OLEH
: H.HANIF HANANI,SH,MH
A.
PENDAHULUAN
Franchise
merupakan suatu metode pemasaran atau pendistribusian dengan mana suatu pihak
memberikan kepada pihak lain hak atau privilege untuk melakukan bisnis dengan
cara tertentu di suatu tempat tertentu selama periode waktu tertentu .Cara ini
kadang-kadang menimbulkan kesulitan untuk membedakan tipe hubungan bisnis yang
satu dengan tipe hubungan bisnis yang lain . Pembedaan tersebut hanya mungkin
dapat dipahami melalui perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak . Sebagaimana
diketahui , di Amerika Serikat disamping perundang-undangan yang dibuat oleh
negara-negara bagian (state) atau oleh pemerintah federal, masih berlaku common
law system yang menerapkan asas-asas hukum tidak tertulis dan kepatutan
(equity) termasuk juga mengenai bisnis franchise.
sudah
menerbitkan undang-undang yang secara spesifik mengatur tentang franchise .
Federal Trade Commission Amerika Serikat juga sudah menerbitkan
peraturan-peraturan yang lingkupnya mengatur juga tentang franchise apabila timbul kesulitan dalam hubungan
bisnis franchise , kedua pihak boleh mempertimbangkan pemegang hak untuk
melakukan bisnis sebagai kontraktor independen yang sudah disepakati .
Akan
tetapi , jika pemberi hak mengakhiri hubungan bisnisnya dengan pemegang hak ,
pemegang
hak boleh berupaya untuk mengkhususkan hubungan bisnisnya sebagai suatu
franchise. Bahkan , sebelum hubungan antara kedua belah pihak menjadi
perselisihah yang kurang enak (sours) , badan pemerintah cenderung memandang . hubungan
itu sebagai salah satu pekerjaan, bukan kontrak independen. Jika pemegang
privilege itu seorang pekerja atau lebih berperan sebagai agen daripada seorang
kontraktor independen , undang-undang menghendaki agar pemberi hak itu memotong
upah pekerja untuk kepentingan jaminan sosial dan ganti kerugian akibat kecelakaan
pekerja. Tambahan lagi, dalam keadaan demikian, pemberi hak boleh tunduk pada
ketentuan Undang-undang Tenaga Kerja dan Antitrust.
B.
Pengaturan
Bisnis Franchise di Indonesia
Karena
bisnis franchise begitu menarik dan menguntungkan bagi pengusaha kecil atau
pengusaha lokal , pemerintah memandang perlu mengatur bisnis tersebut . Untuk
menciptakan tertib usaha dengan sisten franchise serta perlindungan terhadap
konsumen , dipandang perlu menetapkan ketentuan tentang franchise dengan
peraturan pemerintah. Pada tanggal 18 Juni 1997 di undangkanlah Peraturan Pemerintah
Nomor 16 Tahun 1997 tentan Waralaba (Franchise) melalui Lembaran Negara Tahun
1997 Nomor 49.
Peraturan
Pemerintah ini merupakan peraturan pelaksanaan dari KUHPdt (Stb.Nomor 23 Tahun
1847) dan Undang-Undang Pengaturan Perusahaan 1934 (Stb. Nomor 86 Tahun 1938).
Peraturan Pemerintah ini terdiri atas sebelas pasal dan mulai berlaku sejak
diundangkan, yaitu pada tanggal 18 juni 1997.
Untuk
meningkatkan peranan dan keikutsertaan masyarakat luas dalam bisnis
franchise , perlu adanya peran serta
pengusaha kecil dan
menengah
, baik sebagai franchisor , frnchisee, maupun sebagai pemasok (supplier) barang dan/atau jasa. Bisnis
franchise perlu dikembangkan dalam rangka mendorong pertumbuhan dan
pengembangan national franchisor. Setiap pengusaha yang menjalankan bisnis
franchise wajib mendaftarkan bisnis franchise-nya itu sehingga dapat diketahui
perkembangan franchise secara nasional . Pendaftaran bisnis franchise merupakan
pelaksanaan dari peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba
(Franchise).
Untuk
melaksanakan pendaftaran tersebut, maka pada tanggal 30 Juli 1997 Menteri
Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) telah mengeluarkan Surat Keputusan
Menperindag Nomor 259/MPP/Kep/7/1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba (Franchise) . Keputusan tersebut terdiri
dari 8 Bab dan 26 Pasal , mulai berlaku sejak ditetapkan , yaitu pada tanggal
30 Juli 1997.
C.
Persayaratan
Bisnis Franchise
1.
Menutamakan
Produksi dalam Negeri
Franchisor
dan Franchisee harus mengutamakan penggunaan barang dan atau bahan hasil
produksi dalam negeti sebanyak banyaknya sepanjang memenuhi standar mutu barang
dan jasa yang disediakan dan atau dijual berdasarkan perjanjian franchise .
Franchisor melakukan pembinaan serta memberi bimbingan dan pelatihan kepada
franchise . Hal ini diatur dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 16
Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 Tahun 1997 dengan rumusan yang sama.
2.
Mengutamakan
Pengusaha Kecil dan Menengah
Franchisor
mengutamakan pengusaha kecil dan menengah sebagaimana franchisee atau
franchisee lanjutan dan/atau pemasok (supplier) dalam rangka penyediaan dan
atau pengadaan barang dan jasa. Dalam hal franchisee atau franchisee lanjutan
bukan merupakan pengusaha kecil dan menengah , franchisor dan franchisee
lanjutan wajib mengutamakan kerja sama dan/atau pasokan barang dan/atau jasa
dari pengusaha kecil dan menengah (Pasal 17 Keputusan Menteri Perindag Nomor
259 Tahun 1997).
3.
Bisnis
franchise dapat diselenggarakan untuk dan di seluruh wilayah Indonesia dan
pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan perkembangan
sosial dan ekonomi dan dalam rangka pengembangan usaha kecil dan menengah
(Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997) . Penyelenggaran
franchise pada dasarnya dilakukan secara bertahap terutama di ibukota propinsi.
Pengembangan franchise diluar ibu kota provinsi seperti di ibu kota kabupaten/
kota dan tempat-tempat tertentu lainnya yang memerlukan kehadiran franchise
dilakukan secara bertahap dan dengan memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan
usaha dan tingkat pertumbuhan sosial dan ekonomi terutama dalam rangka
pengembangan usaha kecil dan menengah di wilayah yang bersangkutan.
Selanjutnya
, penyelenggaraan franchise diatur dalam Keputusan Menteri Perindag Nomor 259
Tahun 1997. Bisnis franchise dapat dilakukan disemua ibu kota provinsi dan
kota/tempat tertentu lainnya di daerah kabupaten yang ditetapkan dari waktu ke
waktu oleh Menteri (Pasal 18 ayat (1) Kepeutusan Menteri Perindag Nomor 259
Tahun 1997). Lokasi bisnis franchise di
ibu kota provinsi yang berada di pasar tradisional dan di luar pasar modern (
mall,
supermarket,
departement store, dan shopping centre) hanya dibolehkan bagi bisnis franchise
yang diselenggarakan oleh pengusaha kecil
(Pasal 18 ayat (3) Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 Tahun 1997).
Bisnis
franchise di kota/ tempat tertentu lainnya di daerah kabupaten ditetapkan oleh
Menteri secara bertahap dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat, tingkat
perkembangan sosial dan ekonomi dan dalam rangka pengembangan usaha kecil dan
menengah di wilayah yang bersangkutan (Pasal 18 ayat (2) Keputusan Menteri
Perindag Nomor 259 Tahun 1997) .
Dikecualikan
oleh ketentuan Pasal 18 tersebut adalah kegaiatan bisnis franchise yang
memperdagangkan khusus barang/makanan/minuman dan jasa tradisional khas
Indonesia dapat diselenggarakan di seluruh wilayah Indonesia oleh usaha kecil
dan menengah dan/atau mengikutsertakan usaha kecil dan menengah (Pasal 20
Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 tahun 1997).
4.
Larangan Lebih
dari satu Franchise
Franchisor dilarang
menunjuk lebih dari satu franchisee di lokasi tertentu yang berdekatan untuk
barang dan/atau jasa yang sama dan menggunakan merek yang sama apabila
diketahui atau patut diketahui bahwa penunjukan lebih dari satu franchise itu
akan mengakibatkan ketidak layakan bisnis franchise di lokasi tersebut.
Larangan ini berlaku juga bagi franchise utama untuk menunjuk lebih dari satu
franchisee lanjutan.
Apabila di suatu
lokasi yang berdekatan sudah adan bisnis franchise yang dilakukan oleh franchisee
atau franchisee lanjutan , di lokasi tersebut dilarang didirikan usaha yang
merupakan cabang dari
franchisor yang
bersangkutan dengan merek yang sama , kecuali untuk barang dan atau jasa yang
berbeda (Pasal 19 Keputusan menteri Perindag Nomor 259 tahun 1997).
D.
Pendaftaran
Bisnis Franchise
1.
Pelaksanaan
Pendaftaran.
Setiap
bisnis franchise selalu diperoleh melalui lisensi/perjanjian franchise .
Perjanjian franchise beserta keterangan tertulis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) didaftarkan di Departemen Perindustrian dan Perdagangan oleh
franchisee paling lambat tiga puluh hari terhitung sejak berlakunya perjanjian
franchise. Saat berlakunya perjanjian franchise ditetapkan dalam masing-masing
perjanjian franchise . Pendaftaran yang dimaksud dilaksanakan untuk kepentingan
pembinaan bisnis franchise (Pasal 7
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997)
Ketentuan
pendaftaran dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 dilaksanakan oleh
Keputusan Menperindag Nomor 259 Tahun 1997. Dalam Pasal 11 Keputusan Menteri
Perindag Nomor 259 tahun 1997 ditentukan:
a.
Setiap
franchisee atau franchisee lanjutan wajib mendafarkan perjanjian franchise termasuk keterangan tertulis dari
franchisor , pada Departemen Perindustrian dan Perdagangan c.q. pejabat yang
berwenang menerbitkan Surat Tanda
Pendaftaran Usaha Waralaba/franchise yang disingkat STPUW.
b.
Pendaftaran
tersebut dilakukan dengan cara mengisi daftar isian permintaan STPUW yang dapat
diminta secara Cuma-Cuma di Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri atau
di Kantor Wilayah Deperindag setempat dan dilakukan dalam waktu
c.
selambat-lambatnya
tiga puluh hari kerja terhitung mulai tanggal berlakunya perjanjian franchise.
d.
Daftar isian
permintaan STPUW dibuat dalam rangkap dua ditanda tangani oleh franchisee atau
franchisee lanjutan dan kuasanya.
Daftar
isian permintaan STPUW yang telah diisi dan ditandatangani diserahkan kepada
pejabat yang berwenang menerbitkan STPUW dengan dilengkapi fotocopi
masing-masing satu eksemplar terdiri atas :
a.
Perjanjian
franchise beserta keterangan tertulis.
b.
Surat Izin
Usaha Perdagangan atau Surat Izin Usaha dari Departemen Teknis lainnya (Pasal
12 Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 tahun 1997).
Apabila
daftar isian permintaan STPUW beserta berkas kelengkapnya dinilai telah lengkap
dan benar , selambat-lambatnya dalam lima hari kerja pejabat yang berwenang
menerbitkan STPUW .Namun apabila daftar isian permintaan STPUW beserta berkas
kelengkapannya dinilai belum lengkap dan benar , selmbat-lambatnya dalam lima
hari kerja pejabat yang berwenang menolak permintaan penerbitan STPUW disertai
dengan alasan-alasan penolakan . Bagi
pemohon yang permintaannya ditolak , setelah memenuhi persyaratan yang
ditentukan dalam keputusan ini dapat mengajukan kembali permintaan STPUW.
Siapakah
pejabat yang berwenang menerbitkan SPTUW ? Menurut ketentuan Pasal 15 Keputusan
Menteri Perindag Nomor 259 Tahun 1997 ,kewenangan pemberian STPUW dilimpahkan
kepada pejabat yang berwenang menerbitkan STPUW sebagai berikut :
a.
STPUW bagi
franchisee dari franchisor luar negeri diterbitkan oleh Direktur Jenderal
Perdagangan Dalam Negeri dengan menggunakan formulir yang telah ditentukan.
b.
STPUW bagi
franchisee dari Franchisor dalam negeri dan franchisee lanjutan yang berasal
dari franchise dalam negeri dan luar negeri adalah Kantor Wilayah Deperindag
setempat dengan menggunakan formulir yang telah ditentukan .
Masa
berlaku STPUW sesuai dengan masa berlaku perjanjian antara franchisor dan
franchisee atau perjanjian antara franchisee utama dan franchisee lanjutan
(Pasal 13 Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 tahun 1997).
2.
Akibat
Pemutusan Perjanjian Franchise
Menurut
ketentuan Pasal 14 Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 Tahun 1997 :
Apabila franchisor memutuskan perjanjian
franchise dengan franchisee sebelum berakhir masa berlaku perjanjian franchise
, dan kemudian menunjuk franchisee yang baru , maka penerbitan STPUW bagi
franchisee yang baru hanya diberikan kalau franchisee utama telah menyelesaikan
segala permasalahan yang timbul sebagai
akibat dari pemutusan tersebut yang dituangkan dalam bentuk Surat Pernyataan
bersama (clean break).
E.
Sanksi
Hukum
Franchisee
atau franchisee lanjutan yang memperoleh STPUW diberikan “peringatan tertulis”
apabila :
1.
Tidak
melaksanakan kewajuban sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 Keputusan Menteri
Perindag Nomor 259 Tahun 1997.
2.
Tidak memenuhi
kewajiban pajak kepada pemerintah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
3.
Ada laporan
atau pengaduan dari pejabat yang berwenang atau pemegang hak kekayaan
intelaktual bahwa franchisor atau franchisee melakukan pelanggaran hak kekayaan
intelaktual, seperti hak cipta, paten, atau merek (Pasal 22 ayat (1) Keputusan
Menteri Perindag Nomor 259 Tahun 1997)
Pasal
22 ayat (2) Keputusan yang sama mengatur tentang “pembekuan STPUW” . Menurut
ketentuan tersebut, STPUW dapat dibekukan apabila franchisee atau franchisee
lanjutan :
a.
Telah
mendapatkan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebanyak
tiga kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing stu bulan, yang
bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya.
b.
Sedang
diperiksa di sidang pengadilan karena didakwa melakukan tindak pidana ekonomi atau perbuatan lain
yang berkaitan dengan kegiatan usahanya , atau melakukan pelanggaran atas hak
kekayaan intelektual.
Pembekuan
STPUW sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a berlaku selama enam bulan
terhitung sejak 1 (satu) bulan setelah tanggal dikeluarkannya peringatan
tertulis yang ketiga (ayat 3) . Pembekuan STPUW sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2)
huruf
b berlaku sampai dengan dikeluarkannya keputusan badan peradila yang berkekuatan hukum tetap (ayat 4) STPUW
yang dibekukan dapat dicairkan kembali pada:
a.
Franchisee atau franchisee lanjutan sudah melaksanakan
kewajibannya;
b.
Selama enam
bulan dalam masa pembekuan franchisee atau franchisee lanjutan telah melakukan
perbaikan atau telah melaksanakan kewajiban sesuai dengan ketentuan dimaksud
dalam Pasal 21 dan telah melaksanakan kewajiban pajak kepada pemerintah sesuai
dengan ketentuan yang berlaku;
c.
Dinyatakan
tidak terbukti melakukan tindak pidana ekonomi atau pelanggaran di bidang hak
kekayaan intelektual sesuai dengan keputusan badan peradilan yang telah
berkekuatan hukum tetap (ayat 5)
Pencabutan
SIUP diatur dalam Pasal 23 Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 Tahun 1997.
Franchisee atau Franchisee lanjutan yang telah dicabut STPUW-nya dan tetap
melaksanakan kegiatan bisnis franchisee dikenakan sanksi pencabutan SIUP atau
izin lain yang sejenis sesuai dengan ketentuan yang berlaku (ayat 1).
F.
Kesimpulan
Dari
beberapa keterangan diatas yang telah dipaparkan dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
1.
Perjanjian
bisnis franchise perlu diatur oleh pemerintah agar tidak terjadi suatu
transaksi bisnis yang merugikan pihak-pihak yang melakukan perjanjian , maupun
pihak lain termasuk masyarakat .
2.
Untuk
melindungi kepentingan pihak-pihak terkait ,pemerintah menerbitkan Peraturan
Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentang waralaba (Franchise) melalui Lembaran
Negara Tahun 1997 Nomor 49.
3.
Sanksi hukum
juga dapat diberlakukan apabila franchisor , franchisee dan franchisee lanjutan
, tidak melaksanakan kewajiban, tidak memenuhi kewajiban pajak atau melakukan pelanggaran hak kekayaan
intelaktual, hak cipta , paten , atau merek.
DAFTAR
PUSTAKA
Amrizal
, 1996. Hukum Bisnis Deregulasi dan Joint Venture di Indonesia. Penerbit
Djambatan , Jakarta.
Atmadja,
Z Asikin. 1989. Yurisprudensi Indonesia. Penerbit Ichtiar Baru van
Hoeve, Jakarta.
Muhammad,Abdulkadir.2006.
Hukum Perusahaan Indonesia. PT Citra Aditya Bakti, Bandung
Nasution,
Az. 1999. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar . Penerbit Daya
Widya,
Jakarta.
Sudaryatmo.
1999. Hukum dan Advokasi Konsumen. Penerbit PT Citra Aditya Bakti , Bandung.
Queen,J.
Douglas. 1993.Pedoman Membeli dan Menjalankan Franchise. Terjemahan
Susanto Budidarmo. Elex Media
Komputindo, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar