OLEH : H.HANIF HANANI,SH,MH.
A. PENDAHULUAN
Tampaknya kenakalan anak-anak dibawah
umur, kian hari kian meningkat, bahkan kenakalan mereka boleh dibilang sudah
menjurus ke tindak kriminal, lantas bila memang demikian halnya bagaimana hukum
menjawab persoalan kejahatan (pencurian, misalnya ) , anak-anak dibawah umur ?
sebelumya perlu ditegaskan bahwa pengertian batasan usia anak dibawah umur
antara yang berlaku menurut hukum perdata dan hukum pidana berbeda.
Menurut
Pasal 330 Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPer) , orang yang belum dewasa
ialah mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum pernah kawin.Akan tetapi,
Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri menegaskan dalam Pasal 45 ,
bahwa yang dimaksud anak dibawah umur dalah anak yang berumur kurang dari 16
tahun, meski begitu lantaran kenakalan anak-anak dibawah umur ini masuk dalam
kreteria melanggar pasal-pasal KUHP maka batasan usia KUHP lah yang digunakan
.Nah, apabila anak berusia kurang dari 16 tahun itu melkukan perbuatan yang
masuk dalam pelanggaran yang diatur KUHP Pasal 489 , 490, 492, 496, 497 ,503
-505, 514,517-519, 526, 531, 532, 536 dan 540 maka hakim dalam keputusannya
dalam memilih hukuman :
1. Mengembalikan anak tersebut kepada orang
tuanya tanpa dikenakan hukuman
2. Menyerahkan anak tersebut kepada
pemerintah tanpa dikenakan hukuman ; atau
3. Menghukum anak tersebut
Ketiga
jenis hukuman ini memang disediakan bagi tindak pidana pelanggaran (bukan
kejahatan) .Lantas, bagaimana hukumnya jika anak itu melakukan tindak pidana
kejahatan , seperti mencuri, penganiayaan, bahkan pembunuhan ? Pasal 47 KUHP
menegaskan:
1. Jika hakim menghukum anak yang bersalah
itu maka maksimum hukuman pokok bagi perbuatan pokok yang dapat dihukum itu dikurangi
sepertiganya.
2. Jika kejahatan yang dilakukannya diancam
hukuman atau hukuman penjara seumur hidup, maka anak tersebut dihukum
selama-lamanya 15 tahun.
3. Hukuman tambahan yang tersebut pada Pasal
10 bag b ayat (1) dan (3) tidak dijatuhkan.
Jadi
jika anak tersebut melakukan pencurian misalnya yang ancaman hukumannya 5 tahun
, maka hakim dapat menghukum dengan hukuman maksimum sepertiganya.
Maka jika melihat tawuran pelajar yang
sudah menjurus ke tindak kriminal seperti dengan beringas menghilangkan nyawa
orang lain menurut hokum, pelajar tersebut sudah bisa terjerat pasal-pasal KUHP
, dengan konsekwensi hukuman pidana penjara mengingat usia anak SMA itu antara
16-18 tahun, menjadi pertanyaan kemudian bagaimana dengan orang tua anak yang
melakukan tindakan pidana ? dapatkah dimintai pertanggung jawaban atas
perbuatan pidana anaknya sekalipun anak tersebut baru berusia 11 tahun?
Dalam hal tindak pidana anak tersebut
orang tua si anak itu dapat dimintakan pertanggung jawaban pidana , hal ini
mengikuti prinsip hukum pidana seperti yang ditegaskan Pasal 55 KUHP , bahwa
yang tergolong pelaku tindak pidana adalah orang yang melakukan ; Yang menyuruh
melakukan: Yang turut melakukan ; yang menghasut untuk melakukan ; dan yang
membantu melakukan, jadi pada dasarnya pelaku tindak pidana itu tidak dapat
diganti.
Bagaimana dengan pertanggung jawaban
keperdataan ? dalam hal hukum perdata orang tua tersebut harus bertanggung
jawab atas tuntutan ganti kerugian perdasarkan Pasal 1367 KUH Per .
Berbicara tentang penanggulangan
kejahatan pada umumnya dan delinkuensi anak khususnya, membawa pembicaraan ini
pada Kebijakan Kriminal (criminal policy) . Kebijakan kriminal sebagai
usaha rasional masyarakat untuk menanggulangi kejahatan , di dalam gerak
operasionalnya terarah pada dua jalur , yaitu (a) Kebijakan Kriminal Jalur Penal
dan (b) Kebijakan Kriminal Jalur Nonpenal . Secara kasar, dapat dibedakan,
bahwa upaya penanggulangan kejahatan jalur penal lebih menitikberatkan pada
sifat “represif” (penumpasan/penangkalan/ pengendalian) sebelum kejahatan
terjadi . Dikatakan pembedaan secara kasar , karena pada hakekatnya , tindakan
represif juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas.
B. PEMBAHASAN
Peradilan anak restoratif berangkat dari
asumsi bahwa tanggapan atau reaksi terhadap perilaku delinkuensi anak tak
efektif tanpa adanya kerja sama dan keterlibatan dari korban, pelaku dan
masyarakat. Prinsip yang menjadi dasar ialah bahwa keadilan paling baik
terlayani,apabila setiap pihak menerima perhatian secara adil dan seimbang ,
aktif dilibatkan dalam proses peradilan dan memperoleh keuntungan secara
memadai dari interaksi mereka dengan sistem peradilan anak.
Memperhatikan ciri-ciri serta
karakteristik model peradilan anak restoratif yang tidak saja berdimensi tunggal
dan pengendalian pelaku delinkuen (seperti model pembinaan pelaku perorangan
dan retributif) melainkan berdimensi jamak pelaku, korban dan masyarakat, tidak
punitif tidak membekaskan stigma , tidak mengaliensikan anak pelaku dengan
keluargadan peergroup nya , cukup menjanjikan dan perlu dipertimbangkan dalam
penanganan anak delinkuen di Indonesia masa datang.
Untuk memberikan gambaran mengenai
kecenderungan akomodasi paradigma peradilan anak restoratif dalam peradilan
anak restoratif dalam peradilan pidana anak, di bawah ini dikemukakan praktik
peradilan anak di Negeri Belanda .
Di dalam hukum pidana anak Belanda ,
ditentukan sanksi-sanksi yang dapat diterapkan bagi anak-anak dengan tingkat
usia tertentu. Stelsel sanksi bagi anak berupa pidana dan tindakan.
Karakteristik hukum pidana anak Belanda terletak pada azas yang melandasi penyelenggaraan
peradilan pidana berupa azas pedagogik. Sanksi bagi anak di dalamnya harus
terkandung unsur pedagogik. Metode penanganan alternatif dalam fase penyidikan
dan fase-fase berikutnya (termasuk
sanksi alternatif) diberikan legitimasi secra mendasar dalam hukum pidana anak
yang tertuang di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda ( Wetboek
van Strafrecht – disingkat Sr)
Peraturan perundang-undangan pidana anak
terdapat dalam Bab VII A, “Ketentuan Khusus untuk Anak” Buku I Wetboek van
Starfrecht-Sr. Ketentuan itu terdapat dalam Pasal 77a s/d 77 gg Sr. Tanpa
mengurangi arti penting dari pasal-pasal tersebut diatas, sajian berikut akan
lebih difokuskan pada karakteristik hukum pidana anak Belanda yang mencerminkan
sifat-sifat model peradilan anak restoratif. Seperti telah disinggung dimuka ,
bahwa sifat pedagogik sangat menonjol dan menjadi ciri hukum pidan anak Belanda
. Sifat pedagogik ini dapat ditelusuri dari ketentuan-ketentuan pasalnya ,
terutama ketentuan yang mengatur tentang diversi dalam bentuk transaksi oleh
polisi dengan anak pelaku tindak pidana. Transaksi polisi dengan anak ini
terwujud dalam bentuk kerja sama dengan biro HALT (Het Alternatief).
Pejabat penyelidik dapat membuat
kebijakan tertentu sebagai wujud kepenjangan kewenangan Penuntut Umum terhadap
seseorang yang melakukan tindak pidana tertentu yang umurnya di bawah 12 tahun.
Kebijakan itu dimaksudkan , polisi dapat merumuskan satu persyaratan atas diri
terdakwa anak lewat persyaratan itu penuntutan pidana dapat dicegah. Kewenangan
polisi ini merupakan kepanjangan kewenangan untuk melakukan transaksi dari
penuntut umum seperti diatur dalam Pasal 74 ayat (1) Sr.
Dalam praktik polisi mengembangkan
kebijakan proses verbal dalam penanganan tindak pidana anak. Dalam sejumlah
kasus, penyusunan proses verbal dibelokan (diversi) atau dicukupkan dengan
proses verbal singkat atau laporan sumir.itu semua dikaitkan dengan sifat
tindak pidana yang diperbuat dan umur pelaku serta rekam kejahatan (criminal
record) si pelaku. Untuk pelaku pemula dan tidak untuk semua jenis tindak pidana dilakukan penanganan di luar jalur yustisial konvensional . Di
dalam kejadian ini anak pelaku diarahkan langsung pada program-program
pemberian pertolongan pada anak atau ditangani lewat pembicaraan antara polisi
dengan anak pelaku, orang tua pelaku , korban , keluarga korban, atau mungkin
dirasakan cukup kepada anak diberikan sanksi tegoran keras dan pembayaran ganti
kerugian pada korban.Keseluruhan langkah penanganan polisi itu tanpa dikiuti
pengiriman proses verbal ke penuntut umum. Ditingkat permulaan penyelesaian
dari kepolisian ini muncul beraneka ragam proyek kerjasama antara instansi yang
terarah pada upaya pemberian pertolongan anak sifatnya mendidik anak pelaku
delinkuen . salah satu yang hingga kini terkenal adalah kerja sama kepolisian
dengan Biro HALT.
Contoh kegiatan Biro HALT dalam
melaksanakan transaksi polisi dapat dikemukakan berikut ini .
Penanganan Kasus Pencurian seorang Anak
di Mall
Kasusnya menyangkut seorang anak yang
bernama B mencuri barang di Mall. Perbuatan B diketahui Petugas Keamanan Mall
yang bersangkutan , dan ditangkap , dan diserahkan pada polisi . Atas dasar
pemahaman polisi, perbuatan B memenuhi syarat untuk diikut sertakan program
HALT. Transanksi yang ditawarkan oleh polisi diterima oleh B dan orang tuanya. Petugas
HALT kemudian memanggil B beserta orang tuanya , pemilik Mall (korban) dan
polisi . perjanjian yang dihadiri oleh pihak-pihak itu kemudian secara
bersama-sama melakukan “perundingan” untuk menentukan “sanksi” yang harus
dijatuhkan pada si B. Kesepakatan yang terjadi antara anak pelaku, orang tuan
anak , korban (pemilik Mall) , petugas HALT dan polisi. B harus mengembalikan
barang yang telah dicurinya kepada pemilik Mall dan untuk menebus kesalahannya
si B harus membersihkan lantai Mall selama 2 bulan, yang pengerjaannya dilakukan
tiap akhir minggu selama 2 jam, yang waktunya bebas ditentukan sendiri oleh B,
sesuai dengan waktu luangnya . Pada akhirnya B dilaporkan telah menyelesaikan
“tugas” Pada akhirnya B dilaporkan telah menyelesaikan “tugas” nya dengan baik
dan tidak ada lagi penuntutan pidana atas diri B.
Hal yang menarik dari kasus diatas,
penanganan biro HALT dan polisi itu adalah bahwa (a) telah terjadi penyelesaian kasus-kasus
delinkuensi anak di luar jalur yustisial konvensional; (b) telah terjadi
penyelesaian kasus-kasus delinkuensi anak yang betul-betul mencerminkan
“penyelesaian kinflik” lewat “kesepakatan” antara pelaku, keluarga pelaku,
korban, keluarga korban dan petugas (Polisi dan Petugas HALT) ; (c) :”sanksi”
atas diri anak diputuskan atas dasar hasil kesepakatan semua pihak yang
disaksikan oleh petugas (Polisi dan HALT); (d) korban dalam proses ini memberikan
peran aktif secara bersama-sama menentukan “sanksi” yang harus diterimakan pada
anak pelaku delinkuen.
Memperhatikan (a) praktik penyelesaian
kasus-kasus pidana anak di Indonesian yang masuh tinggi kecenderungannya
meninggalkan stigma pada diri anak; (b) hasil penyelesaian kasus pidana model
peradilan anak restoratif yang cenderung positif (baik bagi pelaku, korban dan
masyarakat) dan (c) praktek-praktek penerapan pola penyelesaian kasus-kasus
anak di beberapa negara yang menunjukkan kecenderungan model peradilan anak
restoratif dan (d) besarnya perhatian PBB akan pola penyelesaian restoratif
yang kemudian tertuang dalam UN Declaration on the Basic Principles on the
Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters, maka cukup
beralasan bila di Indonesia dikembangkan model-model penyelasian kasus-kasus
pidana anak kearah model peradilan anak restoratif di masa datang.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam
hal implikasi model peradilan anak restoratif di Indonesia, adalah (a)
reformasi sistem perundang-undangan (substantif dan prosedural) penyelenggaraan
pengadilan anak dengan cara mengadopsi prinsip-prinsip peradilan anak
restoratif; (b) mempertimbangkan potensi yang diliki BAPAS , BAPAS perlu
diberdayakan bukan saja sebagai lembaga yang memberikan laporan sosial anak
pelaku delinkuen dalam sistem peradilan pidana anak melainkan, sebagai lembaga
penyelenggara berlangsungnya rekonsiliasi dalam bentuk familygroup
conference yang mempertemukan anak pelaku beserta keluarganya , teman-teman
peer-group nya , korban dan keluargnya , masyarakat yang difasilitasi oleh
petugas BAPAS sehingga terwujud cara-cara alternatif penanganan anak delinkuen
seperti terkandung dalam model peradilan anak restoratif.
C. KESIMPULAN
Dari beberapa keterangan yang telah
disajikan diatas dapat diambil pokok-pokok pikiran sebagai berikut :
1. Implementasi UU No. 3 tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak sebagai wujud konkrit penanganan kasus pidana anak di
masyarakat cenderung membekaskan stigma pada diri anak . Stigmatisasi anak
sangat merugikan masa depan perkembanangan jiwa anak dan menjadi faktor
kriminogen terjadinya delinkuensi anak.
2. Kecenderungan itu terjadi karena UU No 3
tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (1) secara substantif cacat hukum. Ketentuan
formulatif yang memungkinkan pelaku anak ditangani secara alternatif (ketentuan
tentang diversi) tidak ada; (2) secara prosedural tidak didukung (a) profesionalisme
penegak hukum yang membidangi anak; (b) keterbatasan prasarana dan sarana
tempat penahanan dan pembinaan khusus bagi anak (anak binaan ditempatkan
bersama-sama dengan penjahat dewasa).
3. Penyelenggaraan peradilan anak
berdasarkan UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalam praktek masih
didominasi pendekatan terapeutik, satu pendekatan yang dijiwai model peradilan
pembinaan anak secara perorangan (Individual Treatment Model).
Penyelesaian kasus-kasus pidana anak dengan model ini tanpa didukung
lembaga-lembaga yang memadai cenderung kurang efektif dalam menanggulangi
terjadinya delinkuensi anak di masyarakat.
4. Di dalam perkembangan kajian akademis
kriminologik dijumpai satu model peradilan anak yang lebih menjanjikan
penyelesaian konflik (conflikt opplossing) nirstigma dan berdimensi
jamak, pelaku dan keluarganya , teman-teman (peergroup) pelaku petugas
kemasyarakatan , petugas hukum dan masyarakat secara luas. Model peradilan anak
restoratif telah dipraktekkan di berbagai negara, karena sifatnya yang
mencerminkan perlindungan hak-hak anak pelaku delinkuen pada khususnya dan
perlindungan hak-hak anak pada umunya.
5. Konsep restorative justice dewasa ini
memperoleh perhatian PBB, bahkan PBB telah menganjurkan perlunya
didayagunakanya konsep tersebut secara lebih luas dalam sistem peradilan pidana
melalui UN Declaration on the Basic Principles on the Use of Restorative
Justice Programmes ini Criminal matters.
6. Atas dasar itu, maka sudah saatnya model
peradilan anak restoratif dipertimbangkan sebagai azas peradilan anak di
Indonesia . Model ini ada kesesuaiannya dengan model penyelesaian konflik
terpadu (integral) yang terkandung dalam nilai-nilai filsafati bangsa ini,
Pancasila, hak-hak anak yang terkandung dalam Konvensi Hak Anak , dan
kecenderungan internasional (deklarasi PBB)
7. Implikasi model peradilan anak restoratif
di Indonesia dilakukan dengan cara mereformasi sistem perundang-undangan
(substantif dan prosedural) tentang pengadilan anak dengan mengakomodasi
prinsip-prinsip model peradilan anak restoratif dan memberdayakan BAPAS sebagai
salah satu lembaga penyelenggara model peradilan anak restoratif.
DAFTAR PUSTAKA
Paulus Hadi Suprapto, 2006, Peradilan
Restoratif : Model Peradilan Anak
Indonesia Masa Datang ; Universitas Diponegoro;Semarang
Wawan Tunggul Alam,2008, Kasus-kasus Hukum
dalam Kehidupan
sehari-hari , Hukum Bicara Masalah Keluarga,
Perdata, Pidana , Hukum Pidana & Perdata ,Bentara Cipta Prima ; Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar