Kamis, 04 Oktober 2012

PERADILAN RESTORATIF DALAM PENANGANAN ANAK PELAKU DELINKUEN


OLEH : H.HANIF HANANI,SH,MH.
A.   PENDAHULUAN
Tampaknya kenakalan anak-anak dibawah umur, kian hari kian meningkat, bahkan kenakalan mereka boleh dibilang sudah menjurus ke tindak kriminal, lantas bila memang demikian halnya bagaimana hukum menjawab persoalan kejahatan (pencurian, misalnya ) , anak-anak dibawah umur ? sebelumya perlu ditegaskan bahwa pengertian batasan usia anak dibawah umur antara yang berlaku menurut hukum perdata dan hukum pidana berbeda.
                        Menurut Pasal 330 Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPer) , orang yang belum dewasa ialah mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum pernah kawin.Akan tetapi, Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri menegaskan dalam Pasal 45 , bahwa yang dimaksud anak dibawah umur dalah anak yang berumur kurang dari 16 tahun, meski begitu lantaran kenakalan anak-anak dibawah umur ini masuk dalam kreteria melanggar pasal-pasal KUHP maka batasan usia KUHP lah yang digunakan .Nah, apabila anak berusia kurang dari 16 tahun itu melkukan perbuatan yang masuk dalam pelanggaran yang diatur KUHP Pasal 489 , 490, 492, 496, 497 ,503 -505, 514,517-519, 526, 531, 532, 536 dan 540 maka hakim dalam keputusannya dalam memilih hukuman :
1.    Mengembalikan anak tersebut kepada orang tuanya tanpa dikenakan hukuman
2.    Menyerahkan anak tersebut kepada pemerintah tanpa dikenakan hukuman ; atau
3.    Menghukum anak tersebut
            Ketiga jenis hukuman ini memang disediakan bagi tindak pidana pelanggaran (bukan kejahatan) .Lantas, bagaimana hukumnya jika anak itu melakukan tindak pidana kejahatan , seperti mencuri, penganiayaan, bahkan pembunuhan ? Pasal 47 KUHP menegaskan:
1.    Jika hakim menghukum anak yang bersalah itu maka maksimum hukuman pokok bagi perbuatan pokok yang dapat dihukum itu dikurangi sepertiganya.
2.    Jika kejahatan yang dilakukannya diancam hukuman atau hukuman penjara seumur hidup, maka anak tersebut dihukum selama-lamanya 15 tahun.
3.    Hukuman tambahan yang tersebut pada Pasal 10 bag b ayat (1) dan (3) tidak dijatuhkan.
            Jadi jika anak tersebut melakukan pencurian misalnya yang ancaman hukumannya 5 tahun , maka hakim dapat menghukum dengan hukuman maksimum sepertiganya.
Maka jika melihat tawuran pelajar yang sudah menjurus ke tindak kriminal seperti dengan beringas menghilangkan nyawa orang lain menurut hokum, pelajar tersebut sudah bisa terjerat pasal-pasal KUHP , dengan konsekwensi hukuman pidana penjara mengingat usia anak SMA itu antara 16-18 tahun, menjadi pertanyaan kemudian bagaimana dengan orang tua anak yang melakukan tindakan pidana ? dapatkah dimintai pertanggung jawaban atas perbuatan pidana anaknya sekalipun anak tersebut baru berusia 11 tahun?
Dalam hal tindak pidana anak tersebut orang tua si anak itu dapat dimintakan pertanggung jawaban pidana , hal ini mengikuti prinsip hukum pidana seperti yang ditegaskan Pasal 55 KUHP , bahwa yang tergolong pelaku tindak pidana adalah orang yang melakukan ; Yang menyuruh melakukan: Yang turut melakukan ; yang menghasut untuk melakukan ; dan yang membantu melakukan, jadi pada dasarnya pelaku tindak pidana itu tidak dapat diganti.
Bagaimana dengan pertanggung jawaban keperdataan ? dalam hal hukum perdata orang tua tersebut harus bertanggung jawab atas tuntutan ganti kerugian perdasarkan Pasal 1367 KUH Per .
Berbicara tentang penanggulangan kejahatan pada umumnya dan delinkuensi anak khususnya, membawa pembicaraan ini pada Kebijakan Kriminal (criminal policy) . Kebijakan kriminal sebagai usaha rasional masyarakat untuk menanggulangi kejahatan , di dalam gerak operasionalnya terarah pada dua jalur , yaitu (a) Kebijakan Kriminal Jalur Penal dan (b) Kebijakan Kriminal Jalur Nonpenal . Secara kasar, dapat dibedakan, bahwa upaya penanggulangan kejahatan jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat “represif” (penumpasan/penangkalan/ pengendalian) sebelum kejahatan terjadi . Dikatakan pembedaan secara kasar , karena pada hakekatnya , tindakan represif juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas.
B.   PEMBAHASAN
Peradilan anak restoratif berangkat dari asumsi bahwa tanggapan atau reaksi terhadap perilaku delinkuensi anak tak efektif tanpa adanya kerja sama dan keterlibatan dari korban, pelaku dan masyarakat. Prinsip yang menjadi dasar ialah bahwa keadilan paling baik terlayani,apabila setiap pihak menerima perhatian secara adil dan seimbang , aktif dilibatkan dalam proses peradilan dan memperoleh keuntungan secara memadai dari interaksi mereka dengan sistem peradilan anak.
Memperhatikan ciri-ciri serta karakteristik model peradilan anak restoratif yang tidak saja berdimensi tunggal dan pengendalian pelaku delinkuen (seperti model pembinaan pelaku perorangan dan retributif) melainkan berdimensi jamak pelaku, korban dan masyarakat, tidak punitif tidak membekaskan stigma , tidak mengaliensikan anak pelaku dengan keluargadan peergroup nya , cukup menjanjikan dan perlu dipertimbangkan dalam penanganan anak delinkuen di Indonesia masa datang.
Untuk memberikan gambaran mengenai kecenderungan akomodasi paradigma peradilan anak restoratif dalam peradilan anak restoratif dalam peradilan pidana anak, di bawah ini dikemukakan praktik peradilan anak di Negeri Belanda .
Di dalam hukum pidana anak Belanda , ditentukan sanksi-sanksi yang dapat diterapkan bagi anak-anak dengan tingkat usia tertentu. Stelsel sanksi bagi anak berupa pidana dan tindakan. Karakteristik hukum pidana anak Belanda terletak pada azas yang melandasi penyelenggaraan peradilan pidana berupa azas pedagogik. Sanksi bagi anak di dalamnya harus terkandung unsur pedagogik. Metode penanganan alternatif dalam fase penyidikan dan fase-fase berikutnya  (termasuk sanksi alternatif) diberikan legitimasi secra mendasar dalam hukum pidana anak yang tertuang di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda ( Wetboek van Strafrecht – disingkat Sr)
Peraturan perundang-undangan pidana anak terdapat dalam Bab VII A, “Ketentuan Khusus untuk Anak” Buku I Wetboek van Starfrecht-Sr. Ketentuan itu terdapat dalam Pasal 77a s/d 77 gg Sr. Tanpa mengurangi arti penting dari pasal-pasal tersebut diatas, sajian berikut akan lebih difokuskan pada karakteristik hukum pidana anak Belanda yang mencerminkan sifat-sifat model peradilan anak restoratif. Seperti telah disinggung dimuka , bahwa sifat pedagogik sangat menonjol dan menjadi ciri hukum pidan anak Belanda . Sifat pedagogik ini dapat ditelusuri dari ketentuan-ketentuan pasalnya , terutama ketentuan yang mengatur tentang diversi dalam bentuk transaksi oleh polisi dengan anak pelaku tindak pidana. Transaksi polisi dengan anak ini terwujud dalam bentuk kerja sama dengan biro HALT (Het Alternatief).
Pejabat penyelidik dapat membuat kebijakan tertentu sebagai wujud kepenjangan kewenangan Penuntut Umum terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana tertentu yang umurnya di bawah 12 tahun. Kebijakan itu dimaksudkan , polisi dapat merumuskan satu persyaratan atas diri terdakwa anak lewat persyaratan itu penuntutan pidana dapat dicegah. Kewenangan polisi ini merupakan kepanjangan kewenangan untuk melakukan transaksi dari penuntut umum seperti diatur dalam Pasal 74 ayat (1) Sr.
Dalam praktik polisi mengembangkan kebijakan proses verbal dalam penanganan tindak pidana anak. Dalam sejumlah kasus, penyusunan proses verbal dibelokan (diversi) atau dicukupkan dengan proses verbal singkat atau laporan sumir.itu semua dikaitkan dengan sifat tindak pidana yang diperbuat dan umur pelaku serta rekam kejahatan (criminal record) si pelaku. Untuk pelaku pemula dan tidak untuk semua jenis  tindak pidana dilakukan penanganan  di luar jalur yustisial konvensional . Di dalam kejadian ini anak pelaku diarahkan langsung pada program-program pemberian pertolongan pada anak atau ditangani lewat pembicaraan antara polisi dengan anak pelaku, orang tua pelaku , korban , keluarga korban, atau mungkin dirasakan cukup kepada anak diberikan sanksi tegoran keras dan pembayaran ganti kerugian pada korban.Keseluruhan langkah penanganan polisi itu tanpa dikiuti pengiriman proses verbal ke penuntut umum. Ditingkat permulaan penyelesaian dari kepolisian ini muncul beraneka ragam proyek kerjasama antara instansi yang terarah pada upaya pemberian pertolongan anak sifatnya mendidik anak pelaku delinkuen . salah satu yang hingga kini terkenal adalah kerja sama kepolisian dengan Biro HALT.
Contoh kegiatan Biro HALT dalam melaksanakan transaksi polisi dapat dikemukakan berikut ini .
Penanganan Kasus Pencurian seorang Anak di Mall
Kasusnya menyangkut seorang anak yang bernama B mencuri barang di Mall. Perbuatan B diketahui Petugas Keamanan Mall yang bersangkutan , dan ditangkap , dan diserahkan pada polisi . Atas dasar pemahaman polisi, perbuatan B memenuhi syarat untuk diikut sertakan program HALT. Transanksi yang ditawarkan oleh polisi diterima oleh B dan orang tuanya. Petugas HALT kemudian memanggil B beserta orang tuanya , pemilik Mall (korban) dan polisi . perjanjian yang dihadiri oleh pihak-pihak itu kemudian secara bersama-sama melakukan “perundingan” untuk menentukan “sanksi” yang harus dijatuhkan pada si B. Kesepakatan yang terjadi antara anak pelaku, orang tuan anak , korban (pemilik Mall) , petugas HALT dan polisi. B harus mengembalikan barang yang telah dicurinya kepada pemilik Mall dan untuk menebus kesalahannya si B harus membersihkan lantai Mall selama 2 bulan, yang pengerjaannya dilakukan tiap akhir minggu selama 2 jam, yang waktunya bebas ditentukan sendiri oleh B, sesuai dengan waktu luangnya . Pada akhirnya B dilaporkan telah menyelesaikan “tugas” Pada akhirnya B dilaporkan telah menyelesaikan “tugas” nya dengan baik dan tidak ada lagi penuntutan pidana atas diri B.
Hal yang menarik dari kasus diatas, penanganan biro HALT dan polisi itu adalah bahwa  (a) telah terjadi penyelesaian kasus-kasus delinkuensi anak di luar jalur yustisial konvensional; (b) telah terjadi penyelesaian kasus-kasus delinkuensi anak yang betul-betul mencerminkan “penyelesaian kinflik” lewat “kesepakatan” antara pelaku, keluarga pelaku, korban, keluarga korban dan petugas (Polisi dan Petugas HALT) ; (c) :”sanksi” atas diri anak diputuskan atas dasar hasil kesepakatan semua pihak yang disaksikan oleh petugas (Polisi dan HALT); (d) korban dalam proses ini memberikan peran aktif secara bersama-sama menentukan “sanksi” yang harus diterimakan pada anak pelaku delinkuen.
Memperhatikan (a) praktik penyelesaian kasus-kasus pidana anak di Indonesian yang masuh tinggi kecenderungannya meninggalkan stigma pada diri anak; (b) hasil penyelesaian kasus pidana model peradilan anak restoratif yang cenderung positif (baik bagi pelaku, korban dan masyarakat) dan (c) praktek-praktek penerapan pola penyelesaian kasus-kasus anak di beberapa negara yang menunjukkan kecenderungan model peradilan anak restoratif dan (d) besarnya perhatian PBB akan pola penyelesaian restoratif yang kemudian tertuang dalam UN Declaration on the Basic Principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters, maka cukup beralasan bila di Indonesia dikembangkan model-model penyelasian kasus-kasus pidana anak kearah model peradilan anak restoratif di masa datang.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam hal implikasi model peradilan anak restoratif di Indonesia, adalah (a) reformasi sistem perundang-undangan (substantif dan prosedural) penyelenggaraan pengadilan anak dengan cara mengadopsi prinsip-prinsip peradilan anak restoratif; (b) mempertimbangkan potensi yang diliki BAPAS , BAPAS perlu diberdayakan bukan saja sebagai lembaga yang memberikan laporan sosial anak pelaku delinkuen dalam sistem peradilan pidana anak melainkan, sebagai lembaga penyelenggara berlangsungnya rekonsiliasi dalam bentuk familygroup conference yang mempertemukan anak pelaku beserta keluarganya , teman-teman peer-group nya , korban dan keluargnya , masyarakat yang difasilitasi oleh petugas BAPAS sehingga terwujud cara-cara alternatif penanganan anak delinkuen seperti terkandung dalam model peradilan anak restoratif.

C.   KESIMPULAN
Dari beberapa keterangan yang telah disajikan diatas dapat diambil pokok-pokok pikiran sebagai berikut :
1.    Implementasi UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sebagai wujud konkrit penanganan kasus pidana anak di masyarakat cenderung membekaskan stigma pada diri anak . Stigmatisasi anak sangat merugikan masa depan perkembanangan jiwa anak dan menjadi faktor kriminogen terjadinya delinkuensi anak.
2.    Kecenderungan itu terjadi karena UU No 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (1) secara substantif cacat hukum. Ketentuan formulatif yang memungkinkan pelaku anak ditangani secara alternatif (ketentuan tentang diversi) tidak ada; (2) secara prosedural tidak didukung (a) profesionalisme penegak hukum yang membidangi anak; (b) keterbatasan prasarana dan sarana tempat penahanan dan pembinaan khusus bagi anak (anak binaan ditempatkan bersama-sama dengan penjahat dewasa).
3.    Penyelenggaraan peradilan anak berdasarkan UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalam praktek masih didominasi pendekatan terapeutik, satu pendekatan yang dijiwai model peradilan pembinaan anak secara perorangan (Individual Treatment Model). Penyelesaian kasus-kasus pidana anak dengan model ini tanpa didukung lembaga-lembaga yang memadai cenderung kurang efektif dalam menanggulangi terjadinya delinkuensi anak di masyarakat.
4.    Di dalam perkembangan kajian akademis kriminologik dijumpai satu model peradilan anak yang lebih menjanjikan penyelesaian konflik (conflikt opplossing) nirstigma dan berdimensi jamak, pelaku dan keluarganya , teman-teman (peergroup) pelaku petugas kemasyarakatan , petugas hukum dan masyarakat secara luas. Model peradilan anak restoratif telah dipraktekkan di berbagai negara, karena sifatnya yang mencerminkan perlindungan hak-hak anak pelaku delinkuen pada khususnya dan perlindungan hak-hak anak pada umunya.
5.    Konsep restorative justice dewasa ini memperoleh perhatian PBB, bahkan PBB telah menganjurkan perlunya didayagunakanya konsep tersebut secara lebih luas dalam sistem peradilan pidana melalui UN Declaration on the Basic Principles on the Use of Restorative Justice Programmes ini Criminal matters.
6.    Atas dasar itu, maka sudah saatnya model peradilan anak restoratif dipertimbangkan sebagai azas peradilan anak di Indonesia . Model ini ada kesesuaiannya dengan model penyelesaian konflik terpadu (integral) yang terkandung dalam nilai-nilai filsafati bangsa ini, Pancasila, hak-hak anak yang terkandung dalam Konvensi Hak Anak , dan kecenderungan internasional (deklarasi PBB)
7.    Implikasi model peradilan anak restoratif di Indonesia dilakukan dengan cara mereformasi sistem perundang-undangan (substantif dan prosedural) tentang pengadilan anak dengan mengakomodasi prinsip-prinsip model peradilan anak restoratif dan memberdayakan BAPAS sebagai salah satu lembaga penyelenggara model peradilan anak restoratif.
DAFTAR PUSTAKA

Paulus Hadi Suprapto, 2006, Peradilan Restoratif : Model Peradilan Anak
Indonesia Masa Datang ; Universitas Diponegoro;Semarang
Wawan Tunggul Alam,2008, Kasus-kasus Hukum dalam Kehidupan
sehari-hari , Hukum Bicara Masalah Keluarga, Perdata, Pidana , Hukum Pidana & Perdata ,Bentara Cipta Prima ; Jakarta.











Tidak ada komentar:

Posting Komentar