Minggu, 27 Mei 2012

KONTROVERSI GRASI UNTUK CORBY



                                        Oleh : H.Hanif Hanani, SH,MH*                                       
Keadilan menurut Ulpianus adalah “ Justitia est perpetua at constans voluntas jus suum cuique tribuendi “ yang artinya keadilan ialah suatu kemauan yang terus menerus dan tetap untuk memberikan kepada orang , apa yang menjadi haknya.
Sepanjang pekan ini, tiada henti  pemberitaan media tentang pemberian grasi untuk corby yang banyak menuai tanggapan,kritikan , polemic, namun juga pembelaan bahkan yang lebih menggigit adalah rencana “Granat” untuk mem”PTUN” kan Presiden karena pemberian grasi 5 tahun untuk Corby yang dianggap melawan semangat perang terhadap peredaran narkoba.
Kalau kita mau berpikir dengan jernih, tanpa emosi apalagi lantas menarik-narik kasus grasi ini keranah politik “politicking” , ada wacana DPR untuk menggunakan hak Interpelasi ,tidak perlu sampai kesana , bukankah konstitusi kita memberikan kewenangan kepada kepala Negara  dalam hal ini, presiden untuk memberikan grasi sebagai  hak presiden di bidang hukum, untuk memberikan pengurangan hukuman atau bahkan pembebasan hukuman sama sekali, misalnya hukuman mati di kurangi menjadi seumur hidup atau bisa saja bahkan dibebaskan dari hukuman .
Artinya apa? Kalau kemudian beberapa kalangan mepermasalahkan “grasi” nya atau kewenangan presiden memberikan pengurangan hukuman atau bahkan pengampunan, tentu hal itu tidak bisa dibenarkan atau seolah-olah “menganulir” konstitusi yang telah kita sepakati. Apalagi dalam pemberian grasi tersebut presiden tidak bertindak sendiri, harus ada pertimbangan dari Mahkamah Agung, dan saya yakin , grasi yang diputuskan presiden telah melalui kajian-kajian mendalam dari Kemenkumham RI, apakah adil kalau hanya presiden saja yang disalahkan, dan yang lebih urgen , grasi  yang telah diberikan presiden kepada terpidanan , siapapun itu orangnya kalau sudah ditetapkan , pantang untuk diungkit-ungkit, apalagi di batalkan ,dalam tataran pergaulan Internasional, hal itu akan mengurangi kewibawaan presiden sebagai kepala Negara.
Peran Australia ?
Apakah Australia berperan, dibalik putusan grasi 5 tahun untuk Corby ? hal ini juga yang sekarang ini ramai diperbincangkan , bahkan mendekati gaduh, orang-orang berteori tentang “tekanan” Australia terhadap presiden kita, sehingga muncul grasi tersebut. Kalaupun Australia berperan dalam pemberian  grasi untuk Corby, bukankah hal itu wajar , itulah yang lazim disebut “diplomasi hukum” untuk warga negaranya, bukan malah dibiarkan saja warga Negara dihukum dinegara lain,diabaikan dan Negara   seolah-olah membiarkan warganegaranya dihukum dengan hukuman apapun (Pancung, gantung ,dll) tanpa diplomasi bahkan tanpa advokasi .
Hanya saja , sekarang ini terjadi benar sinyalemen yang mengatakan bahwa hukum hanya tajam kebawah tetapi tumpul keatas atau hukum keras didalam negeri (untuk warga Negara RI)  tetapi lunak   untuk warga negara Asing  , ini mungkin yang mirip dengan politik  dagang  dengan proteksi  “Dumping” , harga lebih mahal didalam negeri dan dijual murah diluar negeri.      
Inkonsistensi, Diskrimasi , Standar ganda
Kita sudah sepakat bahwa kejahatan “ Korupsi, teroris dan Penyalahgunaan Narkoba “ adalah termasuk kejahatan dengan katagori “Exstra ordinary crime”, suatu kejahatan yang luar biasa maka ketiga jenis kejahatan tersebut  harus diperangi bersama atau sebagai musuh bersama .Namun yang kita saksikan seolah –olah pemerintah melakukan tindakan inkonsistensi, tebang pilih atau bahkan standar ganda terhadap penegakan hukum , ada tiga hal yang dapat saya sampaikan , yang pertama , belum lama kita berpolemik tentang “moratorium” remisi, sehingga beberapa koruptor menjadi korban kebijakan yang kurang populis ini, namun dengan berbagai alasan Kemenkumham mengatakan, demi memenuhi rasa keadilan masyarakat atau bahkan katanya untuk memberikan efek jera bagi para koruptor, okelah kita terima sebagai langkah maju dalam bidang penegakan hukum “ Law inforcement”.
Kedua , yaitu kasus hukuman mati terhadap Imam Samudra, ketika itu Imam Samudra dan kawan-kawan , mengajukan grasi kepada presiden , namun ditolak, sehingga terlaksanalah ekskusi hukuman mati bagi Imam samudra Cs, rupa-rupanya dalam hal ini pemerintah konsisten terhadap penegakan hukum, terutama bagi pelaku kejahatan teroris ?
Ketiga , kasus grasi 5 tahun untuk Corby, disinilah letak inkonsistensi pemerintah dibidang penegakan hukum, dua kasus yang saya kemukakan diatas , pemerintah, tegas menerapkan hukum , terhadap dua pelaku kejahatan “ Korupsi dan Teroris” , namun untuk kejahatan yang sama-sama tergolong “Exstra ordinary crime”, pemerintah dalam hal ini Presiden telah ber”kompromi” dengan kejahatan Narkotika , buktinya adalah pemberian grasi 5 tahun untuk terpidana kasus penyelundupan Ganja 4,2 Kg ,sedangkan  pada kasus sejenis , di PN Tangerang hakim menjatuhkan Vonis “Mati” bagi kejahatan serupa.
Sekali lagi kita ingat bahwa , kejahatan penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang termasuk kejahatan internasional (International crime) harus ditangani secara serius dengan perangkat hukum yang luar biasa (extra legal instrument).
 Apa yang sudah terjadi biarlah terjadi, janganlah kita mempertaruhkan  martabat presiden, dengan memaksa presiden membatalkan Grasi untuk Corby , kita jadikan pembelajaran agar kelak tidak terjadi lagi, walaupun toh Grasi menjadi kewenangan presiden, namun perlu juga mempertimbangkan kepentingan-kepentingan yang lebih luas, agar hukum tidak  menjadi seperti “sarang laba-laba”, dimana yang bisa terjaring oleh hukum hanyalah  orang-orang kecil dan orang-orang yang lemah, sementara orang yang kuat dapat saja melenggang, dengan diplomasi hukum atau kompromi-kompromi.
Kata kuncinya adalah ,Keadilan menurut Ulpianus  Justitia est perpetua at constans voluntas jus suum cuique tribuendi “ yang artinya keadilan ialah suatu kemauan yang terus menerus dan tetap untuk memberikan kepada orang , apa yang menjadi haknya.
*Hanif Hanani,SH,MH, Pemerhati masalah hukum tinggal di Magelang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar