PERANAN PEGAWAI
PENCATAT NIKAH (PPN) DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERNIKAHAN WALI ADLAL
(STUDY KASUS
PENYELESAIAN PERNIKAHAN WALI ADLAL DI KUA KECAMATAN MUNTILAN)
TESIS
Disusun Dalam Rangka
Memenuhi Persyaratan
Program Magister Ilmu
Hukum
Oleh :
H.Hanif Hanani, SH.
B4A007117
PROGRAM MAGISTER ILMU
HUKUM
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2009
PERANAN PEGAWAI
PENCATAT NIKAH (PPN) DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERNIKAHAN WALI ADLAL
(STUDY KASUS
PENYELESAIAN PERNIKAHAN WALI ADLAL DI KUA KECAMATAN MUNTILAN)
TESIS
Disusun Dalam Rangka
Memenuhi Persyaratan
Program Magister Ilmu
Hukum
Oleh :
H.Hanif Hanani, SH.
B4A007117
PEMBIMBING
Prof.H.Abdullah
Kelib,SH.
PROGRAM MAGISTER ILMU
HUKUM
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2009
PERANAN PEGAWAI PENCATAT NIKAH (PPN) DALAM PENYELESAIAN
SENGKETA PERNIKAHAN WALI ADLAL
(STUDY
KASUS PENYELESAIAN PERNIKAHAN WALI ADLAL DI KUA KECAMATAN MUNTILAN)
Disusun Oleh :
H.Hanif Hanani, SH.
B4A007117
Dipertahankan di
depan Dewan Penguji
Pada tanggal : 06
April 2009
Tesis ini telah diterima
Sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar
Magister Ilmu Hukum
Pembimbing Mengetahui
Magister Ilmu Hukum Ketua Program
Prof.H.Abdullah Kelib,SH Prof.Dr.Paulus
Hadisuprapto,SH,MH
NIP.
130 531 702
xvii
MOTTO
1. Sabda
Rosulullah, SAW “ Nikah adalah sunnahku, barangsiapa tidak mengikuti sunnahku
(menikah) maka bukan golonganku”
2. Orang
yang paling baik ialah, orang yang paling banyak memberikan manfaat bagi orang
lain.
Dipersembahkan :
Untuk Isteriku terkasih, penyejuk
pandangan mataku,
Hj. Anik Sulistyanti &
Ananda Sandy Eka Pradana.
ABSTRAK
Peranan Pegawai Pencatat Nikah Dalam
Penyelesaian Sengketa Pernikahan Wali Adlal (Study Kasus Pernikahan Wali Adlal
di KUA. Kecamatan Muntilan)
Ada kalanya
perkawinan telah disepakati atau disetujui oleh calon suami maupun calon
isteri tetapi ternyata ada pihak lain
yang keberatan, pihak lain dapat dipahami , yaitu wali nikah.Apabila wali nikahnya tidak
setuju,maka ada dua pilihan untuk menyelesaikan sengketa tersebut, pilihan pertama yaitu
melalui madiasi atau tabayun kepada Wali nikah, agar wali nikah setuju
dan mau menjadi wali nikah atau jalan
kedua , yakni mengajukan sengketa antara
calon pengantin dan walinya, kepada
Pengadilan Agama (PA) untuk mendapat putusan bahwa walinya adhol atau enggan
atau membangkang
Perumusan Masalah
dari penelitian ini adalah :Bagaimana gambaran kasus-kasus pernikahan wali
adlal di KUA Kecamatan Muntilan ,Bagaimana realisasi penyelesaian sengketa
pernikahan wali adlal dan Bagaimana peranan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dalam
penyelesaian pernikahan wali adlal .Tujuan dari penelitian ini adalah ,Untuk memahami gambaran kasus-kasus pernikahan wali
adlal realisasi penyelesaiannya
serta untuk memahami peranan Pegawai
Pencatat Nikah (PPN) dalam penyelesaian sengketa pernikahan wali adlal di KUA
Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang.
Metode Penelitian ini menggunakan Pendekatan “Yuridis Normatif”
Kasus pernikahan wali adlal terjadi karena ,
masing-masing pihak tidak memahami hak dan kewajibannya serta dominasi peran
wali nikah.
Realisasi penyelesaian pernikahan wali adlal di KUA
Kecamatan Muntilan adalah dengan jalan musyawarah melalui mediasi oleh PPN dan
juga penyelesaian melaui Pengadilan Agama.
Peran Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dalam penyelesaian
sengketa pernikahan wali adlal , PPN bertindak sebagai mediator , PPN bertindak
sebagai Pegawai Pencatat Nikah dengan mewakili wali menikahkan calon mempelai
serta PPN bertindak sebagai wali hakim setelah terbitnya penetapan wali adlal
dari Pengadilan Agama .
Kata Kunci : Peranan PPN,Penyelesaian Sengketa
Pernikahan, Wali Adlal
ABSTRACT
The
role Marriage Regisstrar Official in accomplishing of Wali Adlal quarrel (study
case of Wali Adlal Marriage in KUA Muntilan District)
When
if marriage representative proposes disagreement, Mariage Registrar Official
are going to refuse to get registration. Based on the case, it’s provided two
overcoming choices to discuss the quarrel. Tabayyun (recheck) firstly directing
to marriage guardian, It’s intanded to influence marriage guardian to give
permission.The second way is done if the first way failed. It’s enable to
propose the quarrel between marriage candidate and marriage guardian to
religion court. The goal of the second way is to get decision that disobeydance
marriage guardian. The objek of this researc is to understan discription Wali
Adlal Marriage Case, the overcoming and the role of Marriage Registrar Official
in accomplishing Wali Adlal Marriage Quarrel at KUA Muntilan Subdistrict
Magelang Regency.
The
method of this research is absolutely using Normative Juridical Approach. This
approach is supported by another approach like Comparative Juridical Approach,
Documenter Historical Approach and Theoretical Juridical.
Keywords:
the role of PPN, accomlishing marriage quarrel, Wali Adlal.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum . Wr. Wb.
Alhamdulillahi Robbil ‘alamin, segala puji
bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah ke haribaan
Rosulullah s.a.w, keluarganya serta
shahabatnya, dan para pengikut sunnahnya , Wa Ba’du.
Hanya dengan izin, ridho serta pertolongan
Allah, penulis dapat menyelesaikan tesis ini.Bantuan,dorongan dan motivasi dari
isteri tercinta senantiasa menambah semangat guna penyelesaian penulisan tesis
ini.
Semoga Allah, Tuhan Yang Maha Rahman
senantiasa memberikan balasan kepada , pihak-pihak yang secara khusus membantu
penulis , sejak dari persiapan ,pelaksanaan
penelitian ,proses penulisan hingga penyelesaian tesis ini, semoga
orang-orang yang telah memberikan kebaikan, mendapat limpahan karunia-Nya. Pada
kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada :
1.
Prof.Dr.Paulus
Hadisuprapto,SH,MH, Ketua Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro.
2.
Prof. Haji Abdullah
Kelib, SH, selaku pembimbing tesis Magister Ilmu Hukum.
3.
Seluruh dosen serta
tenaga administrasi Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro.
4.
Bapak H.Bambang Catur
Iswanto, SH,MH, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang
5.
Bapak
Drs.H.Chamim,MS,M.Ag selaku Kepala Kandepag Kabupaten Magelang, Bapak
Drs.H.Kudaifah,MPd.I selaku Kepala Sub. Bagian Tata Usaha Kandepag Kab.
Magelang dan Bapak. Drs.H. Ngatmin, MA selaku Kepala Seksi Urusan Agama Islam
Kandepag Kabupaten Magelang, yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk
mengikuti pendidikan S2 Program Magister Ilmu Hukum.
6.
Rekan-rekan angkatan
II Program Magister Ilmu Hukum Non Reguler , kelas Universitas Muhammadiyah Magelang.
7.
Rekan-rekan kerja di
Kantor Urusan Agama Kecamatan Muntilan
Tidak
akan terlupakan , terimakasihku untuk isteriku terkasih Hj. Anik Sulistiyanti
dan ananda Sandy Eka Pradana yang telah memberikan do’a,semangat dan dukungan
yang tiada ternilai harganya kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis ini dengan tepat waktu.
Penghormatan
yang paling dalam, penulis sampaikan kepada Ayahanda Haji Tamjiz almarhum
almaghfirullah, Ibunda Hj .Siti Darijah Tamjiz serta Ayah Mertua Haji Raden Soedarsono almarhum dan ibu mertua
Sulastari Soedarsono yang telah mendidik dan memberikan kasih sayang , yang
tidak mungkin terbalaskan.
Tiada
gading yang tak retak, kesempurnaan hanyalah kepunyaan Allah Sang pemilik Arsy ,penulis menyadari
segala kekurangan dan kekhilafan dalam penulisan tesis ini, saran dan kritik
senantiasa penulis harapkan. Semoga Tesis dengan judul “ Peranan Pegawai
Pencatat Nikah (PPN) Dalam Penyelesaian Sengketa Wali Adlal (Study Kasus
Penyelesaian Pernikahan Wali Adlal di KUA. Kecamatan Muntilan) ini, dapat
memberikan khasanah bagi ilmu pengetahuan.
Maha
Suci Rabb-mu Yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan.
Semoga kesejahteraan dilimpahkan atas para Rasul. Dan Segala puji bagi Allah,
Tuhan seru sekalian alam.
Wassalamu’alaikum.
Wr. Wb.
Semarang, Maret 2009
Penulis
Hanif
Hanani
DAFTAR
ISI
HALAMAN
JUDUL………………………………………………………….. ... i
HALAMAN
PENGESAHAN……………………………………….................
ii
HALAMAN
MOTTO……………………………………………………………. iii
ABSTRAK…… …………………………
………………………………… iv
ABSTRACT… ……………………………………………………………… v
KATA
PENGANTAR………………………………………………………… ...vi
DAFTAR
ISI………………………………………………………………….. ix
BAB
I : PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang……………………………………………... 1
B. Perumusan
Masalah………………………………………13
C. Tujuan
/Kegunaan Penelitian…………………………… 15
D. Kerangka
Pemikiran / Kerangka Teoritik………………. 16
E. Metode
Penelitian………………………………………… 20
F. Sistematika
Penulisan …………………………………… 21
BAB
II : TINJAUAN
PUSTAKA
A. Perkawinan
Menurut Hukum Islam……………………. 23
B. Pengertian
Nikah………………………………………… 29
C. Tujuan
dan Fungsi Nikah………………………………. 37
D. Rukun
Nikah……………………………………………… 45
E. Wali
Nikah………………………………………………… 53
F. Larangan
Nikah………………………………………….. 58
G. Pengertian
Wali Adlal…………………………………….. 68
H. Peraturan
Perkawinan di Indonesia…………………… 72
BAB
III HASIL PENELITIAN DAN
ANALISIS
A. Gambaran
Kasus-kasus Pernikahan
Wali Adlal di KUA. Kecamatan
Muntilan…………… 79
B. Realisasi
Penyelesaian Sengketa Pernikahan
Wali Adlal di KUA.Kecamatan
Muntilan……………. 108
C. Peran
Pegawai Pencatat Nikah (PPN) KUA
Kecamatan Muntilan Dalam
Penyelesaian
Pernikahan Wali Adlal
…………………………………. 130
D. Analisis
………………………………………………….. 157
BAB
IV PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………….. 161
B. Saran……………………………………………………. 163
DAFTAR
PUSTAKA………………………………………………………... 166
LAMPIRAN-LAMPIRAN
x
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Keharusan adanya seorang wali dalam pernikahan menjadi
syarat dan rukun, meskipun ada pendapat yang tidak mengharuskannya.Kedudukan
wali dalam perkawinan sebagian ulama menyebutkannya sebagai rukun dan sebagian
lagi menyebutkannya sebagai syarat. Perwalian hanya dijabat oleh keluarga
laki-laki dari pengantin wanita . Sementara pejabat negara yang ditunjuk, dalam
kaitan ini biasanya dilakukan oleh aparat Kantor Urusan Agama (Kepala KUA atau
PPN) bisa menjadi wali pengganti jika wali nasabnya berhalangan, dengan sebutan
wali hakim.
Mengenai wali nikah , ia merupakan unsur yang penting
bagi mempelai wanita yang akan bertindak untuk menikahkannya . Yang menjadi
wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam , yakni
muslim, akil, dan baligh. Wali nikah tersebut terdiri dari wali nasab dan wali
hakim. Ditetapkannya wali nikah sebagai rukun perkawinan karena untuk
melindungi kepentingan wanita itu sendiri, melindungi integritas moralnya serta
memungkinkan terciptanya perkawinan yang berhasil .
Institusi perwalian dalam perkawinan lebih bersifat
kewajiban daripada hak. ,paling tidak merupakan sintesis dari keduanya .
Disamping beberapa pemaparan diatas, kajian yang akan
kita angkat dalam penulisan Tesis ini adalah ruang lingkup Kantor Urusan Agama
Kecamatan Muntilan sebagai tempat penelitian.
Kantor Urusan Agama
Kecamatan Muntilan mempunyai sebagian
tugas dan fungsi Kantor Departemen Agama
Kabupaten Magelang di bidang Urusan Agama Islam dalam Wilayah Kecamatan
Muntilan serta mengkoordinasikan kegaiatan-kegiatan dan melaksanakan kegiatan
sektoral maupun lintas sektoral di wilayah Kecamatan.
Dalam melaksanakan tugas
tersebut KUA menyelenggarakan fungsi :
1.
Fungsi Teknis :
Fungsi teknis KUA merupakan tempat
pelayanan nikah dan rujuk serta memberikan pembinaan dan bimbingan dibidang
kepenghuluan, kemasjidan, zakat, wakaf, baitul maal, ibadah sosial dan mebina
keluarga sakinah
2.
Fungsi administratif :
Fungsi administratif yaitu mengelola administrasi ketatausahaan, kepegawaian,
keuangan, dokumentasi dan sebagainya.
Mengingat Kantor Urusan Agama Kecamatan Muntilan adalah
bagian dari unsur aparat pemerintah dalam jajaran Departemen Agama di bawah
Departemen Agama Kabupaten Magelang, maka didalam melaksanakan tugas tersebut ,
Kantor Urusan Agama selalu mengacu kepada peraturan-peraturan yang ada dan
petunjuk dari Departemen Agama Kabupaten Magelang .
Bab 1 Pasal 1.a (ketentuan
umum) peraturan Menteri Agama Republik Indonesia nomor 2 tahun 1990, tentang
kewajiban Pegawai Pencatat Nikah disebutkan : “ Kantor Urusan Agama Kecamatan
yang selanjutnya disebutkan KUA Kecamatan adalah Instansi Departemen Agama di
Kecamatan yang melaksanakan sebagian tugas Kantor Departemen Agama dibidang
Urusan Agama Islam “
Kantor Urusan Agama mempunyai tugas pokok, terdiri dari beberapa
sub pokok yaitu :
1.
Bidang Doktik
2.
Bidang Kepenghuluan
3.
Bidang Kemasjidan
4.
Bidang bimbingan perkawinan
5.
Bidang Zawaibsos
Uraian Tugas
Kepala KUA. Kecamatan Muntilan :
1.
Melaksanakan
sebagaian tugas Kantor Departemen Agama Kabupaten Maegelang dibidang
urusan Agama Islam Wilayah Kecamatan
Muntilan.
2.
Bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas KUA Kecamatan.
3.
Melaksanakan tugas koordinasi dengan WASPENDAIS, PENAMAS dan
koordinasi dengan isntansi terkait.
4.
Membantu pelaksanaan tugas pemerintah dan pembangunan di
bidang agama.
Sebagai Pegawai Pencatat Nikah (PPN)
1.
Menerima pemberitahuan nikah.
2.
Mendaftar, menerima dan meneliti kehendak nikah terhadap
calon mempelai dan wali serta mengumumkanya.
3.
Mengamankan serta mencatat peristiwa nikah di kantor
maupun diluar kantor.
4.
Melakukan pengawasan nikah/ rujuk menurut agama Islam
5.
Melakukan kegiatan pelayanan dan konsultasi nikah/ rujuk
serta pengembangan kepenghuluan.
6.
Bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan administrasi
NTCR.[1]
Allah menjadikan perkawinan yang diatur menurut
syariat Islam sebagai penghormatan dan penghargaan yang tinggi terhadap harga
diri , yang diberikan oleh Islam khusus untuk manusia .
Dalam hukum Islam, perkawinan harus dilaksanakan
dengan memenuhi rukun dan syarat
perkawinan, untuk melaksanakan perkawinan harus ada : Calon suami; Calon Isteri
; Wali Nikah ; Dua orang saksi dan ; Ijab
serta Kabul, jelasnya perkawinan tidak sah apabila salah satu dari lima hal
diatas tidak terpenuhi.
Perkawinan
dalam ilmu fiqih dipakai istilah nikah dan ziwaj .[2]
Nikah menurut bahasa mempunyai arti wata’ yang berarti bersetubuh , dan dam
yang berarti menghimpit , menindih atau berkumpul . Terlepas dari perbedaan
pendapat ulama tentang makna secara hakekat dan majaz , nikah tetap mengandung
unsur aqod dan wata’ sekaligus [3]
. Nikah didefinisikan dengan : “suatu akad yang menghalalkan hubungan seksual
antara suami dan isteri, dan yang menimbulkan hubungan hak dan kewajiban antara
keduanya [4]
.
Perkawinan
mencakup tiga aspek , yaitu : Hukum, sosial, dan agama .Dari aspek hukum , perkawinan merupakan
suatu perjanjian yang
mempunyai karakteristik khusus yaitu :
(1) perkawinan tidak dapat dilakukan
tanpa persetujuan kedua belah pihak; (2) kedua belah pihak saling mempunyai hak
untuk memutuskan perjanjian tersebut berdasarkan ketentuan yang sudah ada ; dan
(3) Persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hak dan kewajiban
masing-masing pihak .
Dari
aspek sosial , perkawinan mempunyai arti penting yaitu : (1) orang yang
melakukan atau pernah melakukan perkawinan mempunyai kedudukan yang lebih
dihargai daripada mereka yang belum kawin; (2) Menempatkan kaum wanita pada
posisi yang lebih terhormat , misalnya sebelum adanya peraturan perkawinan ,
wanita dulu bisa dimadu tanpa batas dan tanpa bisa berbuat banyak , tetapi
menurut ajaran Islam poligami hanya dibatasi paling banyak empat orang, itupun
dengan syarat-syarat tertentu sebagaimana ditetapkan dalam surat An-Nisa’ ayat
3.
Dari
aspek agama (ibadah) , perkawinan dipandang dan dijadikan basis suatu
masyarakat yang baik dan teratur . Perkawinan tidak hanya dipertalikan dengan
ikatan lahir, tetapi diikat juga dengan batin dan jiwa . Menurut Islam ,
perkawinan tidak hanya sebagai perjanjian biasa melainkan perjanjian suci.
Berdasarkan
aspek-aspek yang terkandung didalamnya itulah, dalam perkawinan Islam tidak
dikenal adanya perbedaan pengertian secara sakral dan sekuler. Ia mengandung
kedua elemen itu sekaligus. Perkawinan dalam Islam merupakan lembaga sosial
yang datang dari Allah (divine institution) [5]
Kompilasi
Hukum Islam (KHI) mendefinisikan , perkawinan menurut hukum Islam adalah
pernikahan , yaitu akad yang sangat kuat
atau mitsaaqon gholidhon untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah Pasal 2 [6]
Dalam
perkawinan Islam,ditetapkan dasar-dasar sebagai prinsip-prinsip umumnya ,
antara ialah :
Pertama :
kerelaan , persetujuan, dan pilihan . dalam suatu perkawinan terdapat hak-hak
beberapa pihak yang harus dipenuhi , yaitu : hak Allah, hak orang-orang yang
akan kawin , dan hak wali [7].
Pemenuhan
hak Allah ialah dalam pelaksanaan perkawinan itu harus diindahkan ketentuan
Allah. Apabila hak Allah ini tidak diindahkan , perkawinan tersebut menjadi
batal demi hukum. Misalnya perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan yang haram dinikahi , baik haram
untuk selamanya (at-tahrim al-muabbad) atau haram untuk sementara waktu
(at-tahrim al-mu’aqqat)
Yang
berkaitan dengan pemenuhan hak orang-orang yang akan kawin dan hak wali, bahwa
pelaksanaan perkawinan oleh seorang wali sebelumnya harus meminta persetujuan
kedua calon mempelai. Begitu juga perkawinan itu harus dilaksanakan oleh wali
yang berhak . Apabila hak masing-masing pihak ada yang tidak diindahkan ,
perkawinannya masuk kategori dapat dibatalkan. Mereka berhak mengajukan
pembatalan [8]. Kedua , perkawinan untuk
selama-lamanya . Sekalipun tidak melarang perceraian , Islam menutup segala
pintu yang mungkin menimbulkan perceraian dan mengharamkan perkawinan untuk
selama waktu tertentu. Hal ini terbukti dengan (1) tidak menganggap sah suatu sighot
akad nikah jika didalamnya terdapat perkataan yang mengandung pembatasan waktu
perkawinan [9],
(2) mengharamkan nikah mut’ah , yaitu mengharamkan nikah muhallil
, yaitu nikah yang tujuannya untuk membolehkan seorang wanita yang telah
ditalak tiga dikawini kembali oleh bekas suaminya [10]
Dasar-dasar perkawinan ini
ditetapkan untuk mencapai tujuan pensyariatannya , di antaranya ialah (1)
memperoleh keturunan sah yang akan melangsungkan keturunan dan cita-cita umat
manusia, (2) Memelihara umat manusia dari kejahatan dan kerusakan (3)
Menimbulkan rasa cinta antara suami dan isteri , menimbulkan rasa kasih sayang
antara orang tua dan anak-anaknya dan sesama anggota keluarga , dan (4) Membentuk
dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama dari masyarakat yang besar
atas dasar cinta dan kasih sayang .[11]
Dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam merumuskan , perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumahtangga yang sakinah, mawaddah , dan rahmah (pasal 3)
Guna merealisasi tujuan perkawinan
sebagaimana dimaksud , dibutuhkan rukun dan syarat-syarat tertentu. Pasal 14 Kompilasi
Hukum Islam menyebutkan, untuk melaksanakan perkawinan harus ada :
Calon
suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi , dan ijab qobul . [12]
Ketentuan
Kompilasi ini berbeda dengan pendapat yang menyatakan bahwa saksi tidak
termasuk rukun dan sebaliknya pendapat
yang menyatakan bahwa mahar termasuk rukun . Terlepas dari perbedaan pendapat
tersebut di atas, unsur-unsur rukun tersebut mempunyai syarat sendiri- sendiri.
Peranan
wali disinggung dalam Al-Qur’an antara lain pada dua ayat di bawah ini , yang
artinya “ Apabila kalian menjatuhkan talak kepada isteri , dan mereka telah
menghabiskan masa iddahnya , maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka
kawin lagi dengan bakal suaminya apabila terdapat kerelaan di antara mereka
dengan cara yang ma’ruf “ (Surat Al-Baqoroh ayat 232)
Dalam
ayat lain disebutkan :
“Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik walaupun dia menarik hatimu” (Al-Baqoroh, ayat: 221)
Dua
ayat ini memang diarahkan (dikhithabkan) untuk para wali para wanita
yang hendak dinikahkan, Menurut Imam Syafi’I RA, dua ayat ini sangat
menjelaskan posisi dan kedudukan wali dalam pernikahan. Sebab masalah wali juga
dipertegas oleh Rosululloh, SAW melalui berbagai Haditsnya.
Dalam
Hadits sahih riwayat Imam Ahmad RA dan Imam empat perawi hadits lainnya
menyebutkan bahwa Rosululloh ,SAW
bersabda :
“
Tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya wali” Menurut Syaikh Ismail
Al-Kahlani Ash-Shan’ani, mengutip pendapat sejumlah ahli fiqih karyanya subulus
salam , bentuk makna hadits ini bukan menyatakan tidak sempurna pernikahan
tanpa wali, tapi menyatakan tidak sahnya pernikahan tanpa wali. Sebab Hadits
ini juga didukung Hadits-Hadits berikutnya :
Dalam
Hadits Aisyah,RA disebutkan bahwa Rosululloh ,SAW bersabda : “ Sesungguhnya
nikah dengan tanpa wali itu batal, batal, dan batal”. Dalam Hadits riwayat
Aisyah RA yang lain juga disebutkan keharusan wali itu dalam Hadits :
“Siapapun
wanita yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahannya batal. Jika ia
disetubuhi maka baginya berhak atas mas kawin sebagai ganti kenikmatan yang
diberikan. Jika wali berhalangan atau menolak, maka penguasa (sultan atau imam
dan jajarannya) menjadi wali bagi wanita yang tak memiliki wali”.
Posisi
wali jika diibaratkan dengan perdagangan , ia adalah pemilik barang yang dijual
kepada pihak lain . Sehingga tidak mungkin ada barang yang dijual namun tidak ada penjualnya.
Hampir
seluruh ulama sepakat mensyaratkan adanya wali dalam pernikahan, kecuali Imam
Hanafi,RA. Imam Hanafi menyebutkan bahwa tidak harus mempergunakan wali dengan
menganalogkan (kiaskan) dengan perdagangan. Artinya, jika wanita itu telah
memiliki kecerdasan untuk menentukan dirinya, maka ia boleh menikahkan dirinya
, seperti ia berhak menjual barang miliknya. Imam Hanafi,RA menyebut keberadaan
wali sebagai sunah, alasan Imam Hanafi ,RA yang lain, menurut Dr. wahbah
Azzuhaily dalam Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, ada perbedaan pendapat dalam
menafsirkan khitab ayat pertama di atas tadi. Jika kalangan ulama lainnya
menyebut khitab ayat tadi kepada wali, Imam Hanafi melihatnya tidak. Ayat tadi
justru diarahkan kepada wanita . Namun kalangan ahli fiqih, seperti dikutip
Al-Kahlani, menolak kias Hanafi tersebut karena ada nash jelas (sharih) yang memang mengharuskan
adanya wali dalam pernikahan.Dalam Hadits riwayat Abu Hurairoh RA disebutkan
bahwa Rosulullah SAW bersabda :” Wanita tidak boleh menikah dengan wanita , dan
wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri kecuali dengan wali”
Sementara
mazhab Az-Zahiri, hanya mensyaratkan wali untuk pengantin yang masih berstatus
gadis . Jika sudah berstatus janda tak diperlukan lagi wali. Mazhab ini
berdasarkan Hadits Rosulullah SAW yang
diriwayatkan Imam Muslim dari Ibnu Abbas RA.
“
Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya . Dan seorang gadis
harus ditawarkan .Dan kesediaan seorang gadis (untuk menikah) adalah diamnya”.
Sementara
syarat wali adalah beragama Islam , baligh, dan laki-laki . Yang tidak bisa
menjadi wali adalah non muslim , anak kecil, dan wanita. Sementara yang masih
dalam perdebatan kalangan ahli fiqih adalah hamba sahaya , fasiq,dan idiot (safih)
.Sedangkan kecerdasan atau kematangan (Ar-rusyd) menjadi perdebatan
juga. Imam Syafi’I RA mensyaratkan seorang wali harus matang dan dewasa
(ar-rusyd) . Sedangkan imam Hanafi RA membutuhkan itu, sebab , jika laki-laki ,
muslim, dan telah baligh, meskipun ia tidak cerdas , bisa saja menjadi wali
tanpa ada masalah yang menghalangi.
B. Perumusan
Masalah
Apabila
kita membicarakan tentang perkawinan maka perhatian kita tidak akan lepas dari
hukum Islam, sebab perkawinan adalah merupakan salah satu bagian dari hukum
Islam.Di dalam hukum Islam perkawinan atau pernikahan adalah merupakan suatu
lembaga hukum yang sangat penting dan sudah menjadi syariat dan kebiasaan dalam kehidupan beragama.Oleh karena itu perkawinan
merupakan cabang yang terpenting dalam hukum Islam.
Mengingat
akan arti pentingnya persoalan tentang perkawinan ini ,maka Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 telah mengatur masalah ini
sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 ayat (1)
Nikah yang dilakukan menurut agama Islam selanjutnya disebut nikah,
diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau
pegawai yang ditunjuk olehnya . Talak dan Rujuk yang dilakukan menurut agama
Islam selanjutnya disebut Talak dan Rujuk diberitahukan kepada Pegawai Pencatat
Nikah.
Oleh
karena Undang-undang Nomor 2 Tahun 1946 dirasa belum lengkap maka pemerintah
mengeluarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan. Dalam Pasal
1 Undang-undang tersebut dinyatakan tentang dasar perkawinan yaitu :
Pasal
1 :
Perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga ( rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal
2 ayat (2)
Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bahwa dalam pencatatan nikah yang
telah kita sebutkan sangatlah penting artinya bagi keabsahan, kepastian hukum
dan kekuatan hukum nikah itu sendiri, seperti disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Maka peneliti disini akan mengupas tentang
peranan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) KUA
Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang, dalam pelaksanaan pencatatan Pernikahan
Dalam
hal ini Pegawai Pencatat Nikah bertindak menyelesaikan permasalahan yang timbul
terhadap sengketa perkawinan antara calon isteri dan wali nasab yang adlal atau
enggan menjadi wali nikah, dikaitkan dengan hukum Islam dan Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dari
beberapa permasalahan yang telah dipaparkan dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.
Bagaiamanakah
gambaran kasus-kasus pernikahan wali adlal
di KUA Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang ?
2.
Bagaimana realisasi
penyelesaian sengketa pernikahan karena wali adlal ?
3.
Bagaimana peranan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dalam
penyelesaian sengketa pernikahan wali adlal di KUA Kecamatan Muntilan Kabupaten
Magelang.?
C.Tujuan atau Kegunaan Penelitian
1. Untuk
memahami gambaran kasus-kasus pernikahan
wali adlal di KUA Kecamatan Muntilan
Kabupaten Magelang.
2. Untuk
memahami realisasi penyelesaian sengketa
pernikahan karena wali adlal .
3. Untuk
memahami peranan Pegawai Pencatat Nikah
(PPN) dalam penyelesaian sengketa pernikahan wali adlal di KUA Kecamatan
Muntilan Kabupaten Magelang.
Kegunaan/
Manfaat Penelitian :
1. Manfaat
Teoritis :
a. Untuk
mencari dan mengumpulkan data-data yang dianalisa dan diolah , ditelaah untuk
kemudian disusun dalam bentuk tesis.
b. Menambah
pengetahuan dan wawasan penulis di bidang pernikahan dan memberikan sumbangan
pemikiran untuk memantapkan teori tentang
penyelesaian sengketa pernikahan wali adlal.
2. Manfaat
Praktis :
a. Bagi
Kantor Urusan Agama Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang , diharapkan sebagai
bahan masukan dalam penyelesaian
sengketa pernikahan wali adlal.
b. Sebagai
referensi untuk melaksanakan penelitian sejenis secara mendalam.
D. Kerangka
Pemikiran/ Kerangka Teoritik
Pegawai Pencatat Nikah (PPN) disamping
mempunyai tugas untuk melakukan
pencatatan nikah, juga dituntut untuk dapat meyelesaikan permasalahan yang
timbul mengenai perkara-perkara yang berhubungan dengan keabsahan pernikahan,
baik itu menyangkut permasalahan wali, calon pengantin maupun syarat-syarat
lain .Pegawai Pencatat Nikah(PPN) adalah pegawai pada Kantor Urusan Agama Kecamatan .
PPN juga harus segera menyelesaikan dan
mencarikan jalan keluar apabila timbul sengketa antara pihak-pihak yang
berkaitan dengan sahnya pernikahan.
Wali adlal adalah wali calon pengantin
wanita, (ayah,kakek, saudara laki-laki atau kelompok wali akrob) yang enggan
untuk menikahkan calon pengantin karena alasan-alasan tertentu.
Ada kalanya
perkawinan yang telah disepakati atau disetujui oleh calon suami maupun calon
isteri tetapi ternyata ada pihak lain
yang keberatan, pihak lain dapat dipahami , yaitu wali nikah, padahal wali nikah adalah
merupakan salah satu rukun nikah, dalam
sabdanya Rosulullah Saw mengatakan “Tidak ada Nikah tanpa wali” artinya
perkawinan tidak sah apabila tidak disetujui oleh walinya(Wali Akrob atau wali
Ab’ad).
Apabila wali nikahnya tidak setuju, dapat dipastikan
akan terjadi sengketa dalam pelaksanaan pencatatan perkawinan, dan pihak
pencatat atau Pegawai Pencatat Nikah (PPN) akan menolak melakukan pencatatan,
maka ada dua pilihan untuk menyelesaikan sengketa tersebut, pilihan yang
pertama yaitu melalui madiasi atau
tabayun kepada Wali nikah, agar wali nikah setuju dan mau menjadi wali
nikah atau jalan kedua apabila jalan
pertama menemui kebuntuan, yakni mengajukan
sengketa antara calon pengantin dan walinya, kepada Pengadilan Agama (PA) untuk mendapat
putusan bahwa walinya adhol atau enggan atau membangkang.Maka Pengadilan Agama
akan memutuskan bahwa perkawinan dapat dilaksanakan dengan wali Hakim, yaitu
Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sekaligus Kepala KUA Kecamatan setempat, sesuai
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim.
Adapun ketentuan wali nikah dalam Kompilasi Hukum
Islam, diatur pada pasal-pasal, sebagai berikut :
Pasal 19 :
Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang
harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya
Pasal 20 :
(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang
laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh
(2) Wali nikah terdiri dari :
a.
Wali nasab;
b.
Wali hakim.
Pasal 21 :
- Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan,
kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya
susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.
Pasal 23 :
(1)
Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab
tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat
tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.
(2)
Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak
sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.
Penyelesaian
Sengketa Pernikahan, adalah usaha-usaha dari PPN untuk mencari jalan keluar
agar pihak-pihak yang bersengketa dapat mengambil jalan islah (perdamaian) agar
permasalahan pernikahan dapat dilaksanakan tanpa merugikan kedua belah pihak. Pencatatan pernikahan adalah hal
ihwal pencatatan yang meliputi pemeriksaan , pelaksanaan dan pengawasan
terhadap pernikahan yang dilaksanakan di Kantor Urusan Agama (KUA) sesuai
dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
dan kompilasi Hukum Islam serta hukum munakahat.
D.
Metode Penelitian
1.
Metode Pendekatan
Pembahasan
atas permasalahan pokok dalam penelitian ini menggunakan Pendekatan “Yuridis
Normatif”.
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi
penelitian, yaitu diskriptif analitis untuk menggambarkan dan memahami bahasan-bahasan
yang berkaitan dengan peranan Pegawai
Pencatat Nikah (PPN) dalam Penyelesaian Sengketa Pernikahan Wali adlal .
Obyek
penelitian yaitu KUA. Kecamatan Muntilan
3. Jenis Data
Penelitian
ini disesuaikan dengan pendekatan yang digunakan , yaitu lebih dititik beratkan
pada penelitian hukum yang normatif dengan melakukan penelitian kepustakaan.
4. Metode
Pengumpulan data
Data merupakan faktor yang sangat mendasar dalam
penelitian .Data sangat diperlukan dalam penelitian untuk membuktikan kebenaran
suatu peristiwa atau pengetahuan. Untuk mendapatkan data yang obyektif
diperlukan suatu teknik pengumpulan data yang digunakan sebagai alat pengumpul
atau pengambilan data.
E. Sistimatika
Penulisan .
Tesis ini berisi empat Bab yang mempunyai hubungan erat
dan disusun dengan sistimatika sebagai berikut :
Bab I , dalam Bab ini, memuat secara umum isi dari tesis yang
memuat Latar Belakang, , Tujuan/ Kegunaan Penelitian, Metode Penelitian ,
Kerangka Pemikiran dan Sistimatika Penulisan
Hal-hal tersebut dimasukkan dalam Bab ini agar setiap
pembaca mengetahui secara umum terhadap penulisan yang dipaparkan dalam tesis
ini
Bab. II tentang Tinjauan Pustaka, dalam Bab ini diuraikan
secara teoritis tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah
Perkawinan Menurut Hukum Islam , Pengertian Nikah, Tujuan dan Fungsi Nikah,
Rukun Nikah, Wali Nikah,Larangan Nikah dan Pengertian Wali Adlal serta
Peraturan-peraturan Perkawinan di
Indonesia, dimasukkannya hal-hal tersebut dalam Bab II, ialah untuk mendukung Bab III.
Bab III,Hasil Penelitian dan Analasis, di dalam Bab ini
berisi hasil-hasil penelitian dan analilisis
yang diperoleh terhadap :
Gambaran kasus-kasus pernikahan wali adlal di KUA Kecamatan Muntilan Kabupaten
Magelang,Realisasi penyelesaian sengketa pernikahan karena wali adlal dan Peranan Pegawai Pencatat Nikah (PPN)
dalam penyelesaian sengketa pernikahan wali adlal di KUA Kecamatan Muntilan
Kabupaten Magelang.
Dimasukkannya
hasil penelitian dan pembahasan dalam BAB ini , supaya dapat menerapkan apa
yang terkandung dalam Bab-bab sebelumnya ,
terutama Bab II.
Bab IV , Penutup ,Bab ini berisi tentang Kesimpulan dan
Saran-saran dari uraian diatas atau dari hasil-hasil penelitian yang mungkin
sangat diperlukan dalam meningkatkan peran Pegawai Pencatat Nikah dalam
menyelesaikan sengketa pernikahan wali adlal, dikaitkan dengan pelaksanaan
Undang – undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, dimasa mendatang.
Daftar Kepustakaan
Lampiran –
lampiran.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Perkawinan Menurut Hukum Islam
Perkawinan
dalam bahasa Arab ialah nikah. Menurut syara’, hakekat nikah itu adalah aqod
antara calon laki isteri untuk membolehkan keduanya bergaul sebagai suami
isteri.
Firman Allah artinya : ”Nikahilah mereka itu dengan izin
keluarganya”. Yakni hendaklah aqadkan nikah mereka itu dengan izin keluarganya.
Dalam pada itu ada juga
arti nikah bersetubuh sebagai arti kata kiasan (majaz) seperti sabda Nabi
Muhammad S.A.W : Artinya : Dikutuki Allah orang yang bernikah (bersetubuh)
dengan tangannya (onani). Dengan keterangan itu nyatalah, bahwa arti nikah ada
dua : berkawin dan bersetubuh.
Tujuan
perkawinan adalah berdasarkan atas :
a. Firman Allah :
Artinya :
Hendaklah kamu nikahi yang baik bagimu diantara wanita.
b. Sabda Nabi Muhammad
S.A.W.
Artinya
: Hai sekalian pemuda, siapa yang sanggup bersetubuh (karena ada belanja nikah), hendaklah berkawin.
Maka nyatalah bahwa Islam dan Rosul-Nya
menganjurkan perkawinan, sebab itu orang Islam melakukan perkawinan karena
mengikuti perintah Allah.
c. Firman Allah :
Artinya
: Dan diantara keterangan-Nya, bahwa Ia (Allah) menjadikan isteri bagimu dari
bangsamu, supaya boleh kamu tinggal dengan damai bersama dia serta menjadikan
berkasih-sayang dan cinta mencintai diantara kamu. Sungguh yang demikian
menjadi ayat bagi kaum yang berfikir.
Menurut keterangan ayat ini nyatalah tujuan perkawinan,
supaya kedua suami isteri tinggal di rumah dengan damai serta cinta mencintai
antara satu dengan yang lain.
Perkawinan yang tidak dapat mendirikan rumah tangga
dengan damai dan berkasih-sayang serta cinta mencintai antara kedua suami
isteri, maka telah terjatuh dari tujuan perkawinan yang sebenarnya.
Rosululloh S.A.W dalam Hadits Syarifnya telah memberikan
alasan-alasan yang mendorong seseorang untuk kawin sabda Beliau :
”Wanita itu dikawin karena empat hal : karena hartanya,
keturunannya, kecantikan dan karena agamanya. Rebut dan pilihlah wanita yang
beragama, karena jika tidak, kedua tanganmu akan lengket di tanah.”
Nabi menyebutkan harta, keturunan dan kecantikan sebagai salah
satu daya tarik wanita. Namun beliau menganjurkan agar memilih wanita yang
beragama, karena orang yang berhasil mendapatkan dan menikahi wanita yang
Sholihah akan menikmati ketenangan jiwa dan kebahagiaan hidup dan kelapangan
dalam mendidik generasi penerus yang bermutu. Beliau memperingatkan dengan
keras dengan orang yang mengabaikan soal agama, dan hanya memperhatikan soal harta, kecantikan dan
lain-lain.
Sabda beliau ”Taribat yadaka, kedua tanganmu akan lengket
dengan tanah artinya akan menderita kerugian di dunia dan akherat”.
Dalam hal ini Al-Qadhi Nashiruddin Al-Baidhawi berkata :
”Bagi orang yang berbudi luhur dan beragama akan mengutamakan dan
mendahulukan agama diatas segala-galanya. Begitu pula dalam hal memilih seorang
wanita untuk mendampingi hidupnya, yang dapat membantu dia dalam berlomba-lomba
mendapat ridho-Nya. Atau malah dapat menjerumuskan kearah maksiat dan dosa. Dia
akan memilih wanita yang mempunyai pendidikan yang baik, dari keturunan yang
baik, dan yang subur. Karena faktor-faktor itulah yang dapat menyelamatkan
kehidupan di dunia akherat. ”[13]
Setelah kita ketahui tentang manfaat dan anjuran untuk
melakukan perkawinan akan lebih baik apabila kita telaah tentang hukum-hukum
perkawinan itu sendiri, adapun hukum perkawinan menurut agama Islam antara lain
:
a. Perkawinan itu hukumnya
sunnat menurut pendapat kebanyakan ulama (jumhur).
b. Menurut Daud (ahli
zahir) hukumnya wajib bagi orang yang kuasa dan mampu.
c. Setengah ulama
berpendapat, bahwa perkawinan itu ada yang wajib, ada yang sunnat dan ada yang
haram.
Perkawinan itu wajib bagi orang yang takut akan jatuh
dirinya kelembah perzinaan serta sanggup berkawin.
Perkawinan itu haram bagi seseorang yang tidak mau
menunaikan kewajibannya terhadap isterinya, baik nafkah lahir maupun batin.
Mengenai hukum perkawinan, banyak dikemukakan oleh para
ahli hukum Islam, definisi-definisi tersebut antara lain sebagai berikut :
1.
Jumhur (termasuk Syafi’i) berpendapat bahwa hukum perkawinan itu sunnat.
Dalilnya ialah bahwa amar (anjuran) dalam ayat : fankihu dan dalam hadits :
falyatazauwaj yang tersebut adalah anjuran sunnat bukan wajib. Karena amar itu
dinamai amar irsyad, yaitu anjuran untuk kemaslahatan dunia.
Imam Syafi’i mengemukakan beberapa keterangan untuk
dalil, bahwa amar itu irsyad :
Artinya
: ”Hendaklah dikawini perempuan-perempuan yang menjanda diantaramu dan
orang-orang yang shalih diantara sahaya-sahayamu (laki-laki, perempuan). Jika
mereka miskin, Allah akan mengayakan mereka dengan karunia-Nya. Allah Maha Luas
(karunia-Nya) lagi mengetahui.”(Q.S. An-Nur : 32)
Allah menganjurkan kepada umat manusia supaya mengawini
perempuan janda dan sekali-kali jangan takut berkawin sebab kurang kekayaan,
karena jika mereka itu miskin Insya Allah Tuhan akan mengayakan.
Maka anjuran perkawinan itu adalah anjuran irsyat
(Sunnat), karena kadang-kadang perkawinan itu menjadi sebab mendapat kekayaan.
Bandingannya hadits Nabi S.A.W
Artinya
: Berjalanlah kamu supaya kami sehat dan mendapat rezeki. Maka anjuran berjalan
itu adalah amar irsyat, bukan amar wajib.
Allah menyebutkan dalam Al-Qur’an wanita-wanita tua yang
tidak mengharap perkawinan lagi, maka tiada Allah melarang mereka itu berbuat
demikian dan tidak pula menganjurkan perkawinan kepada mereka itu, sebagai
bukti, bahwa amar itu amar irsyat.[14]
2.
Dalil Daud (Ahli Zahir)[15]
Adapun dalil pendapat Daud yang
mengatakan bahwa perkawinan itu adalah wajib bagi orang-orang yang berkuasa dan
mampu, ialah bahwa mar pada ayat dan hadits tersebut adalah amar (suruhan)
wajib diikuti dan ditaati dan tidak boleh ditakwilkan (diputar-putar) kepada
yang lain, seperti amar sunnat, amar ibahah (boleh), amar irsyad dan
sebagainya.
Tetapi jumhur
berpendapat, bahwa kita manusia yang diberi Allah akal dan pikiran, bukan saja
berpegang kepada yang tersurat, melainkan harus memikirkan pula yang tersirat.
3.
Dalil pendapat setengah ulama :
Adapun dalil
pendapat setengah ulama, bahwa perkawinan itu ada yang wajib, ada yang sunnat
dan ada yang haram, maka semata-mata memikirkan kemaslahatan seseorang yang
bersangkutan. Inilah dalil yang dinamakan : marshalih-mursalah, artinya
kemaslahatan mutlak, yakni sesuatu itu dihukumkan wajib, sunnat, atau haram,
karena mengingat kemaslahatannya saja.
Yang
mengakui dalil ini ialah Imam Maliki.[16]
Setelah meninjau
dalil-dalil tersebut itu dapatlah kita mengambil kesimpulan, bahwa pendapat
jumhur (termasuk Syafi’i) adalah lebih kuat dan lebih mu-tamad, yakni hukum
perkawinan itu menurut asalnya dan pada umumnya adalah sunnat.
Dalam pada itu, boleh
jadi hukumnya wajib bagi sebagian orang atau haram bagi sebagian yang lain,
mengingat keadaan perseorangannya.[17]
B.
Pengertian Nikah
Dalam Hadits Tirmiddy dari Abu Hurairah, pernah
Rosululloh S.A.W bersabda :
Artinya
: ”Tiga golongan yang berhak ditolong oleh Allah : Pejuang dijalan Allah,
Mukotib (budak yang membeli dirinya dari tuannya) yang mau melunasi
pembayarannya dan orang yang menikah karena mau menjauhkan diri dari yang
haram”.
Pernikahan atau
perkawinan dalam pandangan Islam bukan hanya merupakan bentuk formalisasi
hubungan suami-isteri atau pemenuhan kebutuhan fitrah insani semata, tetapi
jauh lebih dari itu merupakan amal ibadah yang disyari’atkan.Nikah
didefinisikan : ”Suatu aqod yang menghalakan hubungan seksual antara suami dan
isteri , dan yang menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya.[18]
Pernikahan merupakan ’aqd
al Tamlik ,dapat juga diartikan ’aqd al ibahah, pernikahan diartikan
sebagai membolehkan melakukan hubungan seksual antara suami dan isteri tanpa
ada kepemilikan secara penuh.[19]
Dikatakan sebagai ibadah karena secara jelas Allah dan
rasul-Nya[20]
mensyari’atkan nikah sebagai perintah yang harus dilaksanakan seperti termaktub
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah :
-
Surat Al Maidah ayat (3) memerintahkan : ”Maka kawinilah
olehmu perempuan-perempuan yang baik bagimu, dua, tiga, atau empat.”
-
Surat Al Maidah ayat (1) ”Hai sekalian manusia,
bertaqwalah kepada Rabbmu yang telah menciptakanmu dan menjadikan isteri dari
padanya, dan dari pada keduanya berkembang biak laki-laki dan perempuan yang
banyak. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah yang kamu saling meminta dengan
nama-Nya dan takutlah akan memutuskan silaturahmi”.
Lebih tegas lagi
diperintahkan oleh Rosululloh S.A.W kepada kaum muda yang sudah memiliki
kesiapan, hendaknya segera menikah tanpa harus banyak berpikir dan
menunggu-nunggu, karena nikah itu perbuatan yang mulia dan disukai oleh
Al-Khaliq. Bahkan beliau mengingatkan amal yang terpuji ini merupakan sebagian
dari kesempurnaan pelaksanaan agama. Jadi barang siapa yang belum menunaikan
nikah berarti ia belum mampu melaksanakan agama secara sempurna.
Sabda Rosul :
”Wahai para pemuda,
barang siapa diantara kamu telah menikah, hendakah ia nikah. Sesungguhnya
dengan demikian akan lebih bisa menundukkan
pandangan mata dan lebih leluasa menjaga kemaluannya, barang siapa yang tidak
sanggup, maka sebaiknya
berpuasa saja sesungguhnya
itu akan menciptakan keseimbangan”
(Hadits riwayat Muslim)
”Manakala seseorang
telah beristeri, telah menyempurnakan separuh Dien,maka takutlah kepada Allah
untuk menyempurnakan separuh yang lain.” (Hadits Riwayat. Baihaqi)
Memang pernikahan adalah
merupakan kebutuhan fitrah setiap insan yang tidak boleh dihindari. Seiring
dengan berkembangnya kebutuhan biologis manusia, maka tumbuh pula dorongan
seksualnya, jika dorongan-dorongan seksualnya tidak disalurkan maka akan terjadi
kegelisahan sosial, akan terjadi malapetaka kemanusiaan yang merusak.
Maka
Islam sebagai aturan hidup yang sesuai dengan fitrah manusia memberikan jalan
keluar penanggulangan kebutuhan seksual, disamping aspek-aspek hidupan lainnya.
Islam tidak setuju dengan sikap membujang. Karena ini melanggar fitrah
kemanusiaan. Rosululloh marah besar ketika mendengar salah seorang sahabat
berniat hendak membujang terus.
Beliau bersabda :
”Sesungguhnya aku ini menikahi wanita, barang siapa yang
tidak mengikuti sunnahku maka ia bukan termasuk golonganku”
Nabi ,pernah menegur Abdullah yang meninggalkan hak
isteri melakukan hubungan seksual, karena Abdullah terlalu sibuk beribadah.[21]
Inilah bukti keselarasan
antara ajaran Islam dengan tuntutan biologi atau fitrah kemanusiaan. Islam
hadir untuk memberi jawaban terhadap seluruh persoalan insani. Tidak ada satu
persoalanpun yang tidak diatur dalam Islam.
Sedangkan Ta’rif
perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan
kewajiban serta tolong-menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
yang antara keduanya bukan muhrim.
Nikah ialah sunah yang
dikehendaki Allah untuk dikerjakan hamba-hamba-Nya guna menjalankan bahtera
kehidupan.[22]
Nikah adalah salah satu
asas pokok hidup yang terutama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna.
Bukan saja perkawinan itu satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan
berumah-tangga dan turunan, tetapi perkawinan itu dapat dipandang sebagai satu
jalan menuju pintu perkenalan antara satu kaum dengan yang lain, serta
perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu
dengan yang lainnya.
Sebenarnya pertalian
nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia,
bukan saja antara suami isteri dan keturunan, bahkan antara dua keluarga. Dari
sebab baiknya pergaulan antara isteri dengan suaminya, kasih mengasihi akan
berpindahlah kebaikan itu kepada semua keluarga dari kedua belah pihaknya,
sehingga mereka menjadi satu dalam segala urusan bertolong-menolong sesamanya
dalam menjalankan kebaikan dan menjaga segala kejahatan. Selain itu, dengan
perkawinan seseorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya. Islam
agama yang menggalakkan dan memberi motivasi kepada setiap orang untuk berumah
tangga. [23]Dalam
agama Islam justru yang tercela adalah orang yang tidak mau berumah tangga.
Jadi kalau sudah waktunya kita berumah tangga masih menunda dengan berbagai
alasan, lalu mati maka keadaan kita adalah sejelek-jeleknya orang mukmin yang
mati.Itulah sebabnya Imam Malik berpesan ”Sekiranya saya akan mati beberapa
saat lagi, sedangkan isteri saya sudah meninggal dunia maka saya akan segera
kawin lagi”. Karena apa? Karena takut bertemu dengan Allah dalam keadaan
membujang. Jadi kita tidak perlu menunda perkawinan lagi setelah isteri kita
meninggal dunia. Tetapi kalau isteri yang ditinggal mati suaminya, dia harus
menunggu empat bulan sepuluh hari untuk Iddah, kalau dia tidak hamil. Jika ia
hamil, dia harus menunggu sampai anaknya lahir.
Demikianlah
rasa takut para salaf (ulama-ulama dahulu) kepada Allah, kalau mereka mati
dalam keadaan membujang.
Sebaliknya orang-orang
jahiliyah berbangga membujang sampai umur tua. Mereka punya anggapan, akan
menjadi rebutan wanita kalau bertahan sebagai bujangan. Sikap seperti ini
termasuk sikap kekufuran. Karena telah mengingkari perintah Allah untuk
meramaikan atau memakmurkan bumi sekalian mengurusnnya dengan sebaik-baiknya.
Oleh karena itu bagaimana mau memakmurkan bila penghuninya tidak mau
berketurunan, yang akibatnya manusia akan punah dalam satu generasi.[24]
Tidak dipungkiri bahwa
seseorang itu secara naluriah ingin menyalurkan syahwatnya. Seandainya
membujang maka dicarilah usaha-usaha untuk menyalurkan syahwatnya itu. Maka
jalan keluarnya tiada lain adalah cara-cara yang tidak dibenarkan oleh syari’at
Islam.[25]
Sebagai akibatnya adalah merajalela
prostitusi, banyak gadis yang hamil diluar nikah, kasus perkosaan, eksploitasi
wanita dan sebagainya. Kalau sudah demikian,maka yang menjadi korban paling besar adalah kaum wanita. Mereka
diperlakukan tidak lebih sebagai barang mainan.
Kalau kondisinya sudah demikian berati kerusakan dunia sebagaimana
dinubuatkan oleh Rosululloh,SAW sudah terbukti.
Seseorang yang menyalahi
fitrah menikah akan menemui akibat-akibatnya, diantaranya ketidakseimbangan
fisik dan psikis. Misalnya menurut fitrahnya manusia itu makan, maka kalau
tidak mau makan, berarti membiarkan dirinya dalam kebinasaan. Demikian juga
halnya perkawinan, yang merupakan fitrah manusia untuk melakukannya. Karena itu
akan terganggu keseimbangan psikis bagi orang-orang yang hidupnya membujang
diantaranya :
a. Keseimbangan untuk
melangkah kepada sesuatu yang seharusnya dikerjakan.
b. Akan lebih senang
mengutamakan diri sendiri atau egoisme.
c. Menghindari tanggung
jawab yang berat.
Adapun pengertian nikah atau perkawinan menurut beberapa
sarjana Islam telah merumuskan antara lain :
Mahmud Yunus :
”Perkawinan ialah aqad antara calon laki-isteri untuk
memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syari’at”[26]
Sayuti Thalib:
”Pengertian perkawinan itu ialah perjanjian suci
membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan”[27]
M. Idris Ramulyo, :
”Perkawinan menurut Islam ialah suatu perjanjian suci yang kuat yang kokoh
untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi,
aman tenteram bahagia dan kekal”[28]
Bermacam-macam
pendapat yang dikemukakan orang mengenai pengertian perkawinan itu tidaklah
memperlihatkan adanya pertentangan yang sungguh-sungguh antar satu pendapat
dengan pendapat yang lain tetapi lebih memperlihatkan keinginan pihak perumus
dalam memasukkan unsur-unsur perkawinan itu kedalam rumusannya.[29]
Para
ulama Mazhab sepakat bahwa pernikahan baru dianggap sah jika dilakukan dengan
akad, yang mencakup ijab dan qabul antara wanita yang dilamar dengan lelaki
yang melamarnya, atau antara pihak yang menggantikannya seperti wakil dan wali,
dan dianggap tidak sah hanya semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa
adanya akad.[30]
C.
Tujuan dan Fungsi Nikah
Agama Islam mensyari’atkan perkawinan dengan
tujuan-tujuan tertentu antara lain ialah :
1. Untuk melanjutkan
keturunan.
2. Untuk menjaga diri dari
perbuatan-perbuatan maksiat.
3. Menimbulkan rasa cinta
kasih sayang.
4. Untuk menghormati sunnah
Rosul.
5. Untuk membersihkan
keturunan.[31]
Keturunan adalah penting dalam rangka pembentukan umat
Islam yaitu umat yang menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan maksiat yang
dilarang oleh agama, dan mengamalkan syari’at Islam dengan memupuk rasa kasih sayang
didalam semua anggota keluarga dalam
lingkup lebih luas juga akan dapat menimbulkan kedamaian didalam masyarakat
yang didasarkan pada rasa cinta kasih terhadap sesama. Dengan melakukan
perkawinan juga berarti bahwa seorang muslim telah mengikuti dan menghormati
sunnah Rosulnya, dan melalui perkawinan akan dapat membuat terang keturunan,
siapa anak siapa dan keturunan siapa, sehingga tidak akan ada orang-orang yang
tidak jelas asal-usulnya.[32]
Al-Ghazali juga mengatakan ada lima faedah (keuntungan)
perkawinan : Memperoleh anak,mematahkan (menyalurkan) syahwat, menghibur diri,
menambah anggota keluarga dan berjuang melawan kecenderungan nafsu (dengan
menangani dan mengatasi bermacam keadaan yang timbul karena semua itu).[33]
Perkawinan adalah merupakan kebutuhan fitri setiap
manusia yang memberi banyak hasil yang penting antara lain :
1. Pembentukkan sebuah
keluarga yang didalamnya seseorang dapat menemukan kedamaian pikiran. Orang
yang tidak kawin bagaikan seekor burung tanpa sarang. Perkawinan merupakan
perlindungan bagi seseorang yang merasa seolah-olah hilang dibelantara
kehidupan, orang dapat melakukan pasangan hidup yang akan berbagi dalam
kesenangan dan penderitaan.
2. Gairah seksual merupakan
keinginan yang kuat dan juga penting. Setiap orang harus mempunyai pasangan
untuk memenuhi kebutuhan seksualnya dalam lingkungan yang aman dan tenang.
Orang harus menikmati kepuasan seksual dengan cara yang benar dan wajar. Orang-orang yang tidak mau kawin seringkali
menderita ketidak teraturan, baik secara fisik maupun psikologis. Ketidak
teraturan semacam itu dan juga persoalan-persoalan tertentu merupakan akibat
langsung dari penolakan kaum muda terhadap perkawinan.
3. Reproduksi atau sebagai
wadah untuk melangsungkan keturunan. Melalui perkawinan, perkembangbiakan manusia
berlanjut. Anak-anak adalah hasil perkawinan dan merupakan faktor penting dalam
memantapkan fondasi keluarga dan juga merupakan sumber kebahagiaan sejati bagi
orang tua mereka.[34]
Dengan
perkawinan juga, bahwa suami isteri telah berkumpul pada ikatan yang dalam yang
penuh kasih sayang, penuh tolong menolong untuk merawat anak-anak.[35]
Sesungguhnya hubungan
kasih sayang antara pria dan wanita merupakan kebutuhan biologis yang perlu
direalisir, dan nikah merupakan aturan yang mesti dipatuhi untuk melaksanakannya.
Namun demikian pernikahan dalam Islam bukan sekedar memenuhi kebutuhan biologis
atau formalisasi hubungan keduanya yang sah, tetapi ia mempunyai tujuan yang
mulia, yaitu dalam rangka menjalankan perintah Allah dan RosulNya serta
melestarikan kekhalifahan manusia dimuka bumi dengan menurunkan keturunan-keturunan
yang sah dalam masyarakat, dalam suatu rumah tangga yang damai dan teratur.
Bahkan
Rosulullah sendiri amat mencintai umatnya yang berketurunan banyak, apalagi
anak-anak yang lahir dari hubungan suami isteri yang sah yang akan menambah
populasi kaum mu’minin.
Sabda Rosulullah :
”Nikahlah, perbanyaklah keturunan. Sebab dihari Qiamat
kelak aku akan membanggakan kalian dimuka umat-umat yang lain” (Hadits Syarif).
Pernikahan juga akan mengantarkan manusia kepada
ketentraman, suasana sejuk yang membebaskan diri dari kegelisahan dan rasa
gundah gulana, apabila perkawinan itu
sendiri berdiri atas landasan Syar’i.
Sungguh amat jelas bahwa perkawinan yang terjadi pada
mahluk hidup , baik tetumbuhan, binatang, maupun manusia , adalah untuk
keberlangsungan dan pengembangbiakan mahluk yang bersangkutan.[36]
Tapi sebaliknya, rumah tangga akan menjadi sebuah neraka
kecil apabila tegak diluar landasan Islam.
Jika demikian tujuan pernikahan yang sebenarnya, maka dapat
dipastikan suatu perkawinan yang tidak
dapat mendirikan keluarga sakinah, berarti jauh dari apa yang dianjurkan oleh
Islam itu sendiri.
Di zaman yang sedang dilanda krisis moral seperti
sekarang ini, banyak kalangan muda yang tidak mempunyai keberanian untuk
menikah . Mereka takut mendayung bahtera rumah tangga dengan segala beban
resikonya. Ditambah lagi orang tua mereka kebanyakan tidak mau membantu
anak-anaknya pada langkah awal memasuki jenjang berkeluarga.
Sesungguhnya terjadi kenyataan yang tidak sinkron. Disatu
pihak kita menekankan para pemuda pemudi agar menunda perkawinan. Alasannya
kurang dewasa belum bisa mengurus keluarga atau belum cukup umur. Sementara
dipihak lain membiarkan mereka dipermainkan oleh rangsangan-rangsangan yang
begitu besar lewat realita kultur budaya yang ma’siati, melalui koran, majalah,
film, dan sarana-sarana yang lebih destruktif. Mampukah mereka menahan
keinginannya yang menggebu, atau dibiarkan saja mereka melakukan perzinahan
atau perbuatan yang sejenis.Zina ada enam macam : Zina mata, zina lisan,zina
bibir, zina tangan, zina kaki dan zina hati .[37]
Sangat disesalkan bilamana mereka tidak berani menikah
yang sesungguhnya itu merupakan ibadah, hanya karena takut menanggung resiko
ekonomi lalu melampiaskannya dengan cara yang justru memakan biaya lebih besar
disamping dosa. Allah yang maha pemurah menjanjikan bagi orang yang mau menikah
dalam firmannya.
” Hendaklah kamu
mengawinkan orang-orang yang sendirian (belum menikah) diantaramu dan
orang-orang yang shalih diantara hambamu yang laki-laki dan yang perempuan.
Jika mereka miskin, Allah akan memberi kekayaan kepada mereka dengan
karuniaNya Allah maha luas (karuniaNya)
lagi Maha Mengetahui ( QS An Nur 32).
Adapun fungsi atau faedah nikah atau perkawinan
disebutkan oleh Mahmud Yunus :
Allah menjadikan mahlukNya berpasang-pasang, menjadikan
manusia laki-laki perempuan, menjadikan hewan jantan dan betina begitu pula
tumbuh-tumbuhan dan lain-lain sebagainya.
Hikmahnya ialah supaya manusia hidup berpasang-pasang
hidup dua sejoli, hidup laki isteri,
membangunkan rumah tangga yang damai dan teratur. Untuk itu haruslah diadakan
ikatan dan pertalian yang kokoh yang tak mudah putus dan diputuskan, ialah akad
nikah atau ijab, kabul perkawinan. Bila akad nikah telah dilangsungkan, maka
mereka telah berjanji dan bersetia, akan membangun rumah tangga yang damai dan
teratur, akan sehidup semati, sesakit sesenang mereka menjadi satu keluarga.
Dalam pada itu mereka melahirkan keturunan yang sah dalam
masyarakat. Kemudian keturunan itu akan membangun pula rumah tangga yang baru
dan keluarga yang baru dan begitulah seterusnya.
Dari beberapa keluarga dan rumah tangga itu berdirilah,
kampung, dan dari beberapa kampung berdirilah desa dan dari beberapa desa
lahirlah negeri.
Inilah hikmahnya Allah menjadikan Adam sebagai khalifah
dimuka bumi, sehingga anak-anaknya berkembang biak meramaikan dan memakmurkan
bumi yang luas ini. Dalam pada itu Allah menjadikan apa-apa yang dibumi ini
kebaikan dan kemaslahatan anak Adam itu.
Agama Islam menetapkan bahwa untuk membangun rumah tangga
yang damai dan teratur itu, haruslah dengan perkawinan dan akad nikah yang sah,
serta diketahui sekurang-kurangnya dua orang saksi, bahkan dianjurkan supaya
diumumkan kepada tetangga dan karib kerabat dengan mengadakan pesta perkawinan
(walimahan).
Dengan demikian terpeliharalah keturunan tiap-tiap
keluarga dan mengenal tiap-tiap anak kepada bapaknya, terjauh dari bercampur
aduk antara satu keluarga dengan yang lain atau anak-anak yang tak kenal
ayahnya.
Lain dari pada itu kehidupan suami - isteri dengan
keturunannya turun temurun berhubungan rapat dan bersangkut paut bahkan bertali
temali, laksana rantai yang sama kuat dan tak ada putusnya.
Alangkah malangnya nasib seorang wanita yang menyia-nyiakan
kecantikannya waktu masih muda dengan berfoya-foya dan pergaualan bebas tanpa batas. Kemudian
setelah habis manis sepah dibuang, maka wanita itu tinggal seorang diri, tak
ada suami yang memeliharanya dan anak yang menyayanginya, bahkan tak ada
keluarga yang membujuknya, seolah-olah ia tinggal dalam neraka dunia, sesudah
mengecap surga dunia beberapa waktu.
Berlainan dengan nasib seorang wanita yang bersuami waktu
mudanya. Setelah tiba waktu tua, disampingnya ada suami yang memeliharanya, dan
anak yang mencintainya, seolah-olah ia hidup dalam surga dunia sejak dari kecil
sampai waktu tuanya.
Inilah hikmah berkawin dan itulah faedah mendirikan rumah
tangga yang damai dan teratur. Lain dari pada itu faedah berkawin ialah
memeliharakan diri seorang, supaya jangan jatuh kelembah kejahatan
(perzinahan),dua macam dosa besar
terdapat pada faraj , yaitu berzina , dan liwath (homosexs
atau lesbian).[38]Karena
bila ada istri disampingnya tentu akan terhindarlah dari pada melakukan
pekerjaan yang keji itu. Begitu juga wanita yang ada disampingnya suami, tentu
akan terjauh dari ma’siat tersebut.[39]
D.
Rukun Nikah
Sahnya suatu perbuatan hukum menurut hukum agama Islam
harus memenuhi dua unsur, yaitu rukun dan syarat. Rukun ialah unsur pokok
(tiang) sedangkan syarat merupakan unsur pelengkap dalam setiap perbuatan
hukum. Perkawinan sebagai perbuatan hukum tentunya juga harus memenuhi rukun
dan syarat-syarat tertentu.
Agama Islam menentukan sahnya akad nikah kepada tiga
macam syarat, yaitu :
(1). Dipenuhi semua rukun
nikah
(2). Dipenuhi syarat-syarat
nikah
(3). Tidak melanggar larangan
perkawinan sebagai ditentukan oleh syari’at.
a. Rukun nikah
Rukun nikah
merupakan hal-hal yang harus dipenuhi pada waktu melangsungkan perkawinan. Jadi
dapat digolongkan kedalam syarat formil, dan terdiri atas :
(1). Adanya calon mempelai
laki-laki dan wanita
(2). Harus ada wali bagi
calon mempelai perempuan
(3). Harus disaksikan oleh
dua orang saksi
(4). Akad nikah, yaitu ijab
dari wali mempelai perempuan atau wakilnya dan kabul dari mempelai laki-laki
atau wakilnya.
Rukun nikah merupakan bagian dari hakekat perkawinan
artinya bila salah satu dari rukun nikah tidak dipenuhi, maka tidak akan
terjadi suatu perkawinan.
Bila tidak ada calon mempelai yang akan melangsungkan
perkawinan tidak ada suatu perkawinan. Calon mempelai masing-masing harus bebas
dalam menyatakan persetujuannya, hal itu menuntut konsekuensi bahwa kedua calon
mempelai haruslah sudah mampu untuk memberikan persetujuan untuk mengikatkan
diri dalam suatu perkawinan, dan ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang
sudah mampu berpikir mandiri, dewasa dan bebas dari tekanan pihak lain diluar
dirinya, yang menurut istilah hukum Islam berarti sudah Aqil baligh (baligh
berakal), dalam arti sudah mampu melakukan perkawinan (Undang-undang No 1 tahun
1974 tentang Perkawinan, menentukan usia 16 tahun untuk wanita 19 tahun untuk
pria). Dengan dasar ini sebenarnya Islam menganut asas kedewasaan jasmani dan
rohani untuk dapat melangsungkan pernikahan. Perkawinan anak-anak hanyalah
dimungkinkan dalam hal-hal atau keadaan tertentu saja.
Wali menurut ajaran Syafi’i dan Maliki merupakan soal
penting. Menurut ajarannya, tidak ada nikah tanpa wali. Hanafi dan Hambali lain
lagi pandangannya : walaupun nikah itu tidak pakai wali, nikahnya tetap sah.
Paham ini dianut oleh sarjana Indonesia yaitu , Hazairin, dan Sayuti Thalib.
Sayuti Thalib ,me ittiba’ dan mengikuti pendapat
Imam Abu Hanifah dan Hazairin, dengan mengatakan bahwa memang dari segi hukum,
wali bagi perempuan yang sudah dewasa tidak menjadi syarat sahnya pengikatan
diri dalam perkawinan, tetapi ada baiknya wanita itu memakai wali dalam
melakukan ijab kabul.
Akan tetapi , ada hal lain yang sudah pasti dan tidak
diperselisihkan lagi, yaitu apabila si ayah tidak mau memberikan persetujuannya
tanpa suatu sebab yang beralasan maka hakya dicabut.[40]
Sebagian besar ulama mengatakan, bahwa saksi adalah rukun
nikah. Menurut Syafi’i, Hanafi dan Hambali, aqad nikah yang tidak dihadiri dua
orang saksi, tidak sah. Dasarnya adalah Hadits Nabi yang mengatakan ”Tidak ada/
tidak sah nikah, melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil”. Menurut
Syafi’i dan Hambali, dua orang saksi itu harus muslim.Tidak sah bila saksi itu
bukan muslim. Sedangkan Hanafi mengatakan, saksi itu boleh saja bukan muslim,
yaitu bila perkawinan dilakukan antara seorang muslim dengan wanita yang bukan
muslim (kitabiyah).
Jadi , orang yang menjadi saksi nikah disyaratkan harus
orang yang adil, jujur, mulia, dan diridhai oleh kaum muslimin.[41]
Rukun nikah yang keempat yaitu ijab kobul, merupakan
rukun nikah yang menentukan, karena dengan diucapkannya ijab (penegasan
kehendak untuk mengikatkan diri dalam perkawinan) oleh wali mempelai perempuan
atau wakilnya, dan kabul (penegasan penerimaan mengikatkan diri sebagai suami
isteri) yang dilakukan mempelai laki-laki atau wakilnya, maka akad nikah secara
yuridis mempunyai kekuatan mengikat bagi kedua mempelai, dalam arti bahwa
perkawinan mereka sudah sah, jadi ijab kabul merupakan inti dari perkawinan
menurut agama Islam.[42]
Syarat ijab dan kabul itu haruslah dari kata-kata yang
tersebut dalam Al Qu’an, yaitu lafaz nikah dan tazwij atau terjemahannya
seperti kawin dan nikah. Demikian Syafi’i dan Hambali.
Contoh ijab dari wali perempuan :
1. Menikahkan aku akan
engkau dengan anakku .......................................dengan emas kawin
Rp............................................................
2. Mengawinkan aku akan
engkau dengan anakku .....................................dengan emas kawinnya
Rp...........................................
Contoh kabul dari kata-kata calon suami :
1. Aku terima nikahnya
..............................dengan emas kawin Rp........................
atau
2. Aku terima kawinnya
.............................. dengan emas kawin Rp......................
Kalimat Allah yang termaktub dalam Qur’an tentang
perkawinan hanya dua saja yaitu : Nikah (nikah) dan Tazwij, lain tidak. Sebab
itu haruslah ijab dan kabul itu dari salah satu dari dua lafaz itu. Maka tidak
boleh ijab dan kabul itu dengan lafaz ibadah (halal) atau hibah (beri), seperti
: aku halalkan (berikan) anakku.................kepada engkau dengan emas kawin
Rp ............... Lain daripada itu ijab dan kabul harus dilakukan dalam satu
majelis dengan tak ada perantaraan yang lama antara ijab dan kabul, serta
didengar oleh kedua belah pihak dan oleh dua orang saksi.[43]
Sebab itu tidak sah perkawinan bila lama benar
perantaraan antara ijab dan kabul atau di ucapkan dengan suara lunak, sehingga
tidak dapat didengar oleh kedua pihak atau dua orang saksi.
Sehubungan dengan pelaksanaan ijab kabul, Sayuti
Thalib berpendapat, pengucapan ijab oleh
mempelai wanita dan kabul oleh mempelai pria adalah terbalik. Seyogyanya pihak
mempelai prialah yang mengucapkan ijab dan mempelai wanita mengucapkan kabul.
Selanjutnya Sayuti mengatakan hal itu adalah sesuai dengan fitrah laki-laki
perempuan yang dijadikan oleh Tuhan.
Dalam hal itu ia menunjuk kepada beberapa Hadits Rasul, mengenai pinangan yang
dilakukan oleh laki-laki, ayat-ayat Al- Qur’an mengenai talak dan rujuk, dan
ayat-ayat Al- Qur’an yang lainnya, yang mendukung kebenaran pendapatnya itu.[44]
b. Syarat-syarat nikah
Syarat-syarat nikah menurut agama Islam diperinci kedalam
syarat-syarat untuk mempelai laki-laki. Syarat-syarat nikah dapat digolongkan
kedalam syarat meteriil dan harus dipenuhi agar dapat melangsungkan pernikahan.
Syarat-syarat bagi calon mempelai laki-laki :
(1). Beragama Islam
(2). Terang laki-lakinya
(bukan banci)
(3). Tidak beristri lebih
dari empat
(4). Tidak dipaksa (dengan
kemauan sendiri)
(5). Bukan mahramnya bakal
istri
(6). Tidak mempunyai istri
yang haram dimadu dengan calon istrinya
(7). Mengetahui calon
istrinya tidak haram dinikahinya
(8). Tidak sedang dalam ihram
haji atau umrah.
Syarat bagi calon mempelai wanita :
(1). Beragama Islam
(2). Terang perempuannya
(bukan banci)
(3). Telah memberi izin
kepada wali untuk menikahkannya
(4). Tidak bersuami, dan
tidak dalam masa iddah bukan mahram
(5). Bukan mahram bakal suami
(6). Belum pernah dili’an
(sumpah li’an) oleh bakal suami
(7). Terang orangnya tidak
sedang dalam ihram haji atau umrah.[45]
Syarat saksi :
(1). Beragama Islam
(2). Laki-laki
(3). Baligh
(4). Berakal
(5). Adil
(6). Mendengar (tidak tuli)
(7). Melihat (tidak buta)
(8). Bisa bercakap-cakap
(tidak bisu)
(9). Tidak pelupa (mughaffal)
(10). Menjaga harga diri
(menjaga muru’ah)
(11). Mengerti maksud ijab
kabul
(12). Tidak merangkap menjadi
wali
Syarat wali :
(1). Beragama Islam
(2). Baligh
(3). Berakal
(4). Tidak dipaksa
(5). Terang lelakinya
(6). Adil (bukan fasik)
(7). Tidak sedang ihram haji
atau umrah
(8). Tidak dicabut haknya
dalam menguasai harta bendanya oleh pemerintah
(9). Tidak rusak pikirannya
karena tua atau sebagainya.[46]
Tidak dipenuhinya syarat-syarat nikah tersebut diatas
berakibat batal atau tidak sah (fasid) nikahnya.
Selain syarat-syarat tersebut masih ada satu syarat lagi
yang harus diperhatikan oleh umat Islam dalam hal akan melangsungkan
pernikahan, yaitu syarat tidak melanggar larangan pernikahan.
- Wali Nikah
Mengenai
wali nikah , ia merupakan unsur yang penting bagi mempelai wanita yang akan
bertindak untuk menikahkannya . Yang menjadi wali nikah ialah seorang laki-laki
yang memenuhi syarat hukum Islam , yakni muslim, akil, dan baligh. Wali nikah
tersebut terdiri dari wali nasab dan wali hakim. Ditetapkannya wali nikah
sebagai rukun perkawinan karena untuk melindungi kepentingan wanita itu
sendiri, melindungi integritas moralnya serta memungkinkan terciptanya
perkawinan yang berhasil . Institusi perwalian dalam perkawinan lebih bersifat
kewajiban daripada hak. Paling tidak merupakan sintesis dari keduanya
Pernikahan harus dilangsungkan dengan wali. Apabila dilangsungkan
tidak dengan wali atau walinya bukan yang berhak maka pernikahan tersebut tidak
sah.
Adapun wali itu ada tiga macam, yaitu wali nasab, wali
hakim dan wali muhakam.[47]
- Wali Nasab.
Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga
calon mempelai wanita , yang berhak menjadi wali menurut urutan sebagai berikut
:
a. Pria yang menurunkan
calon mempelai wanita dari keturunan pria murni ( yang berarti dalam garis
keturunan tidak ada penghubung yang wanita) Yaitu :
a). Ayah
b)Ayah dari ayah
c). Dan seterusnya keatas.
Catatan
: Ayah dari ibu atau ayah dari ibu si ayah tidak berhak menjadi wali, karena
dalam garis keturunan itu terdapat
penghubung wanita yang berarti garis
keturunan pria sudah tidak murni lagi dengan terdapat jenis wanita sebagai
penghubung dalam keturunan tersebut.
b. Pria keturunan ayah
mempelai wanita dalam garis pria murni yaitu .
1). Saudara kandung
2). Saudara seayah
3). Anak dari
saudara kandung
4). Anak dari
saudara ayah
5). Dan seterusnya
ke bawah
Catatan : Saudara se ibu, anak saudara wanita atau anak
dari anak wanita saudara pria tidak berhak menjadi wali karena dalam garis
keturunannya terdapat penghubung wanita (garis yang menghubungkannya melalui
seorang wanita)
c. Pria keturunan dari
ayahnya ayah dalam garis pria murni yaitu :
1). Saudara kandung dari ayah
2). Saudara sebapak dari ayah
3). Anak saudara kandung dari ayah
4). Dan seterusnya kebawah
Catatan: Saudara seibu dari ayah , anak saudara wanita
dari ayah atau dari anak wanita si ayah tidak berhak menjadi wali karena dalam
garis keturunan itu terdapat penghubung wanita :
-
Pria keturunan dari ayahnya si ayah
-
Dan seterusnya.
Apabila wali tersebut
diatas tidak beragama Islam sedangkan calon mempelai wanita beragama Islam atau
wali-wali tersebut di atas belum baligh, atau tidak berakal atau rusak
pikirannya atau bisu yang tidak bisa diajak bicara dengan isyarat dan tidak
bisa menulis maka hak menjadi wali pindah kepada wali berikutnya,
Contoh : Seorang calon
mempelai wanita yang sudah tidak mempunyai ayah kakek lagi, sedang saudara-saudaranya
yang ada belum ada yang baligh dan juga tidak mempunyai wali yang terdiri dari
keturunan ayah ( misalnya keponakan) maka yang berhak menjadi wali adalah
saudara kandung dari ayah.[48]
Wali Hakim
Yang
dimaksud dengan wali hakim ialah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk
bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan,
Sebagaimana
diuraikan terdahulu, apabila seorang calon mempelai wanita :
1). Tidak mempunyai wali nasab sama sekali , atau
2). Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya, atau
3). Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang
wali
yang
sederajat dengan dia tidak ada, atau
4). Wali berada
ditempat yang jaraknya sejauh masafatul qosri ( atau sejauh perjalanan yang
membolehkan shalat qosor) yaitu 92,5 km, atau
5). Wali berada
dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh di jumpai, atau
6). Wali adlal,
artinya wali tidak bersedia atau menolak untuk menikahkan, atau
Penolakan wali dalam
mengawinkan anak gadisnya dalam fikih disebut wali adlal[49]
7). Wali sedang melakukan ibadah haji/ umroh.
Maka yang berhak menjadi wali dalam pernikahan tersebut
adalah wali hakim. Kecuali apabila wali nasabnya telah mewakilkan kepada orang
lain untuk bertindak sebagai wali. Dalam hal demikian orang lain yang
diwakilkan itulah yang berhak menjadi
wali.
Catatan: Dizaman modern dewasa ini, meskipun jarak
masafatul qosri telah dipenuhi, untuk akad nikah wali perlu diberi tahukan
terlebih dahulu.
Sesuai
dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1987, yang ditunjuk oleh Menteri
Agama sebagai wali hakim adalah Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan.[50]
- Larangan Nikah
Adapun menurut syari’at Islam, pernikahan yang dilarang
ada 10 (sepuluh), yaitu karena :
1. Hubungan darah terdekat
(nasab) .
2. Hubungan persusuan (radha’) .
3. Hubungan persemendaan (mushaharah)
.
4. Talak bain kubra.
5. Permaduan.
6. Poligami.
7. Li’an.
8. Masih bersuami/ dalam
iddah.
9. Perbedaan agama.
10. Ihram haji/ umrah.
Ad. 1. Hubungan darah terdekat (nasab)
Seorang pria dilarang
menikah dengan :
a. Wanita yang menurunkan ,
yaitu :
Ibu dan nenek (baik
melaui ayah maupun melalui ibu) .
b. Keturunan wanita, yaitu
:
Anak wanita dan cucu/
cicit (dari keturunan anak pria dan dari keturunan anak wanita ) .
c. Wanita dari keturunan
ayah dan wanita dari keturunan ibu, yaitu :
Saudara kandung, saudara seayah dan saudara seibu.
Kemenakan, yaitu anak saudara kandung, anak saudara seayah dan anak saudara
seibu.Cucu/cicit kemenakan , yaitu cucu/ cicit dari ketiga saudara tersebut
diatas.
d. Wanita saudara dari yang
menurunkan, yaitu :
Saudara ayah (amah)
sekandung, (khalal) seayah dan (ammah) seibu.
Saudara ibu (khalal)
sekandung, (khalal) sekandung, (khalal) sekandung dan (khalal) seibu.
Dari uraian di atas tersebut
dapat disimpulkan bahwa seorang pria dilarang menikah dengan seorang wanita :
-
Dalam garis keturunan lurus ke atas dan lurus ke bawah
dari keturunan ayah dan dari keturunan ibu tanpa batas.
-
Dalam garis keturunan menyamping lurus ke atas dan lurus
ke bawah dari keturunan ayah dan dari keturunan ibu tanpa batas
-
Anak-anak dari kakek/ nenek, sedangkan cucu/ cicit sudah
boleh dinikahi.
Ad. 2. hubungan susuan.
Seorang wanita yang
menyusui seorang anak berumur dua tahun kebawah dengan sekurang-kurangnya lima
kali susuan, anak tersebut dinamakan anak susuan. Sedangkan wanita yang
menyusui dan suaminya disebut ibu dan ayah susuan.
Larangan nikah karena
persusuan sama dengan larangan nikah karena
hubungan darah terdekat. Oleh karena itu seorang pria dilarang menikah dengan :
a. Ibu susuan :
-
Yang menyusui ibu susuan.
-
Yang menyusui ayah susuan.
-
Yang menyusui ibu, ayah, kakek dan nenek.
-
Yang menurunkan ibu susuan.
-
Yang menurunkan ayah susuan.
b. Anak susuan.
-
Anak susuan dari anak pria/ cucu pria
-
Anak susuan dari anak wanita/ cucu wanita
-
Keturunan anak susuan
-
Keturunan susuan dari anak susuan
c. Saudara susuan :
-
Anak susuan dari ibu.
-
Anak susuan dari ayah, yaitu yang menyusu kepada istri
ayah, karena air susu yang disusu itu milik ayah.
-
Anak susuan dari ibu susuan
-
Anak dari ibu susuan
-
Anak dari ayah susuan
d. Kemenakan
susuan/ cucu kemenakan
susuan, yaitu :
-
Keturunan nasab dari kelima saudara susuan tersebut
diatas.
-
Keturunan susuan dari kelima saudara susuan tersebut diatas.
-
Anak susuan dari saudara wanita
-
Anak susuan dari saudara pria
-
Keturunan nasab dari dari anak susuan saudara wanita dan
saudara pria
-
Keturunan susuan dari anak susuan saudara pria.
e. Bibi susuan, yaitu :
-
Saudara wanita (saudara nasab) dari ibu susuan.
-
Saudara wanita (saudara susuan) dari ayah susuan
-
Saudara wanitanya (baik nasab maupun susuan) dari pria
yang menurunkan ayah susuan dan dari wanita yang menurunkan ibu sususan.
Ad. 3. Hubungan persemendaan.
Seorang pria di larang menikah dengan :
a. Ibu/ nenek tiri, yaitu :
-
Bekas isteri ayah
-
Bekas isteri ayah sususan
-
Bekas isteri orang yang menurunkan ayah
-
Bekas isteri orang yang menurunkan ayah susuan
b. Menantu/ cucu menantu,
yaitu :
-
Bekas isteri anak
-
Bekas isteri anak sususan
-
Bekas isteri anak susuan
-
Bekas isteri keturunan anak
-
Bekas isteri keturunan anak susuan.
c. Ibu/ nenek mertua, yaitu
:
-
Ibu isteri
-
Ibu susuan isteri
-
Ibu yang menurunkan ibu isteri
-
Ibu yang menurunkan ibu susuan isteri.
d. Anak/ cucu tiri, yaitu :
-
Anak dan cucu dari isteri
-
Anak susuan dan cucu susuan dari isteri.
Larangan menikah dengan anak tiri tidak berlaku apabila
ia belum mengadakan hubungan langsung dengan ibu dari anak tiri tersebut. Jadi
apabila seorang pria menikahi seorang wanita bernama A umpamanya, kemudin A ini
meninggal dunia atau dicerai sebelum mengadakan hubungan kelamin, maka anak
dari A ini adalah boleh di nikahi oleh laki-laki tersebut
Ad. 4. Li’an (sumpah).
Seorang suami yang menyumpah li’an terhadap isteri, maka
seketika itu putuslah pernikahan antara suami isteri tersebut dan dilarang bagi
suami untuk menikah kembali atau merujuk kepada bekas isteri itu untuk selama-
lamanya.
Yang dimaksud dengan li’an ialah sumpah seseorang suami dihadapan
hakim yang berwenang (Pengadilan Agama) untuk memperkuat tuduhanya bahwa
isterinya telah melakukan perzinahan.
Li’an, ialah pemakaian kutuk Tuhan oleh suami untuk
dirinya apabila ia tidak benar dalam menuduh istrinya telah berbuat zina dan
dalam mempertahankan diri dari tuduhan tersebut isteri juga memakai kutuk Tuhan
untuk dirinya apabila tuduhan suaminya benar.[51]
Sumpah ini diucapkan empat kali berturut-turut dan
diakhiri dengan kalimat yang bermaksud semoga Allah melaknatinya apabila ia
tidak benar dalam tuduhanya.
Ad. 5. Talak bain Kubro.
Seorang pria dilarang menikah kembali atau merujuk isteri
yang telah di talak dengan talak bain kubro, yaitu talak tiga, baik sekaligus
maupun berturut-turut. Larangan ini tidak belaku lagi , apabila isteri tersebut telah
dinikahi dengan sah oleh pria
lain, dan telah mengadakan hubungan kelamin, kemudian dicerai dan telah habis
pula iddahnya.
Yang dimaksud dengan talak tiga sekaligus ialah
menjatuhkan talak tiga dengan satu kali ucapan. Umpamanya seorang suami berkata
kepada isterinya , ”saya talak kamu dengan talak tiga secara berturut-turut
ialah :
a. Mula-mula ditalak dengan
talak satu, kemudian dirujuk atau dinikahi lagi. Kemudian ditalak yang kedua
kalinya dengan talak satu, selanjutnya dinikahi atau dirujuk lagi dan kemudian
di talak lagi dengan talak satu.
b. Mula-mula ditalak dengan
talak satu, kemudian dirujuk atau dinikahi lagi. Kemudian ditalak yang kedua
kalinya dengan talak dua.
c. Seperti angka 2 diatas,
hanya pertama-tama dijatuhkan talak dua kemudian untuk kedua kalinya dijatuhkan
talak satu.
d. Mula-mula ditalak dengan
talak satu. Selama masih dalam iddah belum habis ditalak lagi dengan talak
satu. Dan selama iddah belum habis ditalak lagi dengan talak satu, atau
mula-mula ditalak dengan talak satu, kemudian selama masih dalam iddah di talak
lagi dengan talak dua atau sebaliknya.
Menurut Ibnu Abas (sahabat Nabi) di zaman Rasullah dan
khalifah Abu Bakar masih hidup dan dua tahun pemerintahan Khalifah Umar Ibnu
Khatab, ”Talak tiga sekaligus jatuhnya satu bukan tiga.”Demikian pula
Pengadilan Agama di Indonesia.
Karenanya menurut pendapat ini, seorang suami yang
menjatuhkan talak tiga sekaligus dengan satu kali ucapan diperbolehkan rujuk
kembali pada isterinya.
Ad. 6. Permaduan.
Seorang pria dilarang memperisteri dua orang wanita
bersaudara dalam waktu yang bersamaan, yaitu :
a. Dua orang wanita
(kakak-adik) karena hubungan darah terdekat (nasab).
b. Seorang wanita dengan
bibinya (saudara wanita dari ibu isterinya atau saudara wanita dari bapak
isterinya) baik karena hubungan darah terdekat atau karena hubungan susuan.
c. Seorang wanita dengan
seorang wanita dari kakek atau dari nenek isterinya, baik karena hubungan darah
terdekat atau karena hubungan susuan.
Apabila larangan ini
dilanggar yang batal adalah nikah yang kedua.
Ad. 7. Poligami.
Seorang pria dalam keadaan beristeri empat orang,dilarang
melakukan pernikahan kelima. Apabila larangan ini dilanggar, maka pernikahan
yang kelima menjadi batal (karena hukum). Isteri yang telah dicerai dengan
talak raj’i dan masa iddahnya belum habis, maka dalam hubungan larangan ini
isteri tersebut masih dianggap isteri.
Karenanya, apabila pria tersebut menceraikan salah satu
dari keempat isterinya dengan talak raj’i selama iddah dari isteri tersebut
belum habis maka pria tersebut tetap dianggap masih mempunyai empat orang
isteri dan dilarang melakukan pernikahan yang kelima.
Islam menetapkan batasan poligami maksimum empat isteri,
sebelum kedatangan Islam , tidak ada batasan jumlah isteri dalam poligami.
Islam menetapkan syarat adil bagi laki-laki yang melakukan poligami.[52]
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, untuk
berpoligami bagi orang Islam harus dengan izin Pengadilan Agama.
Ad. 8 Masih bersuami/ dalam iddah.
Seorang pria dilarang menikah dengan :
a. Seorang wanita yang
masih dalam ikatan pernikahan.
b. Seorang wanita yang
masih dalam iddah.
Ad. 9. Perbedaan Agama.
Seorang pria beragama Islam dilarang menikah dengan
seorang wanita yang bukan beragama Islam, demikian pula sebaliknya seorang
wanita yang beragama Islam dilarang menikah dengan pria yang bukan beragama
Islam.
Masalah ini merupakan masalah khilafiah yang tidak perlu
dibahas pada kesempatan ini.
Ad. 10. Ihram Haji/ Umrah.
Seorang yang melakukan ihram haji atau umrah, baik pria
maupun wanita dilarang melakukan akad nikah.
Pernikahan yang melanggar larangan-larangan tesebut
diatas dinyatakan tidak sah atau batal demi hukum.[53]
Dalam hal larangan-larangan perkawinan yang telah kita
bahas diatas masih ada pendapat lain yaitu dari Ibnu Taimiyah di dalam
al-Ikhtiyasrat : Dan haram dikawini perempuan pezina sehingga ia tobat dan
habis masa iddahnya. Demikian menurut mazhab Imam Ahmad dan lain-lain dan
laki-laki pezina tidak boleh mengawini perempuan yang terpelihara sehingga ia
tobat.[54]
G. Pengertian Wali Adlal
Wali adlal, artinya wali
tidak bersedia atau menolak untuk menikahkan, atau penolakan wali dalam
mengawinkan anak gadisnya dalam fikih disebut wali adlal.
Masalah yang
diperbincangkan tentang wewenang para ayah atas putri mereka ialah apakah izin
ayah itu diperlukan untuk perkawinan putrinya yang belum pernah kawin.[55]
Dalam Islam , ada
hal-hal yang benar-benar pasti sehubungan dengan perkawinan . Anak laki-laki ,
apabila ia telah mencapai usia akil baliq, telah sepenuhnya matang, dan berakal
sehat, adalah bebas untuk menentukan pilihannya , dan tak seorangpun yang
berhak campur tangan . Namun dalam hal anak perempuan, ada sedikit perbedaan .
Apabila seorang anak perempuan sudah pernah kawin dan dalam keadaan menjanda ,
tidak ada seorangpun yang berhak mencampuri urusannya , dan kedudukannya dalam
hal ini sama dengan anak laki-laki. Tetapi apabila anak perempuan itu seorang perawan dan hendak memasuki
ikatan perkawinan dengan seorang pria untuk pertama kalinya , maka bagaimanakah
situasinya ?
Bahwa si ayah tidak
berwenang mutlak atas putrinya dalam hal ini, dan tidak dapat mengawinkannya
dengan siapa saja yang dikehendakinya tanpa kehendak dan persetujuan si putri,
dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat . Kita telah melihat bahwa Nabi,
dalam jawaban beliau kepada gadis yang dikawinkan ayahnya tanpa sepengetahuan
dan persetujuannya itu, dengan jelas menegaskan bahwa apabila si gadis tidak
menyetujuinya , ia boleh kawin dengan pria lain.Terdapat perbedaan pendapat
dikalangan para fakih (ahli fikih Islam) tentang apakah seorang gadis yang
belum pernah kawin tidak mempunyai hak untuk kawin tanpa persetujuan ayahnya,
atau apakah persetujuan si ayah bukan prasyarat bagi keabsahan perkawinannya .
Akan tetapi , ada hal
lain yang sudah pasti dan tidak diperselisihkan lagi, yaitu apabila si ayah
tidak mau memberikan persetujuannya tanpa suatu sebab yang beralasan maka
haknya dicabut, dan terdapat kesepakatan bulat diantara semua fakih Islam bahwa
dalam keadaan demikian maka si putri sepenuhnya bebas memilih suaminya. Seperti
telah disebutkan sebelumnya , ada perbedaan pendapat tentang masalah apakah
persetujuannya si ayah merupakan syarat yang perlu dalam perkawinan seorang
anak perempuan . Mungkin mayoritas fakih , terutama para fakih di masa yang
akhir ini , berpendapat bahwa persetujuan si ayah bukan syarat yang dimestikan.[56]
Selanjutnya mengenai wali adlal juga diatur
dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1987 tentang
Wali Hakim, dalam Pasal 2 ayat (1) Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah
di wilayah Indonesia atau luar negeri/ wilayah ekstra-teritorial Indonesia
ternyata tidak mempunyai Wali Nasab yang berhak atau Wali Nasabnya tidak
memenuhi syarat ,atau mafqud atau berhalangan atau adhal , maka nikahnya dapat
dilangsungkan dengan Wali Hakim.Ayat (2) Untuk menyatakan adhalnya Wali
sebagaimana tersebut ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan keputusan Pengadilan
Agama yang mewilayahi tempat tinggal calon mempelai wanita.Ayat (3) Pengadilan
Agama memeriksa dan menetapkan adhalnya Wali dengan acara singkat atas permohonan
calon mempelai wanita dengan menghadirkan Wali calon mempelai wanita.
Pasal 3 : Pemeriksaan dan penetapan adhalnya Wali bagi
calon mempelai wanita warganegara Indonesia yang bertempat tinggal di luar
negeri dilakukan oleh Wali Hakim yang akan menikahkan calon mempelai wanita.
Pasal 6 : ayat (1) Sebelum akad nikah dilangsungkan Wali
Hakim meminta kembali kepada Wali Nasabnya untuk menikahkan calon mempelai
wanita, sekalipun sudah ada penetapan Pengadilan Agama tentang adhalnya Wali.
Ayat (2) Apabila Wali Nasabnya tetap adhal , maka akad nikah dilangsungkan
dengan Wali Hakim.
Para
ulama sependapat bahwa wali tidak berhak merintangi perempuan yang diwalii dan
berarti berbuat zhalim kepadanya kalau ia mencegah kelangsungan pernikahan
tersebut , jika ia mau dikawinkan dengan laki-laki yang sepadan dan mahar
mitsl. Jika wali menghalangi pernikahan tersebut ,maka calon pengantin wanita
berhak mengadukan perkaranya melalui Pengadilan agar perkawinan tersebut dapat
dilangsungkan . Dalam keadaan seperti ini , perwalian tidak pindah dari wali
yang zhalim ke wali lainnya , tetapi langsung ditangani oleh Hakim sendiri.
Sebab menghalangi hal tersebut adalah satu perbuatan yang zhalim, sedangkan
untuk mengadukan wali zhalim itu hanya kepada hakim.
Adapun
jika wali menghalangi karena lasan-alasan yang sehat, seperti laki-lakinya
tidak sepadan, atau maharnya kurang dari mahar mitsl , atau ada peminang lain
yang lebih sesuai derajatnya , maka dalam keadaan seperti ini perwalian tidak
pindah ketangan orang lain. Karena ia tidaklah dianggap menghalangi .[57]
F. Peraturan Perkawinan di Indonesia
Amalan nikah ini telah ada sejak jaman dahulu, yaitu
sejak mulai masuknya agama Islam ke Indonesia yang dibawa oleh para pedagang
Gujarat dari tanah Persi dan Arab. Akhirnya banyak raja yang tertarik sehingga
mereka memeluk agama Islam, yang kemudian diikuti oleh rakyatnya.
Jadi persoalan nikah sejak dahulu diatur oleh hukum adat
yang sifatnya tidak tertulis dengan mengambil sumber dari hukum Islam.
Hal tersebut akhirnya juga ikut menyebar keseluruh
pelosok Nusantara dengan semakin berkembangnya
pengaruh agama Islam dibumi Nusantara. Seperti diketahui selama berabad-abad penduduk Indonesia
beragama Islam,tidak memiliki hukum perkawinan tertulis.[58]
Pada waktu sekarang, peraturan yang mengatur tentang
perkawinan sudah ada, apalagi perkawinan menurut hukum Islam telah mengalami
perkembangan yang begitu pesat.Untuk memelihara dan melindungi keluarga serta
meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga tersebut disusunlah
undang-undang yang mengatur perkawinan dan keluarga.[59]
Adapun instansi pemerintah yang menangani masalah perkawinan menurut hukum
Islam yaitu Departemen Agama yang pada tingkat kecamatan pelaksanaannya
dilakukan oleh Kantor Urusan Agama, sedangkan masalah perceraian dilaksanakan
oleh Pengadilan Agama yang kedudukannya sama dengan Pengadilan Negeri.
Mengenai pengaturan yang mengatur tentang perkawinan di
Indonesia dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Peraturan yang
dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda (sebelum RI merdeka).
2. Peraturan yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia (sesudah RI merdeka)
Ad. 1. peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia
Belanda tersebut, yaitu:
- Penetapan Raja tanggal 29 Desember 1896 No. 23 (Stb.
1989 No.158)[60]
telah mengeluarkan tentang peraturan perkawinan Campuran (Regeling Op de
Gemengde Huwelijken) yang dalam perjalanan sejarahnya telah dirubah dan
ditambah dengan beberapa perubahan dan tambahan melalui beberapa peraturan
yang dimuat dalam Staatsblads (Lembaran Negara Hindia Belanda).
Pasal 1 dari Regeling Op
de Gemengde Huwelijken (GHR) itu menyatakan bahwa, ”Yang dinamakan perkawinan
campuran ialah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada
hukum-hukum yang berlainan”.
- Huwelijksordonantie S. 1929 No. 348 jo.S, 1931 No.
467, Vorstenlandsche Huwelijksordonantie S. 1933 No. 98 dan
Huwelijksordonantie Buitengewesten S. 1932 No. 482 tentang peraturan
nikah, talak dan rujuk.[61]
Ad. 2. Peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah
Republik Indonesia, yaitu:
- Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan
Nikah, Talak dan Rujuk.
Dalam Pasal 1 disebutkan :
Ayat (1) : Nikah yang dilakukan menurut agama Islam,
selanjutnya disebut nikah, diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat
oleh Menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk olehnya. Talak dan Rujuk
yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut talak dan rujuk,
diberitahukan kepada Pegawai Pencatat Nikah.
Ayat (2) : Yang berhak melakukan pengawasan atas nikah
dan menerima pemberitahuan tentang talak dan rujuk hanya pegawai yang diangkat
oleh Menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk olehnya.
Ayat (3) : Bila pegawai itu tidak ada atau berhalangan
maka pekerjaan itu dilakukan oleh orang yang ditunjuk sebagai wakilnya oleh
Kepala Jawatan Agama Daerah.
- Undang-undang Nomor 23 Tahun 1954 tentang penetapan
berlakunya Undang-undang Republik Indonesia Tanggal 21 Nopember 1946 Nomor
22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk diseluruh daerah
luar Jawa dan Madura.
- Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.[62]
Dalam Pasal 1 disebutkan :
Ayat (1) : Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.
Dalam Pasal 2 disebutkan :
Ayat (1) : Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.
Ayat (2) : Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.[63]
d. Disahkannya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang ditindaklanjuti
dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975, dan untuk lingkup yang
terbatas, PP Nomor 10 Tahun 1983, tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi
Pegawai Negeri Sipil, membawa nuansa baru dalam pemikiran hukum di Indonesia
yang di dalam kitab-kitab fiqih belum dibicarakan , atau dalam hal-hal tertentu
belum ada penegasan secara eksplisit.
e. Kemudian
pada akhir tahun 1989 juga disusul dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama . UU yang
terdiri dari tujuh bab dan 108 pasal ini memang lebih banyak mengatur tentang keberadaan Pengadilan Agama,
Susunan, Kekuasaan , dan Hukum Acara ini, sejauh hukum materiilnya masih
mengacu kepada kitab-kitab fiqih tertentu yang dipandang mu’tabaroh, dan
kepada UU Perkawinan serta peraturan organik dibawahnya . Tahun 1991 ditetapkan
Kompilasi Hukum Islam , dan disebarluaskan melalui Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 1991 sebagai sebuah konsensus ulama , yang disepakati sebagai landasan
hukum yang kokoh dan mandiri bagi
keberadaan lembaga Peradilan Agama.
f. Instruksi
Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Penyebarluasan Kompilasi Hukum
Islam yang terdiri dari :
Buku I tentang Hukum Perkawinan;
Buku II tentang kewarisan;
Buku III tentang Hukum Perkawinan;
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9
Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
- Peraturan Menteri Agama Pemerintah Republik
Indonesia Nomor : 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim.
Pasal 1 huruf b
b. Wali hakim adalah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri
Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai Wali Nikah
bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai Wali.
- Peraturan Menteri Agama republik Indonesia Nomor : 2
Tahun 1989 tentang Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (Pembantu PPN).
- Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor : 2
Tahun 1990 tentang Kewajiban Pegawai
Pencatat Nikah.
Dalam pasal 45 disebutkan :
PPN yang melalaikan kewajibannya dalam melaksanakan
peraturan ini atau melakukan perbuatan yang mencemarkan martabat PPN atau
menghilangkan kepercayaan masyarakat baik di dalam maupun di luar jabatannya,
dikenakan hukuman administrasi atau hukuman sebagaimana diatur dalam Undang-undang
Nomor : 22 Tahun 1946 junto pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor : 9 Tahun 1975.
h. Surat
Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor :
16 Tahun 1992 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengelolaan Biaya Nikah dan Rujuk Bagi
Umat Islam.
i. Keputusan
Menteri Agama Republik Indonesia, Tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden
Republik Indonesia No 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991.
j. Peraturan
Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007, Tanggal 25 Juni 2007
,Tentang Pencatatan Nikah
BAB. III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Gambaran Kasus-kasus Sengketa
Pernikahan Wali Adlal di Kantor Urusan
Agama Kecamatan Muntilan .
1. Tata Cara Pelaksanaan
Perkawinan dan Pengawasannya
Pada dasarnya kegiatan
pelaksanaan perkawinan, pencatatan dan pengawasannya dibagi dalam dua kegiatan,
yang pertama yaitu kegiatan yang dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan, sedangkan kegiatan lainnya dilaksanakan di Kantor Departemen Agama
Kabupaten yang meliputi kegiatan pengelolaan formulir NTCR laporan jumlah NTCR
setiap bulan dan tri wulan juga kegiatan yang bersifat pengawasan terhadap
tugas Pegawai Pencatat Nikah atau Kepala Kantor Urusan Agam Kecamatan.
Adapun kegiatan yang
dilakukan di KUA antara lain :
Pemberitahuan kehendak nikah, pemeriksaan nikah,
pengumuman kehendak nikah, akad nikah dan pencatatannya, untuk lebih jelasnya
akan diuraikan satu persatu :
1. Pemberitahuan kehendak
nikah
Dalam
praktek kadang-kadang dijumpai terjadi ketegangan antara Pegawai Pencatat Nikah
(PPN) dengan pihak-pihak yang akan menikah, karena nikahnya tidak dapat
dilangsungkan karena belum memenuhi persyaratan, padahal persiapan dengan
undangan segala macam sudah selesai dipersiapkan semua. Oleh karena itu untuk
menghindari hal-hal seperti itu dan untuk lebih memantapkan suatu persiapan
perkawinan, maka dianjurkan kepada PPN, Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N),
ataupun Badan Penasehatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP. 4) untuk
selalu membimbing masyarakat agar dalam merencanakan perkawinan, hendaknya
mengadakan persiapan pendahuluan sebagai berkut :
a. Masing-masing calon
mempelai saling mengadakan penelitian tentang apakah kedua calon saling cinta /
setuju dan apakah kedua oarang tua mereka menyetujui / merestuinya. Ini erat
hubungannya dengan surat-surat persetujuan kedua calon mempelai dan surat izin
orang tua, agar surat-surat tersebut tidak hanya formalitas saja.
b. Masing-masing berusaha
meneliti apakah ada halangan perkawinan, baik menurut hukum munahakat maupun
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini untuk mecegah
terjadinya penolakan atau pembatalan perkawinan.
c. Calon mempelai supaya
mempelajari ilmu pengetahuan rumah tangga, tentang hak dan kewajiban suami
isteri dan lain sebagainya.
Setelah persiapan
pendahuluan dipersiapkan secara matang barulah orang yang hendak menikah
memberitahukan kehendaknya itu kepada P3N/PPN KUA Kecamatan Muntilan sebagai tempat akan
dilangsungkannya akad nikad, sekurang-kurangnya sepuluh hari kerja sebelum akad
nikah dilangsungkan.
Pemberitahuan kehendak
nikah dapat dilakukan oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya dengan
membawa surat-surat yang diperlukan yaitu :
1. Surat keterangan untuk
kawin dari Kepala Desa yang mewilayahi tempat tinggal yang bersangkutan (N1)
2. Akte kelahiran atau
surat keterangan asal-usul (N2)
3. Surat Persetujuan kedua calon mempelai (N. 3)
4. Surat keterangan
mengenai orang tua (N4)
5. Surat ijin kawin bagi
mempelai anggota TNI/ POLRI , kepadanya ditentukan minta izin lebih dahulu dari
pejabat yang berwenang memberikan izin.
6. Surat Kutipan Buku Pendaftaran Talak / Cerai atau surat talak /
surat tanda cerai jika calon mempelai seorang janda / duda.
7. Surat keterangan
kematian suami / isteri yang dibuat oleh Kepala Desa/ Kelurahan yang mewilayahi
tempat tinggal atau tempat matinya suami / isteri menurut contoh model (N6),
jika calon mempelai seorang janda / duda karena kematian suami / isteri.
8. Surat izin dan
dispensasi, bagi calon mempelai yang belum mencapai umur menurut ketentuan
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 6 ayat (2) s/d (6) dan Pasal 7 ayat (2).
9. Surat dispensasi Camat
bagi pernikahan yang akan dilangsungkan kurang dari sepuluh hari kerja sejak
pemberitahuan.
10. Surat keterangan tidak
mampu dari Kepala Desanya bagi mereka yang tidak mampu.[64]
P3N yang menerima
pemberitahuan kehendak nikah meneliti
dan memeriksa calon suami, calon isteri dan Wali Nikah tentang ada tidaknya
halangan pernikahan, baik dari segi hukum munahakat maupun dari segi peraturan
perundang-undangan tentang perkawinan.
2. Pemeriksaan Nikah
Pemeriksaan dilakukan bersama-sama, tetapi
tidak ada halangannya jika pemeriksaan itu dilakukan sendiri-sendiri. Bahkan
dalam keadaan yang meragukan perlu dilakukan pemeriksaan sendiri-sendiri.
Pemeriksaan Nikah yang langsung diawasi
oleh PPN :
a. Pemeriksaan ditulis dalam
Daftar Pemeriksaan Nikah (NB)
b. Masing-masing calon suami, calon isteri dan
Wali Nikah mengisi ruang yang telah tersedia dalam daftar pemeriksaan Nikah dan
ruang lainnya diisi oleh PPN.
c. Dibaca dan bila perlu
diterjemahkan kedalam bahasa daerah
d. Setelah dibaca, kemudian
ditanda tangani oleh yang memeriksa dan PPN yang memeriksa. Dan kalau tidak
bisa membubuhkan tanda tangan, dibubuhi cap ibu jari tangan kiri.
e. Dimasukkan dalam buku
yang diberi nama Catatan Kehendak Nikah.
f. Kehendak Nikah
diumumkan.
3. Pengumuman Kehendak
Nikah
Kehendak
nikah diumumkan oleh PPN atas pemberitahuan yang diterimanya setelah segala
persyaratan / ketentuan dipenuhi, dengan menempelkan surat pengumuman (model
NC).
Pengumuman
dilakukan :
a.
di Kantor Urusan Agama yang mewilayahi tempat akan akan
dilangsungkan perkawinan.
b.
Di Kantor Urusan Agama yang mewilayahi tempat tinggal
masing-masing calon mempelai.
PPN / Penghulu
tidak boleh meluluskan akad nikah sebelum lampau sepuluh hari kerja, sejak
pengumuman kecuali seperti apa yang diatur dalam Pasal 3 ayat (3) PP. Nomor 9
tahun 1975.
Dalam
kesempatan waktu sepuluh hari ini calon mempelai suami isteri akan mendapat
nasehat perkawinan dari BP. 4 Kecamatan Muntilan.
4. Akad Nikah dan
Pencatatannya
a. Akad nikah dilangsungkan
dibawah pengawasan / dihadapan PPN, dan setelah akad nikah dilangsungkan.
b. Kalau nikah
dilangsungkan diluar Balai Nikah, nikah itu dicatat dalam halaman 4 model NB
dan ditandatangani oleh suami, isteri, wali nikah dan saksi-saksi serta PPN
yang mengawasi akad nikah. Kemudian segera didaftar dalam Akta Nikah (Model N).
Dalam hal yang demikian itu, maka yang menandatangani dalam Akta Nikah hanya
PPN saja. Tanda tangan masing-masing yang bersangkutan dihalaman 4 model NB.
c. Akta Nikah dibaca, dan
dimana perlu diterjemahkan kedalam bahasa daerah dihadapan yang berkepentingan
dan saksi-saksi kemudian ditandatangi oleh suami, isteri, wali nikah,
saksi-saksi dan PPN.
d. Setelah itu PPN
membuatkan kutipan Akta Nikah rangkap 2 (dua) dengan kode dan nomor porporasi
yang sama.
e. Kutipan Akta Nikah (NA)
diberikan kepada suami dan kepada isteri, setelah menandatangani tanda terima
(Sibir).
f. Nomor ditengah pada
model NB (Daftar Pemeriksaan Nikah) diberi nomor yang sama dengan nomor Akta
Nikah.
g. Akta Nikah dan Kutipan
Akta Nikah harus ditandatangani oleh PPN. Dalam hal Penghulu yang melakukan
pemeriksaan dan menghadiri akad nikah di luar Balai Nikah, tidak menanda tangani Daftar pemeriksaan Nikah dan
halaman terakhir daftar tersebut (halaman 4 model NB).
h. PPN berkewajiban
mengirimkan Akta-akta Nikah yang telah diselesaikan kepada Pengadilan Agama
Kabupaten Magelang, apa bila folio terakhir dari halaman Akta Nikah telah
selesai dikerjakan.
i. Jika mempelai itu
seorang janda/ duda karena talak atau cerai :
1.1. Kalau talak/ cerainya
dahulu dicatat di situ juga, maka pada ruang catatan lain-lain buku pendaftaran
Talak/ Cerai yang bersangkutan ditulis sebagai berikut :
” Suami/ Istri telah menikah di KUA Kec. Muntilan dengan seorang
laki-laki/ perempuan nama. . . . . . . .
. pada tanggal..............,
Kutipan Akta Nikah Nomor. . . . . . . . . . . . . . .
Tanda tangan PPN/Wk.PPN
. . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . .
Tanggal
. . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . .
1.2. Kalau talak/ cerainya dahulu ditempat lain,
diberitahukan kepada kantor yang mencatat talak/ cerainya dahulu dengan
menggunakan model ND rangkap dua; kedua-duanya dikirim langsung kepada kantor
yang bersangkutan. Setelah model ND lembar kedua diterima kembali, segera
dikumpulkan bersama daftar pemeriksaan nikah dan diletakkan diatas kutipan Buku
Pendaftaran Talak/ Cerai yang bersangkutan.
1.3. PPN yang menerima pemberitahuan ND itu segera
membuat catatan pada ruang ”Catatan lain-lain” Buku Pendaftaran Talak/ Cerai
yang bersangkutan, sebagaimana tersebut diatas dan segera mengirimkan kembali
lembar ke II model ND tersebut.
5. Persetujuan, izin dan dispensasi
Dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terkandung beberapa prinsip demi menjamin
cita-cita luhur dari pada perkawinan, yaitu : asas sukarela, partisipasi
keluaraga, poligami dipersullit/ dibatasi secara ketat, dan kematangan calon
mempelai.
Sebagai
realisasi dari asas sukarela, maka perkawinan harus didasarkan atas persetujuan
calon mempelai. Oleh karena itu setiap perkawinan harus mendapat persetujuan
kedua calon suami istri, tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Dengan
demikian dapat dijamin tidak akan terjadi kawin paksa.
Perkawinan
merupakan peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, karena ia akan menginjak
dunia baru, membentuk keluarga sebagai unit terkecil dari keluarga besar bangsa
Indonesia, dan sesuai dengan sifat dan kepribadian bangsa Indonesia yang
religius dan kekeluargaan, maka diperlukan partisipasi keluarga untuk merestui
perkawinan itu.
Oleh karena
itu bagi yang berada dibawah umur 21
tahun baik pria maupun wanita diperlukan izin dari orang tuanya. Dalam keadaan
orang tua tidak ada, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau
keluarga dalam garis keturunan lurus keatas.
Akhirnya izin
dapat diperoleh dari Pengadilan, apabila karena suatu dan lain sebab izin
termaksud tidak dapat diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga
tersebut diatas.
Prinsip
kematangan bagi calon mempelai dimaksudkan bahwa calon suami istri harus telah
matang jasmani dan rokhaninya untuk melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat
memenuhi tujuan luhur dari perkawinan dan mendapat keturunan yang baik dan
sehat. Oleh karena itu harus dicegah adanya perkawinan anak-anak dibawah umur.
Disamping itu perkawinan mempunyai hubungan erat dengan masalah kependudukan.
Perkawinan
dibawah umur dapat saja diijinkan dalam keadaan yang memaksa (darurat) tetapi
setelah mendapatkan dispensasi dari pengadilan atas permintaan orang tua.
6. Penolakan
kehendak nikah
Apabila
setelah diadakan pemeriksaan nikah, ternyata tidak memenuhi
persyaratan-persayaratan yang telah ditentukan, baik persyaratan menurut hukum
munakahat maupun persyaratan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku,
maka PPN akan menolak pelaksanaan pernikahan itu, dengan cara memberikan surat
penolakan kepada yang bersangkutan serta alasan-alasan penolakannya (model N9).
Atas
penolakan tersebut yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan melalui
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya.
Pengadilan
Agama memeriksa penolakan dengan acara singkat (sumir), menguatkan penolakan,
atau memerintahkan pernikahan dilangsungkan.
Jika
pengadilan Agama memerintahkan pernikahan dilangsungkan, maka PPN akan
melaksanakan perintah tersebut.
7. Pencegahan
pernikahan
Pernikahan
dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan
pernikahan.
Yang
dapat mengajukan pencegahan pernikahan adalah :
a. Para keluarga dalam
garis keturunan lurus keatas dan kebawah
b. Saudara dari salah
seorang calon mempelai
c. Wali nikah
d. Pengampu (kuratele) dari
salah seorang calon mempelai
e. Pihak yang
berkempentingan.
Pencegahan
pernikahan diajukan ke Pengadilan Agama dalam daerah hukum tempat pernikahan
akan dilangsungkan oleh mereka yang dapat mencegah pernikahan.
Mereka
yang melakukan pencegahan pernikahan harus memberi tahukan pula kepada PPN yang
bersangkuatan tentang usaha pencegahannya. Dan PPN akan memberitahukan kepada
masing-masing calon mempelai.
Setelah
mengetahui adanya usaha pencegahan pernikahan, tidak akan melangsungkan
pernikahan, kecuali pencegahan itu telah dicabut dengan putusan Pengadilan
Agama atau pencegahan di tarik kembali oleh yang mencegah.
8. Pembatalan
pernikahan
Pernikahan
dapat dibatalkan, apabila telah berlangsung akad nikah diketahui adanya
larangan menurut hukum ataupun peraturan perundang-undangan tentang perkawinan.
Pembatalan
perkawinan dilakukan oleh Pengadilan Agama dalam daearah hukum tempat
pernikahan dilangsungkan atau tempat tinggal kedua suami istri.Yang dapat
mengajukan pembatalan pernikahan yaitu :
a. Garis keturunan lurus
keatas dari suami atau istri;
b. Suami atau istri;
c. Pejabat yang berwenang
hanya selama perkawinan belum diputuskan;
d. Pejabat yang ditunjuk
berdasarkan peraturan perundang-undangan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun
1974 Pasal 16 ayat (2).
9. Biaya pencatatan nikah
Tarip
1. Peraturan Pemerintah
nomor 51 Tahun 2001 tanggal 1 Juli 2000 menyebutkan bahwa biaya pencatatan
nikah di KUA Kecamatan sebesar Rp. 30.000,- (tiga puluh ribu rupiah)
10.Pembukuan, penyimpanan dan penyetoran.
Biaya
pencatatan nikah dicatat/ dibukukan dalam buku kas tabelaris NR 6 yang telah
disediakan. Sebelum disetorkan, semua biaya pencatatan nikah ,harus disimpan
dalam brankas (peti besi) menurut ketentuan yang berlaku. Segera setelah biaya
diterima dalam waktu satu minggu Bendaharawan Penerima KUA Kecamatan Muntilan
akan menyetorkan sepenuhnya ke BRI Kecamatan setempat .
11.Formulir nikah
a. Jenis formulir
Menurut
Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1990 ada 16 jenis formilir pencatatan
nikah yang dapat dikategorikan menjadi tiga jenis, yaitu formulir pokok,
formulir pelengkap dan formulir mutasi.
a.1. Formulir pokok, yaitu formulir yang secara
langsung menjadi tanggung jawab dan dikerjakan pengisiannya oleh PPN, yaitu :
-
Akta Nikah (Model N)
-
Kutipan Akta Nikah (Model NA)
-
Daftar Pemeriksaan Nikah (Model NB)
-
Pengumuman Kehendak Nikah (Model NC)
Pengisian formulir tersebut dimulai dari model NB, NC dan kemudian model N
dan yang terakhir model NA.
a.2. Formulir
pelengkap, yaitu formulir yang merupakan kelengkapan dari pelaksanaan
pernikahan dan disiapkan sebelum pelaksanaan pernikahan, sebagian besar formulir tersebut pengisiannya dilakukan
oleh Kepala Desa, yaitu :
-
Surat keterangan untuk nikah (Model N1)
-
Surat keterangan asal-usul (Model N2)
-
Surat keterangan persetujuan mempelai (N3)
-
Surat keterangan tentang orang tua (Model N4)
-
Surat keterangan kematian suami/istri (Model N6)
-
Pemberitahuan kehendak Nikah (Model N7)
-
Pemberitahuan adanya halangan/kekurangan syarat (Model
N8)
-
Penolakan kehendak nikah (Model N9)
-
Buku catatan kehendak nikah (Model N10)
a.3. Formulir
mutasi, yaitu formulir yang dipergunakan untuk memberitahukan perubahan status
seseorang, kepada PPN/pengadilan Agama yang sebelumnya telah mencatat
perceraiannya, yaitu :
-
Pemberitahuan Nikah (Model ND)
-
Pemberitahuan Poligami (Model NE)
a. Pengaturan penggunaan
beberapa formulir nikah.
b.1. Formulir
Model NB
-
Dicatat penerimaan dan penggunaannya dalam buku stok
khusus.
-
Digunakan mencatat sejak awal pendaftaran dan termasuk
mencatat data-data hasil pemeriksaan yang bersangkutan.
-
Dijilid dalam satu bendel untuk setiap tahun beserta
surat-surat yang berhubungan dengan pernikahan untuk mempermudah penyimpanan
dan pengontrolannya.
-
Penyimpanan diurutkan sesuai dengan nomor urut Akta Nikah
untuk mempercepat pencariannya, bila dikemudian hari terjadi masalah dalam
pernikahan, karena tersimpan dengan baik dan tidak boleh ada surat-surat yang
tercecer.
b.2 Formulir
Model N (Akta Nikah)
-
Dicatat penerimaan dan penggunaannya dalam buku stok
khusus.
-
Merupakan Akta dan dijilid dalam buku 50 lembar.
-
Diberi catatan pada sampulnya, ditanda tangani lembar
pertama dan terakhir serta diparaf pada lembar-lembar lainnya oleh kepala Seksi
Urusan Agama Islam , sebelum dikirim kepada PPN.
-
Tersimpan secara tertib dan aman dikantor dan tidak boleh
dibawa ke luar kantor. Bila terjadi nikah diluar kantor / diluar Balai Nikah ,
sebagai gantinya menggunakan halaman IV Model NB.
-
Dibuat rangkap dua, ditulis dengan huruf latin dan
menggunakan tinta hitam.
-
Buku pertama disimpan oleh PPN, buku kedua dikirim ke Pengadilan
Agama Kabupaten Magelang.
b.3. Formulir
Model NA
-
Dicatat penerimaan dan penggunaannya dalam buku Stok
khusus (BS.1)
-
Dipergunakan secara berurutan sesuai dengan seri nomornya
untuk mempermudah pengontrolan.
-
Ditulis dengan huruf balok yang bagus, jelas dengan
menggunakan tinta hitam.
-
Segera setelah akad nikah berlangsung kepada
masing-masing suami istri diberikan
Kutipan Akta Nikah.
-
Dibuat rangkap dua, untuk masing-masing suami istri.
-
Diserahkan kepada masing-masing suami isteri dengan ekspedisi
khusus dengan tanda tangan penerimaan.
Untuk
ketiga formulir tersebut diatas, pada prinsipnya tidak dibenarkan adanya
coretan, hapusan dan sejenisnya, bila hal tersebut tidak bisa dihindari, perlu
adanya tanda tangan.
1. Pembukuan
Formulir
NTCR adalah barang berharga milik negara, oleh karena itu dikelola dan diawasi
dengan baik agar tidak disalah gunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung
jawab.
Salah
satu cara pengelolaan dan pengawasan, adalah membuat pembukuan yang tertib,
jelas dan rapi. Dengan demikian semua formulir secara cepat dapat diketahui
setiap saat tentang penerimaan dan pengeluarannya, karena pendistribusiannya
dan saldo akhirnya.
Pekerjaan
pembukuan memerlukan ketelitian, disamping pengetahuan tentang pembukuan. Oleh
karena itu petugas yang ditunjuk memegang pembukuan adalah pegawai yang
mengetahui cara-cara pembukuan, cakap dan teliti.
2. Penyimpanan
a. Hal-hal yang perlu
diperhatikan pada waktu melaksanakan penyimpanan formulir NTCR :
(1). Dapat menjamin keutuhan
formulir dalam arti terhindar dari kerusakan.
(2). Dapat menjamin keamanan
formulir dalam waktu melaksanakan penyimpanan formulir NTCR .
(3). Dapat melaksanakan
secara mudah dan cepat, waktu melaksanakan pendistribusian ;
(4). Dapat mudah dan cepat
dalam pengecekan sewaktu-waktu terutama pada waktu ada pemeriksaan.
b. Tata cara penyimpanan :
(1). Ditaruh pada tempat yang
kering, tidak lembab/ basah / kebocoran juga tidak ditaruh langsung di atas
tanah semen, tegel dan sebagainya.
(2). Dalam periode tertentu
diadakan pemeriksaan/ pengecatan kemungkinan terdapat rayap/ tikus atau hama
kertas. Dan diadakan penyemprotan dengan obat serangga.
(3). Disimpan dalam gudang
yang telah dipersiapkan dan tidak berserakan disembarang tempat.
(4). Disimpan dalam almari
terkunci, terutama sekali untuk formulir-formulir model N, NA, T, C, R.
(5). Penyimpanan formulir
khusus Kutipan Akta Nikah (NA) disusun secara berurutan secara tepat dalam
keadaan berurutan ;
(6). Khusus penyimpanan NA,
disamping disusun secara berurutan dengan nomor kecil diatas, apabila terdapat
seri yang berbeda, maka dipisahkan dalam tumpukan ditempat yang berlainan. Seri
NA yang berbeda tidak di campur.
(7). Pada setiap formulir
diberi label dari kertas dengan huruf
yang jelas
3. Laporan
a. Kegunaan laporan
(1). Sebagai bahan penyusunan
perencanaan kebutuhan dan data formulir yang diajukan ke Departemen keuangan
untuk memperoleh anggaran tahun yang akan datang ;
(2). Sebagai bahan pedoman
rencana pengadaan dan pendistribusian formulir tahun berikutnya ;
(3). Untuk menyusun skala
preoritas pengiriman.
b. Tata cara membuat
laporan diatur sebagai berikut :
(1). Laporan dibuat setiap
triwulan dikirim kepada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dengan tembusan Kantor Wilayah Departemen
Agama Propinsi Jawa Tengah.
(2). Laporan dibuat tepat waktu selambat-lambatnya tanggal 15
setelah triwulan yang bersangkutan ;
(3). Akibat tidak mengirim
laporan.
-
penerimaan anggaran tidak mencukupi kebutuhan
-
rencana pengadaan dan pendistribusian tidak sesuai dengan
apa yang diharapkan ;
-
Pengiriman formulir ke Kantor Departemen Agama Kabupaten
tertunda.
9. Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas PPN.
Disamping hal-hal
yang telah tersebut diatas, tidak kalah pentingnya kegiatan yang dilakukan oleh
Kepala Seksi Urusan Agama Islam selaku atasan teknis KUA Kecamatan se Kabupaten Magelang.
Adapun
langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :
a. Kepala Seksi Urusan
Agama Islam menyusun program kerja tri
wulan, menyusun jadual pemeriksaan tri wulan yang sedang berjalan.
b. Dibuat surat tugas untuk
melaksanakan pemeriksaan di dua puluh satu KUA. Kecamatan se Kabupaten Magelang, surat
tugas ditanda tangani Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Magelang.
c. Susunan surat tugas
pemeriksaan itu adalah : Kepala Seksi Urusan Agama Islam sebagai ketua tim ,
dan dua orang pegawai Seksi Urusan Agama
Islam sebagai anggota tim.
Tim dibagi menjadi
dua masing-masing terdiri dari dua orang, seorang memeriksa pada bidang
keuangan NR dan seorang lagi pemeriksaan dalam bidang Administrasi NTCR.
d. Hal-hal yang diperiksa
meliputi : pelaksanaan perkawinan dan pencatatannya, daftar pemeriksaan nikah,
Akta nikah Buku stok khusus (BS 1), Buku stok umum (BS2), sisa formulir NA,
lampiran-lampiran antara lain : N 1, N2, N3, N4 sampai dengan N7, Akte
kelahiran, kartu keluarga, dispensasi dan lain-lain.
Dalam bidang
keuangan hal-hal yang diperiksa adalah : pembukuan NR6,DIPA NR dan DIPA DEPAG .
a. Dari hasil pemeriksaan
itu dibuat berita acara pemeriksaan untuk disampaikan kepada Kepala Kantor
Wilayah Departemen Agama Propinsi Jawa tengah melalui Kepala Kantor Departemen
Agama Kabupaten Magelang.
b. Bila terjadi pelanggaran
atau pelaksanaannya tidak sesuai,maka Tim pemeriksa dapat melaporkan kepada
pihak yang berwajib.
c. Sanksi
(1). Denda
Dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,00 bagi :
-
Mereka yang melangsungkan pernikahan tidak dihadapan
Pegawai Pencatat Nikah yang berwenang.
-
Mereka yang beristeri lebih dari seorang tanpa ijin
Pengadilan agama.
-
PPN yang melangsungkan pernikahan atau mencatat
perkawinan dengan tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
-
PPN yang melakukan pencatatan pernikahan seorang suami
yang beristri lebih dari satu tanpa izin Pengadilan Agama.
(2). Pidana Kurungan
Dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan
bagi :
-
PPN yang melangsungkan pernikahan atau mencatat
pernikahan dengan tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
-
PPN yang melakukan pencatatan pernikahan seorang suami
yang beristeri lebih dari satu tanpa izin Pengadilan Agama.
(3). Hukuman Jabatan
Disamping hukuman sebagaimana tersebut diatas para
pejabat yang melakukan pelanggaran dapat dihukum dengan hukuman jabatan.[65]
2.
Gambaran kasus-kasus pernikahan
wali adlal di KUA. Kecamatan Muntilan
Temuan kasus pernikahan wali adhlal di KUA Kecamatan
Muntilan sebenarnya tidak begitu banyak , namun dari beberapa kasus yang dapat
kami teliti , kasus pernikahan wali
adlal tersebut , apabila tidak ditangani
secara intensif , akan timbul kesenjangan hubungan antara calon pengantin
perempuan dengan walinya , bahkan sangat mungkin terjadi sengketa yang
berkepanjangan, sehingga berakhir di Pengadilan agama . Bukan hanya itu , kasus
wali adlal yang sampai ke Pengadilan Agama, akan menimbulkan dampak psikologis,
baik bagi calon pengantin, wali dan dua
keluarga besar ,yaitu keluarga calon pengantin perempuan maupun keluarga calon
pengantin laki-laki.Hal itu tentu saja sangat bertentangan dengan tujuan
perkawinan sebagaimana disebut dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 yang berbunyi ”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
Disamping itu, kasus pernikahan wali adlal yang berakhir
di Pengadilan Agama, juga akan menambah beban finansial bagi calon
mempelai yang pada akhirnya akan
ditanggung oleh calon mempelai, belum lagi waktu yang tersita untuk berperkara
di Pengadilan Agama .
Dari beberapa kasus yang akan kami sebutkan dibawah ini,
penulis membagi kasus wali adlal menjadi 4
tingkat/ kategori :
(Kasus .1)
Pencatatan Nikah antara Sdr. Fulan dan Fulanah
(nama disamarkan)
Fulan
dan Fulanah , adalah calon mempelai yang mendaftarkan pencatatan
pernikahannya , Fulan berstatus duda cerai
dan Fulanah status janda , karena ditinggal mati oleh suami.Pendaftaran
Pencatatan nikah sepasang calon mempelai tersebut ditentang oleh keluarga besar
Fulanah dengan berbagai alasan, adapun
beberapa alasan yang dapat disampaikan oleh keluarga besar Fulanah adalah karena, Fulan seorang yang senang kawin cerai , karena
Fulan pernah menikah tiga kali dan cerai
tiga kali pula, kebanyakan kasus yang menjadi latar belakang perceraiannya
adalah tindakan selingkuh yang dilakukan Fulan.Alasan kedua, Fulan berasal dari keluarga yang kurang mampu
sehingga keluarga Fulanah berprasangka
bahwa Fulan hanya akan mengincar harta
Fulanah yang diwarisi dari mendiang
suaminya yang telah meninggal dunia (Fulanah
dengan suaminya almarhum mempunyai
tiga anak, dan sudah dewasa).Alasan ketiga Fulanah sudah tua sudah tidak pantas untuk menikah
lagi.Karena alasan-alasan tersebut maka anak-anak dan keluarga Fulanah keberatan untuk diadakan pencatatan nikah,
bahkan salah satu anak dari Fulanah
melakukan intimidasi kepada Fulan
agar membatalkan rencana
pernikahannya dengan Fulanah , tindakan lebih jauh lagi juga dilakukan oleh anak
Fulanah yang tertua yaitu membujuk wali
(kakak Kandung dari Fulanah ) untuk menolak rencana pernikahan adiknya dengan
berbagai macam alasan.Karena terpengaruh dengan permintaan anak-anak Fulanah maka Restu
selaku kakak kandung Fulanah
tidak mau menjadi wali atas pernikahan Fulan dan Fulanah .
Kalau kita melihat kasus diatas yang
dapat kita amati adalah kesalah fahaman antara calon pengantin wanita dengan
keluarga besarnya terutama anak-anaknya, anaknya menyangka bahwa pernikahan itu
akan menjadi alat bagi Fulan atau calon suami untuk merebut harta gono-gini
antara Fulanah dengan suami terdahulu, sehingga, anak-anak Fulanah berusaha
keras agar perkawinan tersebut tidak dilangsungkan atau digagalkan, sehingga
anak-anak Fulanah membujuk saudara laki-laki Fulanah untuk menolak menjadi
wali, tentu saja dengan issue bahwa Fulan akan merebut harta peninggalan suami
Fulanah terdahulu. Karena kurangnya pengetahuan dari wali nikah, maka Restu
selaku wali nikah juga ikut terpengaruh, PPN bertindak sebagai mediator
dengan memberikan informasi dan
pemahaman tentang hak dan kewajiban wali, apa bila tidak diadakan mediasi maka
akan terjadi miss komunikasi dan akan terjadi sengketa yang terus menerus ,
padahal sebenarnya hanyalah kesalah pahaman dari masing-masing pihak.
Kasus tersebut diatas dapat
diselesaikan melalui musyawarah yang
melibatkan unsur Kepala Desa , tokoh masyarakat dan keluarga besar
Fulanah dengan mediator Pegawai Pencatat Nikah.Fulan dan Fulanah dapat dicatat
pernikahanya dan keluarganya juga merelakan , yang paling penting konflik yang
terjadi dapat diselesaikan tanpa ada pihak-pihak yang merasa dirugikan.
(Kasus.2)
Kasus
Pencatatan Nikah RM dengan AG dengan wali nikah HTN.
RM dan
AG adalah pasangan calon pengantin yang masih muda, orang tua mengharapkan RM meneruskan
sekolah dulu, karena RM adalah anak pertama yang diharapkan sebagai penerus
cita-cita orang tuanya dan menjadi contoh bagi adik-adiknya .
Alasan lain adalah AG hanyalah pekerja swasta yaitu
bekerja di bengkel sepeda motor, HTN khawatir
dengan masa depan putrinya, tidak terjamin karena AG calon suaminya belum mapan
dalam hal menghidupi ekonomi keluarga.
Sedangkan ST.H punya pertimbangan lain, ST.H yaitu, ibu
dari RM, mendukung pernikahan putrinya , karena dua-duanya sudah saling mencintai
dan alasan yang lebih penting yaitu ” RM
telah berbadan dua / hamil diluar nikah, menurut pengakuan RM , dia hamil
atas perbuatan AG, maka satu-satunya
jalan untuk menutup aib keluarga, yaitu menuntut pertanggung jawaban AG untuk
segera menikahi putrinya.
(Kasus .3)
Pencatatan Nikah antara AF
dengan NR dengan wali nasab (ayah kandungnya ) bernama MA.
AF seorang wanita yang telah
cukup umur, usia 32 tahun , akan menikah dengan seorang laki-laki bernama NR
pekerjaan swasta dan telah mempunyai penghasilan yang cukup, bekerja di kota J
usia 40 tahun.Namun dalam rencana nikah tersebut ada kendala yang dihadapi yaitu wali (ayah
kandung) tidak setuju, bahkan tidak hanya ayah kandungnya tetapi juga ibu dan
dua orang saudaranya juga tidak menyetujui pernikahan tersebut .
Adapun yang menjadi alasan tidak setuju, ayah dan seluruh
keluarga besar AF, adalah karena NR dari latar belakang keluarga yang tidak
sepadan dengan keluarga AF, namun juga masih ada alasan lain, yaitu ayah AF
telah menerima pinangan dari pemuda yang berasal dari keluarga terpandang,
adapun calon yang dijodohkan dengan AF adalah seorang yang mempunyai kedudukan
penting dalam masyarakat. Ayah AF berharap dengan adanya perjodohan ini akan
dapat mengangkat derajat keluarga di masyarakat. Namun AF tidak setuju karena
telah mempunyai calon yang dianggap lebih menjanjikan masa depannya dan NR
adalah orang yang dapat dijadikan tambatan hatinya. AF berkeyakinan bahwa jodoh
itu tidak hanya ditentukan dengan derajat
,kedudukan dan pangkat seseorang .
(Kasus 4)
Mawar seorang mahasiswi sebuah
perguruan tinggi swasta di kota Jogja telah lama berpacaran dengan Joko teman
seangkatan di kampusnya, karena hubungannya terlalu dekat dan kurang adanya
kontrol dari orang tua, maka pergaulannya melampaui batas-batas kesusilaan,
sehingga Mawar hamil, maka karena niat menutup aib dan demi pengakuan terhadap
calon anak yang akan lahir, maka Mawar dan Joko mendaftarkan pernikahannya di
KUA Kecamatan Muntilan, ketika ditanyakan tentang keberadaan walinya , Mawar menjawab
bahwa walinya tidak setuju dengan rencana pernikahan Mawar dengan Joko.Bebarapa
kali dipanggil ke KUA untuk dimintai konfirmasi wali tetap tidak mau hadir,
upaya KUA yaitu melakukan tabayun ke rumah wali atau orang tua Mawar, namun
tetap saja pak Gatot (orang tua Mawar) bersikukuh tidak mau menjadi wali dan
tidak setuju dengan rencana pernikahan Mawar dan Joko. Permasalahan , sengketa
wali dengan calon mempelai wanita tersebut lalu diselesaikan di Pengadilan
Agama Kota Mungkid Kabupaten Magelang.
(kasus 5)
Trimah seorang janda di tingal
mati,mendaftarkan pencatatan nikahnya dengan Trimo seorang duda ditinggal mati
juga, mereka berdua berharap pernikahannya segera di catat mengingat mereka
sama-sama sudah cukup lama menjadi janda dan duda, mereka berharap setelah
menikah nanti bisa memulai kehidupan rumah tangga yang baru dengan lembaran
hidup yang baru pula, ketika mendaftar Trimah menunjuk kakak kandungnya bernama
Sapar sebagai wali nikahnya , karena
ayah kandung Trimah telah lama meninggal. Ketika ditanyakan apakah wali sudah
setuju, Trimah mengatakan bahwa pada hari H saat berlangsungnya pernikahan
Sapar akan datang dan menjadi wali pernikahannya, namun menurut Pembantu
Pegawai Pencatat Nikah (P3N) wilayah tempat tinggal Trimah, ternyata wali nikahnya
belum menyetujui tentang rencana pernikahan Trimah dengan Trimo, bahkan
dimungkinkan Sapar menolak menjadi wali , dan berniat tidak akan datang pada
hari H saat pernikahan Trimah dengan Trimo.
Selang satu hari sejak kedatangan Trimah dan Trimo, kakak
kandungnya datang, menanyakan kebenaran khabar tentang rencana pernikahan
Trimah dan Trimo, ketika ditanyakan kesediaan untuk menjadi wali Sapar menjawab
tidak bersedia, karena hari H pernikahan ditentukan sepihak oleh Trimah dan
Trimo dan tidak ada musyawarah dengan keluarga termasuk Sapar , sebagai
walinya. Maka pada saat itu Sapar menolak sebagai wali, kalau hari yang
ditentukan belum dimusyawarahkan terlebih dahulu, adapun alasan Sapar , Trimah
boleh menikah lagi setelah seribu hari kematian mantan suaminya.
B. Realisasi Penyelesaian Sengketa
Pernikahan Karena Wali Adlal di Kantor Urusan Agama Kecamatan Muntilan.
PPN setelah menerima berkas – berkas dan
kelengkapan surat-surat dari calon mempelai akan melakukan pendaftaran
.Adapun kelengkapanya seperti,
N.1,N2,N3, N4 ,N5, N6 (bagi duda atau janda ditingal mati), Akta Cerai (Bagi
Duda / Janda cerai/talak), Foto copy KTP,KK, TT.1, setelah itu maka , PPN
memanggil pihak-pihak yang
bekepentingan seperti calon pengantin ,wali dari calon mempelai wanita (ayah,kakek,kakek
buyut atau jalur kekerabatan dalam jalur ayah )
Pihak-pihak tersebut
didatangkan ke KUA untuk diadakan pemeriksaan sekaligus mengadakan cheking data
bila mana terdapat kesalahan data-data para pihak terkait.Kemudian pemeriksa (PPN
dan/atau penghulu) akan menulis setiap keterangan yang diberikan oleh
pihak-pihak tersebut ke dalam lembar pemeriksaan Nikah (NB) .Mestinya para
pihak mengisi sendiri formulir model NB
tersebut untuk kemudian diajukan kepada pihak pemeriksa, namun karena
banyak masyarakat yang kurang paham, dan membutuhkan waktu yang lama dalam
pengisian berkas tersebut, belum lagi ada resiko faktor salah dalam pengisian
data, maka pemeriksa akan membantu menuliskan isian data dalam NB tersebut,
setelah selesai mengisikan data-data kedalam formulir, pemeriksa akan
membacakan NB, mulai dari lembar 1 sampai dengan lembar tiga, apabila semua
data sudah tidak ada kesalahan dan sudah disetujui para pihak, maka pihak-pihak
dimaksud diminta membubuhkan tanda-tangannya sebagai bukti bahwa masing-masing
telah sepakat dan menyetujui.
Memang idealnya para
pihak yang akan melakukan pencatatan pernikahan di KUA Muntilan diharapkan
dapat datang secara bersamaan (Calon mempelai Pria dan wanita , wali nikah ),
agar dalam waktu singkat dapat diselesaikan pendaftaran nikahnya., Namun ada
kalanya hanya salah satu pihak yang datang, sehingga untuk pengisian kolom
tanda tangan para pihak, yaitu halaman tiga, tertunda. Apabila dilain hari ,pihak-pihak
yang bermaksud mencacatkan pernikahannya datang , maka dapat segera diadakan
pemeriksaan yang kemudian dilanjutkan dengan penandatanganan NB, untuk itu PPN
memberikan tanggal pada kolom yang telah ditanda-tangani oleh pihak-pihak yang
akan mencatatkan pernikahannya.
KUA Muntilan mempunyai
spesifikasi hari yang paling banyak di datangi calon pengantin, yaitu hari
Rabu, sebab pada hari tersebut disamping calon pengantin bisa melakukan
pendaftaran , maka sekaligus mereka mengikuti ”Kursus Calon Pengantin” yang
diadakan oleh KUA setiap satu minggu sekali,yaitu setiap hari Rabu.Dalam Kursus Catin tersebut, calon
pengantin diberikan pembekalan dan pengetahuan tentang : Keluarga Sakinah,
undang-undang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga dan Keluarga
Berencana, para nara sumbernya
diambilkan dari , KUA , Dinas Kesehatan dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil setempat.
Adakalanya pihak wali
tidak dapat menghadiri, pemeriksaan nikah pada hari itu, maka PPN akan
memberikan kesempatan, pada hari yang lain bagi wali untuk dapat datang ke KUA,
sebelum jadual pelaksaan pernikahan. Apabila wali ternyata sedang sakit dan
tidak dapat hadir dengan alasan yang dapat dipertanggung jawabkan, PPN akan
melakukan tabayun, yaitu mendatangi wali ke alamat yang tertera dalam
pengajuan pencatatan nikah. Setelah ketemu dengan alamat yang dimaksud, PPN
akan melakukan pemeriksaan ditempat, apabila ternyata wali mendapat sakit
permanen yang tidak mungkin dapat hadir pada saat pencatatan nikah, maka wali
dimohon membuat surat kuasa yang berisi permohonan kepada PPN untuk mewakili menikahkan , yang
dibubuhi tanda tangan atau cap ibu jari diatas materai , diketahui Kepala Desa
atau Lurah setempat dengan di saksikan oleh dua orang saksi. Selain itu wali
juga mengikrarkan kepada PPN secara lisan untuk mewakilkan menikahkan catin
wanita yang lazim disebut ”taukil wali” .Setelah menerima surat kuasa
dan ”taukil wali”, PPN dapat melaksanakan pencatatan nikah pada hari yang telah
ditentukan , meskipun pada saat itu tidak dihadiri oleh wali.
Namun demikian tidaklah
semua peristiwa tidak hadirnya wali tersebut karena alasan sakit, ada juga
alasan lain yaitu wali tidak menyetujui adanya pernikahan itu, bahkan ada yang
lebih fatal yaitu wali tidak bersedia menjadi wali , atau dalam hukum Islam
disebut ”adlal” atau enggan atau membangkang.Wali adlal ada dua macam,
yang pertama wali setuju dengan
pernikahan yang akan dilaksanakan, tetapi tidak mau hadir tanpa alasan,
biasanya karena alasan malu, tidak cocok dengan calon suami dari anaknya atau
enggan untuk mendatangi acara akad nikah, untuk kasus seperti ini hampir sama
dengan kasus wali yang sakit, maka PPN akan meminta surat kuasa dari wali untuk
mewakili menikahkan dan sekaligus mencatat pernikahan itu.
Adapun hal yang paling
fatal yaitu, wali dengan terang-terangan menentang pencacatan nikah tersebut,
tanpa alasan yang jelas,inilah yang harus dicarikan jalan keluarnya, sebab
peristiwa ini merupakan sengketa pencatatan nikah, dimana kedua belah pihak
sudah tidak dapat dicarikan jalan untuk berdamai (islah) . Hal tersebut
apabila dibiarkan akan menimbulkan sengketa yang berlarut-larut tanpa ada ujung
penyelesaiannya, bahkan kadang akan menimbulkan akibat-akibat buruk, yang
melanggar etika kesusilaan, norma agama , maupun pelanggaran terhadap
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan.Apa yang terjadi? Calon pengantin melarikan diri, lari dari
rumah dan hidup serumah dengan calon suami tanpa ikatan perkawinan (kumpul
kebo).
Adapun langkah-langkah
yang dilakukan oleh PPN sebagai Pegawai Pancatat Nikah sekaligus manjadi
mediator dan Ketua Badan Penasehatan , Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan
(BP.4) , apabila ada sengketa pencatatan
nikah yang terjadi di KUA. Kecamatan Muntilan ,adalah sebagai berikut :
a. Memanggil pihak-pihak
yang bersengketa untuk mendengarkan penjelasan tentang duduk perkaranya,
mendengarkan keterangan semua pihak agar didapatkan informasi yang berimbang ,
untuk dapat mengambil kesimpulan dan membuat langkah-langkah ke arah
penyelesaian konflik.
b. Apabila belum dapat
dicapai kata sepakat, dari pihak-pihak yang bersengketa, PPN akan
mempersilahkan pihak-pihak terkait untuk menempuh jalan perundingan atau
arbitrase, setelah dirasa cukup maka PPN akan melakukan pemanggilan kembali
kepada pihak – pihak untuk melakukan musyawarah.
c. Apabila dengan jalan
tersebut belum juga didapat kata sepakat, wali dari calon pengantin wanita
tetap pada keputusannya , yaitu menolak adanya pencatatan nikah, dan wali
menyatakan enggan, bahkan dengan sengaja melakukan pembangkangan, maka PPN
selaku Pegawai Pencatat Nikah (Kepala KUA), akan menerbitkan surat keterangan
N,8, yang berisi penjelasan kepada calon pengantin, bahwa pencatatan Nikah
tidak dapat dilaksanakan karena kekurangan persyaratan nikah, yaitu keengganan
wali untuk menjadi wali nikah dalam pencatatan nikah yang akan dilaksanakan .
d. Setelah calon pengantin
mendapatkan penjelasan tersebut , maka PPN akan menerbitkan surat keterangan
penolakan (N.9), yang berisi penolakan PPN untuk melaksanakan pencatatan nikah
dikarenakan wali tetap pada pendiriannya , tidak mau menjadi wali atas
pernikahan calon pengantin wanita.
e. Selanjutnya Surat
Keterangan Penolakan (N.9), dikirim ke Pengadilan Agama Kota Mungkid , untuk
mendapatkan penyelesaian konflik /sengketa pencatatan nikah yang terjadi.
f. Calon pengantin membawa
berkas yang telah didaftarkan di KUA. Kecamatan Muntilan dan dilampiri Surat
Keterangan Penolakan (N.9), ke Pengadilan Agama untuk mendaftarkan perkara,
sebagai pemohon dan walinya sebagai termohon.
g. Pengadilan Agama akan
memanggil pihak-pihak yang berkepentingan untuk memeriksa perkara tersebut,
sebelum diterbitkan penetapan wali adlal, yaitu wali dinyatakan
membangkang, memerintahkan Kepala KUA,
selaku PPN untuk mencatat pernikahan tersebut, dan PPN sekaligus bertindak
sebagai wali hakim, karena wali nasabnya adlal (membangkang).
Untuk melengkapi penelitian tentang peranan PPN dan
mengatasi sengketa pencatatan pernikahan dan sekaligus sebagai mediator
penyelesaian sengketa tersebut dapat penulis sampaikan beberapa contoh kasus
sengketa pencatatan dan penyelesaiannya di KUA Kecamatan Muntilan :
Tindakan
yang dilakukan oleh PPN :
(Kasus 1)
Memanggil semua pihak yang terkait yaitu Fulan,Fulanah dan anak-anaknya serta Restu selaku wali dari Fulanah,
diadakan mediasi tetapi masing-masing bersikukuh dengan pendapatnya, kemudian
PPN menawarkan opsi setelah mendengar keterangan dan penjelasan dari Fulan dan Fulanah
tentang permasalahan harta warisan yang dipermasalahkan oleh anak-anak dari Fulanah
, maka PPN mengambil langkah-langkah:
1. Melakukan koordinasi
dengan pengurus BP.4 Kecamatan bersama dengan korp penasehatnya , secara bersama-sama melakukan pembimbingan
dan penasehatan kepada calon mempelai maupun wali, dan pihak-pihak lain yang
mempunyai kepentingan dengan pencatatan nikah tersebut.
2.Melakukan koordinasi dengan Kepala Desa tempat kediaman
Fulanah, untuk menjadi penengah dalam sengketa pencatatan nikah , terutama
mengenai hal-ihwal pembagian harta, sebab kepala desa mempunyai kewenangan
untuk hal tersebut.
2. Menghimbau untuk segera
membagi harta warisan yang ada kepada anak-anak dari perkawinan Fulanah dengan
suaminya almarhum, bila perlu apabila berupa tanah dan pekarangan segera di sertifikatkan
atas nama anak-anaknya dan Fulanah juga berhak mengambil harta dari warisan
tersebut,dengan disaksikan oleh kepala desa setempat , bila perlu diadakan
perjanjian di depan notaris, opsi tersebut diterima oleh kedua belah pihak.
3. Menghimbau kepada Fulan
untuk segera mengajak Fulanah segera
setelah menikah ke rumah kediaman Fulan, agar tidak ada prasangka dari
anak-anak Fulanah, bahwa Fulan akan menguasai harta milik Fulanah maupun
anak-anaknya.
4. Mencatat pernikahan Fulan
dengan Fulanah , dengan wali saudara kandungnya , dilaksanakan dengan khidmad
tanpa ada keberatan /gangguan dari anak-anaknya maupun pihak-pihak lain.
Pencatatan nikah antara RM dan AG
dengan wali nikah HTN
(Kasus 2)
Langkah-langkah PPN untuk menyelesaikan,pencatatan
Pernikahannya :
Setelah
PPN menerima berkas-berkas pendaftaran pencatatan nikah RM dan AG , semua
keterangan mengenai identitas kedua calon mempelai lalu ditulis dalam lembar
pemeriksanaan nikah (NB), dalam lembar tersebut pada halaman 3 terdapat format
data mengenai identitas wali dan pada baris terakhir dari lembar 3 NB tersebut
ada kolom kosong ,yang harus ditanda tangani wali, artinya sebelum pelaksanaan
pencatatan nikah wali harus hadir untuk diperiksa dan setelah selesai diperiksa
, wali harus membubuhkan tanda tangannya pada kolom yang telah disediakan.
Apabila wali tidak bisa tanda tangan , wali dapat membubuhkan cap ibu jari
sebagai pengganti tanda tangan.
Untuk
melengkapi rukun pernikahan , yaitu adanya wali, maka PPN memanggil wali nikah
/ ayah kandung RM yaitu HTN untuk datang ke KUA guna menjalani pemeriksaan
nikah, namun sampai pada waktu yang ditentukan HTN tidak hadir. Hanya isteri
HTN yang hadir dan menyatakan bahwa HTN tidak dapat hadir, namun pada saat hari
H pernikahan HTN akan hadir , dan bersedia menjadi wali atas pernikahan anaknya
.
PPN
memberitahukan kepada isteri HTN , apabila pada saat pelaksanaan pencatatan
nikah HTN tidak hadir, maka pernikahan akan ditunda sampai dengan adanya
kesediaan HTN sebagai wali nikah.Hal tersebut mempunyai resiko apabila HTN
tidak hadir pada saat pelaksanaan akad nikah, maka pernikahan akan ditunda, dan
sekaligus PPN akan membuat penolakan pencatatan kehendak nikah (N.9) antara RM
dan AG, dikirim pada hari itu juga ke Pengadilan Agama Kota Mungkid, untuk mendapatkan penetapan
wali adlal.
PPN mengumpulkan pihak-pihak yang bersengketa, memberikan
pertimbangan-pertimbangan bagaimana langkah-langkah yang harus ditempuh agar
pencatatan pernikahan dapat dilaksanakan, dan memberikan penjelasan kepada HTN
selaku wali dari calon mempelai wanita, tentang prosedur yang harus ditempuh
kalau HTN bersikeras menolak menjadi wali nikah RM, PPN akan memberikan penolakan , dengan
menerbitkan Surat Keterangan Penolakan Pencatatan Nikah (N.9), untuk dikirimkan
ke Pengadilan Agama (PA).
Setelah mendengarkan penjelasan tersebut HTN, bersedia
menjadi wali dan menyetujui pencatatan nikah putrinya dengan catatan,
pernikahan dilakukan di Balai Nikah, bukan
dirumah HTN sebagaimana lazimnya . catatan kedua , setelah pernikahan RM
dan AG tidak diperbolehkan tinggal di rumah HTN, dengan alasan karena sudah
berani melakukan pernikahan , maka RM dan AG harus mandiri dan membangun rumah tangga tanpa mengandalkan
bantuan dari orang tua.
Syarat yang diajukan oleh HTN disepakati oleh calon
mempelai berdua.
Mediasi
yang dilakukan oleh PPN berjalan lancar sesuai dengan yang diharapkan oleh
pihak-pihak yang bersengketa.
PPN
mencatat pernikahan tersebut, pernikahan dilaksanakan di Balai Nikah tanpa
kendala, dengan wali nikah HTN selaku orang tua dari calon mempelai wanita.
Langkah-langkah yang dilakukan oleh PPN dalam
Penyelesaian sengketa pernikahan wali adlal (Kasus 3)
Untuk
lebih memahami gambaran mengenai kasus tersebut diatas dibawah ini peneliti
mengadakan wawancara kepada pihak-pihak yang akan melakukan pernikahan
,wawancara dilaksanakan pada tanggal 12 Desember 2008. , berikut ini adalah
hasil wawancara yang dilakukan oleh
Peneliti terhadap AF :
Pertanyaan :
Kenapa orang tua anda tidak
setuju , bahkan menentang rencana pernikahan Saudari:
Jawaban AF :
Sebelumnya saya akan bercerita
kepada bapak, kenapa orang tua saya tidak setuju dengan pernikahan saya,
sebetulnya saya sudah berhubungan dengan calon suami saya agak lama, sekitar
dua tahun, namun memang baru diketahui oleh orang tua saya kurang lebih enam
bulan yang lalu, ketika orang tua saya tahu, agaknya kurang suka karena
memandang bahwa keluarga calon suami saya ini dianggap kurang baik dimata ayah
saya , dalam segi agama orang tua saya juga memandang bahwa suami saya ini
bukan orang yang taat, namun yang menjadi alasan dari orang tua saya sehingga
beliau tidak setuju dengan pernikahan saya , adalah karena calon suami saya
pernah mengirimkan SMS (short Massage Service) kepada saya yang isinya agak
porno (AF tidak menerangkan isi SMS tersebut)
Pertanyaan :
Apakah hanya karena hal itu,
SMS yang membuat ayah anda bersikukuh tidak mau menikahkan anda :
Jawaban :
Ada , alasan lain dan saya
mengira bahwa masalah SMS yang saya sebut tadi hanya sebagai alasan dari ayah
saya untuk melihat sisi negatif dari calon suami saya, sebetulnya saya akan
dijodohkan dengan pilihan orang tua , dengan seorang yang dianggap mapan yang
dalam istilah jawa-nya ada bobot,bibit dan bebetnya dan kebetulan saya juga
kenal dengan orangnya , karena dia adalah teman sepermainan saya waktu kecil.
Pertanyaan :
Apakah saudari tidak mencoba
menuruti keinginan orang tua, siapa tahu maksud dari orang tua saudari benar,
orang tua memilihkan pasangan yang sudah dikenal dan dianggap cocok dengan
Saudari ?
Jawaban :
Saya sudah mencoba, bahkan
orang tua saya beberapa kali menyuruh saya untuk melakukan sholat istikharoh,
untuk memohon kepada Allah, siapa sebenarnya yang akan menjadi jodoh saya,
berkali-kali saya lakukan , tetapi ternyata yang ada dalam hati saya hanyalah
NR calon suami saya, ketika saya bilang sama bapak tentang hasil istikharoh
itu, beliau bilang bahwa niat saya tidak murni, yang tampak dari hasil
istikharoh itu hanyalah nafsu karena hati saya sangat terpengaruh dengan
kecintaan saya kepada NR, demikian kata ayah saya. Bahkan tidak hanya itu,
bapak juga mengajak orang untuk me-rukyah
saya , (membersihakan tubuh dari pengaruh jin dan sejenisnya) , karena saya dianggap terkena atau
terpengaruh sesuatu diluar kewajaran.
Pertanyaan :
Apa pengaruhnya setelah anda di
rukyah ?
Jawaban :
Tidak ada, saya tetap tidak
bisa melupakan NR, dan tekat saya semakin bulat mungkin ini jodoh dari Allah
dan saya akan menerima jodoh itu dengan resiko apapun , dan seandainya ayah dan
keluarga saya tetap tidak menyetujui saya akan menempuh upaya hukum, yaitu
mengajukan permasalahan kepada Pengadilan Agama PA. [66]
Wawancara tersebut diatas adalah sebagaian dari hasil wawancara Peneliti dengan AF, dengan
wawancara tersebut Peneliti bisa membuat analisa guna mencari penyelesaian
sengketa pencatan nikah.
Langkah selanjutnya PPN
menghimbau kepada AF untuk segera
mengumpulkan persyaratan untuk menikah yaitu semua berkas – berkas baik data pribadi
(KTP,KK, Ekte Kelahiran ) maupun data data dari desa yang berupa
N.1,N.2,N.3,N.4 dan N.7 serta data tambahan berupa imunisasi TT .1.
Kemudian PPN membuat surat panggilan kepada MA selaku
orang tua dari AF untuk dapat dilakukan klarifikasi permasalahan yang diajukan
oleh AF.
Untuk lebih mengetahui seberapa tingkat sengketa antara
MA dan AF , berikut ini hasil wawancara Peneliti dengan MA selaku orang tua AF:
Pertanyaan :
Apakah benar , Bapak mempunyai seorang anak yang bernama AF, yang
akan menikah dengan NR dan Saudara ditunjuk selaku wali ?
Jawaban:
Benar pak saya adalah orang
tuanya, karena saya yakin anak saya sudah banyak bercerita kepada bapak ,
tentang duduk permasalahannya , maka disini saya tegaskan bahwa saya tidak
setuju dengan rencana pernikahan anak saya, saya mempunyai hak sebagai wali
atau ayah yang berawatnya sejak kecil, saya akan menghalang-halangi niat anak
saya, bahkan saya sudah bertemu, berpesan
dengan kepala desa agar kepala desa , tidak mengabulkan permohonan
surat-surat yang diajukan anak saya tanpa seijin saya.Dan saya datang kesini
juga bermaksud mohon kepada bapak kepala KUA, tidak meluluskan permohonan anak
saya untuk mencatatkan pernikahannya disini karena saya tidak akan menyetujui.
Pertanyaan :
Kalau saya boleh tahu, apa
alasan Bapak mencegah pernikahan anak
saudara yang telah dewasa dan mengapa berupaya
untuk menggagalkan rencana pernikahannya ?
Jawaban :
Disamping saya tidak cocok
dengan ahlak calon menantu saya, dia bernah berkirim SMS kepada anak saya
berisi kata-kata porno, saya juga sudah mempersiapkan calon yang lebih baik
dari pilihannya , yaitu seorang yang sudah bekerja mapan, dari keturunan yang
jelas dan orangnya taat beribadah, maka sekali lagi saya tegaskan saya akan
mencegah anak saya melakukan pernikahan dengan NR.
Pertanyaan :
Bagaimana seandainya putri
Bapak tetap pada pendiriannya ?
Jawaban :
Saya akan berusaha dengan
segenap kemampuan saya , agar anak saya tidak menikah dengan NR , karena kami
sekeluarga tidak setuju bahkan tidak hanya saya dan istri saya termasuk
anak-anak saya (adik-adiknya AF) juga tidak setuju, sambil ,menunjuk kepada
anak yang ikut masuk ruangan tempat konsultasi.[67]
Yang dapat ditangkap oleh
peneliti dengan wawancara tersebut, bahwa ternyata orang tua AF tetap pada
pendiriannya yaitu, tidak mau dan tidak menyetujui pernikahan AF dengan calon suaminya.
PPN bisa membuat analisa guna mencari penyelesaian
sengketa pencatan nikah, namun kepada AF juga dihimbau untuk segera
mengumpulkan persyaratan untuk menikah yaitu semua berkas – berkas baik data
pribadi (KTP,KK, Ekte Kelahiran ) maupun data data dari desa yang berupa
N.1,N.2,N.3,N.4 dan N.7 serta data tambahan berupa imunisasi TT .1.
Penjelasan PPN kepada MA :
Dengan mengutip Pasal-pasal
pada Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali
Hakim :
Bagi calon mempelai wanita yamg akan menikah di wilayah
Indonesia atau luar negeri/ wilayah ekstra teritorial Indonesia ternyata tidak
mempunyai wali nasab yang berhak atau wali nasabnya tidak memenuhi syarat ,
atau mafqud atau berhalangan atau adlal, maka nikahnya dapat dilangsungkan
dengan Wali Hakim .
Untuk menetapkan adlalnya wali , ditetapkan dengan
keputusan Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal calon mempelai
wanita.Atas permohonan mempelai wanita Pengadilan Agama akan memeriksa dan
menetapkan adlalnya wali dengan acara singkat dengan menghadirkan Wali calon
mempelai wanita.
Beberapa saat kemudian PPN
berkoordinasi dengan kepala desa tempat domisili calon mempelai wanita, tentang
kelengkapan surat-surat yang diajukan oleh AF. Mendapatkan penjelasan bahwa ,
kepala desa tidak dapat menerbitkan surat-surat keterangan untuk menikah karena
dicegah oleh ayah dari calon mempelai wanita, dan diintimidasi kalau sampai
kepala desa berani membuatkan surat-surat keterangan dimaksud, maka MA akan
melakukan gugatan.
PPN kemudian memberikan
penjelasan kepada kepala desa , bahwa tidak ada alasan dari pihak wali
melakukan gugatan kepada kepala desa mengenai proses penyelesaian persyaratan
nikah dari saudari AF, tugas kepala desa
adalah melayani kepentingan masyarakat termasuk kepentingan AF yang akan
melakukan pernikahan, kalau sampai kepala desa
dengan sengaja menghambat proses
pencatatan nikah , dapat dikatakan kepala desa menyalahgunakan wewenang.
Mendengar penjelasan tersebut kepala desa lalu
menandatangani surat-surat keterangan untuk menikah yang diajukan oleh AF.
Setelah AF mendapatkan surat-surat keterangan dari kepala
desa, maka AF mendaftarkan pencatatan pernikahannya di KUA Kecamatan
Muntilan.PPN meneliti semua berkas yang diajukan, setelah semua berkas
dinyatakan lengkap maka PPN memeriksa
calon mempelai , yang dituangkan dalam lembar NB (Daftar Pemeriksaan
Nikah) , namun demikian masih terdapat kekurangan syarat yaitu belum hadirnya
wali nikah, untuk dimintai keterangan tentang bersedia tidaknya menjadi wali
nikah.
PPN berusaha menghubungi orang tua calon mempelai, maka
melalui petugas Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N), PPN memerintahkan orang
tua calon mempelai wanita untuk hadir dalam rangka pemeriksaan wali
nikah.Beberapa saat kemudian wali nikah yaitu Saudara MA , hadir ke KUA.
Kecamatan , ybs menyetujui pencatatan nikah putrinya, namun dengan catatan
agar, pernikahan ditunda empat bulan lagi dengan berbagai pertimbangan, salah
satunya adalah hitungan hari baik atau istilah jawanya (petung) .
PPN memanggil calon mempelai
wanita , apakah calon mempelai setuju atau tidak dengan rencana wali nikahnya
yang menunda pelaksanaan pencatatan nikahnya, dengan berbagai pertimbangan dan
atas saran-saran dari PPN, maka Saudari AF bersedia mengikuti kehendak orang
tua untuk menunda pelaksanaan pencatatan pernikahannya.
Untuk mengantisipasi hal-hal
yang tidak diinginkan , kemungkinan wali dari calon mempelai wanita ingkar
janji atau tidak datang pada hari pelaksanaan pencatatan nikah yang telah
disepakati, maka PPN memerintahkan kepada MA untuk membuat Surat Kuasa yang
berisi kuasa kepada PPN atau penghulu yang ditunjuk,untuk mewakili menikahkan putrinya apabila MA tidak hadir pada hari yang
ditentukan , Surat Kuasa tersebut ditanda tangani wali diatas materai enam ribu
rupiah, diketahui oleh kepala desa dan di saksikan oleh dua orang saksi.
Namun dengan berbagai alasan ,
MA menolak untuk membuat surat kuasa , MA bersikukuh bahwa dia akan menepati
janji, menikahkan AF sesuai dengan tanggal yang telah ditentukan.
Setelah melalui berbagai
pendekatan oleh PPN dan 2 kali konfirmasi (tabayun) dari Penghulu kepada
MA, akhirnya MA bersedia menikahkan putrinya dengan NR. Pernikahan dilaksanakan
pada hari Senin tanggal 16 Pebruari 2009, di Balai Nikah Kantor Urusan Agama
Kecamatan Muntilan , dengan wali MA sebagai ayah kandung (wali nasab) , adapun
yang mewakili menikahkan adalah, Bapak Hanif Hanani, SH selaku Pegawai Pencatat
Nikah (PPN) sekaligus Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Muntilan.
Kasus Pencatatan Nikah antara
Mawar dan Joko
(Kasus 4)
Langkah-langkah yang dilakukan
oleh PPN, dalam menyelesaikan kasus tersebut adalah sebagai berikut :
a. PPN menerima berkas-berkas pendaftaran pencatatan nikah antara mawar dan
Joko.
b.
Setelah melakukan pemeriksaan ,
PPN menanyakan apakah wali nikah telah diberi tahu tentang adanya rencana
pernikahan tersebut, dalam keterangannya
kedua calon mempelai menyatakan
bahwa , wali nikah sampai saat ini , tidak menyetujui dan pendaftaran
pencatatan nikah tersebut juga di luar pengetahuan wali nikah yaitu (Gatot).
c.
PPN memanggil wali nikah
(Gatot) untuk menjalani pemeriksaan sebagai wali nikah , sesuai keterangan dari
calon pengantin.Surat panggilan sudah disampaikan secara patut, ke alamat wali
(Gatot) namun tidak ada tanggapan , pada pemanggilan yang ketiga kalinya wali
nikah tetap tidak hadir.
d.
PPN menugaskan penghulu untuk
melakukan tabayun ke rumah Gatot, untuk meminta keterangan tentang alasan
ketidak hadirannya dalam pemeriksaan nikah,hasil dari konfirmasi ke rumah Gatot
(tabayun),ternyata Gatot tetap pada pendiriannya , yaitu tidak mau menjadi wali
/ enggan menjadi wali dan tidak menyetujui pernikahan kedua mempelai.
e.
Setelah mendengar penjelasan
dari penghulu, bahwa wali nikah (Gatot) tetap tidak menyetujui pernikahan
anaknya dan tidak mau menjadi wali, maka
tidak ada jalan lain, PPN lalu mengirimkan surat penolakan kehendak nikah (N.9)
ke Pengadilan Agama, setelah memberitahukan kepada calon mempelai.
f.
Calon mempelai membawa foto copy
berkas persyaratan pernikahan dan N.9 ke Pengadilan Agama Kota Mungkid , untuk
mendapatkan penetapan wali adlal.
g.
Setelah melalui proses, di
Pengadilan Agama, maka keluarlah penetapan wali adlal dari Pengadilan Agama
yang keputusannya memerintahkan kepada
PPN selaku Kepala KUA dan selaku wali hakim untuk menikahkan calon mempelai
dengan wali hakim, karena wali nikah / ayah kandung calon mempelai wanita
(Gatot) tidak bersedia menjadi wali / adlal.
h.
PPN memberitahukan kepada wali
nikah tentang penetapan wali adlal dari Pengadilan Agama dan memberikan kesempatan lagi kepada wali
untuk menikahkan calon mempelai, namun wali nikah tidak memberikan jawaban, dan
tidak hadir di KUA Muntilan.
i.
PPN mencatat pernikahan Mawar
dan Joko dengan wali hakim karena wali nasab (ayah kandungnya) tidak mau
menjadi wali/ adlal.
Pendaftaran pernikahan Trimah
dengan Trimo dengan wali kakak kandungnya bernama Sapar.
(Kasus 5)
Langkah-langkah yang
dilaksanakan PPN selaku Pegawai Pencatat Nikah, sebagai berikut :
1. PPN menerima berkas-berkas pendaftaran pernikahan Trimah dengan Trimo,
dan memeriksa calon mempelai dengan lembar Pemeriksaan Nikah (NB)
2.
Karena pada saat pemeriksaan
nikah wali nikah tidak hadir, PPN memerintahkan kepada calon mempelai untuk
menghadirkan wali nikah.
3.
PPN menerima informasi dari
Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat domisili calon mempelai
wanita, bahwa wali nikah tidak menyetujui adanya pernikahan Trimah dengan
Trimo.
4.
PPN membuat surat panggilan
kepada Sapar untuk hadir di KUA Muntilan ,untuk menjalani pemeriksaan sebagai
wali nikah, namun sebelum surat panggilan dikirimkan , atas inisiatif sendiri
Sapar datang ke KUA untuk melakukan konfirmasi tentang kebanaran rencana
pernikahan Trimah dengan Trimo.
5.
Sapar memberikan keterangan kepada PPN , bahwa
dia selaku wali nikah bukannya tidak
setuju dengan rencana pernikahan adiknya, Sapar setuju rencana pernikahannya
hanya masalah waktu pelaksanaan nikahnya yang belum disetujui oleh
keluarga,Sapar bermaksud mengundurkan jadual pencatatan nikah, yang semula
tanggal 12 Pebruari 2009, ditunda menjadi tanggal 3 Maret 2009, PPN memaklumi
hal tersebut namun meminta Sapar untuk merundingkan dengan calon mempelai,
apakah calon mempelai menyetujui atau
menolak. PPN menghimbau agar Sapar segera memberikan kabar kepada PPN ,
bagaimana hasil dari kompromi tersebut.
6.
Sapar datang ke KUA bersama dengan Trimah dan
Trimo, mereka setuju pernikahan di tunda pada tanggal 3 Maret 2009.
7. PPN mengganti rencana pernikahan yang telah ditulis dalam lembar
pemerikasaan nikah (NB) dari semula tanggal 12 Pebruari 2009, menjadi tanggal 3
Maret 2009, atas persetujuan semua pihak.
C. Peran Pegawai Pencatat
Nikah (PPN) Kantor Urusan Agama Kecamatan Muntilan Dalam Penyelesaian Pernikahan Wali Adlal.
Pernikahan merupakan
suatu perbuatan yang sakral, yang dalam istilah agama disebut ”Mitsaqan
Galizha” yaitu suatu perjanjian yang sangat kokoh dan luhur, yang ditandai dengan pelaksanaan sighot ijab
dan qabul antara wali nikah dengan mempelai pria, dengan tujuan untuk membentuk
suatu rumah tangga yang bahagia , sejahtera dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Peristiwa
pernikahan tersebut oleh masyarakat disebut sebagai peristiwa yang sangat
penting dan religius , karena peristiwa nikah disamping erat kaitannya dengan
pelaksanaan syariat agama , juga dari pernikahan inilah akan terbentuk suatu
rumah tangga atau keluarga sehat , sejahtera dan bertaqwa , yang menjadi
landasan terbentuknya masyarakat bangsa Indonesia yang religius sosialis.
Keberadaan
Pegawai Pencatat Nikah (PPN) pada setiap peristiwa pernikahan pada hakekatnya
mempunyai fungsi ganda , karena disamping tugas pokoknya mengawasi dan mecatat
pernikahan , juga sekaligus memandu acara akad nikah agar pelaksanaannya dapat
berlangsung , dengan baik dan khidmad.
Oleh
sebab itu setiap PPN dalam melaksanakan tugasnya dituntut untuk mampu
menciptakan suasana yang hidmad dan sakral selama akad nikah itu berlangsung.
Kenyataan
yang sering dijumpai di lapangan, baik berdasarkan pemantauan maupun
berdasarkan pengaduan masyarakat , masih banyak diantara PPN / Penghulu dalam
memimpin acara akad nikah kurang mampu untuk menciptakan suasana yang hidmad
tersebut sehingga kurang memuaskan masyarakat. Oleh sebab itu dipandang perlu
untuk mempelajari pedoman dasar bagi PPN / Penghulu dalam setiap melaksanakan
tugasnya sebagai pegawai/ petugas pencatat nikah.
Adapun
tujuannya adalah :
1. Terciptanya keabsahan
nikah sesuai dengan hukum munakahat dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
2. Terciptanya kehidmatan
dalam memimpin dan memandu acara akad nikah.
3. Adanya pedoman umum bagi
PPN/ Penghulu dalam menghadiri dan memimpin acara akad nikah.
4. Terwujudnya mutu
pelayanan yang baik kepada masyarakat dalam masalah pernikahan.
Dalam penyelesaian sengketa pernikahan wali adlal hal-hal
yang dilakukan oleh PPN sebagai Pegawai Pencatat Nikah dibagi dalam tiga
langkah atau kegiatan :
1.PPN bertindak sebagai konsultan pernikahan .
Disamping
sebagai Pegawai Pencatat Nikah tugas lain PPN adalah menyelesaikan
konflik-konflik yang terjadi antara pihak-pihak yang berkepentingan ,apabila
ada kesalah fahaman antara calon mempelai wanita dan walinya , tugas PPN adalah
memberi solusi dan jalan keluar agar tercapai kesepakatan , antara pihak-pihak
yang akan melakukan pencatatan nikah.Dalam hal ini PPN bertindak selaku Ketua
Badan Penasehatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Kecamatan
Muntilan.
Penasehatan
perkawinan adalah suatu pelayanan sosial mengenai masalah keluarga , khususnya
hubungan kekeluargaan atau kehidupan rumah tangga , tujuan yang hendak dicapai
ialah terciptanya situasi yang menyenangkan dalam suatu hubungan rumah tangga ,
sehingga dengan situasi yang menyenangkan tersebut satu keluarga dapat mencapai
kebahagiaan.
Penasehatan
perkawinan adalah suatu proses , jadi memerlukan waktu yang relatif lama, tidak
hanya sekali jadi.
Setiap
penasehatan perkawinan selalu terdiri dari empat komponen , yaitu :
1. Seorang atau yang
kemudian disebut klien , pria maupun wanita yang akan melangsungkan pernikahan
, atau walinya atau orang yang telah melangsungkan perkawinan dan berumah
tangga secara sah; dan dia
2. Mempunyai problem atau
masalah dalam perkawinannya itu , apakah hal tersebut merupakan persiapan yang
harus dilakukan ataukah terjadinya peristiwa yang dianggapnya tidak serasi .
3. Suatu lembaga (agency,
kantor, badan, biro) perlu diberikan bantuan, baik lembaga ini diwakili oleh
seorang penasehat maupun oleh suatu tim penasehat; berupa,
4. Nasehat atau kansultasi
dan sejenis yang berlangsung secara sementara / insidental atau kontinyu dengan
proses yang relatif lama.
Seorang penasehat
bukanlah sembarang orang yang kebetulan berkesempatan memberi nasehat , tetapi
adalah seseorang yang mendapat kepercayaan melakukan tugas berat memberi
nasehat kepada orang lain yang memerlukannya . Dalam hal ini mengenai masalah
yang berkaitan atau kehidupan keluarga . Oleh karena itu seorang penasehat
seharusnya telah memenuhi hal-hal sebagai berikut :
1. Mempunyai wibawa yang
diperlukan untuk memberi nasehat . Wibawa ini dapat dimiliki oleh orang yang
memiliki perilaku yang terpuji, tidak banyak cela dalam perilakunya dan
kata-katanya dapat dipercaya.
2. Mempunyai pengertian/pengetahuan
yang mendalam tentang masalah perkawinan dan kehidupan keluarga , tidak saja
secara teori tetapi juga praktek.
3. Memiliki kemampuan dalam
memberikan nasehat secara ilmiah (artinya bukan pengertian awam), antara lain
harus mampu memberi nasehat secara relevan sistimatik , masuk akal dan mudah
diterima.
4. Mempunyai kemampuan
menunjukkan sikap yang meyakinkan klien , melakukan cara pendekatan yang baik
dan cara bertindak yang tepat.
5. Mempunyai usia yang
relatif cukup sebagai pemberi nasehat, sehingga tidak akan mendatangkan
prasangka buruk atau sikap meremehkan orang lain.
6. Mempunyai niat mengabdi
yang tinggi, tugas pekerjaannya bukan sekedar pekerjaan duniawi tetapi juga
dianggap dan dilandasi niat ibadah.
Pada umumnya para klien
tidak mampu mengatakan penderitaan / problematika yang sebenarnya , apalagi jika menyangkut
martabatnya, kehormatannya atau masalah – masalah yang dianggap tabu (sex,
harga diri, nama baik keluarga dan sebagainya).
Wawancara dapat
dilakukan dengan bertatap muka atau denga cara lain . Yang penting adanya
komunikasi antara penasehat dengan klien.Sepanjang proses penasehatan ini,
wawancara selalu memegang peranan penting , sebab hanya dengan wawancara inilah
kita bisa berkomunikasi dengan klien, baik dalam memperoleh data maupun dalam
menyampaikan nasehat.
Wawancara
sebagai alat utama dalam penasehatan perkawinan mempunyai teknik tersendiri .
Beberapa dasar dari pelaksanaan wawancara antara lain :
a. Berpartisipasi dengan
perasaan klien . Kalau klien nampak sedih jangan menunjukkan sikap gembira ,
kita berpura-pura ikut sedih.
b. Mempergunakan bahasa
yang dimengerti,dengan baik oleh klien ,
tidak mempergunakan bahasa yang sulit dimengerti , seperti istilah-istilah
asing, bahasa daerah, singkatan-singkatan , ucapan yang tidak jelas dan
sebagainya .
c. Bersikap sopan , tidak
menyinggung perasaan, tidak menakuti dan tidak menimbulkan antipati . Tidak
melakukan gerakan-gerakan yang mencurigakan , seperti mencatat keterangan
seperti seorang jaksa atau seorang polisi.
d. Memberikan kebebasan
kepada klien untuk berbicara dengan sebebas-bebasnya , tetapi dengan pengarahan
agar tidak melantur atau segera kembali ke pada pokok permasalahan.
e. Menunjukkan perhatian ,
mendengarkan keterangan-keterangan klien , tidak menunjukkan sikap acuh tak
acuh , sekalipun sudah bosan , ngantuk dan sebagainya.
f. Tidak memancing
perdebatan , ketegangan , perselisihan apalagi pertengkaran . Klien adalah
orang yang hendak ditolong, bukan musuh/ lawan berkelahi atau berdebat.
g. Membantu klien
mengemukakan suatu hal yang ingin dikemukakan tetapi tidak dapat / mampu untuk
menyampaikannya. Hal ini karena klien menahan emosi.
h. Tidak memberikan janji
kalau tidak yakin betul bahwa janji itu dapat dipenuhi tepat waktunya, misalnya
janji waktu untuk pertemuan berikutnya, kunjungan kerumah dan sebagainya. Lebih
baik memberikan alternatif yang lain yang lebih longgar sifatnya sehingga tidak
mengikat.
i. Waktu untuk mengadakan
wawancara harus dipertimbangkan betul , sebab sering terjadi klien tidak mau
berhenti memberikan keterangan sekalipun telah memakan waktu berjam-jam. Hal
ini bisa terjadi klien merasa dengan menceritakan penderitaannya itu merasa
lebih enteng penderitaan yang dialami.
j. Masalah perbedaan agama,
perbedaan kebudayaan dan lain-lain banyak memancing perselisihan , karena itu
tidak perlu menyinggung masalah yang berbeda tersebut.
k. Meyakinkan kepada klien
bahwa semua keterangan yang telah diberikan itu dirahasiakan . data hanya akan
diberikan kepada orang yang dapat dipercaya dan atas ijin klien.
l. Tidak memberikan kritik
menjelekkan , menyalahkan , atau hal-hal lain yang sifatnya negatif dan tidak
baik menurut klien. Hal ini perlu selalu diingat , sebab pewawancara lupa bahwa
ia sedang menghadapi klien , seorang yang perlu mendapat bantuan.
m. Pewawancara harus selalu
sadar diri bahwa ia pewawancara, penasehat, jadi harus selalu berusaha
menempatkan pada proporsinya .Ini berarti tidak boleh memaksakan kemauan, tidak
boleh hanyut ke dalam kondisi yang tidak benar.
n. Bagaimanapun juga
wawancara adalah suatu seni , karena itu ketrampilan mengadakan wawancara ini
harus ditingkatkan . tanpa pengalaman yang banyak , tidak mungkin seorang
penasehat mempunyai keahlian melakukan wawancara.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan oleh PPN sebagai
konsultan pernikahan,antara lain :
a. Setelah mendengarkan
keterangan dari calon mempelai wanita
dan calon mempelai pria, dan memeriksa surat-surat keterangan guna kelengkapan
persyaratan pencatatan nikah , PPN menanyakan kepada calon mempelai tentang
wali yang berhak menikahkan .Untuk mengetahui siapa wali dari calon mempelai
wanita ,PPN memeriksa surat keterangan N.2 yang berisi tentang identitas orang
tua kandung dari calon mempelai dikuatkan dengan data pendukung yang lain,
seperti akte kelahiran dan foto copy kutipan akta nikah atau duplikat kutipan
akad nikah , apa bila data-data tersebut telah cocok dan diketahui nama walinya
maka calon mempelai diminta menghadirkan wali nikahnya pada kesempatan yang
ditentukan. Apabila tidak ada masalah antara wali dan calon mempelai dapat
dipastikan wali akan hadir dalam pemeriksaan nikah pada hari yang ditentukan ,kecuali ada
halangan yang dibenarkan menurut peraturan, misalnya wali sakit, pikun atau
ghoib atau bepergian di luar kota.
b. Apabila dalam kesempatan
pertama sesuai jadual yang ditentukan wali tidak hadir tanpa alasan yang
dibenarkan , PPN akan membuat surat panggilan , melalui surat dan wali
dipanggil secara patut, apabila wali tetap tidak hadir maka PPN akan mendatangi
rumah wali (tabayun) sesuai alamat yang ditunjuk oleh calon mempelai wanita.
c. Dalam tabayun tersebut
PPN akan memberitahukan maksud kedatangannya , dalam kesempatan itu, PPN
memberitahukan kepada wali tentang hal-hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban
wali, sekaligus memberikan penjelasan kepada wali bagaimana langkah-langkah
yang akan dilakukan apabila wali tetap pada pendiriannya , yaitu tidak
menyetujui pernikahan tersebut dan tidak bersedia menjadi wali, selanjutnya PPN akan membacakan lembar pemeriksaan nikah
(NB) didepan wali sekaligus menanyakan kebenaran identitas wali nikah yang
menyangkut, Nama, bin, Tempat tanggal lahir, Warga negara, agama, pekerjaan dan
alamat wali, apabila identitas tersebut telah dimengerti dan dibenarkan oleh
wali, maka wali dimohon untuk menanda tangani lembar pemeriksaan nikah.
d. Apabila wali mau
membubuhkan tanda tangan dan bersedia menjadi wali dan sanggup menikahkan calon
mempelai wanita , maka selesailah tugas PPN dalam memeriksa pihak-pihak yang
akan melaksanakan pencatatan nikah.
2. PPN bertindak sebagai
Pegawai Pencatat Nikah dan mewakili menikahkan kedua mempelai
Apabila wali
telah setuju dengan rencana pernikahan tersebut, pada hari pelaksanaan akad
nikah, PPN bertugas untuk mencatat pernikahan dan mengawasi pelaksanaan
nikahnya, ada kalanya wali menikahkan sendiri calon mempelai wanita, namun
banyak juga wali yang meminta kepada PPN untuk mewakili menikahkan calon
mempelai wanita , karena kebanyakan wali tidak menguasai cara-cara menikahkan
putrinya. Biasanya wali akan melakukan taukil nikah yang bunyinya kurang lebih
” Kepada bapak Penghulu, dengan ini saya mohon kepada bapak untuk mewakili
menikahkan anak saya bernama............ dengan Saudara........... dengan mas
kawin seperangkat alat sholat telah dibayar tunai”.
Disini
PPN bertindak sebagai Pegawai Pencatat Nikah dan mengawasi pelaksanaan akad
nikah sekaligus bertindak sebagai orang yang diberi mandat untuk mewakili
menikahkan calon mempelai wanita dengan calon suaminya atas permintaan wali,
dan permohonan untuk mewakili menikahkan calon mempelai dilakukan secara
langsung oleh walinya disaksikan oleh dua orang saksi , cara mewakilkan yang
dilakukan oleh wali tersebut disebut ”taukil bi lisan”.
Untuk melengkapi kajian
tentang peran PPN dalam menyelesaikan sengketa pernikahan wali adlal , dibawah
ini kami cantumkan wawancara antara peneliti dengan ( informan 3) , yang
dilakukan pada tanggal 10 Pebruari 2009, sebagai berikut :
Pertanyaan :
1.
Bagaimana prosedur pendaftaran
pencatatan nikah di KUA Kecamatan Muntilan ?
Jawab :
Prosedurnya adalah, calon
pengantin datang bersama P3N dengan membawa berkas-berkas persyaratan
pernikahan, setelah itu , berkas
diteliti dan ditulis dalam lembar Pemeriksaan Nikah (NB) , setelah itu
pemeriksa , menanyakan kepada calon pengantin siapa yang ditunjuk menjadi wali
dalam pernikahan tersebut.
2.
Baga cara menentukan wali yang
berhak menikahkan calon mempelai ?
Jawab :
Cara menentukan wali bagi calon mempelai , dengan
cara menanyakan kepada calon pengantin, apakah ayahnya masih hidup, dan
mencocokkan dengan lampiran persyaratan nikah seperti Kutipan Akta Nikah orang
tuanya dan Akte Kelahirannya, apabila ayah kandung telang meninggal dunia maka
dicari wali nasab yang lain menurut ketentuan tertib wali dalam hukum Islam.
3. Bagaimana
apabila wali nikah yang ditunjuk oleh calon pengantin tidak dapat hadir dalam
pemeriksaan nikah ?
Jawab :
Apabila wali nikah tidak hadir
dalam pemeriksaan nikah, dapat dihadirkan pada kesempatan lain, melalui proses
pemanggilan dengan surat, dapat juga dilakukan tabayun , yaitu mendatangi
tempat domisili wali sesuai alamat yang ditunjuk oleh calon pengantin, dapat
juga diadakan pemeriksaan sebelum pelaksanaan akad nikah.
4. Bagaimana
pabila wali tidak menyetujui adanya pernikahan yang telah didaftarkan oleh calon
mempelai, apa langkah-langkah yang dilakukan oleh PPN maupun penghulu KUA
Kecamatan Muntilan?
Jawab :
Untuk langkah pertama diadakan
pendekatan dahulu terhadap wali, diberikan masukan tentang kehadiran wali dan
persetujuan wali bagi keabsahan pencatatan nikah. Apabila wali setuju namun
tidak bisa hadir pada saat pelaksanaan akad nikah, wali dapat membuat surat
kuasa kepada PPN untuk mewakili wali menikahkan calon mempelai, surat kuasa
bermaterai ( 6 ribu rupiah) tersebut ditanda tangani oleh wali dengan dua orang
saksi serta diketahui oleh kepala desa tempat domisili wali nikah.
Pertanyaan :
5. Bagaimana
apabila wali tetap adlal, apa yang akan dilakukan oleh PPN ?
Jawab :
PPN akan melangkah dengan
membuat surat keterangan pemberitahuan kepada calon mempelai tentang adanya
kekurangan persyaratan dalam pencatatan nikah, yaitu ketidak setujuan wali, PPN
membuatkan surat keterangan N.8, setelah itu PPN juga membuat surat keterangan
penolakan kehendak nikah (N.9) , dikirimkan kepada Pengadilan Agama Kota
mungkid untuk mendapatkan penetapan wali adlal.
Pertanyaan :
6.
Bagaimana prosedur pencatatan
pernikahan dengan wali hakim, karena wali nikah adlal ?
Jawab :
Setelah penetapan wali adlal
dari Pengadilan Agama turun , dan telah diterima oleh PPN, PPN sekali lagi menanyakan
kepada wali nikah, apakah wali nikah bersedia menikahkan calon mempelai,apabila
wali nikah tetap pada pendiriannya , yaitu tidak mau menikahkan calon mempelai,
maka PPN menikahkan calon mempelai dengan wali hakim, karena wali nasab adlal,
sesuai dengan penetapan dari Pengadilan Agama.[68]
Adapun pelaksanaan akad
nikah yang dicatat dan diawasi PPN sebagai berikut :
a. Persiapan
1) Mempelajari dan memahami
rangkaian acara yang akan dilaksanakan
2) Menyiapkan dan memeriksa
ulang perlengkapan administratif yang dibutuhkan.
3) Menguasai dimana lokasi
tempat acara berlangsung dan perhitungan waktu serta daya jangkau menuju lokasi
tersebut.
4) Menyiapkan toga petugas,
memeriksa kebersihannya dan kelayakan untuk dipakai dalam acara seremonial.
5) Mendatangi lokasi
sebelum acara dimulai.
6) Mengkonfirmasikan
sebelumnya tentang kepastian urutan waktu acara dimaksud.
b. Pemeriksaan Ulang
a) Sesuai dengan ketentuan
KMA Nomor 298 Tahun 2003, akad nikah dapat dilangsungkan setelah lampau 10
(sepuluh) hari kerja sejak pengumuman akad nikah.
b) Sebelum akad nikah
dilangsungkan PPN / Penghulu yang menghadiri akad nikah harus mengadakan
pengecekan ulang untuk melengkapi kolom yang belum terisi pada model NB pada
saat pemeriksaan awal di kantor dan atau bila ada perubahan data hasil
pemeriksaan awal tersebut.
c) Apabila akad nikah
dilaksanakan di luar Balai Nikah (bedolan) pengecekan ulang dengan 2 (dua) cara
sesuai dengan situasi upacara akad nikah :
i.
Dilakukan sebelum hari upacara pelaksanaan akad nikah
(hari H) misalnya pada upacara midodareni (Jawa), yaitu satu hari sebelum hari
pelaksanaan akad nikah yang ada.
ii.
Dilakukan pada hari H, yaitu sebelum upacara resmi
pelaksanaan Ijab Qabul dimulai, yang pelaksanaanya dapat dilakukan dengan cara
pemeriksaan terpisah terhadap calon mempelai, wali nikah dan saksi-saksi.
1. Untuk keperluan
sebagaimana point 3.b di atas, PPN/ Penghulu yang bertugas akan datang lebih
awal dari waktu yang telah ditetapkan.
2. Teknis pemeriksaan ulang
tidak bertele-tele , cukup mengecek :
a. Ada atau tidaknya
penambahan / perubahan tentang nama calon pengantin, wali, saksi dan jumlah
atau bentuk maskawin.
b. Apakah ada persetujuan
dari calon mempelai.
c. Melengkapi kolom yang
belum terisi pada model NB dari hasil pemeriksaan awal.
3. Untuk menjaga kerapihan
setiap berkas pernikahan yang akan dilaksanakan serta untuk menjaga wibawa
petugas PPN/ Penghulu , berkas pernikahan disimpan dalam map yang layak (map
batik).[69]
Waktu
Pelaksanaan Akad Nikah .
Akad nikah dilangsungkan setelah lewat 10 (sepuluh) hari
kerja terhitung sejak tanggal
pengumuman. Apabila akad nikah dilangsungkan kurang dari 10 (sepuluh) hari
tersebut karena suatu alasan yang penting,
ada dispensasi dari Camat atas nama Bupati .
(4). Tempat Pelaksanaan Akad
Nikah.
Tempat dilangsungkannya akad Nikah dapat dilaksanakan :
1. Di Balai Nikah / Kantor
Urusan Agama Kecamatan Muntilan yang disediakan diruang khusus dengan
perlengkapannya , baik tempat duduk calon pengantin, wali dan saksi maupun
tempat para pengantar.
2. Di luar Balai Nikah,
seperti di rumah calon isteri atau di masjid, yang pengaturannya diserahkan
kepada yang mempunyai hajat, asal tidak menyalahi hukum Islam dan peraturan
yang berlaku, seperti tempat duduk calon pengantin, wali/ wakilnya, saksi-saksi
, PPN /Penghulu / Pembantu PPN dan undangan.
Yang Menghadiri
Akad Nikah
1. PPN/ Penghulu/ Pembantu
PPN.
2. Wali Nikah atau
Wakilnya.
3. Calon suami atau
wakilnya.
4. Calon isteri (sesuai
keadaan setempat).
5. Dua orang saksi yang
memenuhi syarat.
6. Para pengantar/
undangan.[70]
Pelaksanaan Akad
Nikah
Rangkaian kegiatan pelaksanaan akad nikah diatur sebagai
berikut :
1. PPN/ Penghulu terlebih
dahulu memeriksa ulang tentang persyaratan dan administrasinya kepada kedua
calon pengantin dan wali, kemudian menetapkan dua orang saksi yang memenuhi
syarat.
2. PPN/ Penghulu menanyakan
kepada calon isteri di hadapan dua orang saksi , apakah calon pengantin wanita
bersedia dinikahkan dengan calon suaminya atau tidak.
3. Jika calon isteri
bersedia dinikahkan dengan calon suaminya.
a. PPN/ Penghulu
mempersilahkan walinya, untuk menikahkan atau mewalikan anaknya.
b. Jika wali mewakilkan ,
maka PPN/ Penghulu mewakilinya.
c. Jika tidak ada wali
nasab maka calon isteri meminta kepada wali hakim untuk bersedia menjadi wali.
4. Sebelum akad nikah
dilaksanakan , dapat didahului dengan :
a. Pembacaan ayat suci
Al-Qur’an.
b. Pembacaan Khutbah nikah.
Khutbah
nikah diawali dengan Hamdalah, Syahadat, Shalawat, beberapa ayat Al-Qur’an dan
Hadits serta nasehat yang berhubungan dengan perkawinan dan penjelasan tentang
tujuan perkawinan untuk mencapai rumah tangga bahagia (sakinah).
Sejauh
yang memungkinkan, disebutkan juga sedikitnya satu pasal dari Undang-undang
Perkawinan. Yang membaca khutbah nikah tidak harus PPN/ Penghulu , biasanya
akan ditanyakan kepada pihak keluarga pengantin , siapa yang ditunjuk untuk
membaca khutbah.
c. Pembacaan Istighfar dan
Syahadatain secara bersama-sama dipimpin oleh PPN/ Penghulu atau wali yang akan
bertindak melakukan ijab.
5. Akad nikah antara wali/
wakilnya dengan calon suami/ wakilnya, yaitu :
a. Ijab
Ananda/
saudara........................., saya nikahkan...................... anak
perempuan saya/saudara perempuan saya dengan maskawin berupa ............. di
bayar tunai.
b. Qabul
”Saya
terima nikah dan kawinnya ................. binti.................. dengan
maskawin tersebut.
6. Apabila Wali mewakilkan
kepada PPN/ Penghulu maka wali harus mengatakan :
” Bapak Penghulu , saya mewakilkan kepada Bapak untuk
mewakili menikahkan ................................. anak perempuan saya
dengan............................ dengan maskawin berupa............. tunai.
Penghulu menjawab :
”Saya terima untuk mewakili menikahkan............................
dengan.............
7. Apabila yang menikahkan
itu bukan walinya maka Ijabnya sebagai berikut : ”Saudara....................... , saya
nikahkan ........................... binti.............. yang walinya
mewakilkan kepada saya dengan Saudara, dengan maskawin berupa..................
tunai.
8. Setelah Ijab-Qabul
dilaksanakan , PPN/ Penghulu menanyakan kepada saksi-saksi , apakah Ijab-Qabul
sudah sah atau belum . Apabila saksi-saksi menyatakan belum sah, maka
Ijab-Qabul diulang kembali sampai Ijab-Qabul dinyatakan sah.Apabila sudah sah
maka dibacakan : ”Baraka Allahu laka , wa baroka ngalaika wa jamanga
bainakuma fii khoirin”
9. Pembacaan do’a.
10. Penandatangan
surat-surat yang diperlukan.
a. Apabila akad nikah
dilaksanakan di Balai Nikah, maka penandatanganan oleh suami, isteri, wali, dua
orang saksi dan PPN dibubuhkan pada buku Akta Nikah (model N)
b. Apabila akad nikah
dilaksanakan di luar Balai Nikah , maka penandatanganan tersebut dibubuhkan
pada halaman 4 Daftar Pemeriksaan Nikah (model NB).
Pembacaan Ta’lik
Talak
1. Setelah acara
penandatanganan akta nikah, atau penandatanganan pada halaman 4 model NB
selesai, segera dilanjutkan dengan pembacaan ta’lik talak oleh suami, bila
suami telah menyatakan kesediaannya.
2. Untuk tidak mengurangi kehidmatan
upacara akad nikah, pembacaan ta’lik talak tidak memakai pengeras suara,
kecuali apabila wali nikah atau keluarga menghendakinya.
3. Setelah ta’lik talak
selesai dibacakan , PPN atau Penghulu yang menghadiri mempersilahkan kepada
suami untuk menendatangani iqrar ta’lik talak yang terdapat pada buku nikah.
Apabila suami tidak bersedia mengucapkan maka tidak
dipaksa , tetapi akan diberitahukan kepada isteri bahwa suaminya tidak
mengikrarkan ta’lik talak . Meskipun tidak dibaca, kedua mempelai perlu memahami
maksud ikrar ta’lik talak tersebut. Adapun bunyi ta’lik talak adalah :
”Sesudah akad
nikah ini saya nama................... bin................... berjanji dengan
sesungguh hati , bahwa saya akan
menepati kewajiban saya sebagai seorang suami dan akan saya pergauli
isteri saya bernama ...................... binti..................... dengan
baik (mu’asyaroh bil ma’ruf) menurut
ajaran syari’at agama Islam.
Selanjutnya saya membaca ta’lik talak sebagai berikut :
Sewaktu-waktu
saya :
(1).Meninggalkan isteri saya dua tahun berturut-turut
(2).Atau
saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga
bulan lamanya.
(3).Atau
saya menyakiti badan/ jasmani istri saya.
(4).Atau saya membiarkan
(tidak mempedulikan) istri saya
,enam bulan
lamanya ,kemudian istri saya tidak ridha dan
mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama dan pengaduannya dibenarkan
serta diterima oleh pengadilan tersebut , dan istri saya membayar uang sebesar
Rp. 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwadh (pengganti) kepada saya , maka jatuhlah talak
saya satu kepadanya.
Kepada Pengadilan
tersebut saya kuasakan untuk menerima uang iwadh itu dan kemudian menyerahkan
kepada Direktorat Jendera Bimbingan Masyarakat Islam Cq. Direktorat Urusan
Agama Islam dan Pembinaan Syariah untuk
keperluan ibadah sosial”.[71]
Pengumuman
Pernikahan Telah Selesai
PPN/ Penghulu menyatakan
kepada hadirin bahwa upacara akad nikah telah selesai dan kedua pengantin telah
sah menurut hukum sebagai suami isteri. Jika perlu dapat ditambahkan
penyuluhan/ penasehatan , antara lain :
1. Yang berhubungan dengan
masalah nikah.
2. Hak dan kewajiban suami
isteri
3. Kehidupan rumah tangga
bahagia.
Penyerahan
Maskawin (Mahar)
1. Tiap-tiap perkawinan/
pernikahan menimbulkan kewajiban bagi suami untuk membayar maskawin atau mahar
kepada isterinya, baik berupa perhiasan (emas) , uang atau benda berharga
lainnya.
2. Setelah acara akad nikah
selesai suami langsung menyerahkan maskawin kepada isterinya . Dan apabila
isteri tidak ikut hadir pada majelis akad nikah , maka maskawin diserahkan
melalui wali nikahnya,
Penyerahan
Kutipan Akta Nikah
1. Sesaat setelah akad
nikah, PPN atau Penghulu menyerahkan kutipan Akta Nikah kepada kedua mempelai.
2. Pada saat penyerahan
Kutipan Akta Nikah, terlebih dahulu PPN atau Penghulu mengucapkan kalimat : ”Bersama
ini kami serahkan Kutipan Akta Nikah kepada Saudara sebagai bukti bahwa perkawinan Saudara telah sah tercatat
di KUA Kecamatan Muntilan , sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, agar diterima dan disimpan dengan sebaik-baiknya.”
Penyerahan Kutipan Akta Nikah ini tidak diselingi dengan kata-kata atau juga
kalimat yang tidak perlu atau tidak pantas.
3. Setelah Kutipan Akta
Nikah diserahkan kepada kedua mempelai, PPN atau Penghulu yang menghadiri
menyatakan kepada hadirin bahwa akad nikah telah selesai dan kedua mempelai
telah sah menurut Undang-undang dan Hukum Agama
Islam, sebagai suami isteri.
Nasehat
Perkawinan.
1. Setiap mempelai
diberikan nasehat perkawinan untuk bekal mereka dalam membina rumah tangga
bahagia dan sejahtera.
2. Nasehat perkawinan
diberikan setelah akad nikah selesai.
3. Nasehat perkawinan yang
diberikan sebelum akad nikah , atau yang biasa disebut penyuluhan perkawinan,
dilakukan secara perorangan oleh korp Penasehatan BP.4 kecamatan atau dilakukan
secara kolektif melalui suscatin setiap hari Rabu.
4. Nasehat perkawinan yang
diberikan setelah akad nikah selesai atau yang dikenal dengan ceramah
perkawinan atau (ular-ular pengantin), tidak harus diberikan oleh PPN , namun
dapat dilakukan oleh ulama, tokoh masyarakat atau dari keluarga pengantin
sendiri , tergantung dari permintaan keluarga mempelai.
5. Apabila PPN/Penghulu
yang menghadiri pernikahan tersebut diminta untuk memberikan nasehat atau
ceramah perkawinan akan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Isi nasehat/ ceramah
perkawinan hal-hal yang berkaitan dengan nikah, hak, dan kewajiban suami isteri
dan tuntunan tentang membentuk rumah tangga sakinah (bahagia sejahtera).
b. Dalam ceramah/ nasehat
perkawinan selalu menggunakan bahasa yang baik dan sopan, menghindari dari perkataan
yang kurang etis , urakan , porno atau yang tidak menyinggung perasaan orang
lain , khususnya keluarga mempelai.
3. Pegawai Pencatat Nikah
bertindak sebagai Wali Hakim.
Yang dimaksud dengan
wali hakim ialah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai
wali dalam suatu pernikahan,
apabila seorang calon mempelai wanita :
1). Tidak mempunyai wali nasab sama sekali , atau
2). Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya,
atau
3). Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang
wali yang sederajat dengan dia tidak
ada, atau
4). Wali berada ditempat yang jaraknya sejauh masafatul
qosri
( atau sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qosor)
yaitu 92,5 km, atau
5). Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak
boleh di jumpai, atau
6). Wali adlal, artinya wali tidak bersedia atau menolak
untuk menikahkan, atau penolakan wali dalam mengawinkan anak gadisnya dalam
fikih disebut wali adlal
7). Wali sedang melakukan ibadah haji/ umroh.
Maka yang berhak menjadi
wali dalam pernikahan tersebut adalah wali hakim. Kecuali apabila wali nasabnya
telah mewakilkan kepada orang lain untuk bertindak sebagai wali. Dalam hal
demikian orang lain yang diwakilkan itulah yang
berhak menjadi wali.
Catatan: Dizaman modern dewasa ini, meskipun jarak
masafatul qosri telah dipenuhi, untuk akad nikah wali perlu diberi tahukan
terlebih dahulu.
Sesuai
dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1987, tentang Wali Hakim,yang
ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai wali hakim adalah Kepala Kantor Urusan
Agama Kecamatan.
Apabila
pernikahan calon mempelai wanita tidak
disetujui oleh walinya , namun kedua
calon mempelai sudah sepakat , dan setelah diadakan mediasi oleh PPN dan tidak
menghasilkan kesepakatan maka PPN akan mengirimkan penolakan kehendak nikah (N.9)
ke Pengadilan Agama setempat, setelah diadakan pemeriksaan oleh Pengadilan
Agama dan dilaksanakan sidang perdamaian , wali tetap pada pendiriannya tidak
mau menjadi wali nikah, maka hakim akan memutuskan wali nikah adlal atau
membangkang, dan Pengadilan akan memerintahkan PPN atau Kepala KUA untuk
menikahkan kedua calon mempelai dengan wali hakim, karena wali adlal.
Adapun
pelaksanaan akad nikahnya, sama dengan pelaksanaan akad nikah pada umumnya ,
hanya saja PPN bertindak sebagai Pegawai Pencatat Nikah sekaligus menjadi wali
nikah (wali hakim) atas calon mempelai wanita, karena wali nasabnya tidak mau
menikahkan.Pencatatan dalam NB atau N dalam kolom wali, yang mestinya wali
nasab diganti dengan wali hakim, dan
pada kolom catatan akhir ditulis bahwa pernikahan tersebut dilaksanakan atas
perintah Pengadilan Agama , dengan merujuk pada nomor dan tanggal penetapan
wali adlal yang di putuskan oleh Pengadilan Agama Kota Mungkid.
D. Analisis
Dari temuan penelitian
terhadap Peranan Pegawai Pencatat Nikah Dalam Penyelesaian Pernikahan Wali Adlal di KUA Kecamatan Muntilan, dengan
permasalah – permasalah : 1. Gambaran Kasus-kasus pernikahan wali adalal, 2.
Realisasi penyelesaian pernikahan wali adlal dan 3. Peranan Pegawai Pencatat
Nikah (PPN) dalam Penyelesaian pernikahan
wali adlal dapat dianalisa sebagai berikut :
1. Kasus-kasus sengketa
pernikahan wali adlal di KUA. Kecamatan Muntilan yang diangkat dalam penelitian,
terdiri dari lima kasus , empat kasus dapat diselesaikan dengan jalan mediasi
atau (tabayun),adapun satu kasus
diselesaikan melalui jalur hukum, yaitu ke Penghadilan Agama. Adapun latar
belakang terjadinya sengketa wali adlal, yaitu kesalah pahaman antara calon
pengantin dengan wali nikah, ada juga karena si wali sangat mendominasi dalam
menentukan jodoh bagi calon pengantin wanita, sehingga calon pengantin memilih
untuk tidak menuruti kehendak wali.Kasus yang lain yaitu, tidak sepakatnya wali
dengan calon pengantin tentang penentuan hari pelaksanaan pernikahan, dimana
hari pernikahan menurut adat Jawa sangat menentukan, dalam istilah Jawa disebut
”Petung”, wali menganggap apabila
hari pernikahan tidak dihitung sesuai ”petung”
tersebut , maka diyakini pernikahan tidak akan kekal dan pengantin akan banyak
godaan dan cobaan dalam mengarungi kehidupan rumah tangganya. Ada pula wali
tidak menyetujui pernikahan calon pengantin, karena tekanan pihak lain dalam
hal ini ada kaitan dengan kekhawatiran pihak keluarga,dikhawatirkan calon
pengantin pria akan menguasai harta
peninggalan , maupun harto Gono-Gini.
2. Realisasi Penyelesaian sengketa pernikahan wali adlal,
menurut pengamatan dari peneliti, ternyata tugas-tugas Pegawai Pencatat Nikah
di KUA Kecamatan Muntilan , tidak hanya sebagai Pegawai Pencatat Nikah yang
bertugas mencatat dan mengawasi pernikahan saja, namun juga dituntut untuk
mampu memberikan jalan keluar apabila terjadi sengketa di dalam proses
pelaksanaan pencatat nikah, dalam contoh kasus sengketa pernikahan wali adlal,
PPN senantiasa berkoordinasi dengan pihak-pihak yang terkait dengan proses
pencatatan pernikahan , misalnya Kepala Desa, Penghulu dan Pembantu Pegawai
Pencatat Nikah (P3N), untuk meyelesaikan dan mencarikan jalan keluar apabila
terjadi kebuntuan dalam komunikasi antara wali nikah dengan calon
mempelai.Apabila terjadi sengketa pernikahan wali adlal, PPN memanggil
pihak-pihak yang berkepentingan, biasanya wali, karena tidak setuju dengan
pernikahan calon mempelai maka akan memilih tidak menghadiri panggilan dari
PPN, apabila terjadi demikian maka PPN akan mendatangi rumah kediaman wali untuk
mengadakan klarifikasi atau tabayun, dari klarifikasi tersebut akan
dihasilkan jalan tengah, dan ditemukan perdamaian atau Islah , antara wali dengan calon mempelai.
3. Adapun peranan Pegawai
Pencatat Nikah (PPN) dalam penyelesaian sengketa pernikahan wali adlal adalah :
PPN bertindak sebagai konsultan pernikahan, dengan jalan memberikan penjelasan,
bimbingan kepada pihak-pihak yang bersengketa yaitu wali, dengan calon mempelai
melalui lembaga Badan Penasehatan, Pembinaan
dan Pelestarian Perkawinan (BP.4) Kecamatan Muntilan. PPN bertindak
mewakili wali nikah untuk menikahkan calon mempelai melaui taukil wali, baik itu taukil dengan lisan, maupun taukil dengan
tertulis (dengan Surat Kuasa), untuk taukil melalui surat kuasa biasanya
terjadi karena wali tidak hadir dalam acara pencatatan nikah , namun apabila
wali dapat hadir dalam pencatatan nikah , maka wali cukup mengikrarkan
mewakilkan menikahkan calon mempelai (taukil)
kepada PPN. PPN bertindak sebagai wali hakim, yaitu pada saat pelaksanaan
pencatatan nikah PPN berperan sebagai Pegawai Pencatat Nikah, namun di sisi
lain berperan sebagai wali, yaitu wali hakim. Wali hakim dapat dilaksanakan
karena wali nikah (wali nasab, wali akrob) tidak hadir dalam pencatatan
nikah karena adlal, dan adlalnya wali ditetapkan oleh Pengadilan Agama .
Setelah turunnya penetapan wali adlal dari Pengadilan Agama , maka PPN atas
nama negara dan karena perintah Pengadilan Agama, berhak menjadi wali nikah
untuk calon mempelai wanita, yaitu bertindak sebagai wali hakim karena wali nasabnya
adlal/ membangkang.
4.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
uraian-uraian mengenai Peran Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dalam
Penyelesaian Sengketa Pernikahan Wali Adlal (Study Kasus Pencatatan Nikah Wali
Adlal di KUA Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang), maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
1. Gambaran Kasus-kasus Pernikahan Wali Adlal di Kantor Urusan Agama
Kecamatan Muntilan, dalam penelitian ini adalah, dari lima kasus sengketa pernikahan
wali adlal , disebabkan karena
masing-masing pihak tidak memahami tentang peran dan tugas serta kewajibannya sehingga kurang ada komunikasi .Serta
masih dominannya peran wali sehingga wali sering menganggap bahwa pernikahan tidak akan dapat dilaksanakan tanpa
persetujuannya. Dari lima kasus yang ada , empat kasus dapat diselesaikan
dengan jalan mediasi dan musyawarah dari masing-masing pihak dengan
mediator Pegawai Pencatat Nikah ,
sedangkan satu kasus diselesaikan melalui
Pengadilan Agama
2. Realisasi Penyelesaian
Sengketa Pernikahan Wali adlal di Kantor Urusan Agama Kecamatan Muntilan antara
lain .Para pihak yang mendaftarkan pencatatan nikahnya di KUA Kecamatan
Muntilan dihadirkan dalam pemeriksaan
nikah, apabila wali nikah tidak dapat hadir, maka Pegawai Pencatat Nikah akan
melakukan tabayun , kunjungan ke tempat kediaman wali untuk melakukan
klarifikasi sekaligus meminta kesediaan wali untuk menjadi wali dan menikahkan
putrinya, apabila dalam tabayun tidak ditemukan adanya kesepakatan, maka PPN
akan memanggil calon mempelai untuk memberitahukan bahwa pernikahan yang
dimaksud terdapat kekuarangan syarat ,yaitu kesediaan wali nikah , kemudian PPN
menerbitkan Surat Keterangan kekurangan Persyaratan Nikah (N.8) dan juga
menerbitkan Surat Penolakan Nikah (N.9)
yang dikirimkan kepada Pengadilan Agama Kota Mungkid, Pengadilan Agama
memanggil pihak-pihak (pemohon dan termohon) untuk dimintai keterangan, apabila
tidak dapat dihasilkan kesepakatan maka Pengadilan Agama menerbitkan penetapan
wali adlal dan memerintahkan kepada Kepala KUA selaku PPN untuk menikahkan
calon mempelai dengan wali hakim, karena walinya adlal atau enggan menjadi
wali.
3. Peran Pegawai Pencatat
Nikah (PPN) Kantor Urusan Agama Kecamatan Muntilan Dalam Penyelesaian
Pernikahan Wali Adlal adalah, pertama, PPN
bertindak sebagai mediator dalam penyelesaian konflik antara calon
mempelai dengan walinya.Kedua, PPN berperan sebagai Pegawai Pencatat Nikah dan
juga bertindak mewakili menikahkan calon mempelai atas kehendak dan persetujuan
wali nikah.Ketiga, setelah ada penetapan
wali adlal dari Pengadilan Agama,PPN berperan sebagai Pegawai Pencatat Nikah
sekaligus sebagai wali, yakni wali hakim, karena wali nikah tidak mau bertindak
sebagai wali, enggan atau membangkang (adlal) .
B. Saran-saran
Sebagai
akhir dari penulisan tesis ini penulis ingin
memberikan saran-saran guna membantu meningkatnya Peran Pegawai Pencatat
Nikah (PPN) dalam Penyelesaian Sengketa
Pernikahan Karena Wali Adlal khususnya
di KUA Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang :
1. Perlu lebih ditingkatkan
pelayanan kepada masyarakat terutama dalam bidang perkawinan dengan cara
mengadakan penyuluhan kepada masyarakat tentang Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 dan hukum munakahat, sehingga dapat mengurangi kesalah fahaman masyarakat
terhadap keabsahan nikah dan arti pentingnya pencatatan nikah .
2. Agar lebih ditingkatkan
peran Pegawai Pencatat Nikah dalam
mediasi penyelesaian pernikahan wali adlal, untuk mencegah agar kasus
pernikahan wali adlal tidak sampai ke Pengadilan Agama , supaya dapat
mengurangi beban calon mempelai terutama dalam hal pembiayaan .
3. Hendaknya diprogram oleh
Kantor Departemen Agama Kabupaten Magelang tentang nikah massal, sebab kegiatan
tersebut akan sangat membantu bagi pasangan yang tidak mampu dan juga dapat
menambah syi’ar dari Departemen Agama khususnya. Biaya dapat diambilkan DIPA
Kantor Departemen Agama Kabupaten Magelang.
4. Hendaknya Pegawai
Pencatat Nikah (PPN) lebih teliti lagi dalam pemeriksaan wali nikah, agar tidak
terjadi kekeliruan penunjukan wali nikah , terutama dalam tertib urutan wali
akrob , antara saudara laki-laki seayah-seibu, saudara laki-laki seayah,
Saudara laki-laki ayah dan tertib wali lainnya.
5. Agar lebih efektif dan
efisien ,usahakan sengketa pernikahan
wali adlal dapat selesaikan di tingkat desa , dengan mediator Pembantu Pegawai
Pencatat Nikah (P3N) dan Kepala desa/ lurah setempat, dapat pula melibatkan
ulama atau tokoh masyarakat setempat,hal tersebut lebih mudah dilakukan
mengingat tempat tinggal para pihak yang bersengketa, dekat dengan kantor balai
desa/ balai kelurahan dan secara psikologis, para pihak lebih kenal,lebih
menghormati dan terbuka dengan tokoh masyarakat/ tokoh agama setempat.
6. Mengingat medan yang
jauh dan sangat beratnya beban serta
tugas-tugas PPN dalam melayani masyarakat dalam bidang pencatatan nikah
, maka perlu difikirkan kesejahteraan bagi PPN, Penghulu maupun P3N, dan
mendesak untuk diadakan sarana mobilitas
bagi para Kepala KUA Kecamatan, misalnya Kendaraan Dinas roda dua, agar
tugas-tugas mereka dapat tertolong yang tentunya dapat meningkatkan
semangat dan etos kerja .
7. Hendaknya
peraturan-peraturan yang diterbitkan oleh Departemen Agama dapat sinkron dan
tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum positif yang berlaku,sebagai
contoh dalam Peraturan Menteri Agama Nomor
2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim,pada Pasal 6 ayat (1) Sebelum akad nikah
dilangsungkan Wali Hakim meminta kembali kepada Wali Nasabnya untuk menikahkan
calon mempelai wanita ,sekalipun sudah ada penetapan Pengadilan Agama tentang
adlalnya Wali dan ayat (2) Apabila Wali
Nasabnya tetap adlal, maka akad nikahnya dilangsungkan dengan wali hakim.Hal
ini berkesan bahwa seolah-olah PPN ambigu dan seakan-akan tidak ada kepastian hukum,
serta ada kecenderungan menafikan
penetapan pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman dan Riduan Syahrani, 1976, Masalah-Masalah
Hukum
Perkawinan di Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung
Abd.Rahman,
Asjmuni,1997, Qaidah-qaidah Fiqih (Qowa’idul Fiqhiyyah),
Bulan Bintang: Jakarta.
Abu Zahroh,’Aqd Az- Zawad wa Asaruh (ttp.,
Dar al-Fikr al-Arabi,t.t),
Ahmad Azhar Basyir,1992, Hukum Perkawinan Islam,UII
Presss,
Yogyakarta
Ahmad
Hanafi,1970, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Bulan Bintang,
Jakarta
Ahmad
Harir,2002, Islam , Aborsi dan Keluarga Berencana, Yayasan
kesejahteraan Fatayat (YKF)
Yogyakarta, Ford Foundation,
Jakarta.
Ahmad
Mudjab Mahalli,2002, Wahai Pemuda Menikahlah, Menara Kudus,
Jogjakarta.
Ahmad
Rofiq, 1995,. Hukum Islam di Indonesia, Rajawali Press: Jakarta.
Alwi
Shihab,.1999,.Islam Inklusif, Mizan: Bandung.
Amrullah Ahmad SF dkk, 1996, Dimensi Hukum Islam
Dalam Sistem
Hukum
Nasional, Gema Insani Press; jakarta.
Amir
Syarifudin, 1993, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam,
Angkasa Raya: Padang.
Asaf A.A. Fyzee, Outline of Muhammadan Law,
Edisi 4 , cet.5, New Delhi :
Oxford University Press, 1981.
Asmin, Yudian W.,1994, Reorientation of Indonesian
Fiqh, Ke Arah Fiqih
Indonesia, Forum
Studi Hukum Islam Fakultas Syari’ah IAIN Sunan
Kalijaga:
Yogyakarta.
Asro Sosroatmodjo dan Wasit Aulawi,1975, Hukum
Perkawinan di
Indonesia, Bulan Bintang;Jakarta.
Badan
Kesejahteraan Masjid (BKM) Pusat. 1992/1993. Pedoman Pegawai
Pencatat Nikah,Departemen Agama , Jakarta.
Bahay Al-Khauly, 1988,Islam dan Persoalan Wanita
Moderen, Alih
Bahasa,
Rosihin A. Gani, CV. Ramadhani, Solo
Daniel S.Lev.,1980 Peradilan Agama Islam di
Indonesia ( Islamic Court In
Indonesia), Penerbit.PT. Intermasa, Jakarta
Deliar Noer,1982. Administrasi Islam di Indonesia,
Pt. Rajawali Untuk
Yayasan
Risalah, Jakarta.
Departemen Agama .RI ,2004,.Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat
Islam dan Penyelenggaraan Haji,Pedoman Pejabat
Urusan Agama
Islam ,Jakarta.
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
,1997/1998, Kumpulan
Kasus
Urusan Agama Islam,Departemen Agama RI , Jakarta.
----------------------,2003, Pedoman Pembantu
Pegawai Pencatat Nikah,
Departemen Agama RI ,
Jakarta.
-----------------------,2003, Pedoman Akad Nikah, Departemen Agama
.R.I.Jakarta.
-----------------------,2005, Membina Keluarga
Sakinah ,Departemen
Agama
RI , Jakarta.
-----------------------,2008, Pedoman Penghulu
,Departemen Agama RI ,
Jakarta.
Direktorat
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam .2001. Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia .Departemen Agama RI
:Jakarta .
Doi, Abdurrahman I .1999, Perkawinan dalam
Syari’at Islam, Jakarta
Eko Mardiono, 2007,Perwalian Anak Akibat Kawin
Hamil, Hukama (Jurnal
Pemikiran
Islam dan Sosial).IISSN :1978-0974, 74,75,76.
Hamka, 1976,
Sejarah Umat Islam Jilid II, Bulan Bintang, Jakarta
Hammudah ‘Abd al-Ati,1984 Keluarga Muslim,
alih bahasa Anshari
Thayib,
: Bina Ilmu, Surabaya.
Hartoyo,
Soemardji. 2000. Dasar-Dasar Ilmu
Administrasi.UNS Press:
Surakarta
Hasan,Qodir.A,1984.Terjemahan
Nailul Authar,Himpunan Hadis-Hadis
Hukum,Pt.bina
ilmu:Surabaya
Hasbullah Bakry, 1985, Kumpulan Lengkap
Undang-Undang dan
Peraturan Perkawinan di Indonesia, cet.ke 3 Ttp,
Djambatan,:Jakarta.
Hazairin,
Tinjauan Mengenai Undang-Undang No. 1 Tahun 1974,
1986:Tinta Mas :Jakarta
Hindun
Annisa, 2002, Islam dan Hubungan Seksual
yang Sehat, Yayasan
Kesejateraan Fatayat (YKF)
Yogyakarta Ford Soundation , Jakarta.
Husein
Muhammad Yusuf.1992.Memilih Jodoh dan
Tata Cara meminang
dalam Islam. Gema Insani Press
:Jakarta
Ibrahim
Muhammad al-Jamal, 1991, Fiqih Wanita
Islam ,Terjemahan,
Pustaka Panjimas , Jakarta.
Ichtijanto,SA,1978.,
Laporan Seminar Tentang Pelasanaan Undang-
Undang Perkawinan, Proyek Pembinaan
Badan Peradilan Agama,
Jakarta.
Imam Al-Ghazali,
al-, Ihya’ Ulum ad- Din, Singapura – Kotabaru-Pinang :
Sulaiman
Mar’I , t.t.,juz II
--------------------,1995, Menyingkap Hakekat
Perkawinan, Adab Tata cara
Dan Hikmahnya, Alih bahasa, Muhammad Al-Baqir, Penerbit
Karisma, Bandung.
Jafizham,
1977.Persintuhan Hukum Indonesia Dengan Hukum
Perkawinan
Islam,
Percetakan Mestika, Medan.
Jurnal.
1996 .Law Reform Pembaharuan Hukum.
Semarang : Program
Magister Ilmu Hukum Pasca Sarjana
Universitas Diponegoro
Kamal
Muchtar,1992 Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, cet.3,
Bulan Bintang :Jakarta
Koentjaraningrat,1993,
Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Lexy
J. Moleong. 2002. Metodologi Penelitian
Kualitatif Bandung : Remaja
Rosdakarya.
Maftuh
Ahnan,1995,.Mutiara Hadits Shohih Bukhori, Penerbit Karya Ilmu:
Surabaya.
Mahmud
Al-Shabbagh.1993.Al-Sa’adah Al-Jawjiyyah
fi Al-Islam. Dar Al-
A’tisham : Mesir
Mahmud
Yunus.1990. Hukum Perkawinan dalam Islam
menurut mazhab
,Syafi’I,Hanafi, Maliki, Hambali . PT.Hida Karya
:Jakarta
Mahmud
Al-Shabbah,1993, Tuntunan Keluarga
Bahagia Menurut
Islam,Alih Bahasa
,Bahruddin Fannani,PT.Remaja Rosda Karya,
Bandung,1993
Majelis
Ulama Indonesia , 1986,Tuntunan Perkawinan Bagi Umat Islam
Indonesia,
Sekretariat MUI :Jakarta .
Maria
Ulfah Subadio, SH,1981, Perjuangan Mencapai Undang-Undang
Perkawinan, Yayasan Idayu,
Jakarta.
Mochtar
Kusumaatmadja, SH.,Prof.Dr,1976, Hukum, Masyarakat dan
Pembangunan Hukum Nasional, Lembaga Penelitian
Hukum dan
Kriminologi Fak. Hukum Universitas
Padjadjaran, Bandung.
M.
Quraish Shihab,.1996,Wawasan Alqur’an,Mizan: Bandung
M
Thalib, 1991, 40 Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak,Pustaka
Al-Kautsar:Yogjakarta
Mudhofar Badri, Ahmad Harir,2002, Panduan Pengajaran Fiqih
Perempuan di Pesantren, Yayasan
Kesejahteraan Fatayat:
Yogyakarta
Musthafa Al.Gholayini,1976, Idhatun Nasyi-in, Bimbingan Menuju Ke
Akhlak Yang Luhur.CV.Toha Putra: Semarang.
------------------,1975.,Hukum Perkawinan Nasional,
Zahir : Medan.
Muchtar
Yahya, dan Fatchurrahman, 1993.,Dasar-dasar Pembinaan
Hukum Fiqh Islami, al-Ma’arif: Bandung.
Muhammad Jawad Mughniyah,1994,
terjemahan,Fiqh Lima
Mazhab,Basrie Press, Jakarta
Muhammad Abdul Halim Hamid,.1994, Bagaimana
Membahagiakan Isteri
(Kaifa
Tus’id Zaujatak ?),Citra
Islami Press : Solo.
Muh
Zahid, 2003.,Dua Puluh Lima Tahun Pelaksanaan Undang-Undang
Perkawinan, Proyek
Peningkatan Tenaga Keagamaan Direktorat
Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji,
Jakarta.
Mukhotib,
MD.,2002, Menghapus Poligami , Mewujudkan
Keadilan,Yayasan Kesejahteraan
fatayat (YKF) Ford Foundation
Jakarta, Yogyakarta.
----------------,2002,
Seksualitas : Menggugat Konstruksi Islam,Yayasan
Kesejahteraan fatayat (YKF) Ford
Foundation Jakarta, Yogyakarta.
----------------,2002,
HIV/AIDS : Pesantren Bilang Bukan
Kutukan,Yayasan Kesejahteraan
fatayat (YKF) Ford Foundation
Jakarta, Yogyakarta.
----------------,2002,
Menghapus Perkawinan Anak, Menolak
Ijbar,Yayasan Kesejahteraan
fatayat (YKF) Ford Foundation
Jakarta, Yogyakarta.
-----------------,1992,
60 Pedoman Rumah Tangga Islamy, Pustaka Al-
Kaustar, Jakarta.
Munawir
Sjadzali,1415 H/1994 M “ Relevansi Hukum Keluarga Islam
dengan kebutuhan Masa Kini”, dalam Prospek
Hukum Islam Dalam
Kerangka Pembangunan Hukum Nasional
di Indonesia,
cet . 1 ,PP-
IKAHA : Jakarta
-----------------,1994.,Prospek
Hukum Islam Dalam Kerangka
Pembangunan Hukum Nasional di
Indonesia,
PP-IKAHA: Jakarta.
Murtadha
Muthahhari, 1995, Hak-hak Wanita Dalam Islam, Alih
bahasa,M.Hashem, Penerbit Lentera, Jakarta.
Musthafa
Helmy, 2008,Perkawinan & Keluarga,Badan Penasehatan ,
Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP.4) Pusat: Jakarta.
M. Yahya Harahap,1993 “
Materi Kompilasi Hukum Islam” , dalam Dr.
Moh
Mahfud MD.,S.H.,S.U. (dkk) (ed.) , Peradilan Agama dan
Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia,UII Press:
Yogyakarta.
Nani
Suwondo, SH., 1992., Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum
dan Masyarakat,Ghalia, Jakarta.
Noeng
Muhadjir . 2002. Metodologi Penelitian
Kualitatif. UNS Press
:Surakarta
Noor
Rahmat,2002, Hak Memilih Pasangan, Tidak
Perlu Ada, Yayasan
Kesejahteraan Fatayat (YKF)
Yagyakarta, Ford Foundation,
Jakarta.
Perkawinan &
Keluarga
.2008. Jakarta : Badan Penasehatan, Pembinaan
dan Pelestarian Perkawinan (BP.4)
Pusat: Jakarta.
Peter
Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta.
Peunoh.Daly.1988, Hukum Perkawinan Islam,
Bulan Bintang :Jakarta
R.
Soetojo Prawirohamidjojo,1998, Pluralisme Dalam Perundang-
undangan Perkawinan di Indonesia, : Airlangga University
Press,Surabaya
Sayyid
As Sabiq, Fiqh as-Sunnah,1403 H/1983 M cet.4,Dar al- Fikr:
Beirut
-----------------,1981.,Fiqh
as Sunnah,II,Dar al Fiqr: Beirut.
Sayuti
Thalib, 1976.,Pembaharauan Hukum Islam di Indonesia,
Yayasan Penerbit Universitas
Indonesia, Jakarta.
-----------------,1992.
Hukum Kekeluargaan Indonesia (berlaku
bagi umat
Islam).UI. Press :Jakarta
Soetojo
Prawirohamidjojo.,1988, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan
Perkawinan di Indonesia, Universitas
Airlangga Press, Surabaya.
Suharsimi
Arikunto.2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan dan
Praktek.PT.Asdi Mahasatya:
Jakarta.
Sutopo,H.B.
2002. Metodologi Penelitian kualitatif.UNS.Press:
Surakarta
Tim
Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
1983. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Departemen
P&K : Jakarta
T.O.
Ihromi, 1999.,Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta.
Toha
Husein, H.A. 2002, Poligami, Kenapa Harus
Dipertahankan,
Yayasan Kesejahteraan Fatayat (YKF),
Yogyakarta, Ford
Foundation, Jakarta.
William
F. Ogburn dan Meyer F.Nimkoff,1964. A. Handbook of Sociology
Outledge& Kegan Paul Lmt,London.
Wirjono
Prodjodikoro, SH.,DR,R.,1981., Hukum Perkawinan Indonesia,
Sumur Bandung, Bandung.
Yahya
Harahap, 1989.,Kedudukan Kewenangan dan Acara Acara
Peradilan Agama Undang-Undang no: 7
tahun 1989,
Pustaka
Kartini, Jakarta.
[1] Departemen Agama RI,2004, Pedoman
Pejabat Urusan Agama Islam, Ditjen Bimas
Islam dan Penyelenggaraan Haji, Jakarta, hal.346.
[2] Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum
Islam tentang Perkawinan , cet.3(Jakarta: Bulan
Bintang,1993),hlm.1
[3] Abd ar-Rahman al-Jaziri , Al-Fiqh
‘ala al-Mazahib al- Arba’ah ( Mesir. Al-Muktabah at-
Tijariyah al- Kubra, 1969) ,Juz IV:1.
[5]
Hammudah ‘Abd al-‘Ati, Keluarga
Muslim, alih bahasa Anshari Thoyib (Surabaya :
PT.Bina Ilmu,1984) hlm.72)
[7] Kamal Muchtar, Asas-asas, hlm.
18
[8] Kamal Muchtar, Asas-asas,hlm.19.
[9] Abu Zahroh, ‘Aqd. Hlm.82
[10] As-Sayyid as-Sabiq, Fiqh,II :35
[11] Ibid,II:39
[12]
Kompilasi., hlm.21
[13] Husein Muhammad Yusuf, Memilih
jodoh dan tata cara meminang dalam Islam.
Jakarta : Gema Instansi Press, 1992,
hal. 26
[14] Mahmud Yunus,1990, Hukum Perkawinan dalam Islam menurut
mazhab Syafi’I
Hanafi, Maliki Hambali, Jakarta : PT Hida Karya, hal. 2,3.
[15] Mahmud Yunus,. op. cit. hal.
3,4.
[16] Mahmud Yunus,. op. cit., hal
4.5.
[17] Mahmud Yunus, , op. cit., hal.
5
[18] Abu Zahroh, ‘Aqd az-Zawad waAsaruh (ttp.,Dar-al-Fikr
al-Arabi,t.t.) hlm.44
[19] Hindun Annisa, 2002, Islam dan
Hubungan Seksual yang Sehat, Yayasan
Kesejateraan Fatayat (YKF) Yogyakarta Ford Soundation ,
Jakarta.
[20]
Asaf.A.A. Fyzee, 1981,Outline
of Muhammad Law, edisi 4 , cet. 5
(New Delhi: Oxford
University Press, ) , hlm. 88
[21] Ahmad Harir,2002, Islam , Aborsi dan Keluarga Berencana, Yayasan kesejahteraan
Fatayat (YKF) Yogyakarta, Ford Foundation, Jakarta.
[22] Ibrahim Muhammad al-Jamal, 1991, Fiqih Wanita Islam ,Terjemahan, Pustaka
Panjimas ,Jakarta.hal.15
[23] M.Tholib,1992, 60 Pedoman Rumah Tangga Islamy, Pustaka Al-Kaustar, Jakarta.
Hal.20
[24] M.Tholib, Op.Cit.hal.21
[25] Ibid. Hal.22
[26] Mahmud Yunus.1981, Hukum Perkawinan dalam Islam. Jakarta :
Hidakarya Agung,
, cetakan ke 9, hal. 1
[27] Sayuti Thalib. Hukum Kekeluargaan Indonesia (berlaku bagi Umat Islam). Jakarta :
UI- Press, hal.47.
[28] Op.Cit,hal.49
[29] Op.Cit.hal.55
[30] Muhammad Jawad Mughniyah,1994, terjemahan,Fiqh Lima Mazhab,Basrie Press,
Jakarta, hal.61
[31] Rusli dan R. tama.1984, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya. Shantika
dharma,Bandung, Cetakan pertama hal. 22-23.
[32] Asmin, Status Perkawianan Antar Agama ditinjau dari UU Perakawianan No.
1/1974.
PT Dian Rakyat.Jakarta, hal.29
[34] M. Muslihudin.1992, Menciptakan keluarga Bahagia.Karya
Ilmu Surabaya ,hal.36
[35] Bahay al- Khauly,1988. Islam dan
persoalan Wanita Moderen, Alih bahasa,Rosihin A.
Gani,CV Ramadhani, Solo.Hal.51
[36] Mahmud Al-Shabbahh, 1993,Tuntunan
Keluarga Bahagia Menurut Islam,Alih Bahasa
,Bahrudidin Fannani,PT.Remaja Rosda Karya, Bandung, hal.1
[37] Baihaqi, 900Materi-materi Pokok
untuk dakwah dan khotbah,Darul Ulum Press,
Jakarta, 2001.hal.283.
[38] Ahmad Solihin dan I I Sufyana M
Bakri, 1990, Khutbah Pilihan ,Sinar
Baru
Algesindo.Bandung.hal.126
[39] Mahmud Yunus, Op. cit. hal, 6,7,8.
[40] Murtadha Muthahhari , 1995,Hak-hak Wanita dalam Islam, alih bahasa
M. Hashem,
Penerbit Lentera, Bandung,hal.41
[41] Ahmad Mudjab Mahalli,2002, Wahai
Pemuda Menikahlah, Menara Kudus, Jogjakarta.
Hal.121
[42] Asmin . Op. Cit., hal.
29,30,31.
[43].
Mahmud Yunus. Op. cit., hal. 16
[44]
Asmin. op. Cit., hal 31
[45] Departemen Agama, 1991/1992,Pedoman
Pembantu Pegawai Pencatat Nikah. Jakarta
: Badan Kesejahteraan Masji (BKM)
Pusat, , hal. 19
[46] Departemen Agama ,Op. Cit. Hal
19,20.
[47] Departemen Agama RI, 2003,Pedoman
Pegawai Pencatat Nikah (PPN), Dirjen Bimas
Islam & Urusan Haji, Jakarta, hal. 24
[48] Departemen Agama , Op.Cit. Hal.33
[49] Noor Rahmat,2002, Hak Memilih Pasangan, Tidak Perlu Ada,
Yayasan Kesejahteraan
Fatayat (YKF) Yagyakarta, Ford Foundation, Jakarta.
[50] Departemen Agama, Ibid , hal. 34
[51] Ahmad Hanafi,1970, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Bulan
Bintang, Jakarta
[52] Toha Husein, H.A. 2002, Poligami, Kenapa Harus Dipertahankan,
Yayasan
Kesejahteraan Fatayat (YKF), Yogyakarta, Ford Foundation,
Jakarta.Hal. 2
[53] Departemen Agama, Op.cit., hal.
22,23,24,25,26,27,28.
[55] Murtadha Muthahhari,1981. Wanita Dalam Islam, Penerbit Lentera,
Jakarta.Hal.41
[56] Murtadha Muthahhari,Opcit. Hal. 42
[57] Sayyid Sabiq,1990,Fikih Sunnah,Terjemahan.PT. Alma’arif ; Bandung hal. 28
[58] Arso Sosroatmodjo dan A.wasit
Aulawi,1975, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bulan
Bintang,Jakarta,
hlm.9
[59] William F. Ogburn dan Meyer
F.Nimkoff,1964, A. Handbook of Sociology ( London:
Outledge& Kegan Paul Lmt,. hal.488.
[60] R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme
Dalam Perundang-undangan Perkawinan di
Indonesia,
(Surabaya : Airlangga University Press,1988) hlm.13
[61] Departemen Agama, Op. Cit.,
hal.211
[62] Ibid, hal. 225
[63] Departemen Agama, Op. Cit.,
Hal.259, 260
[64] Departemen Agama RI, 2003, Pedoman
Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, Proyek
Peningkatan Tenaga Keagamaan Dirjen Bimbingan Masyarakat
Islam dan
Penyelenggaraan Haji, Jakarta.hal.6
[65] Departemen Agama, Opcit. Hal.7-27
[66] Wawancara Dengan AF (Nama inisial)
,calon pengantin di KUA. Kec. Muntilan pada
tanggal 5 Januari 2009.
[67] Wawancara dengan MA (nama inisial),
ayah kandung /wali dari calon pengantin putri
( AF) , pada tanggal 10 Januari 2009.
[68] Wawancara, pada tanggal,10 Pebruari
2009, dengan Bapak Sutikno,SH ,Penghulu
pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Muntilan.
[69] Departemen Agama RI, 2005, Membina
Keluarga Sakinah, Ditjen Bimas Islam dan
Penyelenggaraan Haji Direktorat Urusan Agama Islam,
Jakarta. Hal. 24
[70] Departemen Agama RI, 2003,Pedoman
Pelaksanaan Akad Nikah, Dirjen Bimas Islam
dan Penyelenggaraan Haji, Proyek Peningkatan Tenaga
Keagamaan, Jakarta,
hal. 9
[71] Departemen Agama RI, Sighot Taklik
Talak, pada buku Nikah untuk suami/ isteri
(Kutipan Akta Nikah) .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar