Minggu, 03 Juni 2012

sepenggal kisah dari belitong

Orang tua itu datang menemuiku lagi, masih dengan penampilan yang sama seperti minggu kemarin, memakai jaket doreng, berkaca mata, bertopi dan masih dengan logat ceplas-ceplos seolah mengambarkan hatinya yang sedang menyimpan galau, beliau datang dari jauh, dari Belitong, kesan pertama yang muncul dibenakku ketia ia memperkenalkan nama dan menyebut alamat tinggalnya di belitong , saya jadi teringat cerita "Laskar Pelangi" .

Memang hampir sama dengan kisah Laskar Pelangi, yaitu semangatnya, semangat untuk berjuang agar tetap hidup agar bisa mengangkat derajat anak-anaknya yang sedang menempuh bangku kuliah. Mestinya , kalau bukan karena semangat dan motivasi yang tinggi, enggan ia pergi meninggalkan kampung halamannya di Jawa, bersama transmigran , menyeberangi laut menuju belitong untuk membangun cita-citanya, padahal separuh dari hidupnya telah diabdikan sebagai tentara penjaga dan pembela ibu pertiwi, perang dan tugas tugas yang berat ,bertaruh nyawa telah dia jalani.

Dua puluh  enam tahun, ia tinggal di Belitong sebagai transmigran, pahit, getir dilalui dengan sabar dan ikhlas, purnawirawan itu rela , menyabit rumput, menanam mrica, mencari getah karet, padahal usianya tidak muda lagi , badan loyo, mata rabun, dan sendi-sendinya telah terjangkit "asam urat", apakah ia mengeluh ?, ia tidak mengeluh , ia tetap tegar , seringkali rumput yang telah ia siangi , kemudia ditata    hendak dinaikkan ke sepeda tuanya, namun banyak tetangga tidak tega, anak-anak muda disekitar rumahnya yang telah menganggap dia sebagai, bapaknya, kakeknya, tetuanya , tidak rela purnawirawan itu berpeluh, maka diangkutlah rumput itu dengan motor para pemuda tetangganya.

Kini ia telah tua usianya 82 tahun, mestinya ia istirahat menikmati buah dari pohon yang ia tanam dan ia semai sepanjang hari.Ia tinggal memanen investasi yang ia tanam dengan cucuran peluh bahkan tetasan air matanya , aku jadi ingat lagunya Ebiet G.AD yang berjudul  AYAH , yang syairnya sebagai berikut:

 Dimatamu masih tersimpan selaksa peristiwa,

Benturan dan hempasan terpahat dikeningmu

Bahumu yang dulu kekar , legam terbakar Matahari , kini kurus dan terbungkuk

Namun semangat tak pernah pudar, meski langkahmu kadang gemetar , namun kau tetap tabah

Ayah..... dalam hening sepi kurindu

Untuk menuai padi milik kita

Tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan, anakmu sekarang banyak menanggung beban.

Engkau telah mengerti hitam dan merah jalan ini

Keriput tulang pipimu gambaran perjuangan.

Kau tampak tua dan lelah keringat mengucur deras .

**************

Kini dihari tuanya , pak tua dari Belitong itu, sepi menapak hari-hari, istrinya tak lagi peduli, anak-anaknya telah disibukkan dengan dunianya sendiri, kadang ia bosan , kadang ia menahan kesabaran, suatu hari ia bertanya pada istrinya ,kenapa ia tak dihiraukan, adanya seperti tidak adanya "wujuduhu ka 'adamihi", apa jawab istrinya , katanya telah bosan dan memilih hidup sendiri, pak tua itu kaget, hatinya seperti disayat sembilu, bagai mendengar petir disiang bolong, tak disangka tak dinyana.

Kepada siapa ia mengadu ?

Anak-anaknya yang telah ia besarkan dengan separuh jiwanya juga tak peduli lagi.

Suatu hari ia dipanggil ke Jakarta ke rumah buah hatinya yang telah mengenyam strata tiga, ia datang bersama istrinya, penuh harap dalam hatinya agar anaknya memberikan jalan keluar yang bijaksana, namun betapa ia kecewa, apa yang terlontar dari mulut anaknya " Bapak silahkan tinggalkan ibu, ibu ingin sendiri, bapak tidak boleh pulang kerumah ibu lagi, kalau bapak menghendaki rumah ibu , bapak tidak punya hak lagi atas rumah itu, nanti bapak saya beri uang 60 juta sebagai ganti rugi"

Duh, orang tua itu hanya bisa bilang " oalah , ngger ...., itukah hasil pendidikanmu , yang telah kau capai, kau semakin pintar tetapi tidak semakin benar".

Lalu ia pulang , ke Jawa malam itu juga, ia telah berulangkali ikut perang , menghadapi peluru musuh saat ia berdinas, peluru tidak mampu menembus kulitnya, tapi kini , bukan musuh yang melukainya, ternyata anaknya telah memancang busur dan menancapkan anak panah tepat didadanya, ia sakit, sakit sekali.

Ia bercerita padaku, dengan linangan air mata.

Magelang, Medio April 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar