Jumat, 06 Juli 2012

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PELAKU BISNIS WARALABA (FRANCHISE) DI INDONESIA (DALAM PERSPEKTIF EKONOMI MAKRO)


OLEH : H.HANIF HANANI,SH,MH
A.    PENDAHULUAN
Franchise merupakan suatu metode pemasaran atau pendistribusian dengan mana suatu pihak memberikan kepada pihak lain hak atau privilege untuk melakukan bisnis dengan cara tertentu di suatu tempat tertentu selama periode waktu tertentu .Cara ini kadang-kadang menimbulkan kesulitan untuk membedakan tipe hubungan bisnis yang satu dengan tipe hubungan bisnis yang lain . Pembedaan tersebut hanya mungkin dapat dipahami melalui perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak . Sebagaimana diketahui , di Amerika Serikat disamping perundang-undangan yang dibuat oleh negara-negara bagian (state) atau oleh pemerintah federal, masih berlaku common law system yang menerapkan asas-asas hukum tidak tertulis dan kepatutan (equity) termasuk juga mengenai bisnis franchise.
sudah menerbitkan undang-undang yang secara spesifik mengatur tentang franchise . Federal Trade Commission Amerika Serikat juga sudah menerbitkan peraturan-peraturan yang lingkupnya mengatur juga tentang franchise  apabila timbul kesulitan dalam hubungan bisnis franchise , kedua pihak boleh mempertimbangkan pemegang hak untuk melakukan bisnis sebagai kontraktor independen yang sudah disepakati .
Akan tetapi , jika pemberi hak mengakhiri hubungan bisnisnya dengan pemegang hak ,



pemegang hak boleh berupaya untuk mengkhususkan hubungan bisnisnya sebagai suatu franchise. Bahkan , sebelum hubungan antara kedua belah pihak menjadi perselisihah yang kurang enak (sours) , badan pemerintah cenderung memandang . hubungan itu sebagai salah satu pekerjaan, bukan kontrak independen. Jika pemegang privilege itu seorang pekerja atau lebih berperan sebagai agen daripada seorang kontraktor independen , undang-undang menghendaki agar pemberi hak itu memotong upah pekerja untuk kepentingan jaminan sosial dan ganti kerugian akibat kecelakaan pekerja. Tambahan lagi, dalam keadaan demikian, pemberi hak boleh tunduk pada ketentuan Undang-undang Tenaga Kerja dan Antitrust.
B.   Pengaturan Bisnis Franchise di Indonesia
Karena bisnis franchise begitu menarik dan menguntungkan bagi pengusaha kecil atau pengusaha lokal , pemerintah memandang perlu mengatur bisnis tersebut . Untuk menciptakan tertib usaha dengan sisten franchise serta perlindungan terhadap konsumen , dipandang perlu menetapkan ketentuan tentang franchise dengan peraturan pemerintah. Pada tanggal 18 Juni 1997 di undangkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentan Waralaba (Franchise) melalui Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 49.
Peraturan Pemerintah ini merupakan peraturan pelaksanaan dari KUHPdt (Stb.Nomor 23 Tahun 1847) dan Undang-Undang Pengaturan Perusahaan 1934 (Stb. Nomor 86 Tahun 1938). Peraturan Pemerintah ini terdiri atas sebelas pasal dan mulai berlaku sejak diundangkan, yaitu pada tanggal 18 juni 1997.
Untuk meningkatkan peranan dan keikutsertaan masyarakat luas dalam bisnis franchise  , perlu adanya peran serta pengusaha kecil dan

menengah , baik sebagai franchisor , frnchisee, maupun sebagai pemasok  (supplier) barang dan/atau jasa. Bisnis franchise perlu dikembangkan dalam rangka mendorong pertumbuhan dan pengembangan national franchisor. Setiap pengusaha yang menjalankan bisnis franchise wajib mendaftarkan bisnis franchise-nya itu sehingga dapat diketahui perkembangan franchise secara nasional . Pendaftaran bisnis franchise merupakan pelaksanaan dari peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba (Franchise).
Untuk melaksanakan pendaftaran tersebut, maka pada tanggal 30 Juli 1997 Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) telah mengeluarkan Surat Keputusan Menperindag Nomor 259/MPP/Kep/7/1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba (Franchise) . Keputusan tersebut terdiri dari 8 Bab dan 26 Pasal , mulai berlaku sejak ditetapkan , yaitu pada tanggal 30 Juli 1997.
C.   Persayaratan Bisnis Franchise
1.   Menutamakan Produksi dalam Negeri
Franchisor dan Franchisee harus mengutamakan penggunaan barang dan atau bahan hasil produksi dalam negeti sebanyak banyaknya sepanjang memenuhi standar mutu barang dan jasa yang disediakan dan atau dijual berdasarkan perjanjian franchise . Franchisor melakukan pembinaan serta memberi bimbingan dan pelatihan kepada franchise . Hal ini diatur dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 Tahun 1997 dengan rumusan yang sama.
2.   Mengutamakan Pengusaha Kecil dan Menengah


Franchisor mengutamakan pengusaha kecil dan menengah sebagaimana franchisee atau franchisee lanjutan dan/atau pemasok (supplier) dalam rangka penyediaan dan atau pengadaan barang dan jasa. Dalam hal franchisee atau franchisee lanjutan bukan merupakan pengusaha kecil dan menengah , franchisor dan franchisee lanjutan wajib mengutamakan kerja sama dan/atau pasokan barang dan/atau jasa dari pengusaha kecil dan menengah (Pasal 17 Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 Tahun 1997).
3.   Bisnis franchise dapat diselenggarakan untuk dan di seluruh wilayah Indonesia dan pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan perkembangan sosial dan ekonomi dan dalam rangka pengembangan usaha kecil dan menengah (Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997) . Penyelenggaran franchise pada dasarnya dilakukan secara bertahap terutama di ibukota propinsi. Pengembangan franchise diluar ibu kota provinsi seperti di ibu kota kabupaten/ kota dan tempat-tempat tertentu lainnya yang memerlukan kehadiran franchise dilakukan secara bertahap dan dengan memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan usaha dan tingkat pertumbuhan sosial dan ekonomi terutama dalam rangka pengembangan usaha kecil dan menengah di wilayah yang bersangkutan.
Selanjutnya , penyelenggaraan franchise diatur dalam Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 Tahun 1997. Bisnis franchise dapat dilakukan disemua ibu kota provinsi dan kota/tempat tertentu lainnya di daerah kabupaten yang ditetapkan dari waktu ke waktu oleh Menteri (Pasal 18 ayat (1) Kepeutusan Menteri Perindag Nomor 259 Tahun 1997). Lokasi  bisnis franchise di ibu kota provinsi yang berada di pasar tradisional dan di luar pasar modern ( mall,

supermarket, departement store, dan shopping centre) hanya dibolehkan bagi bisnis franchise yang diselenggarakan oleh pengusaha kecil  (Pasal 18 ayat (3) Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 Tahun 1997).
Bisnis franchise di kota/ tempat tertentu lainnya di daerah kabupaten ditetapkan oleh Menteri secara bertahap dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat, tingkat perkembangan sosial dan ekonomi dan dalam rangka pengembangan usaha kecil dan menengah di wilayah yang bersangkutan (Pasal 18 ayat (2) Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 Tahun 1997) .
Dikecualikan oleh ketentuan Pasal 18 tersebut adalah kegaiatan bisnis franchise yang memperdagangkan khusus barang/makanan/minuman dan jasa tradisional khas Indonesia dapat diselenggarakan di seluruh wilayah Indonesia oleh usaha kecil dan menengah dan/atau mengikutsertakan usaha kecil dan menengah (Pasal 20 Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 tahun 1997).
4.   Larangan Lebih dari satu Franchise
Franchisor dilarang menunjuk lebih dari satu franchisee di lokasi tertentu yang berdekatan untuk barang dan/atau jasa yang sama dan menggunakan merek yang sama apabila diketahui atau patut diketahui bahwa penunjukan lebih dari satu franchise itu akan mengakibatkan ketidak layakan bisnis franchise di lokasi tersebut. Larangan ini berlaku juga bagi franchise utama untuk menunjuk lebih dari satu franchisee lanjutan.
Apabila di suatu lokasi yang berdekatan sudah adan bisnis franchise yang dilakukan oleh franchisee atau franchisee lanjutan , di lokasi tersebut dilarang didirikan usaha yang merupakan cabang dari

franchisor yang bersangkutan dengan merek yang sama , kecuali untuk barang dan atau jasa yang berbeda (Pasal 19 Keputusan menteri Perindag Nomor 259 tahun 1997).
D.   Pendaftaran Bisnis Franchise
1.   Pelaksanaan Pendaftaran.
Setiap bisnis franchise selalu diperoleh melalui lisensi/perjanjian franchise . Perjanjian franchise beserta keterangan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) didaftarkan di Departemen Perindustrian dan Perdagangan oleh franchisee paling lambat tiga puluh hari terhitung sejak berlakunya perjanjian franchise. Saat berlakunya perjanjian franchise ditetapkan dalam masing-masing perjanjian franchise . Pendaftaran yang dimaksud dilaksanakan untuk kepentingan pembinaan bisnis  franchise (Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997)
Ketentuan pendaftaran dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 dilaksanakan oleh Keputusan Menperindag Nomor 259 Tahun 1997. Dalam Pasal 11 Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 tahun 1997 ditentukan:
a.    Setiap franchisee atau franchisee lanjutan wajib mendafarkan perjanjian  franchise termasuk keterangan tertulis dari franchisor , pada Departemen Perindustrian dan Perdagangan c.q. pejabat yang berwenang menerbitkan Surat Tanda  Pendaftaran Usaha Waralaba/franchise yang disingkat STPUW.
b.   Pendaftaran tersebut dilakukan dengan cara mengisi daftar isian permintaan STPUW yang dapat diminta secara Cuma-Cuma di Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri atau di Kantor Wilayah Deperindag setempat dan dilakukan dalam waktu


c.    selambat-lambatnya tiga puluh hari kerja terhitung mulai tanggal berlakunya perjanjian franchise.
d.   Daftar isian permintaan STPUW dibuat dalam rangkap dua ditanda tangani oleh franchisee atau franchisee lanjutan dan kuasanya.
Daftar isian permintaan STPUW yang telah diisi dan ditandatangani diserahkan kepada pejabat yang berwenang menerbitkan STPUW dengan dilengkapi fotocopi masing-masing satu eksemplar terdiri atas :
a.    Perjanjian franchise beserta keterangan tertulis.
b.   Surat Izin Usaha Perdagangan atau Surat Izin Usaha dari Departemen Teknis lainnya (Pasal 12 Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 tahun 1997).
Apabila daftar isian permintaan STPUW beserta berkas kelengkapnya dinilai telah lengkap dan benar , selambat-lambatnya dalam lima hari kerja pejabat yang berwenang menerbitkan STPUW .Namun apabila daftar isian permintaan STPUW beserta berkas kelengkapannya dinilai belum lengkap dan benar , selmbat-lambatnya dalam lima hari kerja pejabat yang berwenang menolak permintaan penerbitan STPUW disertai dengan  alasan-alasan penolakan . Bagi pemohon yang permintaannya ditolak , setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam keputusan ini dapat mengajukan kembali permintaan STPUW.
Siapakah pejabat yang berwenang menerbitkan SPTUW ? Menurut ketentuan Pasal 15 Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 Tahun 1997 ,kewenangan pemberian STPUW dilimpahkan kepada pejabat yang berwenang menerbitkan STPUW sebagai berikut :
a.    STPUW bagi franchisee dari franchisor luar negeri diterbitkan oleh Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri dengan menggunakan formulir yang telah ditentukan.
b.   STPUW bagi franchisee dari Franchisor dalam negeri dan franchisee lanjutan yang berasal dari franchise dalam negeri dan luar negeri adalah Kantor Wilayah Deperindag setempat dengan menggunakan formulir yang telah ditentukan .
Masa berlaku STPUW sesuai dengan masa berlaku perjanjian antara franchisor dan franchisee atau perjanjian antara franchisee utama dan franchisee lanjutan (Pasal 13 Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 tahun 1997).
2.   Akibat Pemutusan Perjanjian Franchise
Menurut ketentuan Pasal 14 Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 Tahun 1997 :
     Apabila franchisor memutuskan perjanjian franchise dengan franchisee sebelum berakhir masa berlaku perjanjian franchise , dan kemudian menunjuk franchisee yang baru , maka penerbitan STPUW bagi franchisee yang baru hanya diberikan kalau franchisee utama telah menyelesaikan   segala permasalahan yang timbul sebagai akibat dari pemutusan tersebut yang dituangkan dalam bentuk Surat Pernyataan bersama (clean break).
E.   Sanksi Hukum
Franchisee atau franchisee lanjutan yang memperoleh STPUW diberikan “peringatan tertulis” apabila :
1.   Tidak melaksanakan kewajuban sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 Tahun 1997.
2.   Tidak memenuhi kewajiban pajak kepada pemerintah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
3.   Ada laporan atau pengaduan dari pejabat yang berwenang atau pemegang hak kekayaan intelaktual bahwa franchisor atau franchisee melakukan pelanggaran hak kekayaan intelaktual, seperti hak cipta, paten, atau merek (Pasal 22 ayat (1) Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 Tahun 1997)
Pasal 22 ayat (2) Keputusan yang sama mengatur tentang “pembekuan STPUW” . Menurut ketentuan tersebut, STPUW dapat dibekukan apabila franchisee atau franchisee lanjutan :
a.    Telah mendapatkan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebanyak tiga kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing stu bulan, yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya.
b.   Sedang diperiksa di sidang pengadilan karena didakwa melakukan  tindak pidana ekonomi atau perbuatan lain yang berkaitan dengan kegiatan usahanya , atau melakukan pelanggaran atas hak kekayaan intelektual.
Pembekuan STPUW sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a berlaku selama enam bulan terhitung sejak 1 (satu) bulan setelah tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis yang ketiga (ayat 3) . Pembekuan STPUW sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)



huruf b berlaku sampai dengan dikeluarkannya keputusan badan peradila  yang berkekuatan hukum tetap (ayat 4) STPUW yang dibekukan dapat dicairkan kembali pada:
a.    Franchisee  atau franchisee lanjutan sudah melaksanakan kewajibannya;
b.   Selama enam bulan dalam masa pembekuan franchisee atau franchisee lanjutan telah melakukan perbaikan atau telah melaksanakan kewajiban sesuai dengan ketentuan dimaksud dalam Pasal 21 dan telah melaksanakan kewajiban pajak kepada pemerintah sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
c.    Dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana ekonomi atau pelanggaran di bidang hak kekayaan intelektual sesuai dengan keputusan badan peradilan yang telah berkekuatan hukum tetap (ayat 5)
Pencabutan SIUP diatur dalam Pasal 23 Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 Tahun 1997. Franchisee atau Franchisee lanjutan yang telah dicabut STPUW-nya dan tetap melaksanakan kegiatan bisnis franchisee dikenakan sanksi pencabutan SIUP atau izin lain yang sejenis sesuai dengan ketentuan yang berlaku (ayat 1).

F.   Kesimpulan
Dari beberapa keterangan diatas yang telah dipaparkan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.   Perjanjian bisnis franchise perlu diatur oleh pemerintah agar tidak terjadi suatu transaksi bisnis yang merugikan pihak-pihak yang melakukan perjanjian , maupun pihak lain termasuk masyarakat .

2.   Untuk melindungi kepentingan pihak-pihak terkait ,pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentang waralaba (Franchise) melalui Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 49.
3.   Sanksi hukum juga dapat diberlakukan apabila franchisor , franchisee dan franchisee lanjutan , tidak melaksanakan kewajiban, tidak memenuhi kewajiban pajak  atau melakukan pelanggaran hak kekayaan intelaktual, hak cipta , paten , atau merek.















DAFTAR PUSTAKA

Amrizal , 1996. Hukum Bisnis Deregulasi dan Joint Venture di Indonesia. Penerbit Djambatan ,           Jakarta.
Atmadja, Z Asikin. 1989. Yurisprudensi Indonesia. Penerbit Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta.
Muhammad,Abdulkadir.2006. Hukum Perusahaan Indonesia. PT Citra Aditya Bakti, Bandung
Nasution, Az. 1999. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar . Penerbit Daya Widya,
          Jakarta.
Sudaryatmo. 1999. Hukum dan Advokasi Konsumen. Penerbit PT Citra Aditya Bakti , Bandung.
Queen,J. Douglas. 1993.Pedoman Membeli dan Menjalankan Franchise. Terjemahan Susanto           Budidarmo. Elex Media Komputindo, Jakarta.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar