangan dalam keimanannya, seperti orang yang melakukan praktek
perdukunan, sihir dan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah ‘Azza wa
Jalla . Dan terkadang mereka menganggap bahwa kedudukan orang-orang yang mereka
anggap sebagai “wali” melebihi kedudukan para Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sebagaimana ucapan salah seorang dari mereka:
Kedudukan para Nabi di alam Barzakh Sedikit di atas kedudukan
Rasul, dan di bawah kedudukan wali Orang-orang ahli Tasawuf juga berkata,
“Sesungguhnya para wali mengambil (agama mereka langsung) dari sumber tempat
Malaikat Jibril shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil wahyu yang disampaikan
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ?!” Dan mereka juga menganggap bahwa
wali-wali mereka itu terjaga dari kesalahan?!
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “…Kamu akan dapati mayoritas
orang-orang ahli Tasawuf menobatkan seseorang sebagai “wali” hanya dikarenakan
orang tersebut mampu menyingkap tabir dalam suatu masalah, atau orang tersebut
melakukan sesuatu yang di luar kemampuan manusia, seperti menunjuk kepada
seseorang kemudian orang itu mati, terbang di udara menuju ke Mekkah atau
tempat-tempat lainnya,terkadang berjalan di atas air, mengisi teko dari udara
dengan air sampai penuh, ketika ada orang yang meminta pertolongan kepadanya
dari tempat yang jauh atau setelah dia mati, maka orang itu melihatnya datang
dan menunaikan kebutuhannya, memberitahu tempat barang-barang yang dicuri,
memberitakan hal-hal yang gaib (tidak nampak), atau orang yang sakit dan yang semisalnya.
Padahal kemampuan melakukan hal-hal ini sama sekali t idaklah
menunjukkan bahwa pelakunya adalah wali Allah ‘Azza wa Jalla .
Bahkan
orang-orang yang beriman dan bertakwa sepakat dan sependapat
mengatakan bahwa jika ada orang yang mampu terbang di udara atau
berjalan di atas air, maka kita tidak boleh terperdaya dengan
penampilan
tersebut sampai kita melihat apakah perbuatannya sesuai dengan
Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? apakah orang tersebut
selalu
menaati perintah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi
larangannya? (Oleh karena itulah kita tidak pernah mendengar ada
seorang muslim pun yang menganggap bahwa Superman dan Gatotkaca adalah wali-wali
Allah, padahal mereka ini (katanya) bisa terbang di udara?! –pen)
…karena hal-hal yang di luar kemampuan manusia ini bisa dilakukan
oleh
banyak orang kafir, musyrik, ahli kitab dan orang munafik, dan
bisa
dilakukan oleh para pelaku bid’ah dengan bantuan setan/jin, maka
sama
sekali tidak boleh dianggap bahwa setiap orang yang mampu
melakukan
hal-hal di atas adalah wali Allah.” (Majmu’ Al Fatawa 11/215).
Kemudian ternyata kesesatan orang-orang ahli tasawuf tidak sampai
di sini saja, karena sikap mereka yang berlebih-lebihan dan
melampaui
batas dalam mengagungkan orang-orang yang mereka anggap sebagai
“wali”, sampai-sampai mereka menganggap “para wali” tersebut
memiliki
sifat-sifat ketuhanan, seperti menentukan kejadian-kejadian di
alam
semesta ini, mengetahui hal-hal yang gaib, memenuhi kebutuhan
orang-orang yang meminta pertolongan kepada mereka dalam perkara-perkara
yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh Allah ‘Azza wa Jalla dan
sifatsifat ketuhanan lainnya. Kemudian sikap berlebih-lebihan ini
menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan syirik dengan menjadikan
“para wali” tersebut sebagai sesembahan selain Allah ‘Azza wa
Jalla ,
dengan membangun kuburan “para wali” tersebut, meyakini adanya
keberkahan pada tanah kuburan tersebut, melakukan berbagai macam
kegiatan ibadah padanya, seperti thawaf dengan mengelilingi
kuburan
tersebut, bernazar dengan maksud mendekatkan diri kepada penghuni
kubur dan perbuatan-perbuatan syirik lainnya.
Kelima, termasuk doktrin ajaran Tasawuf yang sesat adalah mendekatkan
diri (?) kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan nyanyian, tarian, tabuhan rebana
dan bertepuk tangan, yang semua ini mereka anggap sebagai amalan ibadah kepada
Allah ‘Azza wa Jalla . DR. Shabir Tha’imah
berkata dalam kitabnya Ash Shufiyyah, Mu’taqadan wa Masakan, “Saat
ini
tarian sufi modern telah dipraktekkan pada mayoritas
thariqat-thariqat
sufiyyah dalam pesta-pesta perayaan ulang tahun beberapa tokoh
mereka,dimana para pengikut thariqat berkumpul untuk mendengarkan nada-nada musik
yang terkadang didendangkan oleh lebih dari dua ratus pemain musik pria dan
wanita, sedangkan para murid senior dalam pesta ini duduk sambil mengisap
berbagai jenis rokok, dan para tokoh senior beserta para pengikutnya membacakan
beberapa kisah khurafat (bohong) yang terjadi pada sang tokoh yang telah
meninggal dunia…”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “…Ketahuilah bahwa
perbuatan orang-orang ahli tasawuf ini sama sekali tidak pernah
dilakukan
di awal tiga generasi yang utama di semua negeri islam: Hijaz,
Syam,
Yaman, Mesir, Magrib, Irak, dan Khurasan. Orang-orang yang shalih,
taat
beragama dan rajin beribadah pada masa itu tidak pernah berkumpul
untuk mendengarkan siulan (yang berisi lantunan musik), tepukan tangan,
tabuhan rebana dan ketukan tongkat (seperti yang dilakukan oleh
orang-orang ahli tasawuf), perbuatan ini adalah perkara yang diada-adakan
(bid’ah) yang muncul di penghujung abad kedua, dan ketika para
Imam
Ahlusunnah melihat perbuatan ini mereka langsung mengingkarinya,
(sampai-sampai) Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata: “Aku
tinggalkan
Baghdad, dan di sana ada suatu perbuatan yang diada-adakan oleh
orang-orang zindiq (munafik tulen) yang mereka namakan At Taghbir2, yang mereka jadikan senjata untuk
menjauhkan kaum muslimin dari Al Quran.”
Dan Imam Yazid bin Harun berkata: “Orang yang mendendangkan At
Taghbir tidak lain adalah orang fasik, kapan munculnya perbuatan
ini?”
Imam Ahmad ketika ditanya (tentang perbuatan ini), beliau menjawab,
“Aku tidak menyukainya (karena) perbuatan ini adalah bid’ah”, maka beliau
ditanya lagi: “Apakah anda mau duduk bersama orang-orang
yang melakukan perbuatan ini?” Beliau menjawab, “Tidak.” Demikian
pula
Imam-Imam besar lainnya mereka semua tidak menyukai perbuatan ini.
Dan para Syaikh (ulama) yang Shalih tidak ada yang mau menghadiri
(menyaksikan) perbuatan ini, seperti: Ibrahim bin Adham, Fudhail
bin
‘Iyadh, Ma’ruf Al Karkhi, Abu Sulaiman Ad Darani, Ahmad bin Abil
Hawari,
As Sariy As Saqti dan syaikh-syaikh lainnya.” (Majmu’ Al Fatawa
11/569).
Maka orang-orang ahli Tasawuf
yang mendekatkan diri (?) kepada
Allah ‘Azza wa Jalla dengan cara-cara seperti ini, adalah tepat
jika
dikatakan bahwa mereka itu seperti orang-orang (penghuni Neraka)
yang
dicela oleh Allah ‘Azza wa Jalla
Keenam, juga termasuk doktrin ajaran tasawuf yang sesat adalah
apa yang mereka namakan sebagai suatu keadaan/tingkatan yang jika
seseorang telah mencapainya maka dia akan terlepas dari kewajiban
melaksanakan syariat Islam. Keyakinan ini muncul sebagai hasil
dari
perkembangan ajaran tasawuf, karena asal mula ajaran tasawuf –
sebagaimana yang diterangkan oleh Ibnul Jauzi- adalah melatih jiwa
dan
menundukkan watak dengan berupaya memalingankannya dari akhlak-akhlak
yang jelek dan membawanya pada akhlak-akhlak yang baik, seperti sifat zuhud,
tenang, sabar, ikhlas dan jujur.
Kemudian Ibnul Jauzi mengatakan: “Inilah asal mula ajaran tasawuf
yang dipraktekkan oleh pendahulu-pendahulu mereka, kemudian Iblis
mulai memalingkan dan menyesatkan mereka dari generasi ke generasi
berikutnya dengan berbagai macam syubhat (kerancuan) dan talbis
(pencampuradukan), kemudian penyimpangan ini terus bertambah
sehingga Iblis berhasil dengan baik menguasai generasi belakangan dari
orang-orang ahli tasawuf. Pada mulanya, dasar upaya penyesatan yang diterapkan
oleh Iblis kepada mereka adalah memalingkan mereka dari (mempelajari) ilmu agama
dan mengesankan kepada mereka bahwa tujuan utama adalah (semata-semata) beramal
(tanpa perlu ilmu), dan ketika Iblis telah berhasil memadamkan cahaya ilmu
dalam diri mereka, mulailah mereka berjalan tanpa petunjuk dalam
kegelapan/kesesatan, maka di antara mereka ada yang dikesankan padanya bahwa
tujuan utama (ibadah) adalah meninggalkan urusan dunia secara keseluruhan,
sampai-sampai mereka meninggalkan apa-apa yang dibutuhkan oleh tubuh mereka,
bahkan mereka menyerupakan harta dengan kalajengking, dan mereka lupa bahwa
Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan harta bagi manusia untuk kemaslahatan mereka,
kemudian mereka bersikap berlebih-lebihan dalam menyiksa diri-diri mereka,
sampai-sampai ada di antara mereka yang tidak pernah tidur (sama sekali).
Meskipun niat mereka baik (sewaktu melakukan perbuatan ini), akan
tetapi (perbuatan yang mereka lakukan) menyimpang dari jalan yang
benar. Di antara mereka juga ada yang beramal berdasarkan
hadits-hadits
yang palsu tanpa disadarinya karena dangkalnya ilmu agama.
Kemudian
datanglah generasi-generasi setelah mereka yang mulai membicarakan
(keutamaan) lapar, miskin dan bisikan-bisikan jiwa, bahkan mereka
menulis kitab-kitab (khusus) tentang masalah ini, seperti (tokoh sufi yang
bernama) Al Harits Al Muhasibi.
Lalu datang generasi selanjutnya yang mulai merangkum dan menghimpun
mazhab/ajaran tasawuf dan mengkhususkannya dengan sifatsifat khusus, seperti Ma’rifah
(mengenal Allah dengan sebenarnya)(??!),
Sama’ (mendengarkan nyanyian dan lantunan musik), Wajd (bisikan
jiwa),
Raqsh (tari-tarian) dan Tashfiq (tepukan tangan), kemudian ajaran
tasawuf
terus berkembang dan para guru thariqat mulai membuat aturan-aturan
khusus bagi mereka dan membicarakan (membangga-banggakan)
kedudukan mereka (orang-orang ahli tasawuf), sehingga (semakin lama mereka semakin
jauh dari petunjuk) para ulama Ahlusunnah, dan mereka mulai memandang tinggi
ajaran dan ilmu mereka (ilmu tasawuf), sampai-sampai mereka namakan ilmu
tersebut dengan ilmu batin dan mereka menganggap ilmu syari’at sebagai ilmu
lahir??!
Dan di antara mereka karena rasa lapar yang sangat hingga membawa
mereka kepada khayalan-khayalan yang rusak dan mengaku-ngaku jatuh cinta dan
kasmaran kepada Al Haq (Allah ‘Azza wa Jalla ), (padahal yang) mereka lihat
dalam khayalan mereka adalah seseorang yang rupanya menawan yang kemudian
membuat mereka jatuh cinta berat (lalu mereka mengaku-ngaku bahwa yang mereka
cintai itu adalah Allah ‘Azza wa Jalla ). Maka mereka ini (terombang-ambing) di
antara kekufuran dan bid’ah, kemudian semakin banyak jalan-jalan sesat yang
mereka ikuti sehingga menyebabkan rusaknya akidah mereka, maka di antara mereka
ada yang menganut keyakinan Al Hulul, juga ada yang menganut keyakinanWihdatul
Wujud, dan terus-menerus Iblis menyesatkan mereka dengan berbagai bentuk bid’ah
(penyimpangan) sehingga mereka menjadikan untuk diri-diri mereka sendiri tata
cara beribadah yang khusus (yang berbeda dengan tata cara beribadah yang Allah
‘Azza wa Jalla syar i’atkan dalam agama islam).” (Kitab Talbis Iblis, tulisan
Ibnul Jauzi hal. 157-158).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
ketika beliau ditanya tentang sekelompok orang yang mengatakan bahwa diri
mereka telah mencapai tingkatan bebas dari kewajiban melaksanakan syariat, maka
beliau menjawab: “Tidak diragukan lagi –menurut pandangan orang-orang yang berilmu
dan orang-orang yang beriman– bahwa ucapan ini adalah termasuk kekufuran yang
paling besar, bahkan ucapan ini lebih buruk daripada ucapan orang-orang Yahudi
dan Nasrani, karena orang-orang Yahudi dan Nasrani mereka mengimani sebagian
(isi) kitab suci mereka dan mengingkari sebagian lainnya, dan mereka itulah
orang-orang kafir yang sebenarnya, dan mereka juga membenarkan perintah dan
larangan Allah ‘Azza wa Jalla , meyakini janji dan ancaman-Nya…
Kesimpulannya: Bahwa Orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berpegang
pada ajaran agama mereka yang telah dihapus (dengan datangnya agama islam) dan
telah mengalami perubahan dan rekayasa, mereka ini lebih baik (keadaannya)
dibandingkan orang-orang yang menyangka bahwa mereka telah bebas dari kewajiban
melaksanakan perintah Allah ‘Azza wa Jalla secara keseluruhan, karena dengan keyakinan
tersebut berarti mereka telah keluar dari ajaran semua kitab suci, semua
syariat dan semua agama, mereka sama sekali tidak berpegang kepada perintah dan
larangan Allah ‘Azza wa Jalla , bahkan mereka lebih buruk dari orang-orang
musyrik yang masih berpegang kepada sebagian dari ajaran agama yang terdahulu,
seperti orang-orang musyrik bangsa Arab yang masih berpegang pada sebagian dari
ajaran agama nabi Ibrahim ‘alaihi salam… Dan di antara mereka ada yang
berargumentasi (untuk membenarkan keyakinan tersebut) dengan firman Allah ‘Azza
wa Jalla :
“Sembahlah Rabbmu sampai
datang kepadamu sesuatu yang diyakini
(kematian)” (QS. Al Hijr: 99)
Mereka berkata makna ayat di atas adalah, “Sembahlah Rabbmu sampai
kamu (mencapai tingkatan) ilmu dan ma’rifat, dan jika kamu telah mencapainya
maka gugurlah (kewajiban melaksanakan) ibadah atas dirimu…” (pada hakikatnya)
ayat ini justru menyanggah (keyakinan) mereka dan tidak membenarkannya. Hasan
Al Bashri berkata: “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan bagi amalan orang-orang
yang beriman batas akhir kecuali kematian, kemudian Hasan Al Bashri membaca
ayat tersebut di atas. Dan makna “Al Yaqin” dalam ayat tersebut adalah “Al
Maut” (kematian) dan peristwa-peristiwa sesudahnya, (dan makna ini) berdasarkan
kesepakatan semua ulama Islam, seperti yang juga Allah ‘Azza wa Jalla sebutkan
dalam Firman-Nya:
“Apa yang menyebabkan kamu
(wahai orang-orang kafir) masuk ke dalam Saqar (neraka)?, mereka menjawab: Kami
dahulu (di dunia) tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami
tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan kami ikut membicarakan yang bathil
bersama orang-orang yang membicarakannya, dan kami mendustakan hari pembalasan,
hingga datanglah pada kami sesuatu yang diyakini
(kematian).” (QS. Al Muddatstsir: 42-47)
Maka (dalam ayat ini) mereka (orang-orang kafir) menyebutkan (bahwa
telah sampai kepada mereka Al Yaqin/kematian) padahal mereka termasuk penghuni
neraka, dan mereka ceritakan perbuatan-perbuatan
mereka (yang menyebabkan mereka masuk ke dalam neraka):
meninggalkan shalat dan zakat , mendustakan hari kemudian, membicarakan yang
batil bersama orang-orang yang membicarakannya, sampai datang pada mereka Al
Yaqin (kematian)…yang maksudnya adalah: datang kepada mereka sesuatu yang telah
dijanjikan, yaitu Al Yaqin (kematian).” (Majmu’ Al Fatawa 401-402 dan 417-418).
Maka ayat tersebut di atas jelas sekali menunjukkan kewajiban setiap
orang untuk selalu beribadah sejak dia mencapai usia dewasa dan berakal sampai
ketika kemat ian datang menjemputnya, dan tidak ada sama sekali dalam ajaran
islam apa yang dinamakan tingkatan/keadaan yang jika seseorang telah
mencapainya maka gugurlah kewajiban beribadah atasnya, sebagaimana yang
disangka oleh orang-orang ahli tasawuf.
kte-Sekte Dalam Ajaran Tasawuf3
Kita dapat membagi ajaran tasawuf yang ekstrem ke dalam tiga sekte:
Pertama, sekte Al Isyraqi, sekte ini didominasi oleh ajaran filsafat bersama
sifat zuhud. Yang dimaksud dengan Al Isyraqi (penyinaran) adalah penyinaran
jiwa yang memancarkan cahaya dalam hati, sebagai hasil dari
pembinaan jiwa dan penggemblengan ruh disertai dengan penyiksaan
badan untuk membersihkan dan menyucikan ruh, yang ajaran ini sebenarnya ada pada
semua sekte-sekte tasawuf, akan tetapi ajaran sekte ini cuma sebatas pada
penyimpangan ini dan tidak sampai membawa mereka kepada ajaran Al Hulul
(menitisnya Allah ‘Azza wa Jalla ke dalam diri makhluk-Nya) dan Wihdatul Wujud
(bersatunya wujud Allah ‘Azza wa Jalla dengan wujud makhluk/Manunggaling Gusti
ing Kawulo – Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan), meskipun demikian
ajaran sekte ini bertentangan dengan ajaran islam, karena ajaran ini diambil
dari ajaran agama-agama lain yang menyimpang, seperti agama Budha dan Hindu.
Kedua, sekte Al Hulul, yang berkeyakinan bahwa Allah ‘Azza wa
Jalla bisa bertempat/menitis dalam diri manusia –Maha Suci Allah
‘Azza wa Jalla dari sifat ini-. Keyakinan ini diserukan oleh beberapa
tokoh-tokoh
ekstrem ahli Tasawuf, seperti Hasan bin Manshur Al Hallaj, yang
karenanya para Ulama memfatwakan kafirnya orang ini dan dia harus dihukum mat
i, yang kemudian dia dibunuh dan disalib –Alhamdulillah ‘Azza wa Jalla - pada
tahun 309 H. Dan di dalam Sya’ir yang dinisbatkan kepadanya dia berkata (kitab
At Thawasiin, tulisan Al Hallaj hal.130):
Maha suci (Allah ‘Azza wa Jalla ) yang Nasut (unsur/sifat
kemanusiaan)-
Nya telah menampakkan rahasia cahaya Lahut (unsur/sifat
ketuhanan)-Nya yang menembus Lalu Tampaklah Dia dengan jelas pada (diri)
makhluk-Nya dalam bentuk seorang yang sedang makan dan sedang minum Hingga
(sangat jelas) Dia terlihat oleh makhluk-Nya seperti (jelasnya) pandangan alis
mata dengan alis mata Dalam sya’ir lain (kitab Al Washaaya, tulisan Ibnu ‘Arabi
(hal.27), -Maha Suci Allah ‘Azza wa Jalla dari sifat-sifat kotor yang mereka
sebutkan-) dia berkata:
Aku adalah yang mencintai dan yang mencintai adalah aku kami
adalah dua ruh yang bertempat di dalam satu jasad Maka jika kamu melihatku
(berarti) kamu melihat Dia Dan jika kamu melihat Dia (berarti) kamu melihat
kami Memang Al Hallaj -seorang tokoh besar dan populer di kalangan orang-orang
ahli tasawuf ini- adalah penganut sekte Al Hulul, dia meyakini dualisme hakikat
ketuhanan dan beranggapan bahwa Al Ilah (Allah ‘Azza wa Jalla ) memiliki dua
tabiat yaitu: Al Lahut (unsur/sifat ketuhanan) dan An Nasut (unsur/sifat
kemanusiaan/kemakhlukan), yang kemudian Al Lahut menitis ke dalam An Nasut,
maka ruh manusia –menurut Al Hallaj- adalah Al Lahut ketuhanan yang sebenarnya
dan badan manusia itu adalah An Nasut.
Kemudian meskipun bandit besar ini telah dihukum mati karena kezindiqannya
–sehingga sebagian orang-orang ahli tasawuf menyatakan
berlepas diri darinya -, tetap saja ada orang-orang ahli tasawuf
yang menganggapnya sebagai tokoh besar ahli tasawuf, bahkan mereka membenarkan
keyakinan sesat dan perbuatannya, dan mengumpulkan serta membukukan
ucapan-ucapan kotornya, mereka itu di antaranya adalah Abul ‘Abbas bin ‘Atha’
Al Baghdadi, Muhammad bin Khafif Asy Syirazi dan Ibrahim An Nashrabadzi,
sebagaimana hal tersebut dinukil oleh Al Khathib Al Baghdadi dalam kitab beliau
Tarikh Al Baghdad (8/112).
Ketiga, sekte Wihdatul Wujud, yaitu keyakinan bahwa semua yang ada
pada hakikatnya adalah satu dan segala sesuatu yang kita lihat di alam
semesta ini tidak lain merupakan perwujudan/penampakan Zat Ilahi
(Allah
‘Azza wa Jalla ) – maha suci Allah ‘Azza wa Jalla dari segala keyakinan
kotor mereka-. Dedengkot sekte ini adalah Ibnu ‘Arabi Al Hatimi
Ath Thai
(Nama lengkapnya adalah Abu Bakr Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad
bin Ahmad Ath Thai Al Hat imi Al Mursi Ibnu ‘Arabi, yang binasa pada tahun 638 H
dan dikuburkan di Damaskus. (Lihat Siar Al A’lam An Nubala’ tulisan Imam Adz
Dzahabi 16/354)
Dalam kitabnya Al Futuhat Al Makkiyah (seperti yang dinukilkan
oleh
DR. Taqiyuddin Al Hilali dalam kitabnya Al Hadiyyatul Haadiyah
hal. 43) dia menyatakan keyakinan kufur ini dengan ucapannya:
Hamba adalah tuhan dan tuhan adalah hamba duhai gerangan, siapakah
yang diberi tugas (melaksanakan syariat)?
Jika kau katakan: hamba, maka dia adalah tuhan Atau kau katakan:
tuhan, maka mana mungkin tuhan diberi tugas?!
Dan dalam kitabnya yang lain Fushushul Hikam (hal.192) dia ngelindur:
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembah anak sapi, tidak lain yang mereka
sembah kecuali Allah.”
Meskipun demikian, orang-orang ahli Tasawuf malah memberikan gelar-gelar
kehormatan yang tinggi kepada Ibnu ‘Arabi, seperti gelar Al ‘Arif Billah (orang
yang mengenal Allah ‘Azza wa Jalla dengan sebenarnya), Al Quthb Al Akbar
(pemimpin para wali yang paling agung), Al Misk Al Adzfar (minyak kesturi yang
paling harum), dan Al Kibrit Al Ahmar (Permata yang merah berkilau), padahal
orang ini terang-terangan memproklamirkan keyakinan Wihdatul Wujud dan
keyakinan-keyakinan kufur dan rusak lainnya, seperti pujian dia terhadap Firaun
dan keyakinannya bahwa Firaun mat i di atas keimanan, celaan dia terhadap Nabi
Harun ‘alaihi salam yang mengingkari kaumnya yang menyembah anak sapi -yang
semua ini jelas-jelas bertentangan dengan nash Al Quran-, dan keyakinan dia
bahwa kafirnya orang-orang Nasrani adalah karena mereka hanya mengkhususkan
Nabi ‘Isa ‘alaihi salam sebagai Tuhan, yang kalau seandainya mereka tidak
mengkhususkannya maka mereka tidak dikafirkan.
berapa Contoh Penyimpangan dan Kesesatan Ajaran
asawuf
Berikut kami akan nukilkan beberapa ucapan dan keyakinan sesat dan
kufur dari tokoh-tokoh yang sangat diagungkan oleh orang-orang ahli tasawuf,
yang menunjukkan besarnya penyimpangan ajaran ini dan sangat jauhnya ajaran ini
dari petunjuk Al Quran dan As Sunnah.
Pertama, Ibnu Al Faridh yang binasa pada tahun 632 H, tokoh besar sufi
yang menganut paham Wihdatul Wujud dan meyakini bahwa seorang hamba bisa
menjadi Tuhan, bahkan -yang lebih kotor lagi- dia menggambarkan sifat-sifat
Tuhannya seperti sifat-sifat wanita, sampai-sampai dia menganggap bahwa
Tuhannya telah menampakkan diri di
hadapan Nabi Adam ‘alaihi salam dalam bentuk Hawwa (istri Nabi
Adam
‘alaihi salam)?! Untuk lebih jelas silakan merujuk pada kitab
Hadzihi Hiya
Ash Shufiyyah (hal. 24-33), tulisan Syaikh Abdurrahman al Wakil
yang
menukil ucapan-ucapan kufur Ibnu Al Faridh ini.
Kedua, Ibnu ‘Arabi dalam kitabnya Fushushul Hikam yang berisi segudang
kesesatan dan kekufuran. Dalam kitabnya ini dia mengatakan bahwa Rasullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam lah yang memberikan padanya kitab ini, dan beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya:
“Bawalah dan sebarkanlah kitab ini pada manusia agar mereka
mengambil manfaat darinya”, kemudian Ibnu ‘Arabi berkata: “Maka aku pun
(segera) mewujudkan keinginan (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) itu seperti
yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tentukan padaku tidak lebih dan tidak
kurang.” Kemudian Ibnu ‘Arabi berkata:
(Kitab ini) dari Allah, maka dengarkanlah! dan kepada Allah
kembalilah!
(Fushushul Hikam, dengan perantaraan kitab Hadzihi Hiya Ash
Shufiyyah
hal. 19).
Ketiga, At Tilmisani, seorang tokoh besar tasawuf, ketika
dikatakan padanya bahwa kitab rujukan mereka Fushushul Hikam bertentangan dengan
Al Quran, dia malah menjawab, “Seluruh isi Al Quran adalah
kesyirikan, dan sesungguhnya Tauhid hanya ada pada ucapan kami.” aka
dikatakan lagi kepadanya, “Kalau kalian mengatakan bahwa seluruh
yang
ada (di alam semesta) adalah satu (esa), mengapa seorang istri
halal untuk disetubuhi, sedangkan saudara wanita haram (disetubuhi)?” Maka dia menjawab,
“Menurut kami semuanya (istri dan saudara wanita) halal
(untuk disetubuhi), akan tetapi orang-orang yang terhalang dari penyaksian
keesaan seluruh alam mengatakan bahwa saudara wanita
haram (disetubuhi), maka kami pun ikut-ikut mengatakan haram.”
(Dinukil
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, lihat Majmu’ul Fatawa 13/186).
Keempat, Abu Yazid Al Busthami, yang pernah berkata: “Aku heran terhadap
orang yang telah mengenal Allah, mengapa dia tetap beribadah
kepada-Nya?!” (Dinukil oleh Abu Nu’aim Al Ashbahani dalam kitabnya
Hilyatul Auliya’ 10/37). Dia juga berkata, “Sungguh aku telah menghimpun
amalan ibadah seluruh penghuni tujuh langit dan tujuh bumi,
kemudian
aku masukkan ke dalam bantal dan aku letakkan di bawah pipiku.”
(Hilyatul Auliya’ 10/35-36).
Kelima, Abu Hamid Al Ghazali, seorang yang termasuk tokoh-tokoh
ahli tasawuf yang paling besar dan tenar, di dalam kitabnya Ihya
‘Ulumud
Din ketika dia membicarakan tingkatan-tingkatan dalam tauhid, dia
mengatakan, “Dalam Tauhid ada empat tingkatan: …Tingkatan yang
kedua:
Dengan membenarkan makna lafadz di dalam hati sebagaimana yang
dilakukan oleh umumnya kaum muslimin, dan ini adalah keyakinannya
orang-orang awam?! Tingkatan yang ketiga: Mempersaksikan makna
tersebut dengan jalan Al Kasyf (penyingkapan tabir) melalui
perantaraan
cahaya Al Haq (Allah ‘Azza wa Jalla ) dan ini adalah tingkatan Al
Muqarrabin, yaitu dengan seseorang melihat banyaknya makhluk (di
alam
semesta), akan tetapi dia melihat semuanya bersumber dari Zat Yang
Maha Tunggal lagi Maha Perkasa, dan tingkatan yang keempat: Dengan tidak menyaksikan
di alam semesta ini kecuali satu zat yang esa, dan ini
merupakan penyaksian para Shiddiqin, dan diistilahkan oleh orang
ahli
tasawuf dengan sebutan: Al Fana’ Fit Tauhid (telah melebur dalam
tauhid/pengesaan) karena dia tidak melihat kecuali satu, bahkan
dia tidak
melihat dirinya sendiri… Dan inilah puncak tertinggi dalam tauhid.
Jika
anda bertanya bagaimana mungkin seseorang tidak melihat kecuali
hanya
satu saja, padahal dia melihat langit, bumi dan semua benda-benda
yang
benar-benar nyata, dan itu banyak sekali? dan bagaimana sesuatu
yang
banyak menjadi hanya satu? Ketahuilah bahwa ini adalah puncak ilmu
Mukasyafat (tersingkapnya tabir) (maksudnya adalah cerita bohong
orang-orang ahli Tasawuf yang bersumber dari bisikan jiwa dan perasaan mereka, yang
sama sekali tidak berdasarkan Al Quran dan As Sunnah, -pen), dan rahasia-rahasia
ilmu ini tidak boleh ditulis dalam sebuah kitab, karena orang-orang yang telah
mencapai tingkatan Ma’rifah berkata bahwa membocorkan rahasia ketuhanan adalah
kekafiran. Sebagaimana seorang manusia dikatakan banyak bila anda melihat
rohnya, jasad, sendi-sendi, urat-urat, tulang belulang dan isi perutnya,
padahal dari sudut pandang lain dikatakan dia adalah satu manusia.” (Lihat
kitab Ihya ‘Ulumud Din 4/241-242).
Al Ghazali juga berkata, “Pandangan terhadap tauhid jenis pertama,
yaitu pandangan tauhid yang murni, dengan pandangan ini, Anda
pasti akan dikenalkan bahwa Dialah yang bersyukur dan disyukuri, dan Dialah
yang mencintai dan dicintai, ini adalah pandangan orang yang meyakini bahwa tidaklah
ada di alam semesta ini melainkan Dia (Allah ‘Azza wa Jalla ).”
Keenam, Asy Sya’rani, seorang tokoh besar tasawuf yang telah menulis
sebuah kitab yang berjudul Ath Thabaqat Al Kubra, yang memuat biografi
tokoh-tokoh ahli tasawuf dan kisah-kisah (kotor) yang dianggap oleh orang-orang
ahli tasawuf sebagai tanda kewalian. Di antaranya kisah seorang wali(?) yang
bernama Ibrahim Al ‘Uryan, orang ini bila naik mimbar dan berceramah selalu
dalam keadaan telanjang bulat!? (Lihat At Thabaqat Al Kubra 2/124).
Kisah lainnya tentang seorang (wali Setan) yang bernama Syaikh Al Wuhaisyi
yang bertempat tinggal di rumah pelacuran, yang mana setiap ada orang yang
selesai berbuat zina, dan hendak meninggalkan tempat
tersebut, dia berkata kepadanya: “Tunggulah sebentar hingga aku
selesai
memberikan syafaat untukmu sebelum engkau meninggalkan tempat
ini!?”
Dan diantara kisah tentang orang ini: bahwa setiap kali ada
seorang pemuka agama setempat sedang menunggang keledai, dia memerintahkannya
untuk segera turun, lalu berkata kepadanya: “Peganglah kepala keledaimu, agar aku
dapat melampiaskan birahiku padanya!?” (Lihat At Thabaqat Al Kubra 2/129-130).
Penutup
Setelah pembahasan di atas, maka jelaslah bagi kita semua bahwa ajaran
tasawuf adalah ajaran sesat yang menyimpang sangat jauh dari petunjuk Al Quran
dan As Sunnah, yang dengan mengamalkan ajaran ini –na’udzu billah min dzalik–
seseorang bukannya makin dekat kepada Allah ‘Azza wa Jalla , tapi malah semakin
jauh dari-Nya, dan hatinya bukannya makin bersih, akan tetapi malah semakin
kotor dan penuh noda. Kemudian jika
timbul pertanyaan, “Kalau
begitu usaha apa yang harus kita lakukan dalam upaya untuk menyucikan jiwa dan
hati kita?” Maka jawabannya
adalah sederhana sekali, yaitu, Pelajari dan amalkan syariat islam
ini lahir
dan batin, maka dengan itulah jiwa dan hati kita akan bersih
(untuk lebih
jelasnya silakan pembaca menelaah kitab Manhajul Anbiya’ fii
Tazkiyatin
Nufus tulisan Syaikh Salim Al Hilali, yang ditulis khusus untuk
menjelaskan
masalah penting ini), karena di antara tugas utama yang dibawa
para Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menyucikan jiwa dan hati
manusia dengan mengajarkan kepada mereka syariat Allah ‘Azza wa Jalla ,
sebagaimana firman Allah:
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang
beriman
ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan
mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah,
membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab
dan Al Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan
Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Ali ‘Imran:
164)
Maka orang yang paling banyak memahami dan mengamalkan petunjuk Al
Quran dan As Sunnah dengan baik dan benar, maka dialah orang yang paling bersih
dan suci hati dan jiwanya dan dialah orang yang paling bertakwa kepada Allah
‘Azza wa Jalla , karena semua orang berilmu
sepakat mengatakan bahwa: “Penghalang utama yang menghalangi
seorang manusia untuk dekat kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah (kekotoran) jiwanya.”
(Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya Igatsatul
Lahafan dan Al Fawa’id). Oleh karena inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mempermisalkan petunjuk dan ilmu yang Allah turunkan kepada beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan air hujan yang Allah turunkan dari langit,
karena sebagaimana fungsi air hujan adalah untuk menghidupkan, membersihkan dan
menumbuhkan kembali tanah yang tandus dan gersang, maka demikian pula petunjuk
dan ilmu yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah untuk
menghidupkan, menyucikan dan menumbuhkan hati manusia, dalam hadits Abi Musa Al
‘Asy’ari radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إ “Sesungguhnya permisalan dari
petunjuk dan ilmu yang aku bawa dari
Allah adalah seperti hujan (yang baik) yang Allah turunkan ke
bumi…” (HSR Imam Al Bukhari 1/175 – Fathul Bari dan Muslim no. 2282)
Semoga tulisan ini Allah ‘Azza wa Jalla jadikan bermanfaat bagi penulis
khususnya dan bagi semua orang yang membacanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar