Kamis, 09 Agustus 2012

WAKAF UANG DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM OLEH : H.HANIF HANANI,SH,MH Dikalangan ulama fiqih klasik , hukum mewakafkan uang merupakan persoalan yang masih diperselisihkan (debatable, ikhtilaf) . Perselisihan tersebut tidak lepas dari tradisi yang lazim dimasyarakat bahwa mewakafkan harta hanya berkisar pada harta tetap (fixed asset), dan pada penyewaan harta wakaf. Berdasarakan tradisi yang lazim tersebut, maka sebagian ulama masa silam merasa aneh saat mendengar fatwa yang dikeluarkan oleh Muhammad bin Abdullah al- Anshori , murid dari Zufar (sahabat Abu Hanifah) tentang bolehnya berwakaf dalam bentuk uang kontan ; dirham atau dinar, dan dalam bentuk komoditi yang ditimbang atau ditakar (seperti makanan gandum). Yang membuat mereka merasa aneh ialah bagaimana mungkin mempersewakan uang wakaf , bukankah hal itu telah merubah fungsi utama dari uang sebagai alat tukar ? kemudian mereka mempertanyakan , “Apa ayang dapat kita lakukan dngan dana cash dirham? “ Terhadap pertanyaan ini Al-Anshari menjelaskan dengan mengatakan , “ Kita investasikan dana itu dengan cara mudharabah, dan labanya kita sedekahkan . Kita jual benda makanan itu, harganya kita putar dengan usaha mudharabah kemudian hasilnya disedekahkan”. Memang dikalangan mazhab-mazhab fikih , masalah wakaf uang pernah dijadikan bahan perdebatan. Dikalangan Syafi’iyah , seperti dikemukakan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya, al Majmu’, “Dan berbeda pendapat para sahabat kita tentang berwakaf dengan dana dirham dan dinar. Orang yang memperbolehkan berwakaf dengannya, dan yang tidak memperbolehkan mewakafkannya”. Dalam mazhab Hanafi , seperti dikemukakan Ibn “Abidin dalam kitabnya , Hasyyat Ibn “Abidin, soal sah tidaknya mewakafkan uang tergantung adat kebiasaan di satu tempat. Wakaf uang dirham dan dinar sudah menjadi kebiasaan di negeri Romawi, sehingga berdasarkan prinsip diatas, wakaf dirham dan dinar sah ditempat itu dan tidak sah ditempat lain. Secara lebih jelas kebolehan wakaf uang terungkap dalam fatwa yang dikeluarkan oleh al- Anshari diatas. Ibnu Taimiyah dalam kitabnya , Majmu’al Fatawa, meriwayatkan satu pendapat dari kalangan Hanabilah yang membolehkan berwakaf dalam bentuk uang. Di samping ada yang membolehkan terdapat pula ulama yang tidak membolehkannya. Ibn Qudamah dalam kitabnya , al-Mughni meriwayatkan satu pendapat dari sebagian besar kalangan ulama yang tidak membolehkan wakaf uang dirham , dengan alasan dirham dan dinar akan lenyap ketika dibayarkan, sehingga tidak ada lagi wujudnya. Paham yang membolehkan berwakaf dalam bentuk uang , membuka peluang bagi asset wakaf untuk memasuki berbagai usaha investasi seperti syirkah, mudharabah dan lainnya. Dalam catatan sejarah Islam , wakaf uang ternyata sudah dipraktekkan sejak awal abad kedua hijriyah. Diriwayatkan oleh Imam Bukhori bahwa Imam al-Zuhri (wafat 124 H) salah seorang ulama terkemuka dana salah seorang peletak dasar kodifikasi hadits (tadwin al Hadits) memfatwakan, dianjurkannya wakaf uang dinar dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah , sosial dan pendidikan umat Isma. Adapun caranya adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf . Namun demikian , faktor resiko , seperti kerugian yang akan mengancam kesinambungan harta wakaf, perlu dipertimbangkan guna mengantisipasi madharat yang lebih besar. DAFTAR PUSTAKA Abdul Wahab Khalaf, ahkam al Waqaf, Mesir : Matba’ah al mishr, 1951 Adirwan A Karim , Wakaf Berderma Untuk Semua; Wacana dan praktik Filantropi Islam, Jakarta ; Teraju , 2004 Daud Ali, Muhammad, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, Jakarta : UI Press, 1988. Dawam Rahardjo, Etika ekonomi dan manajemen, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta , 1990. ---------Ekonomi Islam; Suatu Kajian Ekonomi Makro, Karim Businnes Consulting, Jakarta , 2002 Depag RI, Peraturan Perwakafan ( Waqf Regulations) Depag RI Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji Direktorat Urusan Agama Islam , 1998. Djatnika, Pandangan Islam tentang infaq,sadaqah, zakat danwakaf sebagai komponen dalam pembangunan, Surabaya : al Ikhlas , 1983. Hasan Abdullah Amin , Idarah wa Tasmir mumtalakat al auqaf, Jeddah : Al Ma Tiad al Islamy li al buhus wa al Tadrib ala bank al islamy li al Tanmiyah, 1989. Hasan Langgulung, Azaz-azaz pendidikan Islam , PT .Al-Husna Zikra , Jakarta, 2000. Hendra Kholid, Wakaf Tunai upaya menyejahterakan umat, Makalah disampaikan pada Orientasi Perwakafan Mahasiswa Se Jawa . Ibn. Taimiyah, Majmu’ al Fatawa , Jilid 18 , Juz 31, Beirut ; Dar al Kutub Ilmiyah, 2000.WAKAF UANG DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMImam Suhadi, Hukum Wakaf di Indonesia , Yogya





OLEH : H.HANIF HANANI,SH,MH


Dikalangan ulama fiqih klasik , hukum mewakafkan uang merupakan persoalan yang masih diperselisihkan (debatable, ikhtilaf) . Perselisihan tersebut tidak lepas dari tradisi yang lazim dimasyarakat bahwa mewakafkan harta hanya berkisar pada harta tetap (fixed asset), dan pada penyewaan harta wakaf.
Berdasarakan tradisi yang lazim tersebut, maka sebagian ulama masa silam merasa aneh saat mendengar fatwa yang dikeluarkan oleh Muhammad bin Abdullah al- Anshori , murid dari Zufar (sahabat Abu Hanifah) tentang bolehnya berwakaf dalam bentuk uang kontan ; dirham atau dinar, dan dalam bentuk komoditi yang ditimbang atau ditakar (seperti makanan gandum).  Yang membuat mereka merasa aneh ialah bagaimana mungkin mempersewakan uang wakaf , bukankah hal itu telah merubah fungsi utama dari uang sebagai alat tukar ? kemudian mereka mempertanyakan , “Apa ayang dapat kita lakukan dngan dana cash dirham? “ Terhadap pertanyaan ini Al-Anshari menjelaskan dengan mengatakan , “ Kita investasikan dana itu dengan cara mudharabah, dan labanya kita sedekahkan . Kita jual benda makanan itu, harganya kita putar dengan usaha mudharabah kemudian hasilnya disedekahkan”.[1]
Memang dikalangan mazhab-mazhab  fikih , masalah wakaf uang pernah dijadikan bahan perdebatan. Dikalangan Syafi’iyah , seperti dikemukakan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya, al Majmu’, “Dan berbeda pendapat para sahabat kita tentang berwakaf dengan dana dirham dan dinar. Orang yang memperbolehkan berwakaf dengannya, dan yang tidak memperbolehkan mewakafkannya”. Dalam mazhab Hanafi , seperti dikemukakan Ibn “Abidin dalam kitabnya , Hasyyat Ibn “Abidin, soal sah tidaknya mewakafkan uang tergantung adat kebiasaan di satu tempat. Wakaf uang dirham dan dinar sudah menjadi kebiasaan di negeri Romawi, sehingga berdasarkan prinsip diatas, wakaf dirham dan dinar sah ditempat itu dan tidak sah ditempat lain. Secara lebih jelas kebolehan wakaf uang terungkap dalam fatwa yang dikeluarkan oleh al- Anshari diatas. Ibnu Taimiyah dalam kitabnya , Majmu’al Fatawa, meriwayatkan satu pendapat dari kalangan Hanabilah yang membolehkan berwakaf dalam bentuk uang.
Di samping ada yang membolehkan terdapat pula ulama yang tidak membolehkannya. Ibn Qudamah dalam kitabnya , al-Mughni meriwayatkan satu pendapat dari sebagian besar kalangan ulama yang tidak membolehkan wakaf uang dirham , dengan alasan dirham dan dinar akan lenyap ketika dibayarkan, sehingga tidak ada lagi wujudnya.
Paham yang membolehkan berwakaf dalam bentuk uang , membuka peluang bagi asset wakaf untuk memasuki berbagai usaha investasi seperti syirkah, mudharabah dan lainnya.
Dalam catatan sejarah Islam , wakaf uang ternyata sudah dipraktekkan sejak awal abad kedua hijriyah. Diriwayatkan oleh Imam Bukhori bahwa Imam al-Zuhri (wafat 124 H) salah seorang ulama terkemuka dana salah seorang peletak dasar kodifikasi hadits (tadwin al Hadits) memfatwakan, dianjurkannya wakaf uang dinar dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah , sosial dan pendidikan umat Isma. Adapun caranya adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf . Namun demikian , faktor resiko , seperti kerugian yang akan mengancam kesinambungan harta wakaf, perlu dipertimbangkan guna mengantisipasi madharat yang lebih besar.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab Khalaf, ahkam al Waqaf, Mesir : Matba’ah al mishr, 1951

Adirwan A Karim , Wakaf Berderma Untuk Semua; Wacana dan praktik Filantropi
                Islam, Jakarta ; Teraju , 2004

Daud Ali, Muhammad, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, Jakarta : UI Press,
                1988.
Dawam Rahardjo, Etika ekonomi dan manajemen, PT. Tiara Wacana Yogya,
                Yogyakarta , 1990.
---------Ekonomi Islam; Suatu Kajian Ekonomi Makro, Karim Businnes Consulting,
                Jakarta , 2002
Depag RI, Peraturan Perwakafan ( Waqf Regulations) Depag RI Ditjen Bimas Islam
                dan Urusan Haji Direktorat Urusan Agama Islam , 1998.
Djatnika, Pandangan Islam tentang infaq,sadaqah, zakat danwakaf sebagai
                komponen dalam pembangunan, Surabaya : al Ikhlas , 1983.
Hasan Abdullah Amin , Idarah wa Tasmir mumtalakat al auqaf, Jeddah : Al Ma Tiad
                al Islamy li al buhus wa al Tadrib ala bank al islamy li al Tanmiyah, 1989.
Hasan Langgulung, Azaz-azaz pendidikan Islam , PT .Al-Husna Zikra , Jakarta, 2000.
Hendra Kholid, Wakaf Tunai upaya menyejahterakan umat, Makalah disampaikan
                pada Orientasi Perwakafan Mahasiswa Se Jawa .
Ibn. Taimiyah, Majmu’ al Fatawa , Jilid 18 , Juz 31, Beirut ; Dar al Kutub Ilmiyah,
                2000.
Imam Suhadi, Hukum Wakaf di Indonesia , Yogya : Dua dimensi, 1995.
Irawan dan Surmoko, Ekonomika Pembangunan, BPEF Yogyakarta , 1995.
Jhon L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, Oxford
                University Press, Volume IV , 1995.
M.M. Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam, Jakarta ; PT. Bangkit Daya Insana,
                1995.
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid III, Kuwait ; Dar al bayan , 1971
Suroso Imam Zadjuli, Standar Pengawasan akad dan transaksi dalam ekonomi
                syari’ah, Makalah disampaikan pada semi lokakarya Program Pasca sarjana
                IAIN  Jakarta , 24 Juli 2001.
Syafi’I Antonio , Bank Syari’ah ; Dari teori ke praktik, Jakarta ; GIP, 2001
T. Ibrahim Alfian, Mata uang emas kerajaan-kerajaan di Aceh, Sen Penerbitan
                Museum negeri Aceh, Banda Aceh, 1979.
Umer Chapra , The Future of Economics; An Islamic Perspective, Jakarta ; SEBI,
 2001.



 



[1] Ibn’Abidin , Raddu al Mukhtar, (Beirut : Dar al Kutub.1994)VI h.555-556

Tidak ada komentar:

Posting Komentar