Oleh :
H.Hanif Hanani, SH,MH*
Keadilan menurut Ulpianus adalah “ Justitia est
perpetua at constans voluntas jus suum cuique tribuendi “ yang artinya
keadilan ialah suatu kemauan yang terus menerus dan tetap untuk memberikan
kepada orang , apa yang menjadi haknya.
Sepanjang pekan ini, tiada henti pemberitaan media tentang pemberian grasi
untuk corby yang banyak menuai tanggapan,kritikan , polemic, namun juga pembelaan
bahkan yang lebih menggigit adalah rencana “Granat” untuk mem”PTUN” kan
Presiden karena pemberian grasi 5 tahun untuk Corby yang dianggap melawan
semangat perang terhadap peredaran narkoba.
Kalau kita mau berpikir dengan jernih, tanpa emosi
apalagi lantas menarik-narik kasus grasi ini keranah politik “politicking” , ada
wacana DPR untuk menggunakan hak Interpelasi ,tidak perlu sampai kesana ,
bukankah konstitusi kita memberikan kewenangan kepada kepala Negara dalam hal ini, presiden untuk memberikan grasi
sebagai hak presiden di bidang hukum,
untuk memberikan pengurangan hukuman atau bahkan pembebasan hukuman sama
sekali, misalnya hukuman mati di kurangi menjadi seumur hidup atau bisa saja
bahkan dibebaskan dari hukuman .
Artinya apa? Kalau kemudian beberapa kalangan
mepermasalahkan “grasi” nya atau kewenangan presiden memberikan pengurangan
hukuman atau bahkan pengampunan, tentu hal itu tidak bisa dibenarkan atau
seolah-olah “menganulir” konstitusi yang telah kita sepakati. Apalagi dalam
pemberian grasi tersebut presiden tidak bertindak sendiri, harus ada pertimbangan
dari Mahkamah Agung, dan saya yakin , grasi yang diputuskan presiden telah
melalui kajian-kajian mendalam dari Kemenkumham RI, apakah adil kalau hanya
presiden saja yang disalahkan, dan yang lebih urgen , grasi yang telah diberikan presiden kepada
terpidanan , siapapun itu orangnya kalau sudah ditetapkan , pantang untuk
diungkit-ungkit, apalagi di batalkan ,dalam tataran pergaulan Internasional,
hal itu akan mengurangi kewibawaan presiden sebagai kepala Negara.
Peran Australia ?
Apakah Australia berperan, dibalik putusan grasi 5 tahun
untuk Corby ? hal ini juga yang sekarang ini ramai diperbincangkan , bahkan
mendekati gaduh, orang-orang berteori tentang “tekanan” Australia terhadap
presiden kita, sehingga muncul grasi tersebut. Kalaupun Australia berperan
dalam pemberian grasi untuk Corby,
bukankah hal itu wajar , itulah yang lazim disebut “diplomasi hukum” untuk
warga negaranya, bukan malah dibiarkan saja warga Negara dihukum dinegara
lain,diabaikan dan Negara seolah-olah
membiarkan warganegaranya dihukum dengan hukuman apapun (Pancung, gantung ,dll)
tanpa diplomasi bahkan tanpa advokasi .
Hanya saja , sekarang ini terjadi benar sinyalemen yang
mengatakan bahwa hukum hanya tajam kebawah tetapi tumpul keatas atau hukum
keras didalam negeri (untuk warga Negara RI) tetapi lunak untuk warga negara Asing , ini mungkin yang mirip dengan politik dagang
dengan proteksi “Dumping” , harga
lebih mahal didalam negeri dan dijual murah diluar negeri.
Inkonsistensi, Diskrimasi , Standar ganda
Kita sudah sepakat bahwa kejahatan “ Korupsi, teroris
dan Penyalahgunaan Narkoba “ adalah termasuk kejahatan dengan katagori “Exstra
ordinary crime”, suatu kejahatan yang luar biasa maka ketiga jenis
kejahatan tersebut harus diperangi bersama
atau sebagai musuh bersama .Namun yang kita saksikan seolah –olah pemerintah melakukan
tindakan inkonsistensi, tebang pilih atau bahkan standar ganda terhadap
penegakan hukum , ada tiga hal yang dapat saya sampaikan , yang pertama , belum
lama kita berpolemik tentang “moratorium” remisi, sehingga beberapa
koruptor menjadi korban kebijakan yang kurang populis ini, namun dengan
berbagai alasan Kemenkumham mengatakan, demi memenuhi rasa keadilan masyarakat
atau bahkan katanya untuk memberikan efek jera bagi para koruptor, okelah kita
terima sebagai langkah maju dalam bidang penegakan hukum “ Law inforcement”.
Kedua , yaitu kasus hukuman mati terhadap Imam Samudra,
ketika itu Imam Samudra dan kawan-kawan , mengajukan grasi kepada presiden ,
namun ditolak, sehingga terlaksanalah ekskusi hukuman mati bagi Imam samudra
Cs, rupa-rupanya dalam hal ini pemerintah konsisten terhadap penegakan hukum,
terutama bagi pelaku kejahatan teroris ?
Ketiga , kasus grasi 5 tahun untuk Corby, disinilah
letak inkonsistensi pemerintah dibidang penegakan hukum, dua kasus yang saya
kemukakan diatas , pemerintah, tegas menerapkan hukum , terhadap dua pelaku
kejahatan “ Korupsi dan Teroris” , namun untuk kejahatan yang sama-sama
tergolong “Exstra ordinary crime”, pemerintah dalam hal ini Presiden
telah ber”kompromi” dengan kejahatan Narkotika , buktinya adalah pemberian
grasi 5 tahun untuk terpidana kasus penyelundupan Ganja 4,2 Kg ,sedangkan pada kasus sejenis , di PN Tangerang hakim
menjatuhkan Vonis “Mati” bagi kejahatan serupa.
Sekali lagi kita ingat bahwa , kejahatan penyalahgunaan
narkotika dan obat terlarang termasuk kejahatan internasional (International
crime) harus ditangani secara serius dengan perangkat hukum yang luar biasa
(extra legal instrument).
Apa yang sudah terjadi
biarlah terjadi, janganlah kita mempertaruhkan
martabat presiden, dengan memaksa presiden membatalkan Grasi untuk Corby
, kita jadikan pembelajaran agar kelak tidak terjadi lagi, walaupun toh Grasi
menjadi kewenangan presiden, namun perlu juga mempertimbangkan
kepentingan-kepentingan yang lebih luas, agar hukum tidak menjadi seperti “sarang laba-laba”, dimana
yang bisa terjaring oleh hukum hanyalah orang-orang kecil dan orang-orang yang lemah,
sementara orang yang kuat dapat saja melenggang, dengan diplomasi hukum atau kompromi-kompromi.
Kata kuncinya adalah ,Keadilan menurut Ulpianus “ Justitia est perpetua at constans voluntas
jus suum cuique tribuendi “ yang artinya keadilan ialah suatu kemauan yang
terus menerus dan tetap untuk memberikan kepada orang , apa yang menjadi
haknya.
*Hanif Hanani,SH,MH, Pemerhati masalah hukum tinggal di
Magelang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar