Jumat, 13 April 2012

PERANAN PEGAWAI PENCATAT NIKAH (PPN) DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERNIKAHAN WALI ADLAL (STUDY KASUS PERNIKAHAN WALI ADLAL DI KUA KECAMATAN MUNTILAN )

PERANAN PEGAWAI PENCATAT NIKAH (PPN) DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERNIKAHAN WALI ADLAL
(STUDY KASUS PENYELESAIAN PERNIKAHAN WALI ADLAL DI KUA KECAMATAN MUNTILAN)

TESIS

Disusun Dalam Rangka Memenuhi Persyaratan
Program Magister Ilmu Hukum
Oleh :
H.Hanif Hanani, SH.
B4A007117




PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS  DIPONEGORO
SEMARANG
2009


PERANAN PEGAWAI PENCATAT NIKAH (PPN) DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERNIKAHAN WALI ADLAL
(STUDY KASUS PENYELESAIAN PERNIKAHAN WALI ADLAL DI KUA KECAMATAN MUNTILAN)

TESIS

Disusun Dalam Rangka Memenuhi Persyaratan
Program Magister Ilmu Hukum
Oleh :
H.Hanif Hanani, SH.
B4A007117

PEMBIMBING
Prof.H.Abdullah Kelib,SH.


PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS  DIPONEGORO
SEMARANG
2009




PERANAN PEGAWAI PENCATAT NIKAH (PPN) DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERNIKAHAN WALI ADLAL
 (STUDY KASUS PENYELESAIAN PERNIKAHAN WALI ADLAL DI KUA KECAMATAN MUNTILAN)


Disusun Oleh :
H.Hanif Hanani, SH.
B4A007117

Dipertahankan di depan Dewan Penguji
Pada tanggal : 06 April 2009

Tesis ini telah diterima
Sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar
Magister Ilmu Hukum

Pembimbing                                     Mengetahui
Magister Ilmu Hukum                     Ketua Program


Prof.H.Abdullah Kelib,SH             Prof.Dr.Paulus Hadisuprapto,SH,MH
                                                            NIP. 130 531 702

xvii

MOTTO


1.    Sabda Rosulullah, SAW “ Nikah adalah sunnahku, barangsiapa tidak mengikuti sunnahku (menikah) maka bukan golonganku”
2.    Orang yang paling baik ialah, orang yang paling banyak memberikan manfaat bagi orang lain.









                                                           
 Dipersembahkan :
                                                 Untuk Isteriku terkasih, penyejuk
                                             pandangan mataku,
 Hj. Anik Sulistyanti &
 Ananda Sandy Eka Pradana.




ABSTRAK

Peranan Pegawai Pencatat Nikah Dalam Penyelesaian Sengketa Pernikahan Wali Adlal (Study Kasus Pernikahan Wali Adlal di KUA. Kecamatan Muntilan)
Ada kalanya perkawinan telah disepakati atau disetujui oleh calon suami maupun calon isteri  tetapi ternyata ada pihak lain yang keberatan, pihak lain dapat dipahami , yaitu  wali nikah.Apabila wali nikahnya tidak setuju,maka ada dua pilihan untuk menyelesaikan sengketa tersebut, pilihan  pertama yaitu  melalui madiasi atau tabayun kepada Wali nikah, agar wali nikah setuju dan mau menjadi wali nikah  atau jalan kedua , yakni mengajukan  sengketa antara calon pengantin dan walinya,  kepada Pengadilan Agama (PA) untuk mendapat putusan bahwa walinya adhol atau enggan atau membangkang
Perumusan Masalah dari penelitian ini adalah :Bagaimana gambaran kasus-kasus pernikahan wali adlal di KUA Kecamatan Muntilan ,Bagaimana realisasi penyelesaian sengketa pernikahan wali adlal dan Bagaimana peranan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dalam penyelesaian pernikahan wali adlal  .Tujuan dari penelitian ini adalah ,Untuk memahami  gambaran kasus-kasus pernikahan wali adlal      realisasi penyelesaiannya serta untuk memahami   peranan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dalam penyelesaian sengketa pernikahan wali adlal di KUA Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang.
 Metode Penelitian  ini menggunakan Pendekatan “Yuridis Normatif”
            Kasus pernikahan wali adlal terjadi karena , masing-masing pihak tidak memahami hak dan kewajibannya serta dominasi peran wali nikah.
            Realisasi penyelesaian pernikahan wali adlal di KUA Kecamatan Muntilan adalah dengan jalan musyawarah melalui mediasi oleh PPN dan juga penyelesaian melaui Pengadilan Agama.
            Peran Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dalam penyelesaian sengketa pernikahan wali adlal , PPN bertindak sebagai mediator , PPN bertindak sebagai Pegawai Pencatat Nikah dengan mewakili wali menikahkan calon mempelai serta PPN bertindak sebagai wali hakim setelah terbitnya penetapan wali adlal dari  Pengadilan Agama .

Kata Kunci : Peranan PPN,Penyelesaian Sengketa Pernikahan, Wali Adlal

ABSTRACT

The role Marriage Regisstrar Official in accomplishing of Wali Adlal quarrel (study case of Wali Adlal Marriage in KUA Muntilan District)
When if marriage representative proposes disagreement, Mariage Registrar Official are going to refuse to get registration. Based on the case, it’s provided two overcoming choices to discuss the quarrel. Tabayyun (recheck) firstly directing to marriage guardian, It’s intanded to influence marriage guardian to give permission.The second way is done if the first way failed. It’s enable to propose the quarrel between marriage candidate and marriage guardian to religion court. The goal of the second way is to get decision that disobeydance marriage guardian. The objek of this researc is to understan discription Wali Adlal Marriage Case, the overcoming and the role of Marriage Registrar Official in accomplishing Wali Adlal Marriage Quarrel at KUA Muntilan Subdistrict Magelang Regency.
The method of this research is absolutely using Normative Juridical Approach. This approach is supported by another approach like Comparative Juridical Approach, Documenter Historical Approach and Theoretical Juridical.

Keywords: the role of PPN, accomlishing marriage quarrel, Wali Adlal.











KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum . Wr. Wb.
Alhamdulillahi Robbil ‘alamin, segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah ke haribaan Rosulullah  s.a.w, keluarganya serta shahabatnya, dan para pengikut sunnahnya , Wa Ba’du.
Hanya dengan izin, ridho serta pertolongan Allah, penulis dapat menyelesaikan tesis ini.Bantuan,dorongan dan motivasi dari isteri tercinta senantiasa menambah semangat guna penyelesaian penulisan tesis ini.
Semoga Allah, Tuhan Yang Maha Rahman senantiasa memberikan balasan kepada , pihak-pihak yang secara khusus membantu penulis , sejak dari persiapan ,pelaksanaan  penelitian ,proses penulisan hingga penyelesaian tesis ini, semoga orang-orang yang telah memberikan kebaikan, mendapat limpahan karunia-Nya. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi- tingginya kepada :
1.    Prof.Dr.Paulus Hadisuprapto,SH,MH, Ketua Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro.
2.    Prof. Haji Abdullah Kelib, SH, selaku pembimbing tesis Magister Ilmu Hukum.
3.    Seluruh dosen serta tenaga administrasi Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro.
4.    Bapak H.Bambang Catur Iswanto, SH,MH, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang
5.    Bapak Drs.H.Chamim,MS,M.Ag selaku Kepala Kandepag Kabupaten Magelang, Bapak Drs.H.Kudaifah,MPd.I selaku Kepala Sub. Bagian Tata Usaha Kandepag Kab. Magelang dan Bapak. Drs.H. Ngatmin, MA selaku Kepala Seksi Urusan Agama Islam Kandepag Kabupaten Magelang, yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk mengikuti pendidikan S2 Program Magister Ilmu Hukum.  
6.    Rekan-rekan angkatan II Program Magister Ilmu Hukum Non Reguler , kelas  Universitas Muhammadiyah Magelang.
7.    Rekan-rekan kerja di Kantor Urusan Agama Kecamatan Muntilan
Tidak akan terlupakan , terimakasihku untuk isteriku terkasih Hj. Anik Sulistiyanti dan ananda Sandy Eka Pradana yang telah memberikan do’a,semangat dan dukungan yang tiada ternilai harganya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan tepat waktu.
Penghormatan yang paling dalam, penulis sampaikan kepada Ayahanda Haji Tamjiz almarhum almaghfirullah, Ibunda Hj .Siti Darijah Tamjiz serta Ayah Mertua  Haji Raden Soedarsono almarhum dan ibu mertua Sulastari Soedarsono yang telah mendidik dan memberikan kasih sayang , yang tidak mungkin terbalaskan.
Tiada gading yang tak retak, kesempurnaan hanyalah kepunyaan  Allah Sang pemilik Arsy ,penulis menyadari segala kekurangan dan kekhilafan dalam penulisan tesis ini, saran dan kritik senantiasa penulis harapkan. Semoga Tesis dengan judul “ Peranan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) Dalam Penyelesaian Sengketa Wali Adlal (Study Kasus Penyelesaian Pernikahan Wali Adlal di KUA. Kecamatan Muntilan) ini, dapat memberikan khasanah bagi ilmu pengetahuan.     
Maha Suci Rabb-mu Yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. Semoga kesejahteraan dilimpahkan atas para Rasul. Dan Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.

                                                                  Semarang,    Maret 2009
                                                                  Penulis


                                                                  Hanif Hanani





DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………………….. ...   i
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………….................   ii
HALAMAN MOTTO……………………………………………………………. iii
ABSTRAK……  …………………………   …………………………………    iv
ABSTRACT…  ………………………………………………………………     v
KATA PENGANTAR………………………………………………………… ...vi
DAFTAR ISI…………………………………………………………………..    ix
BAB I  :           PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang……………………………………………... 1
B.   Perumusan Masalah………………………………………13
C.   Tujuan /Kegunaan Penelitian…………………………… 15
D.   Kerangka Pemikiran / Kerangka Teoritik………………. 16
E.   Metode Penelitian………………………………………… 20
F.    Sistematika Penulisan …………………………………… 21
BAB II :           TINJAUAN PUSTAKA
A.   Perkawinan Menurut Hukum Islam……………………. 23
B.   Pengertian Nikah…………………………………………  29
C.   Tujuan dan Fungsi Nikah……………………………….   37
D.   Rukun Nikah………………………………………………  45
E.   Wali Nikah…………………………………………………  53
F.    Larangan Nikah…………………………………………..   58
G.   Pengertian Wali Adlal…………………………………….. 68
H.   Peraturan Perkawinan di Indonesia……………………  72
BAB III            HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A.   Gambaran Kasus-kasus  Pernikahan
 Wali Adlal di KUA. Kecamatan Muntilan……………     79
B.   Realisasi Penyelesaian Sengketa Pernikahan
Wali Adlal di KUA.Kecamatan Muntilan…………….    108
C.   Peran Pegawai Pencatat Nikah (PPN) KUA
Kecamatan Muntilan Dalam Penyelesaian  
Pernikahan Wali Adlal …………………………………. 130
D.   Analisis …………………………………………………..  157
BAB IV           PENUTUP
A.   Kesimpulan……………………………………………..    161
B.   Saran…………………………………………………….   163
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………...  166
LAMPIRAN-LAMPIRAN
x
BAB  I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Keharusan adanya seorang wali dalam pernikahan menjadi syarat dan rukun, meskipun ada pendapat yang tidak mengharuskannya.Kedudukan wali dalam perkawinan sebagian ulama menyebutkannya sebagai rukun dan sebagian lagi menyebutkannya sebagai syarat. Perwalian hanya dijabat oleh keluarga laki-laki dari pengantin wanita . Sementara pejabat negara yang ditunjuk, dalam kaitan ini biasanya dilakukan oleh aparat Kantor Urusan Agama (Kepala KUA atau PPN) bisa menjadi wali pengganti jika wali nasabnya berhalangan, dengan sebutan wali hakim.
Mengenai wali nikah , ia merupakan unsur yang penting bagi mempelai wanita yang akan bertindak untuk menikahkannya . Yang menjadi wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam , yakni muslim, akil, dan baligh. Wali nikah tersebut terdiri dari wali nasab dan wali hakim. Ditetapkannya wali nikah sebagai rukun perkawinan karena untuk melindungi kepentingan wanita itu sendiri, melindungi integritas moralnya serta memungkinkan terciptanya perkawinan yang berhasil .
Institusi perwalian dalam perkawinan lebih bersifat kewajiban daripada hak. ,paling tidak merupakan sintesis dari keduanya .
Disamping beberapa pemaparan diatas, kajian yang akan kita angkat dalam penulisan Tesis ini adalah ruang lingkup Kantor Urusan Agama Kecamatan Muntilan sebagai tempat penelitian.
Kantor Urusan Agama Kecamatan Muntilan  mempunyai sebagian tugas  dan fungsi Kantor Departemen Agama Kabupaten Magelang di bidang Urusan Agama Islam dalam Wilayah Kecamatan Muntilan serta mengkoordinasikan kegaiatan-kegiatan dan melaksanakan kegiatan sektoral maupun lintas sektoral di wilayah Kecamatan.
Dalam melaksanakan tugas tersebut KUA menyelenggarakan  fungsi :
1.    Fungsi Teknis :
Fungsi teknis KUA merupakan tempat pelayanan nikah dan rujuk serta memberikan pembinaan dan bimbingan dibidang kepenghuluan, kemasjidan, zakat, wakaf, baitul maal, ibadah sosial dan mebina keluarga sakinah
2.    Fungsi administratif :
Fungsi administratif  yaitu mengelola  administrasi ketatausahaan, kepegawaian, keuangan, dokumentasi dan sebagainya.
Mengingat  Kantor Urusan Agama Kecamatan Muntilan adalah bagian dari unsur aparat pemerintah dalam jajaran Departemen Agama di bawah Departemen Agama Kabupaten Magelang, maka didalam melaksanakan tugas tersebut , Kantor Urusan Agama selalu mengacu kepada peraturan-peraturan yang ada dan petunjuk dari Departemen Agama Kabupaten Magelang .
Bab 1 Pasal 1.a (ketentuan umum) peraturan Menteri Agama Republik Indonesia nomor 2 tahun 1990, tentang kewajiban Pegawai Pencatat Nikah disebutkan : “ Kantor Urusan Agama Kecamatan yang selanjutnya disebutkan KUA Kecamatan adalah Instansi Departemen Agama di Kecamatan yang melaksanakan sebagian tugas Kantor Departemen Agama dibidang Urusan Agama Islam “
Kantor Urusan Agama  mempunyai tugas pokok, terdiri dari beberapa sub pokok yaitu :
1.    Bidang Doktik
2.    Bidang Kepenghuluan
3.    Bidang Kemasjidan
4.    Bidang bimbingan perkawinan
5.    Bidang Zawaibsos
Uraian Tugas  Kepala KUA. Kecamatan Muntilan :
1.    Melaksanakan  sebagaian tugas Kantor Departemen Agama Kabupaten Maegelang dibidang urusan Agama Islam Wilayah  Kecamatan Muntilan.
2.    Bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas KUA Kecamatan.
3.    Melaksanakan tugas koordinasi dengan WASPENDAIS, PENAMAS dan koordinasi dengan isntansi terkait.
4.    Membantu pelaksanaan tugas pemerintah dan pembangunan di bidang agama.
Sebagai Pegawai Pencatat Nikah (PPN)
1.    Menerima pemberitahuan nikah.
2.    Mendaftar, menerima dan meneliti kehendak nikah terhadap calon mempelai dan wali serta mengumumkanya.
3.    Mengamankan serta mencatat peristiwa nikah di kantor maupun diluar kantor.
4.    Melakukan pengawasan nikah/ rujuk menurut agama Islam
5.    Melakukan kegiatan pelayanan dan konsultasi nikah/ rujuk serta pengembangan kepenghuluan.
6.    Bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan administrasi NTCR.[1]
Allah menjadikan perkawinan yang diatur menurut syariat Islam sebagai penghormatan dan penghargaan yang tinggi terhadap harga diri , yang diberikan oleh Islam khusus untuk manusia .
Dalam hukum Islam, perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi rukun  dan syarat perkawinan, untuk melaksanakan perkawinan harus ada : Calon suami; Calon Isteri ; Wali Nikah ;  Dua orang saksi dan ; Ijab serta Kabul, jelasnya perkawinan tidak sah apabila salah satu dari lima hal diatas tidak terpenuhi.
Perkawinan dalam ilmu fiqih dipakai istilah nikah dan ziwaj .[2] Nikah menurut bahasa mempunyai arti wata’ yang berarti bersetubuh , dan dam yang berarti menghimpit , menindih atau berkumpul . Terlepas dari perbedaan pendapat ulama tentang makna secara hakekat dan majaz , nikah tetap mengandung unsur aqod dan wata’ sekaligus [3] . Nikah didefinisikan dengan : “suatu akad yang menghalalkan hubungan seksual antara suami dan isteri, dan yang menimbulkan hubungan hak dan kewajiban antara keduanya [4] .
Perkawinan mencakup tiga aspek , yaitu : Hukum, sosial, dan agama  .Dari aspek hukum , perkawinan merupakan suatu perjanjian yang
 mempunyai karakteristik khusus yaitu : (1)  perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa persetujuan kedua belah pihak; (2) kedua belah pihak saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian tersebut berdasarkan ketentuan yang sudah ada ; dan (3) Persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hak dan kewajiban masing-masing pihak .
Dari aspek sosial , perkawinan mempunyai arti penting yaitu : (1) orang yang melakukan atau pernah melakukan perkawinan mempunyai kedudukan yang lebih dihargai daripada mereka yang belum kawin; (2) Menempatkan kaum wanita pada posisi yang lebih terhormat , misalnya sebelum adanya peraturan perkawinan , wanita dulu bisa dimadu tanpa batas dan tanpa bisa berbuat banyak , tetapi menurut ajaran Islam poligami hanya dibatasi paling banyak empat orang, itupun dengan syarat-syarat tertentu sebagaimana ditetapkan dalam surat An-Nisa’ ayat 3.
Dari aspek agama (ibadah) , perkawinan dipandang dan dijadikan basis suatu masyarakat yang baik dan teratur . Perkawinan tidak hanya dipertalikan dengan ikatan lahir, tetapi diikat juga dengan batin dan jiwa . Menurut Islam , perkawinan tidak hanya sebagai perjanjian biasa melainkan perjanjian suci.
Berdasarkan aspek-aspek yang terkandung didalamnya itulah, dalam perkawinan Islam tidak dikenal adanya perbedaan pengertian secara sakral dan sekuler. Ia mengandung kedua elemen itu sekaligus. Perkawinan dalam Islam merupakan lembaga sosial yang datang dari Allah (divine institution) [5]
Kompilasi Hukum Islam (KHI) mendefinisikan , perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan , yaitu akad  yang sangat kuat atau mitsaaqon gholidhon untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah Pasal 2 [6]
Dalam perkawinan Islam,ditetapkan dasar-dasar sebagai prinsip-prinsip umumnya , antara ialah :
Pertama : kerelaan , persetujuan, dan pilihan . dalam suatu perkawinan terdapat hak-hak beberapa pihak yang harus dipenuhi , yaitu : hak Allah, hak orang-orang yang akan kawin , dan hak wali [7].
Pemenuhan hak Allah ialah dalam pelaksanaan perkawinan itu harus diindahkan ketentuan Allah. Apabila hak Allah ini tidak diindahkan , perkawinan tersebut menjadi batal demi hukum. Misalnya perkawinan antara seorang laki-laki dan  perempuan yang haram dinikahi , baik haram untuk selamanya (at-tahrim al-muabbad) atau haram untuk sementara waktu (at-tahrim al-mu’aqqat)
Yang berkaitan dengan pemenuhan hak orang-orang yang akan kawin dan hak wali, bahwa pelaksanaan perkawinan oleh seorang wali sebelumnya harus meminta persetujuan kedua calon mempelai. Begitu juga perkawinan itu harus dilaksanakan oleh wali yang berhak . Apabila hak masing-masing pihak ada yang tidak diindahkan , perkawinannya masuk kategori dapat dibatalkan. Mereka berhak mengajukan pembatalan [8].          Kedua , perkawinan untuk selama-lamanya . Sekalipun tidak melarang perceraian , Islam menutup segala pintu yang mungkin menimbulkan perceraian dan mengharamkan perkawinan untuk selama waktu tertentu. Hal ini terbukti dengan (1) tidak menganggap sah suatu sighot akad nikah jika didalamnya terdapat perkataan yang mengandung pembatasan waktu perkawinan [9], (2) mengharamkan nikah mut’ah , yaitu mengharamkan nikah muhallil , yaitu nikah yang tujuannya untuk membolehkan seorang wanita yang telah ditalak tiga dikawini kembali oleh bekas suaminya [10]
            Dasar-dasar perkawinan ini ditetapkan untuk mencapai tujuan pensyariatannya , di antaranya ialah (1) memperoleh keturunan sah yang akan melangsungkan keturunan dan cita-cita umat manusia, (2) Memelihara umat manusia dari kejahatan dan kerusakan (3) Menimbulkan rasa cinta antara suami dan isteri , menimbulkan rasa kasih sayang antara orang tua dan anak-anaknya dan sesama anggota keluarga , dan (4) Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama dari masyarakat yang besar atas dasar cinta dan kasih sayang .[11] Dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam merumuskan , perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumahtangga yang sakinah, mawaddah , dan rahmah (pasal 3)
            Guna merealisasi tujuan perkawinan sebagaimana dimaksud , dibutuhkan rukun dan syarat-syarat tertentu. Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan, untuk melaksanakan perkawinan harus ada :
Calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi , dan ijab qobul . [12]
Ketentuan Kompilasi ini berbeda dengan pendapat yang menyatakan bahwa saksi tidak termasuk rukun  dan sebaliknya pendapat yang menyatakan bahwa mahar termasuk rukun . Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut di atas, unsur-unsur rukun tersebut mempunyai syarat sendiri- sendiri.
Peranan wali disinggung dalam Al-Qur’an antara lain pada dua ayat di bawah ini , yang artinya “ Apabila kalian menjatuhkan talak kepada isteri , dan mereka telah menghabiskan masa iddahnya , maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya apabila terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf “ (Surat Al-Baqoroh ayat 232)
Dalam ayat lain disebutkan :
“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu” (Al-Baqoroh, ayat: 221)
Dua ayat ini memang diarahkan (dikhithabkan) untuk para wali para wanita yang hendak dinikahkan, Menurut Imam Syafi’I RA, dua ayat ini sangat menjelaskan posisi dan kedudukan wali dalam pernikahan. Sebab masalah wali juga dipertegas oleh Rosululloh, SAW melalui berbagai Haditsnya.
Dalam Hadits sahih riwayat Imam Ahmad RA dan Imam empat perawi hadits lainnya menyebutkan bahwa  Rosululloh ,SAW bersabda :
“ Tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya wali” Menurut Syaikh Ismail Al-Kahlani Ash-Shan’ani, mengutip pendapat sejumlah ahli fiqih karyanya subulus salam , bentuk makna hadits ini bukan menyatakan tidak sempurna pernikahan tanpa wali, tapi menyatakan tidak sahnya pernikahan tanpa wali. Sebab Hadits ini juga didukung Hadits-Hadits berikutnya :
Dalam Hadits Aisyah,RA disebutkan bahwa Rosululloh ,SAW bersabda : “ Sesungguhnya nikah dengan tanpa wali itu batal, batal, dan batal”. Dalam Hadits riwayat Aisyah RA yang lain juga disebutkan keharusan wali itu dalam Hadits :
“Siapapun wanita yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahannya batal. Jika ia disetubuhi maka baginya berhak atas mas kawin sebagai ganti kenikmatan yang diberikan. Jika wali berhalangan atau menolak, maka penguasa (sultan atau imam dan jajarannya) menjadi wali bagi wanita yang tak memiliki wali”.
Posisi wali jika diibaratkan dengan perdagangan , ia adalah pemilik barang yang dijual kepada pihak lain . Sehingga tidak mungkin ada barang yang dijual  namun tidak ada penjualnya.
Hampir seluruh ulama sepakat mensyaratkan adanya wali dalam pernikahan, kecuali Imam Hanafi,RA. Imam Hanafi menyebutkan bahwa tidak harus mempergunakan wali dengan menganalogkan (kiaskan) dengan perdagangan. Artinya, jika wanita itu telah memiliki kecerdasan untuk menentukan dirinya, maka ia boleh menikahkan dirinya , seperti ia berhak menjual barang miliknya. Imam Hanafi,RA menyebut keberadaan wali sebagai sunah, alasan Imam Hanafi ,RA yang lain, menurut Dr. wahbah Azzuhaily dalam Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, ada perbedaan pendapat dalam menafsirkan khitab ayat pertama di atas tadi. Jika kalangan ulama lainnya menyebut khitab ayat tadi kepada wali, Imam Hanafi melihatnya tidak. Ayat tadi justru diarahkan kepada wanita . Namun kalangan ahli fiqih, seperti dikutip Al-Kahlani, menolak kias Hanafi tersebut karena ada nash  jelas (sharih) yang memang mengharuskan adanya wali dalam pernikahan.Dalam Hadits riwayat Abu Hurairoh RA disebutkan bahwa Rosulullah SAW bersabda :” Wanita tidak boleh menikah dengan wanita , dan wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri kecuali dengan wali”
Sementara mazhab Az-Zahiri, hanya mensyaratkan wali untuk pengantin yang masih berstatus gadis . Jika sudah berstatus janda tak diperlukan lagi wali. Mazhab ini berdasarkan Hadits Rosulullah SAW  yang diriwayatkan Imam Muslim dari Ibnu Abbas RA.
“ Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya . Dan seorang gadis harus ditawarkan .Dan kesediaan seorang gadis (untuk menikah) adalah diamnya”.
Sementara syarat wali adalah beragama Islam , baligh, dan laki-laki . Yang tidak bisa menjadi wali adalah non muslim , anak kecil, dan wanita. Sementara yang masih dalam perdebatan kalangan ahli fiqih adalah hamba sahaya , fasiq,dan idiot (safih) .Sedangkan kecerdasan atau kematangan (Ar-rusyd) menjadi perdebatan juga. Imam Syafi’I RA mensyaratkan seorang wali harus matang dan dewasa (ar-rusyd) . Sedangkan imam Hanafi RA membutuhkan itu, sebab , jika laki-laki , muslim, dan telah baligh, meskipun ia tidak cerdas , bisa saja menjadi wali tanpa ada masalah yang menghalangi.



B.   Perumusan Masalah
Apabila kita membicarakan tentang perkawinan maka perhatian kita tidak akan lepas dari hukum Islam, sebab perkawinan adalah merupakan salah satu bagian dari hukum Islam.Di dalam hukum Islam perkawinan atau pernikahan adalah merupakan suatu lembaga hukum yang sangat penting dan sudah menjadi syariat dan kebiasaan  dalam kehidupan beragama.Oleh karena itu perkawinan merupakan cabang yang terpenting dalam hukum Islam.
Mengingat akan arti pentingnya persoalan tentang perkawinan ini ,maka Undang-undang  Nomor 22  Tahun 1946 telah mengatur masalah ini sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 ayat (1)  Nikah yang dilakukan menurut agama Islam selanjutnya disebut nikah, diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya . Talak dan Rujuk yang dilakukan menurut agama Islam selanjutnya disebut Talak dan Rujuk diberitahukan kepada Pegawai Pencatat Nikah.
Oleh karena Undang-undang Nomor 2 Tahun 1946 dirasa belum lengkap maka pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan. Dalam Pasal 1 Undang-undang tersebut dinyatakan tentang dasar perkawinan yaitu :


Pasal 1 :
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan  membentuk keluarga  ( rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 2 ayat (2)
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
            Bahwa dalam pencatatan nikah yang telah kita sebutkan sangatlah penting artinya bagi keabsahan, kepastian hukum dan kekuatan hukum nikah itu sendiri, seperti disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Maka peneliti disini akan mengupas tentang peranan Pegawai Pencatat Nikah (PPN)  KUA Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang, dalam pelaksanaan pencatatan Pernikahan
Dalam hal ini Pegawai Pencatat Nikah bertindak menyelesaikan permasalahan yang timbul terhadap sengketa perkawinan antara calon isteri dan wali nasab yang adlal atau enggan menjadi wali nikah, dikaitkan dengan hukum Islam dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dari beberapa permasalahan yang telah dipaparkan dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.    Bagaiamanakah gambaran kasus-kasus pernikahan wali adlal   di KUA Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang ?
2.    Bagaimana realisasi penyelesaian sengketa pernikahan karena wali adlal ?
3.    Bagaimana  peranan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dalam penyelesaian sengketa pernikahan wali adlal di KUA Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang.?

C.Tujuan atau Kegunaan Penelitian
1.    Untuk memahami  gambaran kasus-kasus pernikahan wali adlal   di KUA Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang.
2.    Untuk memahami  realisasi penyelesaian sengketa pernikahan karena wali adlal .
3.    Untuk memahami   peranan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dalam penyelesaian sengketa pernikahan wali adlal di KUA Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang.
Kegunaan/ Manfaat   Penelitian :
1.    Manfaat Teoritis :
a.  Untuk mencari dan mengumpulkan data-data yang dianalisa dan diolah , ditelaah untuk kemudian disusun dalam bentuk tesis.
b.  Menambah pengetahuan dan wawasan penulis di bidang pernikahan dan memberikan sumbangan pemikiran untuk memantapkan teori tentang  penyelesaian sengketa pernikahan wali adlal.
2.    Manfaat Praktis  :
a.    Bagi Kantor Urusan Agama Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang , diharapkan sebagai bahan masukan dalam  penyelesaian sengketa pernikahan wali adlal.
b.    Sebagai referensi untuk melaksanakan penelitian sejenis   secara mendalam.
D.   Kerangka Pemikiran/ Kerangka Teoritik
Pegawai Pencatat Nikah (PPN) disamping mempunyai tugas untuk melakukan pencatatan nikah, juga dituntut untuk dapat meyelesaikan permasalahan yang timbul mengenai perkara-perkara yang berhubungan dengan keabsahan pernikahan, baik itu menyangkut permasalahan wali, calon pengantin maupun syarat-syarat lain .Pegawai Pencatat Nikah(PPN) adalah pegawai pada  Kantor Urusan Agama Kecamatan .
PPN juga harus segera menyelesaikan dan mencarikan jalan keluar apabila timbul sengketa antara pihak-pihak yang berkaitan dengan sahnya pernikahan.
Wali adlal adalah wali calon pengantin wanita, (ayah,kakek, saudara laki-laki atau kelompok wali akrob) yang enggan untuk menikahkan calon pengantin karena alasan-alasan tertentu.
Ada kalanya perkawinan yang telah disepakati atau disetujui oleh calon suami maupun calon isteri  tetapi ternyata ada pihak lain yang keberatan, pihak lain dapat dipahami , yaitu  wali nikah, padahal wali nikah adalah merupakan salah satu rukun nikah,  dalam sabdanya Rosulullah Saw mengatakan “Tidak ada Nikah tanpa wali” artinya perkawinan tidak sah apabila tidak disetujui oleh walinya(Wali Akrob atau wali Ab’ad).
Apabila wali nikahnya tidak setuju, dapat dipastikan akan terjadi sengketa dalam pelaksanaan pencatatan perkawinan, dan pihak pencatat atau Pegawai Pencatat Nikah (PPN) akan menolak melakukan pencatatan, maka ada dua pilihan untuk menyelesaikan sengketa tersebut, pilihan yang pertama yaitu  melalui madiasi atau tabayun kepada Wali nikah, agar wali nikah setuju dan mau menjadi wali nikah  atau jalan kedua apabila jalan pertama menemui kebuntuan, yakni mengajukan  sengketa antara calon pengantin dan walinya,  kepada Pengadilan Agama (PA) untuk mendapat putusan bahwa walinya adhol atau enggan atau membangkang.Maka Pengadilan Agama akan memutuskan bahwa perkawinan dapat dilaksanakan dengan wali Hakim, yaitu Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sekaligus Kepala KUA Kecamatan setempat, sesuai Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim.
Adapun ketentuan wali nikah dalam Kompilasi Hukum Islam, diatur pada pasal-pasal, sebagai berikut :
Pasal 19 :
Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya
Pasal 20 :
(1)  Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh
(2)  Wali nikah terdiri dari :
a.    Wali nasab;
b.    Wali hakim.
Pasal 21 :
  1. Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.
Pasal 23 :
(1)   Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.
(2)   Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.
Penyelesaian Sengketa Pernikahan, adalah usaha-usaha dari PPN untuk mencari jalan keluar agar pihak-pihak yang bersengketa dapat mengambil jalan islah (perdamaian) agar permasalahan pernikahan dapat dilaksanakan tanpa merugikan kedua belah pihak. Pencatatan pernikahan adalah hal ihwal pencatatan yang meliputi pemeriksaan , pelaksanaan dan pengawasan terhadap pernikahan yang dilaksanakan di Kantor Urusan Agama (KUA) sesuai dengan Undang-undang Nomor  1 tahun 1974 dan kompilasi Hukum Islam serta hukum munakahat.







D.   Metode Penelitian
1.    Metode Pendekatan
Pembahasan atas permasalahan pokok dalam penelitian ini menggunakan Pendekatan “Yuridis Normatif”.
2.     Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian, yaitu diskriptif analitis untuk menggambarkan dan memahami bahasan-bahasan  yang berkaitan dengan peranan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dalam Penyelesaian Sengketa Pernikahan Wali adlal .
Obyek penelitian yaitu KUA. Kecamatan Muntilan
3.    Jenis  Data                                                              
Penelitian ini disesuaikan dengan pendekatan yang digunakan , yaitu lebih dititik beratkan pada penelitian hukum yang normatif dengan melakukan penelitian kepustakaan.

4.    Metode Pengumpulan data
Data merupakan faktor yang sangat mendasar dalam penelitian .Data sangat diperlukan dalam penelitian untuk membuktikan kebenaran suatu peristiwa atau pengetahuan. Untuk mendapatkan data yang obyektif diperlukan suatu teknik pengumpulan data yang digunakan sebagai alat pengumpul atau pengambilan data.
           
E.   Sistimatika Penulisan .
Tesis ini berisi empat Bab yang mempunyai hubungan erat dan disusun dengan sistimatika sebagai berikut :
Bab I , dalam Bab  ini, memuat secara umum isi dari tesis yang memuat Latar Belakang, , Tujuan/ Kegunaan Penelitian, Metode Penelitian , Kerangka Pemikiran dan Sistimatika Penulisan
Hal-hal tersebut dimasukkan dalam Bab ini agar setiap pembaca mengetahui secara umum terhadap penulisan yang dipaparkan dalam tesis ini
Bab. II tentang Tinjauan Pustaka, dalam Bab ini diuraikan secara teoritis tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah Perkawinan Menurut Hukum Islam , Pengertian Nikah, Tujuan dan Fungsi Nikah, Rukun Nikah, Wali Nikah,Larangan Nikah dan Pengertian Wali Adlal serta Peraturan-peraturan  Perkawinan di Indonesia, dimasukkannya hal-hal tersebut dalam Bab     II, ialah untuk mendukung Bab  III.        
Bab III,Hasil Penelitian dan Analasis, di dalam Bab ini berisi  hasil-hasil penelitian dan analilisis yang diperoleh terhadap :
Gambaran kasus-kasus pernikahan wali adlal   di KUA Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang,Realisasi penyelesaian sengketa pernikahan karena wali adlal  dan Peranan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dalam penyelesaian sengketa pernikahan wali adlal di KUA Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang.
 Dimasukkannya hasil penelitian dan pembahasan dalam BAB ini , supaya dapat menerapkan apa yang terkandung dalam Bab-bab sebelumnya ,  terutama Bab II.
Bab IV , Penutup ,Bab ini berisi tentang Kesimpulan dan Saran-saran dari uraian diatas atau dari hasil-hasil penelitian yang mungkin sangat diperlukan dalam meningkatkan peran Pegawai Pencatat Nikah dalam menyelesaikan sengketa pernikahan wali adlal, dikaitkan dengan pelaksanaan Undang – undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, dimasa mendatang.
 Daftar Kepustakaan
 Lampiran – lampiran.






BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 
A.   Perkawinan Menurut Hukum Islam
Perkawinan dalam bahasa Arab ialah nikah. Menurut syara’, hakekat nikah itu adalah aqod antara calon laki isteri untuk membolehkan keduanya bergaul sebagai suami isteri.
Firman Allah artinya : ”Nikahilah mereka itu dengan izin keluarganya”. Yakni hendaklah aqadkan nikah mereka itu dengan izin keluarganya.
Dalam pada itu ada juga arti nikah bersetubuh sebagai arti kata kiasan (majaz) seperti sabda Nabi Muhammad S.A.W : Artinya : Dikutuki Allah orang yang bernikah (bersetubuh) dengan tangannya (onani). Dengan keterangan itu nyatalah, bahwa arti nikah ada dua : berkawin dan bersetubuh.
            Tujuan perkawinan adalah berdasarkan atas :
a.    Firman Allah :   
         Artinya : Hendaklah kamu nikahi yang baik bagimu diantara wanita.
b.    Sabda Nabi Muhammad S.A.W.
Artinya : Hai sekalian pemuda, siapa yang sanggup bersetubuh (karena ada   belanja nikah), hendaklah berkawin.
      Maka nyatalah bahwa Islam dan Rosul-Nya menganjurkan perkawinan, sebab itu orang Islam melakukan perkawinan karena mengikuti perintah Allah.
c.    Firman Allah :
Artinya : Dan diantara keterangan-Nya, bahwa Ia (Allah) menjadikan isteri bagimu dari bangsamu, supaya boleh kamu tinggal dengan damai bersama dia serta menjadikan berkasih-sayang dan cinta mencintai diantara kamu. Sungguh yang demikian menjadi ayat bagi kaum yang berfikir.
Menurut keterangan ayat ini nyatalah tujuan perkawinan, supaya kedua suami isteri tinggal di rumah dengan damai serta cinta mencintai antara satu dengan yang lain.
Perkawinan yang tidak dapat mendirikan rumah tangga dengan damai dan berkasih-sayang serta cinta mencintai antara kedua suami isteri, maka telah terjatuh dari tujuan perkawinan yang sebenarnya.
Rosululloh S.A.W dalam Hadits Syarifnya telah memberikan alasan-alasan yang mendorong seseorang untuk kawin sabda Beliau :
”Wanita itu dikawin karena empat hal : karena hartanya, keturunannya, kecantikan dan karena agamanya. Rebut dan pilihlah wanita yang beragama, karena jika tidak, kedua tanganmu akan lengket di tanah.”
Nabi menyebutkan harta, keturunan dan kecantikan sebagai salah satu daya tarik wanita. Namun beliau menganjurkan agar memilih wanita yang beragama, karena orang yang berhasil mendapatkan dan menikahi wanita yang Sholihah akan menikmati ketenangan jiwa dan kebahagiaan hidup dan kelapangan dalam mendidik generasi penerus yang bermutu. Beliau memperingatkan dengan keras dengan orang yang mengabaikan soal agama, dan hanya  memperhatikan soal harta, kecantikan dan lain-lain.
Sabda beliau ”Taribat yadaka, kedua tanganmu akan lengket dengan tanah artinya akan menderita kerugian di dunia dan akherat”.
Dalam hal ini Al-Qadhi Nashiruddin Al-Baidhawi berkata :
”Bagi orang yang berbudi luhur dan beragama akan mengutamakan dan mendahulukan agama diatas segala-galanya. Begitu pula dalam hal memilih seorang wanita untuk mendampingi hidupnya, yang dapat membantu dia dalam berlomba-lomba mendapat ridho-Nya. Atau malah dapat menjerumuskan kearah maksiat dan dosa. Dia akan memilih wanita yang mempunyai pendidikan yang baik, dari keturunan yang baik, dan yang subur. Karena faktor-faktor itulah yang dapat menyelamatkan kehidupan di dunia akherat. ”[13]
Setelah kita ketahui tentang manfaat dan anjuran untuk melakukan perkawinan akan lebih baik apabila kita telaah tentang hukum-hukum perkawinan itu sendiri, adapun hukum perkawinan menurut agama Islam antara lain :
a.    Perkawinan itu hukumnya sunnat menurut pendapat kebanyakan ulama (jumhur).
b.    Menurut Daud (ahli zahir) hukumnya wajib bagi orang yang kuasa dan mampu.
c.    Setengah ulama berpendapat, bahwa perkawinan itu ada yang wajib, ada yang sunnat dan ada yang haram. 
Perkawinan itu wajib bagi orang yang takut akan jatuh dirinya kelembah perzinaan serta sanggup berkawin.
Perkawinan itu haram bagi seseorang yang tidak mau menunaikan kewajibannya terhadap isterinya, baik nafkah lahir maupun batin.
Mengenai hukum perkawinan, banyak dikemukakan oleh para ahli hukum Islam, definisi-definisi tersebut antara lain sebagai berikut :
1.        Jumhur (termasuk Syafi’i) berpendapat bahwa hukum perkawinan itu sunnat. Dalilnya ialah bahwa amar (anjuran) dalam ayat : fankihu dan dalam hadits : falyatazauwaj yang tersebut adalah anjuran sunnat bukan wajib. Karena amar itu dinamai amar irsyad, yaitu anjuran untuk kemaslahatan dunia.
Imam Syafi’i mengemukakan beberapa keterangan untuk dalil, bahwa amar itu irsyad :
Artinya : ”Hendaklah dikawini perempuan-perempuan yang menjanda diantaramu dan orang-orang yang shalih diantara sahaya-sahayamu (laki-laki, perempuan). Jika mereka miskin, Allah akan mengayakan mereka dengan karunia-Nya. Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi mengetahui.”(Q.S. An-Nur : 32)
Allah menganjurkan kepada umat manusia supaya mengawini perempuan janda dan sekali-kali jangan takut berkawin sebab kurang kekayaan, karena jika mereka itu miskin Insya Allah Tuhan akan mengayakan.
Maka anjuran perkawinan itu adalah anjuran irsyat (Sunnat), karena kadang-kadang perkawinan itu menjadi sebab mendapat kekayaan. Bandingannya hadits Nabi S.A.W
Artinya : Berjalanlah kamu supaya kami sehat dan mendapat rezeki. Maka anjuran berjalan itu adalah amar irsyat, bukan amar wajib.
Allah menyebutkan dalam Al-Qur’an wanita-wanita tua yang tidak mengharap perkawinan lagi, maka tiada Allah melarang mereka itu berbuat demikian dan tidak pula menganjurkan perkawinan kepada mereka itu, sebagai bukti, bahwa amar itu amar irsyat.[14]  
2.         Dalil  Daud (Ahli Zahir)[15]
Adapun dalil pendapat Daud yang mengatakan bahwa perkawinan itu adalah wajib bagi orang-orang yang berkuasa dan mampu, ialah bahwa mar pada ayat dan hadits tersebut adalah amar (suruhan) wajib diikuti dan ditaati dan tidak boleh ditakwilkan (diputar-putar) kepada yang lain, seperti amar sunnat, amar ibahah (boleh), amar irsyad dan sebagainya.
Tetapi jumhur berpendapat, bahwa kita manusia yang diberi Allah akal dan pikiran, bukan saja berpegang kepada yang tersurat, melainkan harus memikirkan pula yang tersirat.
3.        Dalil pendapat setengah ulama :
Adapun dalil pendapat setengah ulama, bahwa perkawinan itu ada yang wajib, ada yang sunnat dan ada yang haram, maka semata-mata memikirkan kemaslahatan seseorang yang bersangkutan. Inilah dalil yang dinamakan : marshalih-mursalah, artinya kemaslahatan mutlak, yakni sesuatu itu dihukumkan wajib, sunnat, atau haram, karena mengingat kemaslahatannya saja.
         Yang mengakui dalil ini ialah Imam Maliki.[16]
Setelah meninjau dalil-dalil tersebut itu dapatlah kita mengambil kesimpulan, bahwa pendapat jumhur (termasuk Syafi’i) adalah lebih kuat dan lebih mu-tamad, yakni hukum perkawinan itu menurut asalnya dan pada umumnya adalah sunnat.
Dalam pada itu, boleh jadi hukumnya wajib bagi sebagian orang atau haram bagi sebagian yang lain, mengingat keadaan perseorangannya.[17]






B.   Pengertian Nikah
Dalam Hadits Tirmiddy dari Abu Hurairah, pernah Rosululloh S.A.W bersabda :
Artinya : ”Tiga golongan yang berhak ditolong oleh Allah : Pejuang dijalan Allah, Mukotib (budak yang membeli dirinya dari tuannya) yang mau melunasi pembayarannya dan orang yang menikah karena mau menjauhkan diri dari yang haram”.
Pernikahan atau perkawinan dalam pandangan Islam bukan hanya merupakan bentuk formalisasi hubungan suami-isteri atau pemenuhan kebutuhan fitrah insani semata, tetapi jauh lebih dari itu merupakan amal ibadah yang disyari’atkan.Nikah didefinisikan : ”Suatu aqod yang menghalakan hubungan seksual antara suami dan isteri , dan yang menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya.[18]
Pernikahan merupakan ’aqd al Tamlik ,dapat juga diartikan ’aqd al ibahah, pernikahan diartikan sebagai membolehkan melakukan hubungan seksual antara suami dan isteri tanpa ada kepemilikan secara penuh.[19]
Dikatakan sebagai  ibadah karena secara jelas Allah dan rasul-Nya[20] mensyari’atkan nikah sebagai perintah yang harus dilaksanakan seperti termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah :
-          Surat Al Maidah  ayat (3) memerintahkan : ”Maka kawinilah olehmu perempuan-perempuan yang baik bagimu, dua, tiga, atau empat.” 
-          Surat Al Maidah ayat (1) ”Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabbmu yang telah menciptakanmu dan menjadikan isteri dari padanya, dan dari pada keduanya berkembang biak laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah yang kamu saling meminta dengan nama-Nya dan takutlah akan memutuskan silaturahmi”.
Lebih tegas lagi diperintahkan oleh Rosululloh S.A.W kepada kaum muda yang sudah memiliki kesiapan, hendaknya segera menikah tanpa harus banyak berpikir dan menunggu-nunggu, karena nikah itu perbuatan yang mulia dan disukai oleh Al-Khaliq. Bahkan beliau mengingatkan amal yang terpuji ini merupakan sebagian dari kesempurnaan pelaksanaan agama. Jadi barang siapa yang belum menunaikan nikah berarti ia belum mampu melaksanakan agama secara sempurna.
Sabda Rosul :
”Wahai para pemuda, barang siapa diantara kamu telah menikah, hendakah ia nikah. Sesungguhnya dengan demikian akan lebih bisa  menundukkan pandangan mata dan lebih leluasa menjaga kemaluannya, barang siapa yang tidak sanggup, maka sebaiknya
berpuasa saja sesungguhnya itu akan menciptakan keseimbangan”
(Hadits riwayat Muslim)
”Manakala seseorang telah beristeri, telah menyempurnakan separuh Dien,maka takutlah kepada Allah untuk menyempurnakan separuh yang lain.” (Hadits Riwayat. Baihaqi)
Memang pernikahan adalah merupakan kebutuhan fitrah setiap insan yang tidak boleh dihindari. Seiring dengan berkembangnya kebutuhan biologis manusia, maka tumbuh pula dorongan seksualnya, jika dorongan-dorongan seksualnya tidak disalurkan maka akan terjadi kegelisahan sosial, akan terjadi malapetaka kemanusiaan yang merusak.
            Maka Islam sebagai aturan hidup yang sesuai dengan fitrah manusia memberikan jalan keluar penanggulangan kebutuhan seksual, disamping aspek-aspek hidupan lainnya. Islam tidak setuju dengan sikap membujang. Karena ini melanggar fitrah kemanusiaan. Rosululloh marah besar ketika mendengar salah seorang sahabat berniat hendak membujang terus.
Beliau bersabda :
”Sesungguhnya aku ini menikahi wanita, barang siapa yang tidak mengikuti sunnahku maka ia bukan termasuk golonganku”
Nabi ,pernah menegur Abdullah yang meninggalkan hak isteri melakukan hubungan seksual, karena Abdullah terlalu sibuk beribadah.[21]
Inilah bukti keselarasan antara ajaran Islam dengan tuntutan biologi atau fitrah kemanusiaan. Islam hadir untuk memberi jawaban terhadap seluruh persoalan insani. Tidak ada satu persoalanpun yang tidak diatur dalam Islam.
Sedangkan Ta’rif perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong-menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan muhrim.
Nikah ialah sunah yang dikehendaki Allah untuk dikerjakan hamba-hamba-Nya guna menjalankan bahtera kehidupan.[22]
Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang terutama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Bukan saja perkawinan itu satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan berumah-tangga dan turunan, tetapi perkawinan itu dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara satu kaum dengan yang lain, serta perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya.
Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami isteri dan keturunan, bahkan antara dua keluarga. Dari sebab baiknya pergaulan antara isteri dengan suaminya, kasih mengasihi akan berpindahlah kebaikan itu kepada semua keluarga dari kedua belah pihaknya, sehingga mereka menjadi satu dalam segala urusan bertolong-menolong sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan menjaga segala kejahatan. Selain itu, dengan perkawinan seseorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya. Islam agama yang menggalakkan dan memberi motivasi kepada setiap orang untuk berumah tangga. [23]Dalam agama Islam justru yang tercela adalah orang yang tidak mau berumah tangga. Jadi kalau sudah waktunya kita berumah tangga masih menunda dengan berbagai alasan, lalu mati maka keadaan kita adalah sejelek-jeleknya orang mukmin yang mati.Itulah sebabnya Imam Malik berpesan ”Sekiranya saya akan mati beberapa saat lagi, sedangkan isteri saya sudah meninggal dunia maka saya akan segera kawin lagi”. Karena apa? Karena takut bertemu dengan Allah dalam keadaan membujang. Jadi kita tidak perlu menunda perkawinan lagi setelah isteri kita meninggal dunia. Tetapi kalau isteri yang ditinggal mati suaminya, dia harus menunggu empat bulan sepuluh hari untuk Iddah, kalau dia tidak hamil. Jika ia hamil, dia harus menunggu sampai anaknya lahir.
            Demikianlah rasa takut para salaf (ulama-ulama dahulu) kepada Allah, kalau mereka mati dalam keadaan membujang.
Sebaliknya orang-orang jahiliyah berbangga membujang sampai umur tua. Mereka punya anggapan, akan menjadi rebutan wanita kalau bertahan sebagai bujangan. Sikap seperti ini termasuk sikap kekufuran. Karena telah mengingkari perintah Allah untuk meramaikan atau memakmurkan bumi sekalian mengurusnnya dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu bagaimana mau memakmurkan bila penghuninya tidak mau berketurunan, yang akibatnya manusia akan punah dalam satu generasi.[24]
Tidak dipungkiri bahwa seseorang itu secara naluriah ingin menyalurkan syahwatnya. Seandainya membujang maka dicarilah usaha-usaha untuk menyalurkan syahwatnya itu. Maka jalan keluarnya tiada lain adalah cara-cara yang tidak dibenarkan oleh syari’at Islam.[25]
             Sebagai akibatnya adalah merajalela prostitusi, banyak gadis yang hamil diluar nikah, kasus perkosaan, eksploitasi wanita dan sebagainya. Kalau sudah demikian,maka yang menjadi korban  paling besar adalah kaum wanita. Mereka diperlakukan tidak lebih sebagai barang mainan.  Kalau kondisinya sudah demikian berati kerusakan dunia sebagaimana dinubuatkan oleh Rosululloh,SAW sudah terbukti.
Seseorang yang menyalahi fitrah menikah akan menemui akibat-akibatnya, diantaranya ketidakseimbangan fisik dan psikis. Misalnya menurut fitrahnya manusia itu makan, maka kalau tidak mau makan, berarti membiarkan dirinya dalam kebinasaan. Demikian juga halnya perkawinan, yang merupakan fitrah manusia untuk melakukannya. Karena itu akan terganggu keseimbangan psikis bagi orang-orang yang hidupnya membujang diantaranya :
a.    Keseimbangan untuk melangkah kepada sesuatu yang seharusnya dikerjakan.
b.    Akan lebih senang mengutamakan diri sendiri atau egoisme.
c.    Menghindari tanggung jawab yang berat.
Adapun pengertian nikah atau perkawinan menurut beberapa sarjana Islam telah merumuskan antara lain :
 Mahmud Yunus :
”Perkawinan ialah aqad antara calon laki-isteri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syari’at”[26]
Sayuti Thalib:
”Pengertian perkawinan itu ialah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan”[27]
M. Idris Ramulyo, :
”Perkawinan menurut Islam ialah suatu perjanjian suci yang kuat yang kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, aman tenteram bahagia dan kekal”[28]
            Bermacam-macam pendapat yang dikemukakan orang mengenai pengertian perkawinan itu tidaklah memperlihatkan adanya pertentangan yang sungguh-sungguh antar satu pendapat dengan pendapat yang lain tetapi lebih memperlihatkan keinginan pihak perumus dalam memasukkan unsur-unsur perkawinan itu kedalam rumusannya.[29]
            Para ulama Mazhab sepakat bahwa pernikahan baru dianggap sah jika dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab dan qabul antara wanita yang dilamar dengan lelaki yang melamarnya, atau antara pihak yang menggantikannya seperti wakil dan wali, dan dianggap tidak sah hanya semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa adanya akad.[30]




C.   Tujuan dan Fungsi Nikah
Agama Islam mensyari’atkan perkawinan dengan tujuan-tujuan tertentu antara lain ialah :
1.    Untuk melanjutkan keturunan.
2.    Untuk menjaga diri dari perbuatan-perbuatan maksiat.
3.    Menimbulkan rasa cinta kasih sayang.
4.    Untuk menghormati sunnah Rosul.
5.    Untuk membersihkan keturunan.[31]
Keturunan adalah penting dalam rangka pembentukan umat Islam yaitu umat yang menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan maksiat yang dilarang oleh agama, dan mengamalkan syari’at Islam dengan memupuk rasa kasih sayang didalam semua anggota keluarga  dalam lingkup lebih luas juga akan dapat menimbulkan kedamaian didalam masyarakat yang didasarkan pada rasa cinta kasih terhadap sesama. Dengan melakukan perkawinan juga berarti bahwa seorang muslim telah mengikuti dan menghormati sunnah Rosulnya, dan melalui perkawinan akan dapat membuat terang keturunan, siapa anak siapa dan keturunan siapa, sehingga tidak akan ada orang-orang yang tidak jelas asal-usulnya.[32]
Al-Ghazali juga mengatakan ada lima faedah (keuntungan) perkawinan : Memperoleh anak,mematahkan (menyalurkan) syahwat, menghibur diri, menambah anggota keluarga dan berjuang melawan kecenderungan nafsu (dengan menangani dan mengatasi bermacam keadaan yang timbul karena semua itu).[33]
Perkawinan adalah merupakan kebutuhan fitri setiap manusia yang memberi banyak hasil yang penting antara lain :
1.    Pembentukkan sebuah keluarga yang didalamnya seseorang dapat menemukan kedamaian pikiran. Orang yang tidak kawin bagaikan seekor burung tanpa sarang. Perkawinan merupakan perlindungan bagi seseorang yang merasa seolah-olah hilang dibelantara kehidupan, orang dapat melakukan pasangan hidup yang akan berbagi dalam kesenangan dan penderitaan.
2.    Gairah seksual merupakan keinginan yang kuat dan juga penting. Setiap orang harus mempunyai pasangan untuk memenuhi kebutuhan seksualnya dalam lingkungan yang aman dan tenang. Orang harus menikmati kepuasan seksual dengan cara yang benar dan wajar.  Orang-orang yang tidak mau kawin seringkali menderita ketidak teraturan, baik secara fisik maupun psikologis. Ketidak teraturan semacam itu dan juga persoalan-persoalan tertentu merupakan akibat langsung dari penolakan kaum muda terhadap perkawinan.
3.    Reproduksi atau sebagai wadah untuk melangsungkan keturunan. Melalui perkawinan, perkembangbiakan manusia berlanjut. Anak-anak adalah hasil perkawinan dan merupakan faktor penting dalam memantapkan fondasi keluarga dan juga merupakan sumber kebahagiaan sejati bagi orang tua mereka.[34]
            Dengan perkawinan juga, bahwa suami isteri telah berkumpul pada ikatan yang dalam yang penuh kasih sayang, penuh tolong menolong untuk merawat anak-anak.[35]
Sesungguhnya hubungan kasih sayang antara pria dan wanita merupakan kebutuhan biologis yang perlu direalisir, dan nikah merupakan aturan yang mesti dipatuhi untuk melaksanakannya. Namun demikian pernikahan dalam Islam bukan sekedar memenuhi kebutuhan biologis atau formalisasi hubungan keduanya yang sah, tetapi ia mempunyai tujuan yang mulia, yaitu dalam rangka menjalankan perintah Allah dan RosulNya serta melestarikan kekhalifahan manusia dimuka bumi dengan menurunkan keturunan-keturunan yang sah dalam masyarakat, dalam suatu rumah tangga yang damai dan teratur.
            Bahkan Rosulullah sendiri amat mencintai umatnya yang berketurunan banyak, apalagi anak-anak yang lahir dari hubungan suami isteri yang sah yang akan menambah populasi kaum mu’minin.
Sabda Rosulullah :
”Nikahlah, perbanyaklah keturunan. Sebab dihari Qiamat kelak aku akan membanggakan kalian dimuka umat-umat yang lain” (Hadits Syarif).
Pernikahan juga akan mengantarkan manusia kepada ketentraman, suasana sejuk yang membebaskan diri dari kegelisahan dan rasa gundah gulana, apabila perkawinan itu  sendiri berdiri atas landasan Syar’i.
Sungguh amat jelas bahwa perkawinan yang terjadi pada mahluk hidup , baik tetumbuhan, binatang, maupun manusia , adalah untuk keberlangsungan dan pengembangbiakan mahluk yang bersangkutan.[36]
Tapi sebaliknya, rumah tangga akan menjadi sebuah neraka kecil apabila tegak diluar landasan Islam.
Jika demikian tujuan pernikahan yang sebenarnya, maka dapat dipastikan suatu perkawinan  yang tidak dapat mendirikan keluarga sakinah, berarti jauh dari apa yang dianjurkan oleh Islam itu sendiri.
Di zaman yang sedang dilanda krisis moral seperti sekarang ini, banyak kalangan muda yang tidak mempunyai keberanian untuk menikah . Mereka takut mendayung bahtera rumah tangga dengan segala beban resikonya. Ditambah lagi orang tua mereka kebanyakan tidak mau membantu anak-anaknya pada langkah awal memasuki jenjang berkeluarga.
Sesungguhnya terjadi kenyataan yang tidak sinkron. Disatu pihak kita menekankan para pemuda pemudi agar menunda perkawinan. Alasannya kurang dewasa belum bisa mengurus keluarga atau belum cukup umur. Sementara dipihak lain membiarkan mereka dipermainkan oleh rangsangan-rangsangan yang begitu besar lewat realita kultur budaya yang ma’siati, melalui koran, majalah, film, dan sarana-sarana yang lebih destruktif. Mampukah mereka menahan keinginannya yang menggebu, atau dibiarkan saja mereka melakukan perzinahan atau perbuatan yang sejenis.Zina ada enam macam : Zina mata, zina lisan,zina bibir, zina tangan, zina kaki dan zina hati .[37]
Sangat disesalkan bilamana mereka tidak berani menikah yang sesungguhnya itu merupakan ibadah, hanya karena takut menanggung resiko ekonomi lalu melampiaskannya dengan cara yang justru memakan biaya lebih besar disamping dosa. Allah yang maha pemurah menjanjikan bagi orang yang mau menikah dalam firmannya.
” Hendaklah kamu mengawinkan orang-orang yang sendirian (belum menikah) diantaramu dan orang-orang yang shalih diantara hambamu yang laki-laki dan yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kekayaan kepada mereka dengan karuniaNya  Allah maha luas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui ( QS An Nur 32).
Adapun fungsi atau faedah nikah atau perkawinan disebutkan oleh  Mahmud Yunus : 
Allah menjadikan mahlukNya berpasang-pasang, menjadikan manusia laki-laki perempuan, menjadikan hewan jantan dan betina begitu pula tumbuh-tumbuhan dan lain-lain sebagainya.
Hikmahnya ialah supaya manusia hidup berpasang-pasang hidup dua sejoli,  hidup laki isteri, membangunkan rumah tangga yang damai dan teratur. Untuk itu haruslah diadakan ikatan dan pertalian yang kokoh yang tak mudah putus dan diputuskan, ialah akad nikah atau ijab, kabul perkawinan. Bila akad nikah telah dilangsungkan, maka mereka telah berjanji dan bersetia, akan membangun rumah tangga yang damai dan teratur, akan sehidup semati, sesakit sesenang mereka menjadi satu keluarga.
Dalam pada itu mereka melahirkan keturunan yang sah dalam masyarakat. Kemudian keturunan itu akan membangun pula rumah tangga yang baru dan keluarga yang baru dan begitulah seterusnya.
Dari beberapa keluarga dan rumah tangga itu berdirilah, kampung, dan dari beberapa kampung berdirilah desa dan dari beberapa desa lahirlah negeri.
Inilah hikmahnya Allah menjadikan Adam sebagai khalifah dimuka bumi, sehingga anak-anaknya berkembang biak meramaikan dan memakmurkan bumi yang luas ini. Dalam pada itu Allah menjadikan apa-apa yang dibumi ini kebaikan dan kemaslahatan anak Adam itu.
Agama Islam menetapkan bahwa untuk membangun rumah tangga yang damai dan teratur itu, haruslah dengan perkawinan dan akad nikah yang sah, serta diketahui sekurang-kurangnya dua orang saksi, bahkan dianjurkan supaya diumumkan kepada tetangga dan karib kerabat dengan mengadakan pesta perkawinan (walimahan).
Dengan demikian terpeliharalah keturunan tiap-tiap keluarga dan mengenal tiap-tiap anak kepada bapaknya, terjauh dari bercampur aduk antara satu keluarga dengan yang lain atau anak-anak yang tak kenal ayahnya.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   
Lain dari pada itu kehidupan suami - isteri dengan keturunannya turun temurun berhubungan rapat dan bersangkut paut bahkan bertali temali, laksana rantai yang sama kuat dan tak ada putusnya.
Alangkah malangnya nasib seorang wanita yang menyia-nyiakan kecantikannya waktu masih muda dengan berfoya-foya  dan pergaualan bebas tanpa batas. Kemudian setelah habis manis sepah dibuang, maka wanita itu tinggal seorang diri, tak ada suami yang memeliharanya dan anak yang menyayanginya, bahkan tak ada keluarga yang membujuknya, seolah-olah ia tinggal dalam neraka dunia, sesudah mengecap surga dunia beberapa waktu.
Berlainan dengan nasib seorang wanita yang bersuami waktu mudanya. Setelah tiba waktu tua, disampingnya ada suami yang memeliharanya, dan anak yang mencintainya, seolah-olah ia hidup dalam surga dunia sejak dari kecil sampai waktu tuanya.
Inilah hikmah berkawin dan itulah faedah mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur. Lain dari pada itu faedah berkawin ialah memeliharakan diri seorang, supaya jangan jatuh kelembah kejahatan (perzinahan),dua macam dosa besar  terdapat pada faraj , yaitu berzina , dan liwath (homosexs atau lesbian).[38]Karena bila ada istri disampingnya tentu akan terhindarlah dari pada melakukan pekerjaan yang keji itu. Begitu juga wanita yang ada disampingnya suami, tentu akan terjauh dari ma’siat tersebut.[39]





D.   Rukun Nikah
Sahnya suatu perbuatan hukum menurut hukum agama Islam harus memenuhi dua unsur, yaitu rukun dan syarat. Rukun ialah unsur pokok (tiang) sedangkan syarat merupakan unsur pelengkap dalam setiap perbuatan hukum. Perkawinan sebagai perbuatan hukum tentunya juga harus memenuhi rukun dan syarat-syarat tertentu.
Agama Islam menentukan sahnya akad nikah kepada tiga macam syarat, yaitu :
(1).     Dipenuhi semua rukun nikah
(2).     Dipenuhi syarat-syarat nikah
(3).     Tidak melanggar larangan perkawinan sebagai ditentukan oleh syari’at.
a.    Rukun nikah
Rukun  nikah merupakan hal-hal yang harus dipenuhi pada waktu melangsungkan perkawinan. Jadi dapat digolongkan kedalam syarat formil, dan terdiri atas :
(1). Adanya calon mempelai laki-laki dan wanita
(2). Harus ada wali bagi calon mempelai perempuan
(3). Harus disaksikan oleh dua orang saksi
(4). Akad nikah, yaitu ijab dari wali mempelai perempuan atau wakilnya dan kabul dari mempelai laki-laki atau wakilnya.
Rukun nikah merupakan bagian dari hakekat perkawinan artinya bila salah satu dari rukun nikah tidak dipenuhi, maka tidak akan terjadi suatu perkawinan.
Bila tidak ada calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan tidak ada suatu perkawinan. Calon mempelai masing-masing harus bebas dalam menyatakan persetujuannya, hal itu menuntut konsekuensi bahwa kedua calon mempelai haruslah sudah mampu untuk memberikan persetujuan untuk mengikatkan diri dalam suatu perkawinan, dan ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah mampu berpikir mandiri, dewasa dan bebas dari tekanan pihak lain diluar dirinya, yang menurut istilah hukum Islam berarti sudah Aqil baligh (baligh berakal), dalam arti sudah mampu melakukan perkawinan (Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, menentukan usia 16 tahun untuk wanita 19 tahun untuk pria). Dengan dasar ini sebenarnya Islam menganut asas kedewasaan jasmani dan rohani untuk dapat melangsungkan pernikahan. Perkawinan anak-anak hanyalah dimungkinkan dalam hal-hal atau keadaan tertentu saja.
Wali menurut ajaran Syafi’i dan Maliki merupakan soal penting. Menurut ajarannya, tidak ada nikah tanpa wali. Hanafi dan Hambali lain lagi pandangannya : walaupun nikah itu tidak pakai wali, nikahnya tetap sah. Paham ini dianut oleh sarjana Indonesia yaitu , Hazairin, dan Sayuti Thalib.
Sayuti Thalib ,me ittiba’ dan mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah dan Hazairin, dengan mengatakan bahwa memang dari segi hukum, wali bagi perempuan yang sudah dewasa tidak menjadi syarat sahnya pengikatan diri dalam perkawinan, tetapi ada baiknya wanita itu memakai wali dalam melakukan ijab kabul.
Akan tetapi , ada hal lain yang sudah pasti dan tidak diperselisihkan lagi, yaitu apabila si ayah tidak mau memberikan persetujuannya tanpa suatu sebab yang beralasan maka hakya dicabut.[40]
Sebagian besar ulama mengatakan, bahwa saksi adalah rukun nikah. Menurut Syafi’i, Hanafi dan Hambali, aqad nikah yang tidak dihadiri dua orang saksi, tidak sah. Dasarnya adalah Hadits Nabi yang mengatakan ”Tidak ada/ tidak sah nikah, melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil”. Menurut Syafi’i dan Hambali, dua orang saksi itu harus muslim.Tidak sah bila saksi itu bukan muslim. Sedangkan Hanafi mengatakan, saksi itu boleh saja bukan muslim, yaitu bila perkawinan dilakukan antara seorang muslim dengan wanita yang bukan muslim (kitabiyah).
Jadi , orang yang menjadi saksi nikah disyaratkan harus orang yang adil, jujur, mulia, dan diridhai oleh kaum muslimin.[41]
Rukun nikah yang keempat yaitu ijab kobul, merupakan rukun nikah yang menentukan, karena dengan diucapkannya ijab (penegasan kehendak untuk mengikatkan diri dalam perkawinan) oleh wali mempelai perempuan atau wakilnya, dan kabul (penegasan penerimaan mengikatkan diri sebagai suami isteri) yang dilakukan mempelai laki-laki atau wakilnya, maka akad nikah secara yuridis mempunyai kekuatan mengikat bagi kedua mempelai, dalam arti bahwa perkawinan mereka sudah sah, jadi ijab kabul merupakan inti dari perkawinan menurut agama Islam.[42]
Syarat ijab dan kabul itu haruslah dari kata-kata yang tersebut dalam Al Qu’an, yaitu lafaz nikah dan tazwij atau terjemahannya seperti kawin dan nikah. Demikian Syafi’i dan Hambali.
Contoh ijab dari wali perempuan :
1.    Menikahkan aku akan engkau dengan anakku .......................................dengan emas kawin Rp............................................................
2.    Mengawinkan aku akan engkau dengan anakku .....................................dengan emas kawinnya Rp...........................................


Contoh kabul dari kata-kata calon suami :
1.    Aku terima nikahnya ..............................dengan emas kawin Rp........................
atau
2.    Aku terima kawinnya .............................. dengan emas kawin Rp......................
Kalimat Allah yang termaktub dalam Qur’an tentang perkawinan hanya dua saja yaitu : Nikah (nikah) dan Tazwij, lain tidak. Sebab itu haruslah ijab dan kabul itu dari salah satu dari dua lafaz itu. Maka tidak boleh ijab dan kabul itu dengan lafaz ibadah (halal) atau hibah (beri), seperti : aku halalkan (berikan) anakku.................kepada engkau dengan emas kawin Rp ............... Lain daripada itu ijab dan kabul harus dilakukan dalam satu majelis dengan tak ada perantaraan yang lama antara ijab dan kabul, serta didengar oleh kedua belah pihak dan oleh dua orang saksi.[43]
Sebab itu tidak sah perkawinan bila lama benar perantaraan antara ijab dan kabul atau di ucapkan dengan suara lunak, sehingga tidak dapat didengar oleh kedua pihak atau dua orang saksi.
Sehubungan dengan pelaksanaan ijab kabul, Sayuti Thalib  berpendapat, pengucapan ijab oleh mempelai wanita dan kabul oleh mempelai pria adalah terbalik. Seyogyanya pihak mempelai prialah yang mengucapkan ijab dan mempelai wanita mengucapkan kabul. Selanjutnya Sayuti mengatakan hal itu adalah sesuai dengan fitrah laki-laki perempuan yang dijadikan oleh  Tuhan. Dalam hal itu ia menunjuk kepada beberapa Hadits Rasul, mengenai pinangan yang dilakukan oleh laki-laki, ayat-ayat Al- Qur’an mengenai talak dan rujuk, dan ayat-ayat Al- Qur’an yang lainnya, yang mendukung kebenaran pendapatnya itu.[44]
b.    Syarat-syarat nikah
Syarat-syarat nikah menurut agama Islam diperinci kedalam syarat-syarat untuk mempelai laki-laki. Syarat-syarat nikah dapat digolongkan kedalam syarat meteriil dan harus dipenuhi agar dapat melangsungkan pernikahan.
Syarat-syarat bagi calon mempelai laki-laki :
(1).     Beragama Islam
(2).     Terang laki-lakinya (bukan banci)
(3).     Tidak beristri lebih dari empat
(4).     Tidak dipaksa (dengan kemauan sendiri)
(5).     Bukan mahramnya bakal istri
(6).     Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istrinya
(7).     Mengetahui calon istrinya tidak haram dinikahinya
(8).     Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah.
Syarat bagi calon mempelai wanita :
(1).     Beragama Islam
(2).     Terang perempuannya (bukan banci)
(3).     Telah memberi izin kepada wali untuk menikahkannya
(4).     Tidak bersuami, dan tidak dalam masa iddah bukan mahram
(5).     Bukan mahram bakal suami
(6).     Belum pernah dili’an (sumpah li’an) oleh bakal suami
(7).     Terang orangnya tidak sedang dalam ihram haji atau umrah.[45]
Syarat saksi :
(1).     Beragama Islam
(2).     Laki-laki
(3).     Baligh
(4).     Berakal
(5).     Adil
(6).     Mendengar (tidak tuli)
(7).     Melihat (tidak buta)
(8).     Bisa bercakap-cakap (tidak bisu)
(9).     Tidak pelupa (mughaffal)
(10).  Menjaga harga diri (menjaga muru’ah)
(11).  Mengerti maksud ijab kabul
(12).  Tidak merangkap menjadi wali

Syarat wali :
(1).     Beragama Islam
(2).     Baligh
(3).     Berakal
(4).     Tidak dipaksa
(5).     Terang lelakinya
(6).     Adil (bukan fasik)
(7).     Tidak sedang ihram haji atau umrah
(8).     Tidak dicabut haknya dalam menguasai harta bendanya oleh pemerintah
(9).     Tidak rusak pikirannya karena tua atau sebagainya.[46]
Tidak dipenuhinya syarat-syarat nikah tersebut diatas berakibat batal atau tidak sah (fasid) nikahnya.
Selain syarat-syarat tersebut masih ada satu syarat lagi yang harus diperhatikan oleh umat Islam dalam hal akan melangsungkan pernikahan, yaitu syarat tidak melanggar larangan pernikahan.




  1. Wali Nikah

Mengenai wali nikah , ia merupakan unsur yang penting bagi mempelai wanita yang akan bertindak untuk menikahkannya . Yang menjadi wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam , yakni muslim, akil, dan baligh. Wali nikah tersebut terdiri dari wali nasab dan wali hakim. Ditetapkannya wali nikah sebagai rukun perkawinan karena untuk melindungi kepentingan wanita itu sendiri, melindungi integritas moralnya serta memungkinkan terciptanya perkawinan yang berhasil . Institusi perwalian dalam perkawinan lebih bersifat kewajiban daripada hak. Paling tidak merupakan sintesis dari keduanya
Pernikahan harus dilangsungkan dengan wali. Apabila dilangsungkan tidak dengan wali atau walinya bukan yang berhak maka pernikahan tersebut tidak sah.
Adapun wali itu ada tiga macam, yaitu wali nasab, wali hakim dan wali muhakam.[47]
    1. Wali Nasab.
Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita , yang berhak menjadi wali menurut urutan sebagai berikut :
a.  Pria yang menurunkan calon mempelai wanita dari keturunan pria murni ( yang berarti dalam garis keturunan tidak ada penghubung yang wanita) Yaitu :
a). Ayah
b)Ayah dari ayah
c). Dan seterusnya keatas.
                        Catatan : Ayah dari ibu atau ayah dari ibu si ayah tidak berhak menjadi wali, karena dalam garis keturunan  itu terdapat penghubung  wanita yang berarti garis keturunan pria sudah tidak murni lagi dengan terdapat jenis wanita sebagai penghubung dalam keturunan tersebut.
b.  Pria keturunan ayah mempelai wanita dalam garis pria murni yaitu .
1). Saudara kandung
2). Saudara seayah
3). Anak dari saudara kandung
4). Anak dari saudara ayah
5). Dan seterusnya ke bawah
Catatan : Saudara se ibu, anak saudara wanita atau anak dari anak wanita saudara pria tidak berhak menjadi wali karena dalam garis keturunannya terdapat penghubung wanita (garis yang menghubungkannya melalui seorang wanita)
c.      Pria keturunan dari ayahnya ayah dalam garis pria murni yaitu :
1). Saudara kandung dari ayah
2). Saudara sebapak dari ayah
3). Anak saudara kandung dari ayah
4). Dan seterusnya kebawah
Catatan: Saudara seibu dari ayah , anak saudara wanita dari ayah atau dari anak wanita si ayah tidak berhak menjadi wali karena dalam garis keturunan itu terdapat penghubung wanita :
-                              Pria keturunan dari ayahnya si ayah
-                              Dan seterusnya.
Apabila wali tersebut diatas tidak beragama Islam sedangkan calon mempelai wanita beragama Islam atau wali-wali tersebut di atas belum baligh, atau tidak berakal atau rusak pikirannya atau bisu yang tidak bisa diajak bicara dengan isyarat dan tidak bisa menulis maka hak menjadi wali pindah kepada wali berikutnya,
Contoh : Seorang calon mempelai wanita yang sudah tidak mempunyai ayah kakek lagi, sedang saudara-saudaranya yang ada belum ada yang baligh dan juga tidak mempunyai wali yang terdiri dari keturunan ayah ( misalnya keponakan) maka yang berhak menjadi wali adalah saudara kandung dari ayah.[48]
Wali Hakim
            Yang dimaksud dengan wali hakim ialah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan,
            Sebagaimana diuraikan terdahulu, apabila seorang calon mempelai wanita :
1). Tidak mempunyai wali nasab sama sekali , atau
2). Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya, atau
3). Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali
      yang sederajat dengan dia tidak ada, atau
4). Wali berada ditempat yang jaraknya sejauh masafatul qosri        ( atau sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qosor) yaitu 92,5 km, atau
5). Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh di jumpai, atau
6). Wali adlal, artinya wali tidak bersedia atau menolak untuk menikahkan, atau
Penolakan wali dalam mengawinkan anak gadisnya dalam fikih disebut wali adlal[49]
7). Wali sedang melakukan ibadah haji/ umroh.
Maka yang berhak menjadi wali dalam pernikahan tersebut adalah wali hakim. Kecuali apabila wali nasabnya telah mewakilkan kepada orang lain untuk bertindak sebagai wali. Dalam hal demikian orang lain yang diwakilkan itulah yang  berhak menjadi wali.
Catatan: Dizaman modern dewasa ini, meskipun jarak masafatul qosri telah dipenuhi, untuk akad nikah wali perlu diberi tahukan terlebih dahulu.
            Sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1987, yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai wali hakim adalah Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan.[50]




  1.  Larangan Nikah
Adapun menurut syari’at Islam, pernikahan yang dilarang ada 10 (sepuluh), yaitu karena :
1.    Hubungan darah terdekat (nasab) .
2.    Hubungan persusuan (radha’) .
3.    Hubungan persemendaan  (mushaharah) .
4.    Talak bain kubra.
5.    Permaduan.
6.    Poligami.
7.    Li’an.
8.    Masih bersuami/ dalam iddah.
9.    Perbedaan agama.
10. Ihram haji/  umrah.
Ad. 1. Hubungan darah terdekat (nasab)
Seorang pria dilarang menikah dengan :
a.    Wanita yang menurunkan , yaitu :
Ibu dan nenek (baik melaui ayah maupun melalui ibu) .
b.    Keturunan wanita, yaitu :
Anak wanita dan cucu/ cicit (dari keturunan anak pria dan dari keturunan anak wanita ) .
c.    Wanita dari keturunan ayah dan wanita dari keturunan ibu, yaitu :
Saudara kandung, saudara seayah dan saudara seibu. Kemenakan, yaitu anak saudara kandung, anak saudara seayah dan anak saudara seibu.Cucu/cicit kemenakan , yaitu cucu/ cicit dari ketiga saudara tersebut diatas.
d.    Wanita saudara dari yang menurunkan, yaitu :
Saudara ayah (amah) sekandung, (khalal) seayah dan (ammah) seibu.
Saudara ibu (khalal) sekandung, (khalal) sekandung, (khalal) sekandung dan (khalal) seibu.
Dari uraian di atas tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang pria dilarang menikah dengan seorang wanita :
-  Dalam garis keturunan lurus ke atas dan lurus ke bawah dari keturunan ayah dan dari keturunan ibu tanpa batas.
-  Dalam garis keturunan menyamping lurus ke atas dan lurus ke bawah dari keturunan ayah dan dari keturunan ibu tanpa batas
-  Anak-anak dari kakek/ nenek, sedangkan cucu/ cicit sudah boleh dinikahi.
Ad. 2. hubungan susuan.
Seorang wanita yang menyusui seorang anak berumur dua tahun kebawah dengan sekurang-kurangnya lima kali susuan, anak tersebut dinamakan anak susuan. Sedangkan wanita yang menyusui dan suaminya disebut ibu dan ayah susuan.
Larangan nikah karena persusuan sama  dengan larangan nikah karena hubungan darah terdekat. Oleh karena itu seorang pria dilarang menikah dengan :
a.    Ibu susuan :
-      Yang menyusui ibu susuan.
-      Yang menyusui ayah susuan.
-      Yang menyusui ibu, ayah, kakek dan nenek.
-      Yang menurunkan ibu susuan.
-      Yang menurunkan ayah susuan.
b.    Anak susuan.
-      Anak susuan dari anak pria/ cucu pria
-      Anak susuan dari anak wanita/ cucu wanita
-      Keturunan anak susuan
-      Keturunan susuan dari anak susuan
c.    Saudara susuan :
-      Anak susuan dari ibu.
-      Anak susuan dari ayah, yaitu yang menyusu kepada istri ayah, karena air susu yang disusu itu milik ayah.
-      Anak susuan dari ibu susuan
-      Anak dari ibu susuan
-      Anak dari ayah susuan
d.    Kemenakan susuan/ cucu kemenakan susuan, yaitu :
-      Keturunan nasab dari kelima saudara susuan tersebut diatas.
-      Keturunan susuan dari kelima  saudara susuan tersebut  diatas.
-      Anak susuan dari saudara wanita
-      Anak susuan dari saudara pria
-      Keturunan nasab dari dari anak susuan saudara wanita dan saudara pria
-      Keturunan susuan dari anak susuan saudara pria.
e.    Bibi susuan, yaitu :
-      Saudara wanita (saudara nasab) dari ibu susuan.
-      Saudara wanita (saudara susuan) dari ayah susuan
-      Saudara wanitanya (baik nasab maupun susuan) dari pria yang menurunkan ayah susuan dan dari wanita yang menurunkan ibu sususan.
Ad. 3. Hubungan persemendaan.
Seorang pria di larang menikah dengan :
a.    Ibu/ nenek tiri, yaitu :
-      Bekas isteri ayah
-      Bekas isteri ayah sususan
-      Bekas isteri orang yang menurunkan ayah
-      Bekas isteri orang yang menurunkan ayah susuan

b.    Menantu/ cucu menantu, yaitu :
-      Bekas isteri anak
-      Bekas isteri anak sususan
-      Bekas isteri anak susuan
-      Bekas isteri keturunan anak
-      Bekas isteri keturunan anak susuan.
c.    Ibu/ nenek mertua, yaitu :
-      Ibu isteri
-      Ibu susuan isteri
-      Ibu yang menurunkan ibu isteri
-      Ibu yang menurunkan ibu susuan isteri.
d.    Anak/ cucu tiri, yaitu :
-      Anak dan cucu dari isteri
-      Anak susuan dan cucu susuan dari isteri.
Larangan menikah dengan anak tiri tidak berlaku apabila ia belum mengadakan hubungan langsung dengan ibu dari anak tiri tersebut. Jadi apabila seorang pria menikahi seorang wanita bernama A umpamanya, kemudin A ini meninggal dunia atau dicerai sebelum mengadakan hubungan kelamin, maka anak dari A ini adalah boleh di nikahi oleh laki-laki tersebut
Ad. 4. Li’an (sumpah).
Seorang suami yang menyumpah li’an terhadap isteri, maka seketika itu putuslah pernikahan antara suami isteri tersebut dan dilarang bagi suami untuk menikah kembali atau merujuk kepada bekas isteri itu untuk selama- lamanya.
Yang dimaksud dengan li’an ialah sumpah seseorang suami dihadapan hakim yang berwenang (Pengadilan Agama) untuk memperkuat tuduhanya bahwa isterinya telah melakukan  perzinahan.
Li’an, ialah pemakaian kutuk Tuhan oleh suami untuk dirinya apabila ia tidak benar dalam menuduh istrinya telah berbuat zina dan dalam mempertahankan diri dari tuduhan tersebut isteri juga memakai kutuk Tuhan untuk dirinya apabila tuduhan suaminya benar.[51]
Sumpah ini diucapkan empat kali berturut-turut dan diakhiri dengan kalimat yang bermaksud semoga Allah melaknatinya apabila ia tidak benar dalam tuduhanya.
Ad. 5. Talak bain Kubro.
Seorang pria dilarang menikah kembali atau merujuk isteri yang telah di talak dengan talak bain kubro, yaitu talak tiga, baik sekaligus maupun berturut-turut. Larangan ini tidak belaku lagi , apabila isteri tersebut  telah  dinikahi dengan sah oleh  pria lain, dan telah mengadakan hubungan kelamin, kemudian dicerai dan telah habis pula iddahnya.
Yang dimaksud dengan talak tiga sekaligus ialah menjatuhkan talak tiga dengan satu kali ucapan. Umpamanya seorang suami berkata kepada isterinya , ”saya talak kamu dengan talak tiga secara berturut-turut ialah :
a.    Mula-mula ditalak dengan talak satu, kemudian dirujuk atau dinikahi lagi. Kemudian ditalak yang kedua kalinya dengan talak satu, selanjutnya dinikahi atau dirujuk lagi dan kemudian di talak lagi dengan talak satu.
b.    Mula-mula ditalak dengan talak satu, kemudian dirujuk atau dinikahi lagi. Kemudian ditalak yang kedua kalinya dengan talak dua.
c.    Seperti angka 2 diatas, hanya pertama-tama dijatuhkan talak dua kemudian untuk kedua kalinya dijatuhkan talak satu.
d.    Mula-mula ditalak dengan talak satu. Selama masih dalam iddah belum habis ditalak lagi dengan talak satu. Dan selama iddah belum habis ditalak lagi dengan talak satu, atau mula-mula ditalak dengan talak satu, kemudian selama masih dalam iddah di talak lagi dengan talak dua atau sebaliknya.
Menurut Ibnu Abas (sahabat Nabi) di zaman Rasullah dan khalifah Abu Bakar masih hidup dan dua tahun pemerintahan Khalifah Umar Ibnu Khatab, ”Talak tiga sekaligus jatuhnya satu bukan tiga.”Demikian pula Pengadilan Agama di Indonesia.
Karenanya menurut pendapat ini, seorang suami yang menjatuhkan talak tiga sekaligus dengan satu kali ucapan diperbolehkan rujuk kembali pada isterinya.
Ad. 6. Permaduan.
Seorang pria dilarang memperisteri dua orang wanita bersaudara dalam waktu yang bersamaan, yaitu :
a.    Dua orang wanita (kakak-adik) karena hubungan darah terdekat (nasab).
b.    Seorang wanita dengan bibinya (saudara wanita dari ibu isterinya atau saudara wanita dari bapak isterinya) baik karena hubungan darah terdekat atau karena hubungan susuan.
c.    Seorang wanita dengan seorang wanita dari kakek atau dari nenek isterinya, baik karena hubungan darah terdekat atau karena hubungan susuan.
Apabila larangan ini dilanggar yang batal adalah nikah yang kedua.
Ad. 7. Poligami.
Seorang pria dalam keadaan beristeri empat orang,dilarang melakukan pernikahan kelima. Apabila larangan ini dilanggar, maka pernikahan yang kelima menjadi batal (karena hukum). Isteri yang telah dicerai dengan talak raj’i dan masa iddahnya belum habis, maka dalam hubungan larangan ini isteri tersebut  masih dianggap isteri.
Karenanya, apabila pria tersebut menceraikan salah satu dari keempat isterinya dengan talak raj’i selama iddah dari isteri tersebut belum habis maka pria tersebut tetap dianggap masih mempunyai empat orang isteri dan dilarang melakukan pernikahan yang kelima.
Islam menetapkan batasan poligami maksimum empat isteri, sebelum kedatangan Islam , tidak ada batasan jumlah isteri dalam poligami. Islam menetapkan syarat adil bagi laki-laki yang melakukan poligami.[52]
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, untuk berpoligami bagi orang Islam harus dengan izin Pengadilan Agama.
Ad. 8 Masih bersuami/ dalam iddah.
Seorang pria dilarang menikah dengan :
a.    Seorang wanita yang masih dalam ikatan pernikahan.
b.    Seorang wanita yang masih dalam iddah.
Ad. 9. Perbedaan Agama.
Seorang pria beragama Islam dilarang menikah dengan seorang wanita yang bukan beragama Islam, demikian pula sebaliknya seorang wanita yang beragama Islam dilarang menikah dengan pria yang bukan beragama Islam.
Masalah ini merupakan masalah khilafiah yang tidak perlu dibahas pada kesempatan ini.
Ad. 10. Ihram Haji/ Umrah.
Seorang yang melakukan ihram haji atau umrah, baik pria maupun wanita dilarang melakukan akad nikah.
Pernikahan yang melanggar larangan-larangan tesebut diatas dinyatakan tidak sah atau batal demi hukum.[53]
Dalam hal larangan-larangan perkawinan yang telah kita bahas diatas masih ada pendapat lain yaitu dari Ibnu Taimiyah di dalam al-Ikhtiyasrat : Dan haram dikawini perempuan pezina sehingga ia tobat dan habis masa iddahnya. Demikian menurut mazhab Imam Ahmad dan lain-lain dan laki-laki pezina tidak boleh mengawini perempuan yang terpelihara sehingga ia tobat.[54]







G.   Pengertian Wali Adlal
Wali adlal, artinya wali tidak bersedia atau menolak untuk menikahkan, atau penolakan wali dalam mengawinkan anak gadisnya dalam fikih disebut wali adlal.
Masalah yang diperbincangkan tentang wewenang para ayah atas putri mereka ialah apakah izin ayah itu diperlukan untuk perkawinan putrinya yang belum pernah kawin.[55]
Dalam Islam , ada hal-hal yang benar-benar pasti sehubungan dengan perkawinan . Anak laki-laki , apabila ia telah mencapai usia akil baliq, telah sepenuhnya matang, dan berakal sehat, adalah bebas untuk menentukan pilihannya , dan tak seorangpun yang berhak campur tangan . Namun dalam hal anak perempuan, ada sedikit perbedaan . Apabila seorang anak perempuan sudah pernah kawin dan dalam keadaan menjanda , tidak ada seorangpun yang berhak mencampuri urusannya , dan kedudukannya dalam hal ini sama dengan anak laki-laki. Tetapi apabila anak perempuan  itu seorang perawan dan hendak memasuki ikatan perkawinan dengan seorang pria untuk pertama kalinya , maka bagaimanakah situasinya ?
Bahwa si ayah tidak berwenang mutlak atas putrinya dalam hal ini, dan tidak dapat mengawinkannya dengan siapa saja yang dikehendakinya tanpa kehendak dan persetujuan si putri, dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat . Kita telah melihat bahwa Nabi, dalam jawaban beliau kepada gadis yang dikawinkan ayahnya tanpa sepengetahuan dan persetujuannya itu, dengan jelas menegaskan bahwa apabila si gadis tidak menyetujuinya , ia boleh kawin dengan pria lain.Terdapat perbedaan pendapat dikalangan para fakih (ahli fikih Islam) tentang apakah seorang gadis yang belum pernah kawin tidak mempunyai hak untuk kawin tanpa persetujuan ayahnya, atau apakah persetujuan si ayah bukan prasyarat bagi keabsahan perkawinannya .
Akan tetapi , ada hal lain yang sudah pasti dan tidak diperselisihkan lagi, yaitu apabila si ayah tidak mau memberikan persetujuannya tanpa suatu sebab yang beralasan maka haknya dicabut, dan terdapat kesepakatan bulat diantara semua fakih Islam bahwa dalam keadaan demikian maka si putri sepenuhnya bebas memilih suaminya. Seperti telah disebutkan sebelumnya , ada perbedaan pendapat tentang masalah apakah persetujuannya si ayah merupakan syarat yang perlu dalam perkawinan seorang anak perempuan . Mungkin mayoritas fakih , terutama para fakih di masa yang akhir ini , berpendapat bahwa persetujuan si ayah bukan syarat yang dimestikan.[56]
 Selanjutnya mengenai wali adlal juga diatur dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim, dalam Pasal 2 ayat (1) Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau luar negeri/ wilayah ekstra-teritorial Indonesia ternyata tidak mempunyai Wali Nasab yang berhak atau Wali Nasabnya tidak memenuhi syarat ,atau mafqud atau berhalangan atau adhal , maka nikahnya dapat dilangsungkan dengan Wali Hakim.Ayat (2) Untuk menyatakan adhalnya Wali sebagaimana tersebut ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan keputusan Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal calon mempelai wanita.Ayat (3) Pengadilan Agama memeriksa dan menetapkan adhalnya Wali dengan acara singkat atas permohonan calon mempelai wanita dengan menghadirkan Wali calon mempelai wanita.
Pasal 3 : Pemeriksaan dan penetapan adhalnya Wali bagi calon mempelai wanita warganegara Indonesia yang bertempat tinggal di luar negeri dilakukan oleh Wali Hakim yang akan menikahkan calon mempelai wanita.
Pasal 6 : ayat (1) Sebelum akad nikah dilangsungkan Wali Hakim meminta kembali kepada Wali Nasabnya untuk menikahkan calon mempelai wanita, sekalipun sudah ada penetapan Pengadilan Agama tentang adhalnya Wali. Ayat (2) Apabila Wali Nasabnya tetap adhal , maka akad nikah dilangsungkan dengan Wali Hakim.
            Para ulama sependapat bahwa wali tidak berhak merintangi perempuan yang diwalii dan berarti berbuat zhalim kepadanya kalau ia mencegah kelangsungan pernikahan tersebut , jika ia mau dikawinkan dengan laki-laki yang sepadan dan mahar mitsl. Jika wali menghalangi pernikahan tersebut ,maka calon pengantin wanita berhak mengadukan perkaranya melalui Pengadilan agar perkawinan tersebut dapat dilangsungkan . Dalam keadaan seperti ini , perwalian tidak pindah dari wali yang zhalim ke wali lainnya , tetapi langsung ditangani oleh Hakim sendiri. Sebab menghalangi hal tersebut adalah satu perbuatan yang zhalim, sedangkan untuk mengadukan wali zhalim itu hanya kepada hakim.
            Adapun jika wali menghalangi karena lasan-alasan yang sehat, seperti laki-lakinya tidak sepadan, atau maharnya kurang dari mahar mitsl , atau ada peminang lain yang lebih sesuai derajatnya , maka dalam keadaan seperti ini perwalian tidak pindah ketangan orang lain. Karena ia tidaklah dianggap menghalangi .[57]
F. Peraturan Perkawinan di Indonesia
Amalan nikah ini telah ada sejak jaman dahulu, yaitu sejak mulai masuknya agama Islam ke Indonesia yang dibawa oleh para pedagang Gujarat dari tanah Persi dan Arab. Akhirnya banyak raja yang tertarik sehingga mereka memeluk agama Islam, yang kemudian diikuti oleh rakyatnya.
Jadi persoalan nikah sejak dahulu diatur oleh hukum adat yang sifatnya tidak tertulis dengan mengambil sumber dari hukum Islam.
Hal tersebut akhirnya juga ikut menyebar keseluruh pelosok Nusantara dengan semakin berkembangnya  pengaruh agama Islam dibumi Nusantara. Seperti diketahui  selama berabad-abad penduduk Indonesia beragama Islam,tidak memiliki hukum perkawinan tertulis.[58]
Pada waktu sekarang, peraturan yang mengatur tentang perkawinan sudah ada, apalagi perkawinan menurut hukum Islam telah mengalami perkembangan yang begitu pesat.Untuk memelihara dan melindungi keluarga serta meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga tersebut disusunlah undang-undang yang mengatur perkawinan dan keluarga.[59] Adapun instansi pemerintah yang menangani masalah perkawinan menurut hukum Islam yaitu Departemen Agama yang pada tingkat kecamatan pelaksanaannya dilakukan oleh Kantor Urusan Agama, sedangkan masalah perceraian dilaksanakan oleh Pengadilan Agama yang kedudukannya sama dengan Pengadilan Negeri.
Mengenai pengaturan yang mengatur tentang perkawinan di Indonesia dibagi menjadi dua, yaitu :
1.    Peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda (sebelum RI merdeka).
2.    Peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia (sesudah RI merdeka)
Ad. 1. peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda tersebut, yaitu:
  1. Penetapan Raja tanggal 29 Desember 1896 No. 23 (Stb. 1989 No.158)[60] telah mengeluarkan tentang peraturan perkawinan Campuran (Regeling Op de Gemengde Huwelijken) yang dalam perjalanan sejarahnya telah dirubah dan ditambah dengan beberapa perubahan dan tambahan melalui beberapa peraturan yang dimuat dalam Staatsblads (Lembaran Negara Hindia Belanda).
Pasal 1 dari Regeling Op de Gemengde Huwelijken (GHR) itu menyatakan bahwa, ”Yang dinamakan perkawinan campuran ialah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum-hukum yang berlainan”.
  1. Huwelijksordonantie S. 1929 No. 348 jo.S, 1931 No. 467, Vorstenlandsche Huwelijksordonantie S. 1933 No. 98 dan Huwelijksordonantie Buitengewesten S. 1932 No. 482 tentang peraturan nikah, talak dan rujuk.[61]
Ad. 2. Peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia, yaitu:
  1. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
Dalam Pasal 1 disebutkan :
Ayat (1) : Nikah yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut nikah, diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk olehnya. Talak dan Rujuk yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut talak dan rujuk, diberitahukan kepada Pegawai Pencatat Nikah.
Ayat (2) : Yang berhak melakukan pengawasan atas nikah dan menerima pemberitahuan tentang talak dan rujuk hanya pegawai yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk olehnya.
Ayat (3) : Bila pegawai itu tidak ada atau berhalangan maka pekerjaan itu dilakukan oleh orang yang ditunjuk sebagai wakilnya oleh Kepala Jawatan Agama Daerah.                  
  1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1954 tentang penetapan berlakunya Undang-undang Republik Indonesia Tanggal 21 Nopember 1946 Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk diseluruh daerah luar Jawa dan Madura.
  2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.[62]
Dalam Pasal 1 disebutkan :
Ayat (1) : Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam Pasal 2 disebutkan :
Ayat (1) : Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Ayat (2) : Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.[63]
d.    Disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975, dan untuk lingkup yang terbatas, PP Nomor 10 Tahun 1983, tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, membawa nuansa baru dalam pemikiran hukum di Indonesia yang di dalam kitab-kitab fiqih belum dibicarakan , atau dalam hal-hal tertentu belum ada penegasan secara eksplisit.
e.    Kemudian pada akhir tahun 1989 juga disusul dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989  tentang Peradilan Agama . UU yang terdiri dari tujuh bab dan 108 pasal ini memang lebih banyak  mengatur tentang keberadaan Pengadilan Agama, Susunan, Kekuasaan , dan Hukum Acara ini, sejauh hukum materiilnya masih mengacu kepada kitab-kitab fiqih tertentu yang dipandang mu’tabaroh, dan kepada UU Perkawinan serta peraturan organik dibawahnya . Tahun 1991 ditetapkan Kompilasi Hukum Islam , dan disebarluaskan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 sebagai sebuah konsensus ulama , yang disepakati sebagai landasan hukum yang kokoh dan mandiri bagi  keberadaan lembaga Peradilan Agama.
f.     Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari :
Buku I tentang Hukum Perkawinan;
Buku II tentang kewarisan;
Buku III tentang Hukum Perkawinan;
  1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
  2. Peraturan Menteri Agama Pemerintah Republik Indonesia Nomor : 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim.
Pasal 1 huruf b
b. Wali hakim adalah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai Wali Nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai Wali.
  1. Peraturan Menteri Agama republik Indonesia Nomor : 2 Tahun 1989 tentang Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (Pembantu PPN).
  2. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor : 2 Tahun 1990 tentang Kewajiban Pegawai  Pencatat Nikah.
Dalam pasal 45 disebutkan :
PPN yang melalaikan kewajibannya dalam melaksanakan peraturan ini atau melakukan perbuatan yang mencemarkan martabat PPN atau menghilangkan kepercayaan masyarakat baik di dalam maupun di luar jabatannya, dikenakan hukuman administrasi atau hukuman sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor : 22 Tahun 1946 junto pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor : 9 Tahun 1975.
h.    Surat Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor : 16 Tahun 1992 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengelolaan Biaya Nikah dan Rujuk Bagi Umat Islam.
i.      Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia, Tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia No 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991.
j.      Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007, Tanggal 25 Juni 2007 ,Tentang Pencatatan Nikah










BAB. III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A.   Gambaran Kasus-kasus Sengketa Pernikahan Wali Adlal  di Kantor Urusan Agama Kecamatan Muntilan .
1.    Tata Cara Pelaksanaan Perkawinan dan Pengawasannya
Pada dasarnya kegiatan pelaksanaan perkawinan, pencatatan dan pengawasannya dibagi dalam dua kegiatan, yang pertama yaitu kegiatan yang dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan, sedangkan kegiatan lainnya dilaksanakan di Kantor Departemen Agama Kabupaten yang meliputi kegiatan pengelolaan formulir NTCR laporan jumlah NTCR setiap bulan dan tri wulan juga kegiatan yang bersifat pengawasan terhadap tugas Pegawai Pencatat Nikah atau Kepala Kantor Urusan Agam Kecamatan.
Adapun kegiatan yang dilakukan di KUA antara lain :
Pemberitahuan kehendak nikah, pemeriksaan nikah, pengumuman kehendak nikah, akad nikah dan pencatatannya, untuk lebih jelasnya akan diuraikan satu persatu :
1.    Pemberitahuan kehendak nikah
Dalam praktek kadang-kadang dijumpai terjadi ketegangan antara Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dengan pihak-pihak yang akan menikah, karena nikahnya tidak dapat dilangsungkan karena belum memenuhi persyaratan, padahal persiapan dengan undangan segala macam sudah selesai dipersiapkan semua. Oleh karena itu untuk menghindari hal-hal seperti itu dan untuk lebih memantapkan suatu persiapan perkawinan, maka dianjurkan kepada PPN, Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N), ataupun Badan Penasehatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP. 4) untuk selalu membimbing masyarakat agar dalam merencanakan perkawinan, hendaknya mengadakan persiapan pendahuluan sebagai berkut :
a.    Masing-masing calon mempelai saling mengadakan penelitian tentang apakah kedua calon saling cinta / setuju dan apakah kedua oarang tua mereka menyetujui / merestuinya. Ini erat hubungannya dengan surat-surat persetujuan kedua calon mempelai dan surat izin orang tua, agar surat-surat tersebut tidak hanya formalitas saja.
b.    Masing-masing berusaha meneliti apakah ada halangan perkawinan, baik menurut hukum munahakat maupun menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini untuk mecegah terjadinya penolakan atau pembatalan perkawinan.
c.    Calon mempelai supaya mempelajari ilmu pengetahuan rumah tangga, tentang hak dan kewajiban suami isteri dan lain sebagainya.
Setelah persiapan pendahuluan dipersiapkan secara matang barulah orang yang hendak menikah memberitahukan kehendaknya itu kepada P3N/PPN  KUA Kecamatan Muntilan sebagai tempat akan dilangsungkannya akad nikad, sekurang-kurangnya sepuluh hari kerja sebelum akad nikah dilangsungkan.
Pemberitahuan kehendak nikah dapat dilakukan oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya dengan membawa surat-surat yang diperlukan yaitu :
1.    Surat keterangan untuk kawin dari Kepala Desa yang mewilayahi tempat tinggal yang bersangkutan (N1)
2.    Akte kelahiran atau surat keterangan asal-usul (N2)
3.     Surat Persetujuan kedua calon mempelai (N. 3)
4.    Surat keterangan mengenai orang tua (N4)
5.    Surat ijin kawin bagi mempelai anggota TNI/ POLRI , kepadanya ditentukan minta izin lebih dahulu dari pejabat yang berwenang memberikan izin.
6.    Surat Kutipan Buku  Pendaftaran Talak / Cerai atau surat talak / surat tanda cerai jika calon mempelai seorang janda / duda.
7.    Surat keterangan kematian suami / isteri yang dibuat oleh Kepala Desa/ Kelurahan yang mewilayahi tempat tinggal atau tempat matinya suami / isteri menurut contoh model (N6), jika calon mempelai seorang janda / duda karena kematian suami / isteri.
8.    Surat izin dan dispensasi, bagi calon mempelai yang belum mencapai umur menurut ketentuan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 6 ayat (2) s/d (6) dan Pasal 7 ayat (2).
9.    Surat dispensasi Camat bagi pernikahan yang akan dilangsungkan kurang dari sepuluh hari kerja sejak pemberitahuan.
10. Surat keterangan tidak mampu dari Kepala Desanya bagi mereka yang tidak mampu.[64]
P3N yang menerima pemberitahuan  kehendak nikah meneliti dan memeriksa calon suami, calon isteri dan Wali Nikah tentang ada tidaknya halangan pernikahan, baik dari segi hukum munahakat maupun dari segi peraturan perundang-undangan tentang perkawinan.    
2.    Pemeriksaan Nikah
  Pemeriksaan dilakukan bersama-sama, tetapi tidak ada halangannya jika pemeriksaan itu dilakukan sendiri-sendiri. Bahkan dalam keadaan yang meragukan perlu dilakukan pemeriksaan sendiri-sendiri.
            Pemeriksaan Nikah yang langsung diawasi oleh PPN :
a.    Pemeriksaan ditulis dalam Daftar Pemeriksaan Nikah (NB)
b.     Masing-masing calon suami, calon isteri dan Wali Nikah mengisi ruang yang telah tersedia dalam daftar pemeriksaan Nikah dan ruang lainnya diisi oleh PPN.
c.    Dibaca dan bila perlu diterjemahkan kedalam bahasa daerah
d.    Setelah dibaca, kemudian ditanda tangani oleh yang memeriksa dan PPN yang memeriksa. Dan kalau tidak bisa membubuhkan tanda tangan, dibubuhi cap ibu jari tangan kiri.
e.    Dimasukkan dalam buku yang diberi nama Catatan Kehendak Nikah.
f.     Kehendak Nikah diumumkan.
3.    Pengumuman Kehendak Nikah
Kehendak nikah diumumkan oleh PPN atas pemberitahuan yang diterimanya setelah segala persyaratan / ketentuan dipenuhi, dengan menempelkan surat pengumuman (model NC).
      Pengumuman dilakukan :
a.    di Kantor Urusan Agama yang mewilayahi tempat akan akan dilangsungkan perkawinan.
b.    Di Kantor Urusan Agama yang mewilayahi tempat tinggal masing-masing calon mempelai.
PPN / Penghulu tidak boleh meluluskan akad nikah sebelum lampau sepuluh hari kerja, sejak pengumuman kecuali seperti apa yang diatur dalam Pasal 3 ayat (3) PP. Nomor 9 tahun 1975.
Dalam kesempatan waktu sepuluh hari ini calon mempelai suami isteri akan mendapat nasehat perkawinan dari BP. 4 Kecamatan Muntilan.

4.    Akad Nikah dan Pencatatannya
a.    Akad nikah dilangsungkan dibawah pengawasan / dihadapan PPN, dan setelah akad nikah dilangsungkan.
b.    Kalau nikah dilangsungkan diluar Balai Nikah, nikah itu dicatat dalam halaman 4 model NB dan ditandatangani oleh suami, isteri, wali nikah dan saksi-saksi serta PPN yang mengawasi akad nikah. Kemudian segera didaftar dalam Akta Nikah (Model N). Dalam hal yang demikian itu, maka yang menandatangani dalam Akta Nikah hanya PPN saja. Tanda tangan masing-masing yang bersangkutan  dihalaman 4 model NB.
c.    Akta Nikah dibaca, dan dimana perlu diterjemahkan kedalam bahasa daerah dihadapan yang berkepentingan dan saksi-saksi kemudian ditandatangi oleh suami, isteri, wali nikah, saksi-saksi dan PPN.
d.    Setelah itu PPN membuatkan kutipan Akta Nikah rangkap 2 (dua) dengan kode dan nomor porporasi yang sama.
e.    Kutipan Akta Nikah (NA) diberikan kepada suami dan kepada isteri, setelah menandatangani tanda terima (Sibir).
f.     Nomor ditengah pada model NB (Daftar Pemeriksaan Nikah) diberi nomor yang sama dengan nomor Akta Nikah.
g.    Akta Nikah dan Kutipan Akta Nikah harus ditandatangani oleh PPN. Dalam hal Penghulu yang melakukan pemeriksaan dan menghadiri akad nikah di luar Balai Nikah, tidak  menanda tangani Daftar pemeriksaan Nikah dan halaman terakhir daftar tersebut (halaman 4 model NB).
h.    PPN berkewajiban mengirimkan Akta-akta Nikah yang telah diselesaikan kepada Pengadilan Agama Kabupaten Magelang, apa bila folio terakhir dari halaman Akta Nikah telah selesai dikerjakan.
i.      Jika mempelai itu seorang janda/ duda karena talak atau cerai :
1.1.    Kalau talak/ cerainya dahulu dicatat di situ juga, maka pada ruang catatan lain-lain buku pendaftaran Talak/ Cerai yang bersangkutan ditulis sebagai berikut :
” Suami/ Istri telah menikah di KUA Kec. Muntilan  dengan seorang laki-laki/ perempuan nama. . . .  . . . . . pada tanggal..............,
Kutipan Akta Nikah Nomor. . . . .  . . . . . . . . . .

Tanda tangan PPN/Wk.PPN
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Tanggal
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1.2.   Kalau talak/ cerainya dahulu ditempat lain, diberitahukan kepada kantor yang mencatat talak/ cerainya dahulu dengan menggunakan model ND rangkap dua; kedua-duanya dikirim langsung kepada kantor yang bersangkutan. Setelah model ND lembar kedua diterima kembali, segera dikumpulkan bersama daftar pemeriksaan nikah dan diletakkan diatas kutipan Buku Pendaftaran Talak/ Cerai yang bersangkutan.
1.3.   PPN yang menerima pemberitahuan ND itu segera membuat catatan pada ruang ”Catatan lain-lain” Buku Pendaftaran Talak/ Cerai yang bersangkutan, sebagaimana tersebut diatas dan segera mengirimkan kembali lembar ke II model ND tersebut.
 5.  Persetujuan, izin dan dispensasi
               Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terkandung beberapa prinsip demi menjamin cita-cita luhur dari pada perkawinan, yaitu : asas sukarela, partisipasi keluaraga, poligami dipersullit/ dibatasi secara ketat, dan kematangan calon mempelai.
               Sebagai realisasi dari asas sukarela, maka perkawinan harus didasarkan atas persetujuan calon mempelai. Oleh karena itu setiap perkawinan harus mendapat persetujuan kedua calon suami istri, tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Dengan demikian dapat dijamin tidak akan terjadi kawin paksa.
               Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, karena ia akan menginjak dunia baru, membentuk keluarga sebagai unit terkecil dari keluarga besar bangsa Indonesia, dan sesuai dengan sifat dan kepribadian bangsa Indonesia yang religius dan kekeluargaan, maka diperlukan partisipasi keluarga untuk merestui perkawinan itu.
      Oleh karena itu bagi yang berada dibawah  umur 21 tahun baik pria maupun wanita diperlukan izin dari orang tuanya. Dalam keadaan orang tua tidak ada, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga dalam garis keturunan lurus keatas.
      Akhirnya izin dapat diperoleh dari Pengadilan, apabila karena suatu dan lain sebab izin termaksud tidak dapat diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga tersebut diatas.
      Prinsip kematangan bagi calon mempelai dimaksudkan bahwa calon suami istri harus telah matang jasmani dan rokhaninya untuk melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat memenuhi tujuan luhur dari perkawinan dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Oleh karena itu harus dicegah adanya perkawinan anak-anak dibawah umur. Disamping itu perkawinan mempunyai hubungan erat dengan masalah kependudukan.
               Perkawinan dibawah umur dapat saja diijinkan dalam keadaan yang memaksa (darurat) tetapi setelah mendapatkan dispensasi dari pengadilan atas permintaan orang tua.

6.   Penolakan kehendak nikah
               Apabila setelah diadakan pemeriksaan nikah, ternyata tidak memenuhi persyaratan-persayaratan yang telah ditentukan, baik persyaratan menurut hukum munakahat maupun persyaratan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka PPN akan menolak pelaksanaan pernikahan itu, dengan cara memberikan surat penolakan kepada yang bersangkutan serta alasan-alasan penolakannya (model N9).
               Atas penolakan tersebut yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan melalui Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya.
               Pengadilan Agama memeriksa penolakan dengan acara singkat (sumir), menguatkan penolakan, atau memerintahkan pernikahan dilangsungkan.
               Jika pengadilan Agama memerintahkan pernikahan dilangsungkan, maka PPN akan melaksanakan perintah tersebut.
7.   Pencegahan pernikahan
               Pernikahan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan pernikahan.
               Yang dapat mengajukan pencegahan pernikahan adalah :
a.    Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah
b.    Saudara dari salah seorang calon mempelai
c.    Wali nikah
d.    Pengampu (kuratele) dari salah seorang calon mempelai
e.    Pihak yang berkempentingan.
               Pencegahan pernikahan diajukan ke Pengadilan Agama dalam daerah hukum tempat pernikahan akan dilangsungkan oleh mereka yang dapat mencegah pernikahan.
               Mereka yang melakukan pencegahan pernikahan harus memberi tahukan pula kepada PPN yang bersangkuatan tentang usaha pencegahannya. Dan PPN akan memberitahukan kepada masing-masing calon mempelai.
               Setelah mengetahui adanya usaha pencegahan pernikahan, tidak akan melangsungkan pernikahan, kecuali pencegahan itu telah dicabut dengan putusan Pengadilan Agama atau pencegahan di tarik kembali oleh yang mencegah.
8.   Pembatalan pernikahan
      Pernikahan dapat dibatalkan, apabila telah berlangsung akad nikah diketahui adanya larangan menurut hukum ataupun peraturan perundang-undangan tentang perkawinan.
      Pembatalan perkawinan dilakukan oleh Pengadilan Agama dalam daearah hukum tempat pernikahan dilangsungkan atau tempat tinggal kedua suami istri.Yang dapat mengajukan pembatalan pernikahan yaitu :
a.    Garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri;
b.    Suami atau istri;
c.    Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
d.    Pejabat yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang-undangan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 16 ayat (2).

9. Biaya pencatatan nikah
      Tarip
1.   Peraturan Pemerintah nomor 51 Tahun 2001 tanggal 1 Juli 2000 menyebutkan bahwa biaya pencatatan nikah di KUA Kecamatan sebesar Rp. 30.000,- (tiga puluh ribu rupiah)
10.Pembukuan, penyimpanan dan penyetoran.
               Biaya pencatatan nikah dicatat/ dibukukan dalam buku kas tabelaris NR 6 yang telah disediakan. Sebelum disetorkan, semua biaya pencatatan nikah ,harus disimpan dalam brankas (peti besi) menurut ketentuan yang berlaku. Segera setelah biaya diterima dalam waktu satu minggu Bendaharawan Penerima KUA Kecamatan Muntilan akan menyetorkan sepenuhnya ke BRI Kecamatan setempat .



11.Formulir nikah
a.    Jenis formulir
               Menurut Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1990 ada 16 jenis formilir pencatatan nikah yang dapat dikategorikan menjadi tiga jenis, yaitu formulir pokok, formulir pelengkap dan formulir mutasi.
 a.1.  Formulir pokok, yaitu formulir yang secara langsung menjadi tanggung jawab dan dikerjakan pengisiannya oleh PPN, yaitu :
-    Akta Nikah (Model N)
-    Kutipan Akta Nikah (Model NA)
-    Daftar Pemeriksaan Nikah (Model NB)
-    Pengumuman Kehendak Nikah (Model NC)
Pengisian formulir tersebut dimulai dari model NB, NC dan kemudian model N dan yang terakhir model NA.
a.2.   Formulir pelengkap, yaitu formulir yang merupakan kelengkapan dari pelaksanaan pernikahan dan disiapkan sebelum pelaksanaan pernikahan, sebagian  besar formulir tersebut pengisiannya dilakukan oleh Kepala Desa, yaitu :
-    Surat keterangan untuk nikah (Model N1)
-    Surat keterangan asal-usul (Model N2)
-    Surat keterangan persetujuan mempelai (N3)
-    Surat keterangan tentang orang tua (Model N4)
-    Surat keterangan kematian suami/istri (Model N6)
-    Pemberitahuan kehendak Nikah (Model N7)
-    Pemberitahuan adanya halangan/kekurangan syarat (Model N8)
-    Penolakan kehendak nikah (Model N9)
-    Buku catatan kehendak nikah (Model N10)
a.3.   Formulir mutasi, yaitu formulir yang dipergunakan untuk memberitahukan perubahan status seseorang, kepada PPN/pengadilan Agama yang sebelumnya telah mencatat perceraiannya, yaitu :
-  Pemberitahuan Nikah (Model ND)
-  Pemberitahuan Poligami (Model NE)
a.    Pengaturan penggunaan beberapa formulir nikah.
b.1.   Formulir Model NB
-  Dicatat penerimaan dan penggunaannya dalam buku stok khusus.
-  Digunakan mencatat sejak awal pendaftaran dan termasuk mencatat data-data hasil pemeriksaan yang bersangkutan.
-  Dijilid dalam satu bendel untuk setiap tahun beserta surat-surat yang berhubungan dengan pernikahan untuk mempermudah penyimpanan dan pengontrolannya.
-  Penyimpanan diurutkan sesuai dengan nomor urut Akta Nikah untuk mempercepat pencariannya, bila dikemudian hari terjadi masalah dalam pernikahan, karena tersimpan dengan baik dan tidak boleh ada surat-surat yang tercecer.

b.2    Formulir Model N (Akta Nikah)
-  Dicatat penerimaan dan penggunaannya dalam buku stok khusus.
-  Merupakan Akta dan dijilid dalam buku 50 lembar.
-  Diberi catatan pada sampulnya, ditanda tangani lembar pertama dan terakhir serta diparaf pada lembar-lembar lainnya oleh kepala Seksi Urusan Agama Islam , sebelum dikirim kepada PPN.
-  Tersimpan secara tertib dan aman dikantor dan tidak boleh dibawa ke luar kantor. Bila terjadi nikah diluar kantor / diluar Balai Nikah , sebagai gantinya menggunakan halaman IV Model NB.
-  Dibuat rangkap dua, ditulis dengan huruf latin dan menggunakan tinta hitam.
-  Buku pertama disimpan oleh PPN, buku kedua dikirim ke Pengadilan Agama Kabupaten Magelang.
b.3.   Formulir Model NA
-  Dicatat penerimaan dan penggunaannya dalam buku Stok khusus (BS.1)
-  Dipergunakan secara berurutan sesuai dengan seri nomornya untuk mempermudah pengontrolan.
-  Ditulis dengan huruf balok yang bagus, jelas dengan menggunakan tinta hitam.
-  Segera setelah akad nikah berlangsung kepada masing-masing suami istri diberikan  Kutipan Akta Nikah.
-  Dibuat rangkap dua, untuk masing-masing suami istri.
-  Diserahkan kepada masing-masing suami isteri dengan ekspedisi khusus dengan tanda tangan penerimaan.
Untuk ketiga formulir tersebut diatas, pada prinsipnya tidak dibenarkan adanya coretan, hapusan dan sejenisnya, bila hal tersebut tidak bisa dihindari, perlu adanya tanda tangan.
1.    Pembukuan
Formulir NTCR adalah barang berharga milik negara, oleh karena itu dikelola dan diawasi dengan baik agar tidak disalah gunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Salah satu cara pengelolaan dan pengawasan, adalah membuat pembukuan yang tertib, jelas dan rapi. Dengan demikian semua formulir secara cepat dapat diketahui setiap saat tentang penerimaan dan pengeluarannya, karena pendistribusiannya dan saldo akhirnya.
Pekerjaan pembukuan memerlukan ketelitian, disamping pengetahuan tentang pembukuan. Oleh karena itu petugas yang ditunjuk memegang pembukuan adalah pegawai yang mengetahui cara-cara pembukuan, cakap dan teliti.
2.    Penyimpanan
a.    Hal-hal yang perlu diperhatikan pada waktu melaksanakan penyimpanan formulir NTCR :
(1).     Dapat menjamin keutuhan formulir dalam arti terhindar dari kerusakan.
(2).     Dapat menjamin keamanan formulir dalam waktu melaksanakan penyimpanan formulir NTCR .
(3).     Dapat melaksanakan secara mudah dan cepat, waktu melaksanakan pendistribusian ;
(4).     Dapat mudah dan cepat dalam pengecekan sewaktu-waktu terutama pada waktu ada pemeriksaan.
b.    Tata cara penyimpanan :
(1).     Ditaruh pada tempat yang kering, tidak lembab/ basah / kebocoran juga tidak ditaruh langsung di atas tanah semen, tegel dan sebagainya.
(2).     Dalam periode tertentu diadakan pemeriksaan/ pengecatan kemungkinan terdapat rayap/ tikus atau hama kertas. Dan diadakan penyemprotan dengan obat serangga.
(3).     Disimpan dalam gudang yang telah dipersiapkan dan tidak berserakan disembarang tempat.
(4).     Disimpan dalam almari terkunci, terutama sekali untuk formulir-formulir model N, NA, T, C, R.
(5).     Penyimpanan formulir khusus Kutipan Akta Nikah (NA) disusun secara berurutan secara tepat dalam keadaan berurutan ;
(6).     Khusus penyimpanan NA, disamping disusun secara berurutan dengan nomor kecil diatas, apabila terdapat seri yang berbeda, maka dipisahkan dalam tumpukan ditempat yang berlainan. Seri NA yang berbeda tidak di campur.
(7).     Pada setiap formulir diberi label dari kertas  dengan huruf yang jelas
3.    Laporan
a.    Kegunaan laporan
(1).     Sebagai bahan penyusunan perencanaan kebutuhan dan data formulir yang diajukan ke Departemen keuangan untuk memperoleh anggaran tahun yang akan datang ;
(2).     Sebagai bahan pedoman rencana pengadaan dan pendistribusian formulir tahun berikutnya ;
(3).     Untuk menyusun skala preoritas pengiriman.
b.    Tata cara membuat laporan diatur sebagai berikut :
(1).     Laporan dibuat setiap triwulan dikirim kepada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam  dengan tembusan Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Jawa Tengah.
(2).     Laporan dibuat  tepat waktu selambat-lambatnya tanggal 15 setelah triwulan yang bersangkutan ;
(3).     Akibat tidak mengirim laporan.
-      penerimaan anggaran tidak mencukupi kebutuhan
-      rencana pengadaan dan pendistribusian tidak sesuai dengan apa yang diharapkan ;
-      Pengiriman formulir ke Kantor Departemen Agama Kabupaten tertunda.
9.    Pengawasan  terhadap pelaksanaan tugas PPN.
Disamping hal-hal yang telah tersebut diatas, tidak kalah pentingnya kegiatan yang dilakukan oleh Kepala  Seksi Urusan Agama Islam  selaku atasan teknis   KUA Kecamatan se Kabupaten Magelang.
Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :
a.    Kepala Seksi Urusan Agama Islam  menyusun program kerja tri wulan, menyusun jadual pemeriksaan tri wulan yang sedang berjalan.
b.    Dibuat surat tugas untuk melaksanakan pemeriksaan di dua puluh satu  KUA. Kecamatan se Kabupaten Magelang, surat tugas ditanda tangani Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Magelang.
c.    Susunan surat tugas pemeriksaan itu adalah : Kepala Seksi Urusan Agama Islam sebagai ketua tim , dan  dua orang pegawai Seksi Urusan Agama Islam sebagai anggota tim.
Tim dibagi menjadi dua masing-masing terdiri dari dua orang, seorang memeriksa pada bidang keuangan NR dan seorang lagi pemeriksaan dalam bidang Administrasi NTCR.
d.    Hal-hal yang diperiksa meliputi : pelaksanaan perkawinan dan pencatatannya, daftar pemeriksaan nikah, Akta nikah Buku stok khusus (BS 1), Buku stok umum (BS2), sisa formulir NA, lampiran-lampiran antara lain : N 1, N2, N3, N4 sampai dengan N7, Akte kelahiran, kartu keluarga, dispensasi dan lain-lain.
      Dalam bidang keuangan hal-hal yang diperiksa adalah : pembukuan NR6,DIPA NR dan DIPA DEPAG .
a.    Dari hasil pemeriksaan itu dibuat berita acara pemeriksaan untuk disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Jawa tengah melalui Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Magelang.
b.    Bila terjadi pelanggaran atau pelaksanaannya tidak sesuai,maka Tim pemeriksa dapat melaporkan kepada pihak yang berwajib.
c.    Sanksi
(1).     Denda
Dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya                    Rp. 7.500,00 bagi :
-      Mereka yang melangsungkan pernikahan tidak dihadapan Pegawai Pencatat Nikah yang berwenang.
-      Mereka yang beristeri lebih dari seorang tanpa ijin Pengadilan agama.
-      PPN yang melangsungkan pernikahan atau mencatat perkawinan dengan tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
-      PPN yang melakukan pencatatan pernikahan seorang suami yang beristri lebih dari satu tanpa izin Pengadilan Agama.
(2).     Pidana Kurungan
Dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan bagi :
-      PPN yang melangsungkan pernikahan atau mencatat pernikahan dengan tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
-      PPN yang melakukan pencatatan pernikahan seorang suami yang beristeri lebih dari satu tanpa izin Pengadilan Agama.
(3).     Hukuman Jabatan
Disamping hukuman sebagaimana tersebut diatas para pejabat yang melakukan pelanggaran dapat dihukum dengan hukuman jabatan.[65]

2.    Gambaran kasus-kasus pernikahan wali adlal di KUA. Kecamatan Muntilan

Temuan kasus pernikahan wali adhlal di KUA Kecamatan Muntilan sebenarnya tidak begitu banyak , namun dari beberapa kasus yang dapat kami teliti  , kasus pernikahan wali adlal tersebut , apabila  tidak ditangani secara intensif , akan timbul kesenjangan hubungan antara calon pengantin perempuan dengan walinya , bahkan sangat mungkin terjadi sengketa yang berkepanjangan, sehingga berakhir di Pengadilan agama . Bukan hanya itu , kasus wali adlal yang sampai ke Pengadilan Agama, akan menimbulkan dampak psikologis, baik bagi  calon pengantin, wali dan dua keluarga besar ,yaitu keluarga calon pengantin perempuan maupun keluarga calon pengantin laki-laki.Hal itu tentu saja sangat bertentangan dengan tujuan perkawinan sebagaimana disebut dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi ”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri  dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
Disamping itu, kasus pernikahan wali adlal yang berakhir di Pengadilan Agama, juga akan menambah beban finansial bagi calon mempelai  yang pada akhirnya akan ditanggung oleh calon mempelai, belum lagi waktu yang tersita untuk berperkara di Pengadilan Agama .
Dari beberapa kasus yang akan kami sebutkan dibawah ini, penulis membagi kasus wali adlal menjadi 4  tingkat/ kategori :
 (Kasus .1)
        Pencatatan Nikah antara Sdr. Fulan  dan Fulanah  (nama disamarkan)
        Fulan  dan Fulanah , adalah calon mempelai yang mendaftarkan pencatatan pernikahannya , Fulan  berstatus  duda cerai  dan Fulanah status janda , karena ditinggal mati oleh suami.Pendaftaran Pencatatan nikah sepasang calon mempelai tersebut ditentang oleh keluarga besar Fulanah  dengan berbagai alasan, adapun beberapa alasan yang dapat disampaikan oleh keluarga besar Fulanah  adalah karena, Fulan  seorang yang senang kawin cerai , karena Fulan  pernah menikah tiga kali dan cerai tiga kali pula, kebanyakan kasus yang menjadi latar belakang perceraiannya adalah tindakan selingkuh yang dilakukan Fulan.Alasan kedua, Fulan  berasal dari keluarga yang kurang mampu sehingga keluarga Fulanah  berprasangka bahwa Fulan  hanya akan mengincar harta Fulanah  yang diwarisi dari mendiang suaminya yang telah meninggal dunia (Fulanah  dengan suaminya almarhum mempunyai  tiga anak, dan sudah dewasa).Alasan ketiga Fulanah  sudah tua sudah tidak pantas untuk menikah lagi.Karena alasan-alasan tersebut maka anak-anak dan keluarga Fulanah  keberatan untuk diadakan pencatatan nikah, bahkan salah satu anak dari Fulanah  melakukan intimidasi kepada Fulan  agar  membatalkan rencana pernikahannya dengan Fulanah , tindakan lebih jauh lagi juga dilakukan oleh anak Fulanah  yang tertua yaitu membujuk wali (kakak Kandung dari Fulanah ) untuk menolak rencana pernikahan adiknya dengan berbagai macam alasan.Karena terpengaruh dengan permintaan anak-anak Fulanah  maka Restu  selaku kakak kandung Fulanah  tidak mau menjadi wali atas pernikahan Fulan dan Fulanah .
           Kalau kita melihat kasus diatas yang dapat kita amati adalah kesalah fahaman antara calon pengantin wanita dengan keluarga besarnya terutama anak-anaknya, anaknya menyangka bahwa pernikahan itu akan menjadi alat bagi Fulan atau calon suami untuk merebut harta gono-gini antara Fulanah dengan suami terdahulu, sehingga, anak-anak Fulanah berusaha keras agar perkawinan tersebut tidak dilangsungkan atau digagalkan, sehingga anak-anak Fulanah membujuk saudara laki-laki Fulanah untuk menolak menjadi wali, tentu saja dengan issue bahwa Fulan akan merebut harta peninggalan suami Fulanah terdahulu. Karena kurangnya pengetahuan dari wali nikah, maka Restu selaku wali nikah juga ikut terpengaruh, PPN bertindak sebagai mediator dengan  memberikan informasi dan pemahaman tentang hak dan kewajiban wali, apa bila tidak diadakan mediasi maka akan terjadi miss komunikasi dan akan terjadi sengketa yang terus menerus , padahal sebenarnya hanyalah kesalah pahaman dari  masing-masing pihak.
             Kasus tersebut diatas dapat diselesaikan melalui musyawarah yang  melibatkan unsur Kepala Desa , tokoh masyarakat dan keluarga besar Fulanah dengan mediator Pegawai Pencatat Nikah.Fulan dan Fulanah dapat dicatat pernikahanya dan keluarganya juga merelakan , yang paling penting konflik yang terjadi dapat diselesaikan tanpa ada pihak-pihak yang merasa dirugikan.
(Kasus.2)
            Kasus Pencatatan Nikah RM dengan AG dengan wali nikah HTN.
            RM dan AG adalah pasangan calon pengantin yang masih  muda, orang tua mengharapkan RM meneruskan sekolah dulu, karena RM adalah anak pertama yang diharapkan sebagai penerus cita-cita orang tuanya dan menjadi contoh bagi adik-adiknya .
Alasan lain adalah AG hanyalah pekerja swasta yaitu bekerja di bengkel sepeda motor, HTN  khawatir dengan masa depan putrinya, tidak terjamin karena AG calon suaminya belum mapan dalam hal menghidupi  ekonomi keluarga.
Sedangkan ST.H punya pertimbangan lain, ST.H yaitu, ibu dari RM, mendukung pernikahan putrinya , karena dua-duanya sudah saling mencintai dan alasan  yang lebih penting yaitu ” RM telah berbadan dua / hamil diluar nikah, menurut pengakuan RM , dia hamil atas  perbuatan AG, maka satu-satunya jalan untuk menutup aib keluarga, yaitu menuntut pertanggung jawaban AG untuk segera menikahi putrinya.
(Kasus .3)
Pencatatan Nikah antara AF dengan NR dengan wali nasab (ayah kandungnya ) bernama MA.
AF seorang wanita yang telah cukup umur, usia 32 tahun , akan menikah dengan seorang laki-laki bernama NR pekerjaan swasta dan telah mempunyai penghasilan yang cukup, bekerja di kota J usia 40 tahun.Namun dalam rencana nikah tersebut  ada kendala yang dihadapi yaitu wali (ayah kandung) tidak setuju, bahkan tidak hanya ayah kandungnya tetapi juga ibu dan dua orang saudaranya juga tidak menyetujui pernikahan tersebut .
            Adapun yang menjadi alasan tidak setuju, ayah dan seluruh keluarga besar AF, adalah karena NR dari latar belakang keluarga yang tidak sepadan dengan keluarga AF, namun juga masih ada alasan lain, yaitu ayah AF telah menerima pinangan dari pemuda yang berasal dari keluarga terpandang, adapun calon yang dijodohkan dengan AF adalah seorang yang mempunyai kedudukan penting dalam masyarakat. Ayah AF berharap dengan adanya perjodohan ini akan dapat mengangkat derajat keluarga di masyarakat. Namun AF tidak setuju karena telah mempunyai calon yang dianggap lebih menjanjikan masa depannya dan NR adalah orang yang dapat dijadikan tambatan hatinya. AF berkeyakinan bahwa jodoh itu tidak hanya  ditentukan dengan derajat ,kedudukan dan pangkat seseorang .
(Kasus 4)
Mawar seorang mahasiswi sebuah perguruan tinggi swasta di kota Jogja telah lama berpacaran dengan Joko teman seangkatan di kampusnya, karena hubungannya terlalu dekat dan kurang adanya kontrol dari orang tua, maka pergaulannya melampaui batas-batas kesusilaan, sehingga Mawar hamil, maka karena niat menutup aib dan demi pengakuan terhadap calon anak yang akan lahir, maka Mawar dan Joko mendaftarkan pernikahannya di KUA Kecamatan Muntilan, ketika ditanyakan tentang keberadaan walinya , Mawar menjawab bahwa walinya tidak setuju dengan rencana pernikahan Mawar dengan Joko.Bebarapa kali dipanggil ke KUA untuk dimintai konfirmasi wali tetap tidak mau hadir, upaya KUA yaitu melakukan tabayun ke rumah wali atau orang tua Mawar, namun tetap saja pak Gatot (orang tua Mawar) bersikukuh tidak mau menjadi wali dan tidak setuju dengan rencana pernikahan Mawar dan Joko. Permasalahan , sengketa wali dengan calon mempelai wanita tersebut lalu diselesaikan di Pengadilan Agama Kota Mungkid Kabupaten Magelang.


(kasus 5)
Trimah seorang janda di tingal mati,mendaftarkan pencatatan nikahnya dengan Trimo seorang duda ditinggal mati juga, mereka berdua berharap pernikahannya segera di catat mengingat mereka sama-sama sudah cukup lama menjadi janda dan duda, mereka berharap setelah menikah nanti bisa memulai kehidupan rumah tangga yang baru dengan lembaran hidup yang baru pula, ketika mendaftar Trimah menunjuk kakak kandungnya bernama Sapar sebagai  wali nikahnya , karena ayah kandung Trimah telah lama meninggal. Ketika ditanyakan apakah wali sudah setuju, Trimah mengatakan bahwa pada hari H saat berlangsungnya pernikahan Sapar akan datang dan menjadi wali pernikahannya, namun menurut Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) wilayah tempat tinggal Trimah, ternyata wali nikahnya belum menyetujui tentang rencana pernikahan Trimah dengan Trimo, bahkan dimungkinkan Sapar menolak menjadi wali , dan berniat tidak akan datang pada hari H saat pernikahan Trimah dengan Trimo.
            Selang satu hari sejak kedatangan Trimah dan Trimo, kakak kandungnya datang, menanyakan kebenaran khabar tentang rencana pernikahan Trimah dan Trimo, ketika ditanyakan kesediaan untuk menjadi wali Sapar menjawab tidak bersedia, karena hari H pernikahan ditentukan sepihak oleh Trimah dan Trimo dan tidak ada musyawarah dengan keluarga termasuk Sapar , sebagai walinya. Maka pada saat itu Sapar menolak sebagai wali, kalau hari yang ditentukan belum dimusyawarahkan terlebih dahulu, adapun alasan Sapar , Trimah boleh menikah lagi setelah seribu hari kematian mantan suaminya.













B.   Realisasi  Penyelesaian Sengketa Pernikahan Karena Wali Adlal di Kantor Urusan Agama Kecamatan Muntilan.

PPN  setelah menerima berkas – berkas dan kelengkapan surat-surat   dari  calon mempelai akan melakukan pendaftaran .Adapun kelengkapanya  seperti, N.1,N2,N3, N4 ,N5, N6 (bagi duda atau janda ditingal mati), Akta Cerai (Bagi Duda / Janda cerai/talak), Foto copy KTP,KK, TT.1, setelah itu  maka , PPN  memanggil pihak-pihak  yang bekepentingan seperti calon pengantin ,wali dari calon mempelai wanita (ayah,kakek,kakek buyut atau jalur kekerabatan dalam jalur ayah )
Pihak-pihak tersebut didatangkan ke KUA untuk diadakan pemeriksaan sekaligus mengadakan cheking data bila mana terdapat kesalahan data-data para pihak terkait.Kemudian pemeriksa (PPN dan/atau penghulu) akan menulis setiap keterangan yang diberikan oleh pihak-pihak tersebut ke dalam lembar pemeriksaan Nikah (NB) .Mestinya para pihak mengisi sendiri formulir model NB  tersebut untuk kemudian diajukan kepada pihak pemeriksa, namun karena banyak masyarakat yang kurang paham, dan membutuhkan waktu yang lama dalam pengisian berkas tersebut, belum lagi ada resiko faktor salah dalam pengisian data, maka pemeriksa akan membantu menuliskan isian data dalam NB tersebut, setelah selesai mengisikan data-data kedalam formulir, pemeriksa akan membacakan NB, mulai dari lembar 1 sampai dengan lembar tiga, apabila semua data sudah tidak ada kesalahan dan sudah disetujui para pihak, maka pihak-pihak dimaksud diminta membubuhkan tanda-tangannya sebagai bukti bahwa masing-masing telah sepakat  dan menyetujui.
Memang idealnya para pihak yang akan melakukan pencatatan pernikahan di KUA Muntilan diharapkan dapat datang secara bersamaan (Calon mempelai Pria dan wanita , wali nikah ), agar dalam waktu singkat dapat diselesaikan pendaftaran nikahnya., Namun ada kalanya hanya salah satu pihak yang datang, sehingga untuk pengisian kolom tanda tangan para pihak, yaitu halaman tiga, tertunda. Apabila dilain hari ,pihak-pihak yang bermaksud mencacatkan pernikahannya datang , maka dapat segera diadakan pemeriksaan yang kemudian dilanjutkan dengan penandatanganan NB, untuk itu PPN memberikan tanggal pada kolom yang telah ditanda-tangani oleh pihak-pihak yang akan mencatatkan pernikahannya.
KUA Muntilan mempunyai spesifikasi hari yang paling banyak di datangi calon pengantin, yaitu hari Rabu, sebab pada hari tersebut disamping calon pengantin bisa melakukan pendaftaran , maka sekaligus mereka mengikuti ”Kursus Calon Pengantin” yang diadakan oleh KUA setiap satu minggu sekali,yaitu setiap   hari Rabu.Dalam Kursus Catin tersebut, calon pengantin diberikan pembekalan dan pengetahuan tentang : Keluarga Sakinah, undang-undang Penghapusan  Kekerasan dalam Rumah Tangga  dan Keluarga Berencana,  para nara sumbernya diambilkan dari , KUA , Dinas Kesehatan dan Dinas Kependudukan dan  Catatan Sipil setempat.
Adakalanya pihak wali tidak dapat menghadiri, pemeriksaan nikah pada hari itu, maka PPN akan memberikan kesempatan, pada hari yang lain bagi wali untuk dapat datang ke KUA, sebelum jadual pelaksaan pernikahan. Apabila wali ternyata sedang sakit dan tidak dapat hadir dengan alasan yang dapat dipertanggung jawabkan, PPN akan melakukan tabayun, yaitu mendatangi wali ke alamat yang tertera dalam pengajuan pencatatan nikah. Setelah ketemu dengan alamat yang dimaksud, PPN akan melakukan pemeriksaan ditempat, apabila ternyata wali mendapat sakit permanen yang tidak mungkin dapat hadir pada saat pencatatan nikah, maka wali dimohon membuat surat kuasa yang berisi permohonan  kepada PPN untuk mewakili menikahkan , yang dibubuhi tanda tangan atau cap ibu jari diatas materai , diketahui Kepala Desa atau Lurah setempat dengan di saksikan oleh dua orang saksi. Selain itu wali juga mengikrarkan kepada PPN secara lisan untuk mewakilkan menikahkan catin wanita yang lazim disebut ”taukil wali” .Setelah menerima surat kuasa dan ”taukil wali”, PPN dapat melaksanakan pencatatan nikah pada hari yang telah ditentukan , meskipun pada saat itu tidak dihadiri oleh wali.
Namun demikian tidaklah semua peristiwa tidak hadirnya wali tersebut karena alasan sakit, ada juga alasan lain yaitu wali tidak menyetujui adanya pernikahan itu, bahkan ada yang lebih fatal yaitu wali tidak bersedia menjadi wali , atau dalam hukum Islam disebut ”adlal” atau enggan atau membangkang.Wali adlal ada dua macam, yang pertama wali  setuju dengan pernikahan yang akan dilaksanakan, tetapi tidak mau hadir tanpa alasan, biasanya karena alasan malu, tidak cocok dengan calon suami dari anaknya atau enggan untuk mendatangi acara akad nikah, untuk kasus seperti ini hampir sama dengan kasus wali yang sakit, maka PPN akan meminta surat kuasa dari wali untuk mewakili menikahkan dan sekaligus mencatat pernikahan itu.
Adapun hal yang paling fatal yaitu, wali dengan terang-terangan menentang pencacatan nikah tersebut, tanpa alasan yang jelas,inilah yang harus dicarikan jalan keluarnya, sebab peristiwa ini merupakan sengketa pencatatan nikah, dimana kedua belah pihak sudah tidak dapat dicarikan jalan untuk berdamai (islah) . Hal tersebut apabila dibiarkan akan menimbulkan sengketa yang berlarut-larut tanpa ada ujung penyelesaiannya, bahkan kadang akan menimbulkan akibat-akibat buruk, yang melanggar etika kesusilaan, norma agama , maupun pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan.Apa yang terjadi?  Calon pengantin melarikan diri, lari dari rumah dan hidup serumah dengan calon suami tanpa ikatan perkawinan (kumpul kebo).
Adapun langkah-langkah yang dilakukan oleh PPN sebagai Pegawai Pancatat Nikah sekaligus manjadi mediator dan Ketua Badan Penasehatan , Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP.4)  , apabila ada sengketa pencatatan nikah yang terjadi di KUA. Kecamatan Muntilan ,adalah sebagai berikut :          
a.    Memanggil pihak-pihak yang bersengketa untuk mendengarkan penjelasan tentang duduk perkaranya, mendengarkan keterangan semua pihak agar didapatkan informasi yang berimbang , untuk dapat mengambil kesimpulan dan membuat langkah-langkah ke arah penyelesaian konflik.

b.    Apabila belum dapat dicapai kata sepakat, dari pihak-pihak yang bersengketa, PPN akan mempersilahkan pihak-pihak terkait untuk menempuh jalan perundingan atau arbitrase, setelah dirasa cukup maka PPN akan melakukan pemanggilan kembali kepada pihak – pihak untuk melakukan musyawarah.
c.    Apabila dengan jalan tersebut belum juga didapat kata sepakat, wali dari calon pengantin wanita tetap pada keputusannya , yaitu menolak adanya pencatatan nikah, dan wali menyatakan enggan, bahkan dengan sengaja melakukan pembangkangan, maka PPN selaku Pegawai Pencatat Nikah (Kepala KUA), akan menerbitkan surat keterangan N,8, yang berisi penjelasan kepada calon pengantin, bahwa pencatatan Nikah tidak dapat dilaksanakan karena kekurangan persyaratan nikah, yaitu keengganan wali untuk menjadi wali nikah dalam pencatatan nikah yang akan dilaksanakan  .
d.    Setelah calon pengantin mendapatkan penjelasan tersebut , maka PPN akan menerbitkan surat keterangan penolakan (N.9), yang berisi penolakan PPN untuk melaksanakan pencatatan nikah dikarenakan wali tetap pada pendiriannya , tidak mau menjadi wali atas pernikahan calon pengantin wanita.
e.    Selanjutnya Surat Keterangan Penolakan (N.9), dikirim ke Pengadilan Agama Kota Mungkid , untuk mendapatkan penyelesaian konflik /sengketa pencatatan nikah yang terjadi.
f.     Calon pengantin membawa berkas yang telah didaftarkan di KUA. Kecamatan Muntilan dan dilampiri Surat Keterangan Penolakan (N.9), ke Pengadilan Agama untuk mendaftarkan perkara, sebagai pemohon dan walinya sebagai termohon.
g.    Pengadilan Agama akan memanggil pihak-pihak yang berkepentingan untuk memeriksa perkara tersebut, sebelum diterbitkan penetapan wali adlal, yaitu wali dinyatakan membangkang,  memerintahkan Kepala KUA, selaku PPN untuk mencatat pernikahan tersebut, dan PPN sekaligus bertindak sebagai wali hakim, karena wali nasabnya adlal (membangkang).
Untuk melengkapi penelitian tentang peranan PPN dan mengatasi sengketa pencatatan pernikahan dan sekaligus sebagai mediator penyelesaian sengketa tersebut dapat penulis sampaikan beberapa contoh kasus sengketa pencatatan dan penyelesaiannya di KUA Kecamatan Muntilan :
            Tindakan yang dilakukan oleh PPN :
(Kasus 1)
Memanggil semua pihak yang terkait yaitu Fulan,Fulanah  dan anak-anaknya serta Restu selaku wali dari Fulanah, diadakan mediasi tetapi masing-masing bersikukuh dengan pendapatnya, kemudian PPN menawarkan opsi setelah mendengar keterangan dan penjelasan dari Fulan dan Fulanah tentang permasalahan harta warisan yang dipermasalahkan oleh anak-anak dari Fulanah , maka PPN mengambil langkah-langkah:
1.    Melakukan koordinasi dengan pengurus BP.4 Kecamatan bersama dengan korp penasehatnya  , secara bersama-sama melakukan pembimbingan dan penasehatan kepada calon mempelai maupun wali, dan pihak-pihak lain yang mempunyai kepentingan dengan pencatatan nikah tersebut.
2.Melakukan koordinasi dengan Kepala Desa tempat kediaman Fulanah, untuk menjadi penengah dalam sengketa pencatatan nikah , terutama mengenai hal-ihwal pembagian harta, sebab kepala desa mempunyai kewenangan untuk hal tersebut.
2.    Menghimbau untuk segera membagi harta warisan yang ada kepada anak-anak dari perkawinan Fulanah dengan suaminya almarhum, bila perlu apabila berupa tanah dan pekarangan segera di sertifikatkan atas nama anak-anaknya dan Fulanah juga berhak mengambil harta dari warisan tersebut,dengan disaksikan oleh kepala desa setempat , bila perlu diadakan perjanjian di depan notaris, opsi tersebut diterima oleh kedua belah pihak.
3.    Menghimbau kepada Fulan untuk segera mengajak  Fulanah segera setelah menikah ke rumah kediaman Fulan, agar tidak ada prasangka dari anak-anak Fulanah, bahwa Fulan akan menguasai harta milik Fulanah maupun anak-anaknya.
4.    Mencatat pernikahan Fulan dengan Fulanah , dengan wali saudara kandungnya , dilaksanakan dengan khidmad tanpa ada keberatan /gangguan dari anak-anaknya maupun pihak-pihak lain.




            Pencatatan nikah antara RM dan AG dengan wali nikah HTN
(Kasus 2)
Langkah-langkah PPN untuk menyelesaikan,pencatatan Pernikahannya :
              Setelah PPN menerima berkas-berkas pendaftaran pencatatan nikah RM dan AG , semua keterangan mengenai identitas kedua calon mempelai lalu ditulis dalam lembar pemeriksanaan nikah (NB), dalam lembar tersebut pada halaman 3 terdapat format data mengenai identitas wali dan pada baris terakhir dari lembar 3 NB tersebut ada kolom kosong ,yang harus ditanda tangani wali, artinya sebelum pelaksanaan pencatatan nikah wali harus hadir untuk diperiksa dan setelah selesai diperiksa , wali harus membubuhkan tanda tangannya pada kolom yang telah disediakan. Apabila wali tidak bisa tanda tangan , wali dapat membubuhkan cap ibu jari sebagai pengganti tanda tangan.
              Untuk melengkapi rukun pernikahan , yaitu adanya wali, maka PPN memanggil wali nikah / ayah kandung RM yaitu HTN untuk datang ke KUA guna menjalani pemeriksaan nikah, namun sampai pada waktu yang ditentukan HTN tidak hadir. Hanya isteri HTN yang hadir dan menyatakan bahwa HTN tidak dapat hadir, namun pada saat hari H pernikahan HTN akan hadir , dan bersedia menjadi wali atas pernikahan anaknya .
              PPN memberitahukan kepada isteri HTN , apabila pada saat pelaksanaan pencatatan nikah HTN tidak hadir, maka pernikahan akan ditunda sampai dengan adanya kesediaan HTN sebagai wali nikah.Hal tersebut mempunyai resiko apabila HTN tidak hadir pada saat pelaksanaan akad nikah, maka pernikahan akan ditunda, dan sekaligus PPN akan membuat penolakan pencatatan kehendak nikah (N.9) antara RM dan AG, dikirim pada hari itu juga ke Pengadilan Agama  Kota Mungkid, untuk mendapatkan penetapan wali adlal.
PPN mengumpulkan pihak-pihak yang bersengketa, memberikan pertimbangan-pertimbangan bagaimana langkah-langkah yang harus ditempuh agar pencatatan pernikahan dapat dilaksanakan, dan memberikan penjelasan kepada HTN selaku wali dari calon mempelai wanita, tentang prosedur yang harus ditempuh kalau HTN bersikeras menolak menjadi wali nikah RM,  PPN akan memberikan penolakan , dengan menerbitkan Surat Keterangan Penolakan Pencatatan Nikah (N.9), untuk dikirimkan ke Pengadilan Agama (PA).
Setelah mendengarkan penjelasan tersebut HTN, bersedia menjadi wali dan menyetujui pencatatan nikah putrinya dengan catatan, pernikahan dilakukan di Balai Nikah, bukan  dirumah HTN sebagaimana lazimnya . catatan kedua , setelah pernikahan RM dan AG tidak diperbolehkan tinggal di rumah HTN, dengan alasan karena sudah berani melakukan pernikahan , maka RM dan AG harus mandiri  dan membangun rumah tangga tanpa mengandalkan bantuan dari orang tua.
Syarat yang diajukan oleh HTN disepakati oleh calon mempelai berdua.
            Mediasi yang dilakukan oleh PPN berjalan lancar sesuai dengan yang diharapkan oleh pihak-pihak yang bersengketa.
            PPN mencatat pernikahan tersebut, pernikahan dilaksanakan di Balai Nikah tanpa kendala, dengan wali nikah HTN selaku orang tua dari calon mempelai wanita.
Langkah-langkah yang dilakukan oleh PPN dalam Penyelesaian sengketa pernikahan wali adlal (Kasus 3)
            Untuk lebih memahami gambaran mengenai kasus tersebut diatas dibawah ini peneliti mengadakan wawancara kepada pihak-pihak yang akan melakukan pernikahan ,wawancara dilaksanakan pada tanggal 12 Desember 2008. , berikut ini adalah hasil  wawancara yang dilakukan oleh Peneliti terhadap AF :
Pertanyaan :
Kenapa orang tua anda tidak setuju , bahkan menentang rencana pernikahan Saudari:
Jawaban AF :
Sebelumnya saya akan bercerita kepada bapak, kenapa orang tua saya tidak setuju dengan pernikahan saya, sebetulnya saya sudah berhubungan dengan calon suami saya agak lama, sekitar dua tahun, namun memang baru diketahui oleh orang tua saya kurang lebih enam bulan yang lalu, ketika orang tua saya tahu, agaknya kurang suka karena memandang bahwa keluarga calon suami saya ini dianggap kurang baik dimata ayah saya , dalam segi agama orang tua saya juga memandang bahwa suami saya ini bukan orang yang taat, namun yang menjadi alasan dari orang tua saya sehingga beliau tidak setuju dengan pernikahan saya , adalah karena calon suami saya pernah mengirimkan SMS (short Massage Service) kepada saya yang isinya agak porno (AF tidak menerangkan isi SMS tersebut)  
Pertanyaan :
Apakah hanya karena hal itu, SMS yang membuat ayah anda bersikukuh tidak mau menikahkan anda :
Jawaban :
Ada , alasan lain dan saya mengira bahwa masalah SMS yang saya sebut tadi hanya sebagai alasan dari ayah saya untuk melihat sisi negatif dari calon suami saya, sebetulnya saya akan dijodohkan dengan pilihan orang tua , dengan seorang yang dianggap mapan yang dalam istilah jawa-nya ada bobot,bibit dan bebetnya dan kebetulan saya juga kenal dengan orangnya , karena dia adalah teman sepermainan saya waktu kecil.
Pertanyaan :
Apakah saudari tidak mencoba menuruti keinginan orang tua, siapa tahu maksud dari orang tua saudari benar, orang tua memilihkan pasangan yang sudah dikenal dan dianggap cocok dengan Saudari ?
Jawaban :
Saya sudah mencoba, bahkan orang tua saya beberapa kali menyuruh saya untuk melakukan sholat istikharoh, untuk memohon kepada Allah, siapa sebenarnya yang akan menjadi jodoh saya, berkali-kali saya lakukan , tetapi ternyata yang ada dalam hati saya hanyalah NR calon suami saya, ketika saya bilang sama bapak tentang hasil istikharoh itu, beliau bilang bahwa niat saya tidak murni, yang tampak dari hasil istikharoh itu hanyalah nafsu karena hati saya sangat terpengaruh dengan kecintaan saya kepada NR, demikian kata ayah saya. Bahkan tidak hanya itu, bapak juga mengajak orang untuk me-rukyah saya , (membersihakan tubuh dari pengaruh jin dan sejenisnya)   , karena saya dianggap terkena atau terpengaruh sesuatu   diluar kewajaran.
Pertanyaan :
Apa pengaruhnya setelah anda di rukyah ?
Jawaban :
Tidak ada, saya tetap tidak bisa melupakan NR, dan tekat saya semakin bulat mungkin ini jodoh dari Allah dan saya akan menerima jodoh itu dengan resiko apapun , dan seandainya ayah dan keluarga saya tetap tidak menyetujui saya akan menempuh upaya hukum, yaitu mengajukan permasalahan kepada Pengadilan Agama PA. [66]
Wawancara tersebut diatas  adalah sebagaian dari  hasil wawancara Peneliti dengan AF, dengan wawancara tersebut Peneliti bisa membuat analisa guna mencari penyelesaian sengketa pencatan nikah.
Langkah selanjutnya PPN menghimbau  kepada AF untuk segera mengumpulkan persyaratan untuk menikah yaitu semua berkas – berkas baik data pribadi (KTP,KK, Ekte Kelahiran ) maupun data data dari desa yang berupa N.1,N.2,N.3,N.4 dan N.7 serta data tambahan berupa imunisasi TT .1.
            Kemudian PPN membuat surat panggilan kepada MA selaku orang tua dari AF untuk dapat dilakukan klarifikasi permasalahan yang diajukan oleh AF.
            Untuk lebih mengetahui seberapa tingkat sengketa antara MA dan AF , berikut ini hasil wawancara Peneliti  dengan MA selaku orang tua AF:
Pertanyaan :
Apakah benar , Bapak  mempunyai seorang anak yang bernama AF, yang akan menikah dengan NR dan Saudara ditunjuk selaku wali ?
Jawaban:
Benar pak saya adalah orang tuanya, karena saya yakin anak saya sudah banyak bercerita kepada bapak , tentang duduk permasalahannya , maka disini saya tegaskan bahwa saya tidak setuju dengan rencana pernikahan anak saya, saya mempunyai hak sebagai wali atau ayah yang berawatnya sejak kecil, saya akan menghalang-halangi niat anak saya, bahkan saya sudah bertemu, berpesan  dengan kepala desa agar kepala desa , tidak mengabulkan permohonan surat-surat yang diajukan anak saya tanpa seijin saya.Dan saya datang kesini juga bermaksud mohon kepada bapak kepala KUA, tidak meluluskan permohonan anak saya untuk mencatatkan pernikahannya disini karena saya tidak akan menyetujui.
Pertanyaan :
Kalau saya boleh tahu, apa alasan Bapak mencegah pernikahan  anak saudara yang telah dewasa dan mengapa berupaya  untuk menggagalkan rencana pernikahannya ?
Jawaban :
Disamping saya tidak cocok dengan ahlak calon menantu saya, dia bernah berkirim SMS kepada anak saya berisi kata-kata porno, saya juga sudah mempersiapkan calon yang lebih baik dari pilihannya , yaitu seorang yang sudah bekerja mapan, dari keturunan yang jelas dan orangnya taat beribadah, maka sekali lagi saya tegaskan saya akan mencegah anak saya melakukan pernikahan dengan NR.

Pertanyaan :
Bagaimana seandainya putri Bapak  tetap pada pendiriannya ?
Jawaban :
Saya akan berusaha dengan segenap kemampuan saya , agar anak saya tidak menikah dengan NR , karena kami sekeluarga tidak setuju bahkan tidak hanya saya dan istri saya termasuk anak-anak saya (adik-adiknya AF) juga tidak setuju, sambil ,menunjuk kepada anak yang ikut masuk ruangan tempat konsultasi.[67]
Yang dapat ditangkap oleh peneliti dengan wawancara tersebut, bahwa ternyata orang tua AF tetap pada pendiriannya yaitu, tidak mau dan tidak menyetujui  pernikahan AF dengan calon suaminya.
              PPN bisa membuat analisa guna mencari penyelesaian sengketa pencatan nikah, namun kepada AF juga dihimbau untuk segera mengumpulkan persyaratan untuk menikah yaitu semua berkas – berkas baik data pribadi (KTP,KK, Ekte Kelahiran ) maupun data data dari desa yang berupa N.1,N.2,N.3,N.4 dan N.7 serta data tambahan berupa imunisasi TT .1.
            Penjelasan PPN kepada MA :
Dengan mengutip Pasal-pasal pada Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim :
            Bagi calon mempelai wanita yamg akan menikah di wilayah Indonesia atau luar negeri/ wilayah ekstra teritorial Indonesia ternyata tidak mempunyai wali nasab yang berhak atau wali nasabnya tidak memenuhi syarat , atau mafqud atau berhalangan atau adlal, maka nikahnya dapat dilangsungkan dengan Wali Hakim .
            Untuk menetapkan adlalnya wali , ditetapkan dengan keputusan Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal calon mempelai wanita.Atas permohonan mempelai wanita Pengadilan Agama akan memeriksa dan menetapkan adlalnya wali dengan acara singkat dengan menghadirkan Wali calon mempelai wanita.
Beberapa saat kemudian PPN berkoordinasi dengan kepala desa tempat domisili calon mempelai wanita, tentang kelengkapan surat-surat yang diajukan oleh AF. Mendapatkan penjelasan bahwa , kepala desa tidak dapat menerbitkan surat-surat keterangan untuk menikah karena dicegah oleh ayah dari calon mempelai wanita, dan diintimidasi kalau sampai kepala desa berani membuatkan surat-surat keterangan dimaksud, maka MA akan melakukan gugatan.
PPN kemudian memberikan penjelasan kepada kepala desa , bahwa tidak ada alasan dari pihak wali melakukan gugatan kepada kepala desa mengenai proses penyelesaian persyaratan nikah dari saudari  AF, tugas kepala desa adalah melayani kepentingan masyarakat termasuk kepentingan AF yang akan melakukan pernikahan, kalau sampai kepala desa  dengan sengaja menghambat  proses pencatatan nikah , dapat dikatakan kepala desa menyalahgunakan wewenang.
            Mendengar penjelasan tersebut kepala desa lalu menandatangani surat-surat keterangan untuk menikah yang diajukan oleh AF.
            Setelah AF mendapatkan surat-surat keterangan dari kepala desa, maka AF mendaftarkan pencatatan pernikahannya di KUA Kecamatan Muntilan.PPN meneliti semua berkas yang diajukan, setelah semua berkas dinyatakan lengkap maka PPN memeriksa  calon mempelai , yang dituangkan dalam lembar NB (Daftar Pemeriksaan Nikah) , namun demikian masih terdapat kekurangan syarat yaitu belum hadirnya wali nikah, untuk dimintai keterangan tentang bersedia tidaknya menjadi wali nikah.
            PPN berusaha menghubungi orang tua calon mempelai, maka melalui petugas Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N), PPN memerintahkan orang tua calon mempelai wanita untuk hadir dalam rangka pemeriksaan wali nikah.Beberapa saat kemudian wali nikah yaitu Saudara MA , hadir ke KUA. Kecamatan , ybs menyetujui pencatatan nikah putrinya, namun dengan catatan agar, pernikahan ditunda empat bulan lagi dengan berbagai pertimbangan, salah satunya adalah hitungan hari baik atau istilah jawanya (petung) .
PPN memanggil calon mempelai wanita , apakah calon mempelai setuju atau tidak dengan rencana wali nikahnya yang menunda pelaksanaan pencatatan nikahnya, dengan berbagai pertimbangan dan atas saran-saran dari PPN, maka Saudari AF bersedia mengikuti kehendak orang tua untuk menunda pelaksanaan pencatatan pernikahannya.
Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan , kemungkinan wali dari calon mempelai wanita ingkar janji atau tidak datang pada hari pelaksanaan pencatatan nikah yang telah disepakati, maka PPN memerintahkan kepada MA untuk membuat Surat Kuasa yang berisi kuasa kepada PPN atau penghulu yang ditunjuk,untuk mewakili  menikahkan putrinya  apabila MA tidak hadir pada hari yang ditentukan , Surat Kuasa tersebut ditanda tangani wali diatas materai enam ribu rupiah, diketahui oleh kepala desa dan di saksikan oleh dua orang saksi.
Namun dengan berbagai alasan , MA menolak untuk membuat surat kuasa , MA bersikukuh bahwa dia akan menepati janji, menikahkan AF sesuai dengan tanggal yang telah ditentukan.
Setelah melalui berbagai pendekatan oleh PPN dan 2 kali konfirmasi (tabayun) dari Penghulu kepada MA, akhirnya MA bersedia menikahkan putrinya dengan NR. Pernikahan dilaksanakan pada hari Senin tanggal 16 Pebruari 2009, di Balai Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Muntilan , dengan wali MA sebagai ayah kandung (wali nasab) , adapun yang mewakili menikahkan adalah, Bapak Hanif Hanani, SH selaku Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sekaligus Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Muntilan.
Kasus Pencatatan Nikah antara Mawar dan Joko
(Kasus 4)
Langkah-langkah yang dilakukan oleh PPN, dalam menyelesaikan kasus tersebut adalah sebagai berikut :
a.    PPN menerima berkas-berkas pendaftaran pencatatan nikah antara mawar dan Joko.
b.    Setelah melakukan pemeriksaan , PPN menanyakan apakah wali nikah telah diberi tahu tentang adanya rencana pernikahan tersebut, dalam keterangannya  kedua calon mempelai  menyatakan bahwa , wali nikah sampai saat ini , tidak menyetujui dan pendaftaran pencatatan nikah tersebut juga di luar pengetahuan wali nikah yaitu (Gatot).
c.    PPN memanggil wali nikah (Gatot) untuk menjalani pemeriksaan sebagai wali nikah , sesuai keterangan dari calon pengantin.Surat panggilan sudah disampaikan secara patut, ke alamat wali (Gatot) namun tidak ada tanggapan , pada pemanggilan yang ketiga kalinya wali nikah tetap tidak hadir.
d.    PPN menugaskan penghulu untuk melakukan tabayun ke rumah Gatot, untuk meminta keterangan tentang alasan ketidak hadirannya dalam pemeriksaan nikah,hasil dari konfirmasi ke rumah Gatot (tabayun),ternyata Gatot tetap pada pendiriannya , yaitu tidak mau menjadi wali / enggan menjadi wali dan tidak menyetujui pernikahan kedua mempelai.
e.    Setelah mendengar penjelasan dari penghulu, bahwa wali nikah (Gatot) tetap tidak menyetujui pernikahan anaknya dan tidak  mau menjadi wali, maka tidak ada jalan lain, PPN lalu mengirimkan surat penolakan kehendak nikah (N.9) ke Pengadilan Agama, setelah memberitahukan kepada calon mempelai.
f.     Calon mempelai membawa foto copy berkas persyaratan pernikahan dan N.9 ke Pengadilan Agama Kota Mungkid , untuk mendapatkan penetapan wali adlal.
g.    Setelah melalui proses, di Pengadilan Agama, maka keluarlah penetapan wali adlal dari Pengadilan Agama yang  keputusannya memerintahkan kepada PPN selaku Kepala KUA dan selaku wali hakim untuk menikahkan calon mempelai dengan wali hakim, karena wali nikah / ayah kandung calon mempelai wanita (Gatot) tidak bersedia menjadi wali / adlal.
h.    PPN memberitahukan kepada wali nikah tentang penetapan wali adlal dari Pengadilan Agama  dan memberikan kesempatan lagi kepada wali untuk menikahkan calon mempelai, namun wali nikah tidak memberikan jawaban, dan tidak hadir di KUA Muntilan.
i.      PPN mencatat pernikahan Mawar dan Joko dengan wali hakim karena wali nasab (ayah kandungnya) tidak mau menjadi wali/ adlal.

Pendaftaran pernikahan Trimah dengan Trimo dengan wali kakak kandungnya bernama Sapar.
(Kasus 5)
Langkah-langkah yang dilaksanakan PPN selaku Pegawai Pencatat Nikah, sebagai berikut :
1.    PPN menerima berkas-berkas pendaftaran pernikahan Trimah dengan Trimo, dan memeriksa calon mempelai dengan lembar Pemeriksaan Nikah (NB)
2.    Karena pada saat pemeriksaan nikah wali nikah tidak hadir, PPN memerintahkan kepada calon mempelai untuk menghadirkan wali nikah.
3.    PPN menerima informasi dari Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat domisili calon mempelai wanita, bahwa wali nikah tidak menyetujui adanya pernikahan Trimah dengan Trimo.
4.    PPN membuat surat panggilan kepada Sapar untuk hadir di KUA Muntilan ,untuk menjalani pemeriksaan sebagai wali nikah, namun sebelum surat panggilan dikirimkan , atas inisiatif sendiri Sapar datang ke KUA untuk melakukan konfirmasi tentang kebanaran rencana pernikahan Trimah dengan Trimo.
5.     Sapar memberikan keterangan kepada PPN , bahwa dia selaku wali nikah bukannya  tidak setuju dengan rencana pernikahan adiknya, Sapar setuju rencana pernikahannya hanya masalah waktu pelaksanaan nikahnya yang belum disetujui oleh keluarga,Sapar bermaksud mengundurkan jadual pencatatan nikah, yang semula tanggal 12 Pebruari 2009, ditunda menjadi tanggal 3 Maret 2009, PPN memaklumi hal tersebut namun meminta Sapar untuk merundingkan dengan calon mempelai, apakah calon mempelai menyetujui  atau menolak. PPN menghimbau agar Sapar segera memberikan kabar kepada PPN , bagaimana  hasil dari kompromi tersebut.
6.     Sapar datang ke KUA bersama dengan Trimah dan Trimo, mereka setuju pernikahan di tunda pada tanggal 3 Maret 2009.
7.    PPN mengganti rencana pernikahan yang telah ditulis dalam lembar pemerikasaan nikah (NB) dari semula tanggal 12 Pebruari 2009, menjadi tanggal 3 Maret 2009, atas persetujuan semua pihak.









C.   Peran Pegawai Pencatat Nikah (PPN) Kantor Urusan Agama Kecamatan Muntilan  Dalam Penyelesaian Pernikahan Wali Adlal.

Pernikahan merupakan suatu perbuatan yang sakral, yang dalam istilah agama disebut ”Mitsaqan Galizha” yaitu suatu perjanjian yang sangat kokoh dan luhur,  yang ditandai dengan pelaksanaan sighot ijab dan qabul antara wali nikah dengan mempelai pria, dengan tujuan untuk membentuk suatu rumah tangga yang bahagia , sejahtera dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
                        Peristiwa pernikahan tersebut oleh masyarakat disebut sebagai peristiwa yang sangat penting dan religius , karena peristiwa nikah disamping erat kaitannya dengan pelaksanaan syariat agama , juga dari pernikahan inilah akan terbentuk suatu rumah tangga atau keluarga sehat , sejahtera dan bertaqwa , yang menjadi landasan terbentuknya masyarakat bangsa Indonesia yang religius sosialis.
                        Keberadaan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) pada setiap peristiwa pernikahan pada hakekatnya mempunyai fungsi ganda , karena disamping tugas pokoknya mengawasi dan mecatat pernikahan , juga sekaligus memandu acara akad nikah agar pelaksanaannya dapat berlangsung , dengan baik dan khidmad.
                        Oleh sebab itu setiap PPN dalam melaksanakan tugasnya dituntut untuk mampu menciptakan suasana yang hidmad dan sakral selama akad nikah itu berlangsung.
                        Kenyataan yang sering dijumpai di lapangan, baik berdasarkan pemantauan maupun berdasarkan pengaduan masyarakat , masih banyak diantara PPN / Penghulu dalam memimpin acara akad nikah kurang mampu untuk menciptakan suasana yang hidmad tersebut sehingga kurang memuaskan masyarakat. Oleh sebab itu dipandang perlu untuk mempelajari pedoman dasar bagi PPN / Penghulu dalam setiap melaksanakan tugasnya sebagai pegawai/ petugas pencatat nikah.
                        Adapun tujuannya adalah :
1.    Terciptanya keabsahan nikah sesuai dengan hukum munakahat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.    Terciptanya kehidmatan dalam memimpin dan memandu acara akad nikah.
3.    Adanya pedoman umum bagi PPN/ Penghulu dalam menghadiri dan memimpin acara akad nikah.
4.    Terwujudnya mutu pelayanan yang baik kepada masyarakat dalam masalah pernikahan.
Dalam penyelesaian sengketa pernikahan wali adlal hal-hal yang dilakukan oleh PPN sebagai Pegawai Pencatat Nikah dibagi dalam tiga langkah atau kegiatan :
1.PPN bertindak sebagai konsultan pernikahan .
            Disamping sebagai Pegawai Pencatat Nikah tugas lain PPN adalah menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi antara pihak-pihak yang berkepentingan ,apabila ada kesalah fahaman antara calon mempelai wanita dan walinya , tugas PPN adalah memberi solusi dan jalan keluar agar tercapai kesepakatan , antara pihak-pihak yang akan melakukan pencatatan nikah.Dalam hal ini PPN bertindak selaku Ketua Badan Penasehatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Kecamatan Muntilan.
            Penasehatan perkawinan adalah suatu pelayanan sosial mengenai masalah keluarga , khususnya hubungan kekeluargaan atau kehidupan rumah tangga , tujuan yang hendak dicapai ialah terciptanya situasi yang menyenangkan dalam suatu hubungan rumah tangga , sehingga dengan situasi yang menyenangkan tersebut satu keluarga dapat mencapai kebahagiaan.
            Penasehatan perkawinan adalah suatu proses , jadi memerlukan waktu yang relatif lama, tidak hanya sekali jadi.
            Setiap penasehatan perkawinan selalu terdiri dari empat komponen , yaitu :
1.    Seorang atau yang kemudian disebut klien , pria maupun wanita yang akan melangsungkan pernikahan , atau walinya atau orang yang telah melangsungkan perkawinan dan berumah tangga secara sah; dan dia
2.    Mempunyai problem atau masalah dalam perkawinannya itu , apakah hal tersebut merupakan persiapan yang harus dilakukan ataukah terjadinya peristiwa yang dianggapnya tidak serasi .
3.    Suatu lembaga (agency, kantor, badan, biro) perlu diberikan bantuan, baik lembaga ini diwakili oleh seorang penasehat maupun oleh suatu tim penasehat; berupa,
4.    Nasehat atau kansultasi dan sejenis yang berlangsung secara sementara / insidental atau kontinyu dengan proses yang relatif lama.
Seorang penasehat bukanlah sembarang orang yang kebetulan berkesempatan memberi nasehat , tetapi adalah seseorang yang mendapat kepercayaan melakukan tugas berat memberi nasehat kepada orang lain yang memerlukannya . Dalam hal ini mengenai masalah yang berkaitan atau kehidupan keluarga . Oleh karena itu seorang penasehat seharusnya telah memenuhi hal-hal sebagai berikut :
1.    Mempunyai wibawa yang diperlukan untuk memberi nasehat . Wibawa ini dapat dimiliki oleh orang yang memiliki perilaku yang terpuji, tidak banyak cela dalam perilakunya dan kata-katanya dapat dipercaya.
2.    Mempunyai pengertian/pengetahuan yang mendalam tentang masalah perkawinan dan kehidupan keluarga , tidak saja secara teori tetapi juga praktek.
3.    Memiliki kemampuan dalam memberikan nasehat secara ilmiah (artinya bukan pengertian awam), antara lain harus mampu memberi nasehat secara relevan sistimatik , masuk akal dan mudah diterima.
4.    Mempunyai kemampuan menunjukkan sikap yang meyakinkan klien , melakukan cara pendekatan yang baik dan cara bertindak yang tepat.
5.    Mempunyai usia yang relatif cukup sebagai pemberi nasehat, sehingga tidak akan mendatangkan prasangka buruk atau sikap meremehkan orang lain.
6.    Mempunyai niat mengabdi yang tinggi, tugas pekerjaannya bukan sekedar pekerjaan duniawi tetapi juga dianggap dan dilandasi niat ibadah.
Pada umumnya para klien tidak mampu mengatakan penderitaan / problematika  yang sebenarnya , apalagi jika menyangkut martabatnya, kehormatannya atau masalah – masalah yang dianggap tabu (sex, harga diri, nama baik keluarga dan sebagainya).
Wawancara dapat dilakukan dengan bertatap muka atau denga cara lain . Yang penting adanya komunikasi antara penasehat dengan klien.Sepanjang proses penasehatan ini, wawancara selalu memegang peranan penting , sebab hanya dengan wawancara inilah kita bisa berkomunikasi dengan klien, baik dalam memperoleh data maupun dalam menyampaikan nasehat.
      Wawancara sebagai alat utama dalam penasehatan perkawinan mempunyai teknik tersendiri . Beberapa dasar dari pelaksanaan wawancara antara lain :
a.    Berpartisipasi dengan perasaan klien . Kalau klien nampak sedih jangan menunjukkan sikap gembira , kita berpura-pura ikut sedih.
b.    Mempergunakan bahasa yang  dimengerti,dengan baik oleh klien , tidak mempergunakan bahasa yang sulit dimengerti , seperti istilah-istilah asing, bahasa daerah, singkatan-singkatan , ucapan yang tidak jelas dan sebagainya .
c.    Bersikap sopan , tidak menyinggung perasaan, tidak menakuti dan tidak menimbulkan antipati . Tidak melakukan gerakan-gerakan yang mencurigakan , seperti mencatat keterangan seperti seorang jaksa atau seorang polisi.
d.    Memberikan kebebasan kepada klien untuk berbicara dengan sebebas-bebasnya , tetapi dengan pengarahan agar tidak melantur atau segera kembali ke pada pokok permasalahan.
e.    Menunjukkan perhatian , mendengarkan keterangan-keterangan klien , tidak menunjukkan sikap acuh tak acuh , sekalipun sudah bosan , ngantuk dan sebagainya.
f.     Tidak memancing perdebatan , ketegangan , perselisihan apalagi pertengkaran . Klien adalah orang yang hendak ditolong, bukan musuh/ lawan berkelahi atau berdebat.
g.    Membantu klien mengemukakan suatu hal yang ingin dikemukakan tetapi tidak dapat / mampu untuk menyampaikannya. Hal ini karena klien menahan emosi.
h.    Tidak memberikan janji kalau tidak yakin betul bahwa janji itu dapat dipenuhi tepat waktunya, misalnya janji waktu untuk pertemuan berikutnya, kunjungan kerumah dan sebagainya. Lebih baik memberikan alternatif yang lain yang lebih longgar sifatnya sehingga tidak mengikat.
i.      Waktu untuk mengadakan wawancara harus dipertimbangkan betul , sebab sering terjadi klien tidak mau berhenti memberikan keterangan sekalipun telah memakan waktu berjam-jam. Hal ini bisa terjadi klien merasa dengan menceritakan penderitaannya itu merasa lebih enteng penderitaan yang dialami.
j.      Masalah perbedaan agama, perbedaan kebudayaan dan lain-lain banyak memancing perselisihan , karena itu tidak perlu menyinggung masalah yang berbeda tersebut.
k.    Meyakinkan kepada klien bahwa semua keterangan yang telah diberikan itu dirahasiakan . data hanya akan diberikan kepada orang yang dapat dipercaya dan atas ijin klien.
l.      Tidak memberikan kritik menjelekkan , menyalahkan , atau hal-hal lain yang sifatnya negatif dan tidak baik menurut klien. Hal ini perlu selalu diingat , sebab pewawancara lupa bahwa ia sedang menghadapi klien , seorang yang perlu mendapat bantuan.
m.  Pewawancara harus selalu sadar diri bahwa ia pewawancara, penasehat, jadi harus selalu berusaha menempatkan pada proporsinya .Ini berarti tidak boleh memaksakan kemauan, tidak boleh hanyut ke dalam kondisi yang tidak benar.
n.    Bagaimanapun juga wawancara adalah suatu seni , karena itu ketrampilan mengadakan wawancara ini harus ditingkatkan . tanpa pengalaman yang banyak , tidak mungkin seorang penasehat mempunyai keahlian melakukan wawancara.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan oleh PPN sebagai konsultan pernikahan,antara lain :
a.    Setelah mendengarkan keterangan dari  calon mempelai wanita dan calon mempelai pria, dan memeriksa surat-surat keterangan guna kelengkapan persyaratan pencatatan nikah , PPN menanyakan kepada calon mempelai tentang wali yang berhak menikahkan .Untuk mengetahui siapa wali dari calon mempelai wanita ,PPN memeriksa surat keterangan N.2 yang berisi tentang identitas orang tua kandung dari calon mempelai dikuatkan dengan data pendukung yang lain, seperti akte kelahiran dan foto copy kutipan akta nikah atau duplikat kutipan akad nikah , apa bila data-data tersebut telah cocok dan diketahui nama walinya maka calon mempelai diminta menghadirkan wali nikahnya pada kesempatan yang ditentukan. Apabila tidak ada masalah antara wali dan calon mempelai dapat dipastikan wali akan hadir dalam pemeriksaan nikah  pada hari yang ditentukan ,kecuali ada halangan yang dibenarkan menurut peraturan, misalnya wali sakit, pikun atau ghoib atau bepergian di luar kota.
b.    Apabila dalam kesempatan pertama sesuai jadual yang ditentukan wali tidak hadir tanpa alasan yang dibenarkan , PPN akan membuat surat panggilan , melalui surat dan wali dipanggil secara patut, apabila wali tetap tidak hadir maka PPN akan mendatangi rumah wali (tabayun) sesuai alamat yang ditunjuk oleh calon mempelai wanita.
c.    Dalam tabayun tersebut PPN akan memberitahukan maksud kedatangannya , dalam kesempatan itu, PPN memberitahukan kepada wali tentang hal-hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban wali, sekaligus memberikan penjelasan kepada wali bagaimana langkah-langkah yang akan dilakukan apabila wali tetap pada pendiriannya , yaitu tidak menyetujui pernikahan tersebut dan tidak bersedia menjadi wali, selanjutnya  PPN akan membacakan lembar pemeriksaan nikah (NB) didepan wali sekaligus menanyakan kebenaran identitas wali nikah yang menyangkut, Nama, bin, Tempat tanggal lahir, Warga negara, agama, pekerjaan dan alamat wali, apabila identitas tersebut telah dimengerti dan dibenarkan oleh wali, maka wali dimohon untuk menanda tangani lembar pemeriksaan nikah.
d.    Apabila wali mau membubuhkan tanda tangan dan bersedia menjadi wali dan sanggup menikahkan calon mempelai wanita , maka selesailah tugas PPN dalam memeriksa pihak-pihak yang akan melaksanakan pencatatan nikah.

2.    PPN bertindak sebagai Pegawai Pencatat Nikah dan mewakili menikahkan kedua mempelai

      Apabila wali telah setuju dengan rencana pernikahan tersebut, pada hari pelaksanaan akad nikah, PPN bertugas untuk mencatat pernikahan dan mengawasi pelaksanaan nikahnya, ada kalanya wali menikahkan sendiri calon mempelai wanita, namun banyak juga wali yang meminta kepada PPN untuk mewakili menikahkan calon mempelai wanita , karena kebanyakan wali tidak menguasai cara-cara menikahkan putrinya. Biasanya wali akan melakukan taukil nikah yang bunyinya kurang lebih ” Kepada bapak Penghulu, dengan ini saya mohon kepada bapak untuk mewakili menikahkan anak saya bernama............ dengan Saudara........... dengan mas kawin seperangkat alat sholat telah dibayar tunai”.
            Disini PPN bertindak sebagai Pegawai Pencatat Nikah dan mengawasi pelaksanaan akad nikah sekaligus bertindak sebagai orang yang diberi mandat untuk mewakili menikahkan calon mempelai wanita dengan calon suaminya atas permintaan wali, dan permohonan untuk mewakili menikahkan calon mempelai dilakukan secara langsung oleh walinya disaksikan oleh dua orang saksi , cara mewakilkan yang dilakukan oleh wali tersebut disebut ”taukil bi lisan”.
Untuk melengkapi kajian tentang peran PPN dalam menyelesaikan sengketa pernikahan wali adlal , dibawah ini kami cantumkan wawancara antara peneliti dengan ( informan 3) , yang dilakukan pada tanggal 10 Pebruari 2009, sebagai berikut :
Pertanyaan :
1.    Bagaimana prosedur pendaftaran pencatatan nikah di KUA Kecamatan Muntilan ?
Jawab :
Prosedurnya adalah, calon pengantin datang bersama P3N dengan membawa berkas-berkas persyaratan pernikahan, setelah itu  , berkas diteliti dan ditulis dalam lembar Pemeriksaan Nikah (NB) , setelah itu pemeriksa , menanyakan kepada calon pengantin siapa yang ditunjuk menjadi wali dalam pernikahan tersebut.
2.    Baga cara menentukan wali yang berhak menikahkan calon mempelai ?
Jawab :
Cara menentukan wali bagi calon mempelai , dengan cara menanyakan kepada calon pengantin, apakah ayahnya masih hidup, dan mencocokkan dengan lampiran persyaratan nikah seperti Kutipan Akta Nikah orang tuanya dan Akte Kelahirannya, apabila ayah kandung telang meninggal dunia maka dicari wali nasab yang lain menurut ketentuan tertib wali dalam hukum Islam.
3.  Bagaimana apabila wali nikah yang ditunjuk oleh calon pengantin tidak dapat hadir dalam pemeriksaan nikah ?
Jawab :
Apabila wali nikah tidak hadir dalam pemeriksaan nikah, dapat dihadirkan pada kesempatan lain, melalui proses pemanggilan dengan surat, dapat juga dilakukan tabayun , yaitu mendatangi tempat domisili wali sesuai alamat yang ditunjuk oleh calon pengantin, dapat juga diadakan pemeriksaan sebelum pelaksanaan akad nikah.
4.    Bagaimana pabila wali tidak menyetujui adanya pernikahan yang telah didaftarkan oleh calon mempelai, apa langkah-langkah yang dilakukan oleh PPN maupun penghulu KUA Kecamatan Muntilan?
Jawab :
Untuk langkah pertama diadakan pendekatan dahulu terhadap wali, diberikan masukan tentang kehadiran wali dan persetujuan wali bagi keabsahan pencatatan nikah. Apabila wali setuju namun tidak bisa hadir pada saat pelaksanaan akad nikah, wali dapat membuat surat kuasa kepada PPN untuk mewakili wali menikahkan calon mempelai, surat kuasa bermaterai ( 6 ribu rupiah) tersebut ditanda tangani oleh wali dengan dua orang saksi serta diketahui oleh kepala desa tempat domisili wali nikah.
Pertanyaan :
5.    Bagaimana apabila wali tetap adlal, apa yang akan dilakukan oleh PPN ?
Jawab :
PPN akan melangkah dengan membuat surat keterangan pemberitahuan kepada calon mempelai tentang adanya kekurangan persyaratan dalam pencatatan nikah, yaitu ketidak setujuan wali, PPN membuatkan surat keterangan N.8, setelah itu PPN juga membuat surat keterangan penolakan kehendak nikah (N.9) , dikirimkan kepada Pengadilan Agama Kota mungkid untuk mendapatkan penetapan wali adlal.
Pertanyaan :
6.      Bagaimana prosedur pencatatan pernikahan dengan wali hakim, karena wali nikah adlal ?

Jawab :
Setelah penetapan wali adlal dari Pengadilan Agama turun , dan telah diterima oleh PPN, PPN sekali lagi menanyakan kepada wali nikah, apakah wali nikah bersedia menikahkan calon mempelai,apabila wali nikah tetap pada pendiriannya , yaitu tidak mau menikahkan calon mempelai, maka PPN menikahkan calon mempelai dengan wali hakim, karena wali nasab adlal, sesuai dengan penetapan dari Pengadilan Agama.[68]
Adapun pelaksanaan akad nikah yang dicatat dan diawasi PPN sebagai berikut :
a.    Persiapan
1)    Mempelajari dan memahami rangkaian acara yang akan dilaksanakan
2)    Menyiapkan dan memeriksa ulang perlengkapan administratif yang dibutuhkan.
3)    Menguasai dimana lokasi tempat acara berlangsung dan perhitungan waktu serta daya jangkau menuju lokasi tersebut.
4)    Menyiapkan toga petugas, memeriksa kebersihannya dan kelayakan untuk dipakai dalam acara seremonial.
5)    Mendatangi lokasi sebelum acara dimulai.
6)    Mengkonfirmasikan sebelumnya tentang kepastian urutan waktu acara dimaksud.
b.    Pemeriksaan Ulang
a)    Sesuai dengan ketentuan KMA Nomor 298 Tahun 2003, akad nikah dapat dilangsungkan setelah lampau 10 (sepuluh) hari kerja sejak pengumuman akad nikah.
b)    Sebelum akad nikah dilangsungkan PPN / Penghulu yang menghadiri akad nikah harus mengadakan pengecekan ulang untuk melengkapi kolom yang belum terisi pada model NB pada saat pemeriksaan awal di kantor dan atau bila ada perubahan data hasil pemeriksaan awal tersebut.
c)    Apabila akad nikah dilaksanakan di luar Balai Nikah (bedolan) pengecekan ulang dengan 2 (dua) cara sesuai dengan situasi upacara akad nikah :
                                      i.        Dilakukan sebelum hari upacara pelaksanaan akad nikah (hari H) misalnya pada upacara midodareni (Jawa), yaitu satu hari sebelum hari pelaksanaan akad nikah yang ada.
                                    ii.        Dilakukan pada hari H, yaitu sebelum upacara resmi pelaksanaan Ijab Qabul dimulai, yang pelaksanaanya dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan terpisah terhadap calon mempelai, wali nikah dan saksi-saksi.
1.    Untuk keperluan sebagaimana point 3.b di atas, PPN/ Penghulu yang bertugas akan datang lebih awal dari waktu yang telah ditetapkan.
2.    Teknis pemeriksaan ulang tidak bertele-tele , cukup mengecek :
a.    Ada atau tidaknya penambahan / perubahan tentang nama calon pengantin, wali, saksi dan jumlah atau bentuk maskawin.
b.    Apakah ada persetujuan dari calon mempelai.
c.    Melengkapi kolom yang belum terisi pada model NB dari hasil pemeriksaan awal.
3.    Untuk menjaga kerapihan setiap berkas pernikahan yang akan dilaksanakan serta untuk menjaga wibawa petugas PPN/ Penghulu , berkas pernikahan disimpan dalam map yang layak (map batik).[69]
Waktu Pelaksanaan Akad Nikah .
Akad nikah dilangsungkan setelah lewat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak  tanggal pengumuman. Apabila akad nikah dilangsungkan kurang dari 10 (sepuluh) hari tersebut karena suatu alasan yang penting,  ada dispensasi dari Camat atas nama Bupati .
(4). Tempat Pelaksanaan Akad Nikah.
Tempat dilangsungkannya akad Nikah dapat dilaksanakan :
1.    Di Balai Nikah / Kantor Urusan Agama Kecamatan Muntilan yang disediakan diruang khusus dengan perlengkapannya , baik tempat duduk calon pengantin, wali dan saksi maupun tempat para pengantar.
2.    Di luar Balai Nikah, seperti di rumah calon isteri atau di masjid, yang pengaturannya diserahkan kepada yang mempunyai hajat, asal tidak menyalahi hukum Islam dan peraturan yang berlaku, seperti tempat duduk calon pengantin, wali/ wakilnya, saksi-saksi , PPN /Penghulu / Pembantu PPN dan undangan.
Yang Menghadiri Akad Nikah
1.    PPN/ Penghulu/ Pembantu PPN.
2.    Wali Nikah atau Wakilnya.
3.    Calon suami atau wakilnya.
4.    Calon isteri (sesuai keadaan setempat).
5.    Dua orang saksi yang memenuhi syarat.
6.    Para pengantar/ undangan.[70]
Pelaksanaan Akad Nikah
Rangkaian kegiatan pelaksanaan akad nikah diatur sebagai
berikut :
1.    PPN/ Penghulu terlebih dahulu memeriksa ulang tentang persyaratan dan administrasinya kepada kedua calon pengantin dan wali, kemudian menetapkan dua orang saksi yang memenuhi syarat.
2.    PPN/ Penghulu menanyakan kepada calon isteri di hadapan dua orang saksi , apakah calon pengantin wanita bersedia dinikahkan dengan calon suaminya atau tidak.
3.    Jika calon isteri bersedia dinikahkan dengan calon suaminya.
a.    PPN/ Penghulu mempersilahkan walinya, untuk menikahkan atau mewalikan anaknya.
b.    Jika wali mewakilkan , maka PPN/ Penghulu mewakilinya.
c.    Jika tidak ada wali nasab maka calon isteri meminta kepada wali hakim untuk bersedia menjadi wali.
4.    Sebelum akad nikah dilaksanakan , dapat didahului dengan :
a.    Pembacaan ayat suci Al-Qur’an.
b.    Pembacaan Khutbah nikah.
Khutbah nikah diawali dengan Hamdalah, Syahadat, Shalawat, beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadits serta nasehat yang berhubungan dengan perkawinan dan penjelasan tentang tujuan perkawinan untuk mencapai rumah tangga bahagia (sakinah).
Sejauh yang memungkinkan, disebutkan juga sedikitnya satu pasal dari Undang-undang Perkawinan. Yang membaca khutbah nikah tidak harus PPN/ Penghulu , biasanya akan ditanyakan kepada pihak keluarga pengantin , siapa yang ditunjuk untuk membaca khutbah.
c.    Pembacaan Istighfar dan Syahadatain secara bersama-sama dipimpin oleh PPN/ Penghulu atau wali yang akan bertindak melakukan ijab.
5.    Akad nikah antara wali/ wakilnya dengan calon suami/ wakilnya, yaitu :
a.    Ijab
Ananda/ saudara........................., saya nikahkan...................... anak perempuan saya/saudara perempuan saya dengan maskawin berupa ............. di bayar tunai.
b.    Qabul
”Saya terima nikah dan kawinnya ................. binti.................. dengan maskawin tersebut.
6.    Apabila Wali mewakilkan kepada PPN/ Penghulu maka wali harus mengatakan :
” Bapak Penghulu , saya mewakilkan kepada Bapak untuk mewakili menikahkan ................................. anak perempuan saya dengan............................ dengan maskawin berupa............. tunai.
Penghulu menjawab :
”Saya terima untuk mewakili menikahkan............................ dengan.............
7.    Apabila yang menikahkan itu bukan walinya maka Ijabnya sebagai berikut :  ”Saudara....................... , saya nikahkan ........................... binti.............. yang walinya mewakilkan kepada saya dengan Saudara, dengan maskawin berupa.................. tunai.
8.    Setelah Ijab-Qabul dilaksanakan , PPN/ Penghulu menanyakan kepada saksi-saksi , apakah Ijab-Qabul sudah sah atau belum . Apabila saksi-saksi menyatakan belum sah, maka Ijab-Qabul diulang kembali sampai Ijab-Qabul dinyatakan sah.Apabila sudah sah maka dibacakan : ”Baraka Allahu laka , wa baroka ngalaika wa jamanga bainakuma fii khoirin
9.    Pembacaan do’a.
10. Penandatangan surat-surat yang diperlukan.
a.    Apabila akad nikah dilaksanakan di Balai Nikah, maka penandatanganan oleh suami, isteri, wali, dua orang saksi dan PPN dibubuhkan pada buku Akta Nikah (model N)
b.    Apabila akad nikah dilaksanakan di luar Balai Nikah , maka penandatanganan tersebut dibubuhkan pada halaman 4 Daftar Pemeriksaan Nikah (model NB).

Pembacaan Ta’lik Talak
1.    Setelah acara penandatanganan akta nikah, atau penandatanganan pada halaman 4 model NB selesai, segera dilanjutkan dengan pembacaan ta’lik talak oleh suami, bila suami telah menyatakan kesediaannya.
2.    Untuk tidak mengurangi kehidmatan upacara akad nikah, pembacaan ta’lik talak tidak memakai pengeras suara, kecuali apabila wali nikah atau keluarga menghendakinya.
3.    Setelah ta’lik talak selesai dibacakan , PPN atau Penghulu yang menghadiri mempersilahkan kepada suami untuk menendatangani iqrar ta’lik talak yang terdapat pada buku nikah.
Apabila suami tidak bersedia mengucapkan maka tidak dipaksa , tetapi akan diberitahukan kepada isteri bahwa suaminya tidak mengikrarkan ta’lik talak . Meskipun tidak dibaca, kedua mempelai perlu memahami maksud ikrar ta’lik talak tersebut. Adapun bunyi ta’lik talak adalah :
 ”Sesudah akad nikah ini saya nama................... bin................... berjanji dengan sesungguh hati , bahwa saya akan  menepati kewajiban saya sebagai seorang suami dan akan saya pergauli isteri saya bernama ...................... binti..................... dengan baik (mu’asyaroh bil ma’ruf)  menurut ajaran syari’at agama Islam.
Selanjutnya saya membaca ta’lik talak sebagai berikut :
Sewaktu-waktu saya  :
                        (1).Meninggalkan  isteri saya dua tahun berturut-turut
            (2).Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga
                 bulan lamanya.
                        (3).Atau saya menyakiti badan/ jasmani istri saya.
                        (4).Atau saya membiarkan (tidak mempedulikan) istri saya
                               ,enam bulan lamanya ,kemudian istri saya tidak ridha dan  mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan tersebut , dan istri saya membayar uang sebesar Rp. 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwadh  (pengganti) kepada saya , maka jatuhlah talak saya satu kepadanya.
                               Kepada Pengadilan tersebut saya kuasakan untuk menerima uang iwadh itu dan kemudian menyerahkan kepada Direktorat Jendera Bimbingan Masyarakat Islam Cq. Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah  untuk keperluan ibadah sosial”.[71]
Pengumuman Pernikahan Telah Selesai
PPN/ Penghulu menyatakan kepada hadirin bahwa upacara akad nikah telah selesai dan kedua pengantin telah sah menurut hukum sebagai suami isteri. Jika perlu dapat ditambahkan penyuluhan/ penasehatan , antara lain :
1.    Yang berhubungan dengan masalah nikah.
2.    Hak dan kewajiban suami isteri
3.    Kehidupan rumah tangga bahagia.
Penyerahan Maskawin (Mahar)
1.    Tiap-tiap perkawinan/ pernikahan menimbulkan kewajiban bagi suami untuk membayar maskawin atau mahar kepada isterinya, baik berupa perhiasan (emas) , uang atau benda berharga lainnya.
2.    Setelah acara akad nikah selesai suami langsung menyerahkan maskawin kepada isterinya . Dan apabila isteri tidak ikut hadir pada majelis akad nikah , maka maskawin diserahkan melalui wali nikahnya,
Penyerahan Kutipan Akta Nikah
1.    Sesaat setelah akad nikah, PPN atau Penghulu menyerahkan kutipan Akta Nikah kepada kedua mempelai.
2.    Pada saat penyerahan Kutipan Akta Nikah, terlebih dahulu PPN atau Penghulu mengucapkan kalimat : ”Bersama ini kami serahkan Kutipan Akta Nikah kepada Saudara sebagai bukti  bahwa perkawinan Saudara telah sah tercatat di KUA Kecamatan Muntilan , sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, agar diterima dan disimpan dengan sebaik-baiknya.” Penyerahan Kutipan Akta Nikah ini tidak diselingi dengan kata-kata atau juga kalimat yang tidak perlu atau tidak pantas.
3.    Setelah Kutipan Akta Nikah diserahkan kepada kedua mempelai, PPN atau Penghulu yang menghadiri menyatakan kepada hadirin bahwa akad nikah telah selesai dan kedua mempelai telah sah menurut Undang-undang dan Hukum Agama  Islam, sebagai suami isteri.
Nasehat Perkawinan.
1.    Setiap mempelai diberikan nasehat perkawinan untuk bekal mereka dalam membina rumah tangga bahagia dan sejahtera.
2.    Nasehat perkawinan diberikan setelah akad nikah selesai.
3.    Nasehat perkawinan yang diberikan sebelum akad nikah , atau yang biasa disebut penyuluhan perkawinan, dilakukan secara perorangan oleh korp Penasehatan BP.4 kecamatan atau dilakukan secara kolektif melalui suscatin setiap hari Rabu.
4.    Nasehat perkawinan yang diberikan setelah akad nikah selesai atau yang dikenal dengan ceramah perkawinan atau (ular-ular pengantin), tidak harus diberikan oleh PPN , namun dapat dilakukan oleh ulama, tokoh masyarakat atau dari keluarga pengantin sendiri , tergantung dari permintaan keluarga mempelai.
5.    Apabila PPN/Penghulu yang menghadiri pernikahan tersebut diminta untuk memberikan nasehat atau ceramah perkawinan akan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a.    Isi nasehat/ ceramah perkawinan hal-hal yang berkaitan dengan nikah, hak, dan kewajiban suami isteri dan tuntunan tentang membentuk rumah tangga sakinah (bahagia sejahtera).
b.    Dalam ceramah/ nasehat perkawinan selalu menggunakan bahasa yang baik dan sopan, menghindari dari perkataan yang kurang etis , urakan , porno atau yang tidak menyinggung perasaan orang lain , khususnya keluarga mempelai.



3.    Pegawai Pencatat Nikah bertindak sebagai Wali Hakim.

Yang dimaksud dengan wali hakim ialah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan,          apabila seorang calon mempelai wanita :
1). Tidak mempunyai wali nasab sama sekali , atau
2). Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya, atau
3). Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat  dengan dia tidak ada, atau
4). Wali berada ditempat yang jaraknya sejauh masafatul qosri
( atau sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qosor) yaitu 92,5 km, atau
5). Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh di jumpai, atau
6). Wali adlal, artinya wali tidak bersedia atau menolak untuk menikahkan, atau penolakan wali dalam mengawinkan anak gadisnya dalam fikih disebut wali adlal
7). Wali sedang melakukan ibadah haji/ umroh.
Maka yang berhak menjadi wali dalam pernikahan tersebut adalah wali hakim. Kecuali apabila wali nasabnya telah mewakilkan kepada orang lain untuk bertindak sebagai wali. Dalam hal demikian orang lain yang diwakilkan itulah yang  berhak menjadi wali.
Catatan: Dizaman modern dewasa ini, meskipun jarak masafatul qosri telah dipenuhi, untuk akad nikah wali perlu diberi tahukan terlebih dahulu.
            Sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1987, tentang Wali Hakim,yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai wali hakim adalah Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan.
            Apabila pernikahan  calon mempelai wanita tidak disetujui oleh walinya  , namun kedua calon mempelai sudah sepakat , dan setelah diadakan mediasi oleh PPN dan tidak menghasilkan kesepakatan maka PPN akan mengirimkan penolakan kehendak nikah (N.9) ke Pengadilan Agama setempat, setelah diadakan pemeriksaan oleh Pengadilan Agama dan dilaksanakan sidang perdamaian , wali tetap pada pendiriannya tidak mau menjadi wali nikah, maka hakim akan memutuskan wali nikah adlal atau membangkang, dan Pengadilan akan memerintahkan PPN atau Kepala KUA untuk menikahkan kedua calon mempelai dengan wali hakim, karena wali adlal.
            Adapun pelaksanaan akad nikahnya, sama dengan pelaksanaan akad nikah pada umumnya , hanya saja PPN bertindak sebagai Pegawai Pencatat Nikah sekaligus menjadi wali nikah (wali hakim) atas calon mempelai wanita, karena wali nasabnya tidak mau menikahkan.Pencatatan dalam NB atau N dalam kolom wali, yang mestinya wali nasab diganti dengan wali  hakim, dan pada kolom catatan akhir ditulis bahwa pernikahan tersebut dilaksanakan atas perintah Pengadilan Agama , dengan merujuk pada nomor dan tanggal penetapan wali adlal yang di putuskan oleh Pengadilan Agama Kota Mungkid.
D.   Analisis
Dari temuan penelitian terhadap Peranan Pegawai Pencatat Nikah Dalam Penyelesaian Pernikahan  Wali Adlal di KUA Kecamatan Muntilan, dengan permasalah – permasalah : 1. Gambaran Kasus-kasus pernikahan wali adalal, 2. Realisasi penyelesaian pernikahan wali adlal dan 3. Peranan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dalam  Penyelesaian pernikahan wali adlal dapat dianalisa sebagai berikut :
1.    Kasus-kasus sengketa pernikahan wali adlal di KUA. Kecamatan Muntilan yang diangkat dalam penelitian, terdiri dari lima kasus , empat kasus dapat diselesaikan dengan jalan mediasi atau (tabayun),adapun satu kasus diselesaikan melalui jalur hukum, yaitu ke Penghadilan Agama. Adapun latar belakang terjadinya sengketa wali adlal, yaitu kesalah pahaman antara calon pengantin dengan wali nikah, ada juga karena si wali sangat mendominasi dalam menentukan jodoh bagi calon pengantin wanita, sehingga calon pengantin memilih untuk tidak menuruti kehendak wali.Kasus yang lain yaitu, tidak sepakatnya wali dengan calon pengantin tentang penentuan hari pelaksanaan pernikahan, dimana hari pernikahan menurut adat Jawa sangat menentukan, dalam istilah Jawa disebut ”Petung”, wali menganggap apabila hari pernikahan tidak dihitung sesuai ”petung” tersebut , maka diyakini pernikahan tidak akan kekal dan pengantin akan banyak godaan dan cobaan dalam mengarungi kehidupan rumah tangganya. Ada pula wali tidak menyetujui pernikahan calon pengantin, karena tekanan pihak lain dalam hal ini ada kaitan dengan kekhawatiran pihak keluarga,dikhawatirkan calon pengantin pria akan menguasai  harta peninggalan , maupun harto Gono-Gini.
2.    Realisasi  Penyelesaian sengketa pernikahan wali adlal, menurut pengamatan dari peneliti, ternyata tugas-tugas Pegawai Pencatat Nikah di KUA Kecamatan Muntilan , tidak hanya sebagai Pegawai Pencatat Nikah yang bertugas mencatat dan mengawasi pernikahan saja, namun juga dituntut untuk mampu memberikan jalan keluar apabila terjadi sengketa di dalam proses pelaksanaan pencatat nikah, dalam contoh kasus sengketa pernikahan wali adlal, PPN senantiasa berkoordinasi dengan pihak-pihak yang terkait dengan proses pencatatan pernikahan , misalnya Kepala Desa, Penghulu dan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N), untuk meyelesaikan dan mencarikan jalan keluar apabila terjadi kebuntuan dalam komunikasi antara wali nikah dengan calon mempelai.Apabila terjadi sengketa pernikahan wali adlal, PPN memanggil pihak-pihak yang berkepentingan, biasanya wali, karena tidak setuju dengan pernikahan calon mempelai maka akan memilih tidak menghadiri panggilan dari PPN, apabila terjadi demikian maka PPN akan mendatangi rumah kediaman wali untuk mengadakan klarifikasi atau tabayun, dari klarifikasi tersebut akan dihasilkan jalan tengah, dan ditemukan perdamaian atau Islah , antara wali dengan calon mempelai.
3.    Adapun peranan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dalam penyelesaian sengketa pernikahan wali adlal adalah : PPN bertindak sebagai konsultan pernikahan, dengan jalan memberikan penjelasan, bimbingan kepada pihak-pihak yang bersengketa yaitu wali, dengan calon mempelai melalui lembaga Badan Penasehatan, Pembinaan  dan Pelestarian Perkawinan (BP.4) Kecamatan Muntilan. PPN bertindak mewakili wali nikah untuk menikahkan calon mempelai melaui taukil wali, baik itu taukil dengan lisan, maupun taukil dengan tertulis (dengan Surat Kuasa), untuk taukil melalui surat kuasa biasanya terjadi karena wali tidak hadir dalam acara pencatatan nikah , namun apabila wali dapat hadir dalam pencatatan nikah , maka wali cukup mengikrarkan mewakilkan menikahkan calon mempelai  (taukil) kepada PPN. PPN bertindak sebagai wali hakim, yaitu pada saat pelaksanaan pencatatan nikah PPN berperan sebagai Pegawai Pencatat Nikah, namun di sisi lain berperan sebagai wali, yaitu wali hakim. Wali hakim dapat dilaksanakan karena wali nikah (wali nasab, wali akrob) tidak hadir dalam pencatatan nikah karena adlal, dan adlalnya wali ditetapkan oleh Pengadilan Agama . Setelah turunnya penetapan wali adlal dari Pengadilan Agama , maka PPN atas nama negara dan karena perintah Pengadilan Agama, berhak menjadi wali nikah untuk calon mempelai wanita, yaitu bertindak sebagai wali hakim karena wali nasabnya adlal/ membangkang.

4.     
BAB IV
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian mengenai Peran Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dalam Penyelesaian  Sengketa Pernikahan  Wali Adlal (Study Kasus Pencatatan Nikah Wali Adlal di KUA Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang), maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.    Gambaran Kasus-kasus  Pernikahan Wali Adlal di Kantor Urusan Agama Kecamatan Muntilan, dalam penelitian ini  adalah, dari lima kasus sengketa pernikahan wali adlal ,  disebabkan karena masing-masing pihak tidak memahami tentang peran dan tugas serta  kewajibannya sehingga kurang ada komunikasi .Serta masih dominannya peran wali sehingga wali sering menganggap  bahwa  pernikahan tidak akan dapat dilaksanakan tanpa persetujuannya. Dari lima kasus yang ada , empat kasus dapat diselesaikan dengan jalan mediasi dan musyawarah dari masing-masing pihak dengan mediator  Pegawai Pencatat Nikah , sedangkan satu kasus diselesaikan melalui   Pengadilan Agama
2.    Realisasi Penyelesaian Sengketa Pernikahan Wali adlal di Kantor Urusan Agama Kecamatan Muntilan antara lain .Para pihak yang mendaftarkan pencatatan nikahnya di KUA Kecamatan Muntilan  dihadirkan dalam pemeriksaan nikah, apabila wali nikah tidak dapat hadir, maka Pegawai Pencatat Nikah akan melakukan tabayun , kunjungan ke tempat kediaman wali untuk melakukan klarifikasi sekaligus meminta kesediaan wali untuk menjadi wali dan menikahkan putrinya, apabila dalam tabayun tidak ditemukan adanya kesepakatan, maka PPN akan memanggil calon mempelai untuk memberitahukan bahwa pernikahan yang dimaksud terdapat kekuarangan syarat ,yaitu kesediaan wali nikah , kemudian PPN menerbitkan Surat Keterangan kekurangan Persyaratan Nikah (N.8) dan juga menerbitkan Surat Penolakan Nikah (N.9)  yang dikirimkan kepada Pengadilan Agama Kota Mungkid, Pengadilan Agama memanggil pihak-pihak (pemohon dan termohon) untuk dimintai keterangan, apabila tidak dapat dihasilkan kesepakatan maka Pengadilan Agama menerbitkan penetapan wali adlal dan memerintahkan kepada Kepala KUA selaku PPN untuk menikahkan calon mempelai dengan wali hakim, karena walinya adlal atau enggan menjadi wali. 
3.    Peran Pegawai Pencatat Nikah (PPN) Kantor Urusan Agama Kecamatan Muntilan Dalam Penyelesaian Pernikahan Wali Adlal adalah, pertama,  PPN  bertindak sebagai mediator dalam penyelesaian konflik antara calon mempelai dengan walinya.Kedua, PPN berperan sebagai Pegawai Pencatat Nikah dan juga bertindak mewakili menikahkan calon mempelai atas kehendak dan persetujuan  wali nikah.Ketiga, setelah ada penetapan wali adlal dari Pengadilan Agama,PPN berperan sebagai Pegawai Pencatat Nikah sekaligus sebagai wali, yakni wali hakim, karena wali nikah tidak mau bertindak sebagai wali, enggan atau membangkang  (adlal) .

B.   Saran-saran
Sebagai akhir dari penulisan tesis ini penulis ingin  memberikan saran-saran guna membantu meningkatnya Peran Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dalam Penyelesaian  Sengketa Pernikahan Karena Wali Adlal  khususnya di KUA Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang :
1.    Perlu lebih ditingkatkan pelayanan kepada masyarakat terutama dalam bidang perkawinan dengan cara mengadakan penyuluhan kepada masyarakat tentang Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan hukum munakahat, sehingga dapat mengurangi kesalah fahaman masyarakat terhadap keabsahan nikah dan arti pentingnya pencatatan nikah .
2.    Agar lebih ditingkatkan peran Pegawai Pencatat Nikah  dalam mediasi penyelesaian pernikahan wali adlal, untuk mencegah agar kasus pernikahan wali adlal tidak sampai ke Pengadilan Agama , supaya dapat mengurangi beban calon mempelai terutama dalam hal pembiayaan .
3.    Hendaknya diprogram oleh Kantor Departemen Agama Kabupaten Magelang tentang nikah massal, sebab kegiatan tersebut akan sangat membantu bagi pasangan yang tidak mampu dan juga dapat menambah syi’ar dari Departemen Agama khususnya. Biaya dapat diambilkan DIPA Kantor Departemen Agama Kabupaten Magelang.
4.    Hendaknya Pegawai Pencatat Nikah (PPN) lebih teliti lagi dalam pemeriksaan wali nikah, agar tidak terjadi kekeliruan penunjukan wali nikah , terutama dalam tertib urutan wali akrob , antara saudara laki-laki seayah-seibu, saudara laki-laki seayah, Saudara laki-laki ayah dan tertib wali lainnya.
5.    Agar lebih efektif dan efisien ,usahakan  sengketa pernikahan wali adlal dapat selesaikan di tingkat desa , dengan mediator Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) dan Kepala desa/ lurah setempat, dapat pula melibatkan ulama atau tokoh masyarakat setempat,hal tersebut lebih mudah dilakukan mengingat tempat tinggal para pihak yang bersengketa, dekat dengan kantor balai desa/ balai kelurahan dan secara psikologis, para pihak lebih kenal,lebih menghormati dan terbuka dengan tokoh masyarakat/ tokoh agama setempat.
6.    Mengingat medan yang jauh dan sangat beratnya beban serta  tugas-tugas PPN dalam melayani masyarakat dalam bidang pencatatan nikah , maka perlu difikirkan kesejahteraan bagi PPN, Penghulu maupun P3N, dan mendesak untuk  diadakan sarana mobilitas bagi para Kepala KUA Kecamatan, misalnya Kendaraan Dinas roda dua, agar tugas-tugas mereka dapat tertolong yang tentunya dapat meningkatkan semangat  dan etos kerja .
7.    Hendaknya peraturan-peraturan yang diterbitkan oleh Departemen Agama dapat sinkron dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum positif yang berlaku,sebagai contoh dalam Peraturan Menteri Agama Nomor  2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim,pada Pasal 6 ayat (1) Sebelum akad nikah dilangsungkan Wali Hakim meminta kembali kepada Wali Nasabnya untuk menikahkan calon mempelai wanita ,sekalipun sudah ada penetapan Pengadilan Agama tentang adlalnya Wali dan ayat  (2) Apabila Wali Nasabnya tetap adlal, maka akad nikahnya dilangsungkan dengan wali hakim.Hal ini berkesan bahwa seolah-olah PPN ambigu dan  seakan-akan tidak ada kepastian hukum, serta  ada kecenderungan menafikan penetapan pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.








DAFTAR PUSTAKA


Abdurrahman dan Riduan Syahrani, 1976, Masalah-Masalah
            Hukum Perkawinan di Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung

Abd.Rahman, Asjmuni,1997, Qaidah-qaidah Fiqih (Qowa’idul Fiqhiyyah),

            Bulan Bintang: Jakarta.

Abu Zahroh,’Aqd Az- Zawad wa Asaruh (ttp., Dar al-Fikr al-Arabi,t.t),

Ahmad Azhar Basyir,1992, Hukum Perkawinan Islam,UII Presss,
            Yogyakarta

Ahmad Hanafi,1970, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Bulan Bintang,
            Jakarta

Ahmad Harir,2002, Islam , Aborsi dan Keluarga Berencana, Yayasan
            kesejahteraan Fatayat (YKF) Yogyakarta, Ford Foundation,
            Jakarta.

Ahmad Mudjab Mahalli,2002, Wahai Pemuda Menikahlah, Menara Kudus,
            Jogjakarta.
Ahmad Rofiq, 1995,. Hukum Islam di Indonesia, Rajawali Press: Jakarta.

Alwi Shihab,.1999,.Islam Inklusif, Mizan: Bandung.

Amrullah Ahmad SF dkk, 1996, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem
            Hukum Nasional, Gema Insani Press; jakarta.

Amir Syarifudin, 1993, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam,
            Angkasa Raya: Padang.

Asaf A.A. Fyzee, Outline of Muhammadan Law, Edisi 4 , cet.5, New Delhi :
 Oxford University Press, 1981.

Asmin, Yudian W.,1994, Reorientation of Indonesian Fiqh, Ke Arah Fiqih
Indonesia, Forum Studi Hukum Islam Fakultas Syari’ah IAIN Sunan
Kalijaga: Yogyakarta.

Asro Sosroatmodjo dan Wasit Aulawi,1975, Hukum Perkawinan di
            Indonesia, Bulan Bintang;Jakarta.


Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) Pusat. 1992/1993. Pedoman Pegawai 
            Pencatat Nikah,Departemen Agama , Jakarta.

Bahay Al-Khauly, 1988,Islam dan Persoalan Wanita Moderen, Alih
            Bahasa, Rosihin A. Gani, CV. Ramadhani, Solo

Daniel S.Lev.,1980 Peradilan Agama Islam di Indonesia ( Islamic Court In
            Indonesia), Penerbit.PT. Intermasa, Jakarta

Deliar Noer,1982. Administrasi Islam di Indonesia, Pt. Rajawali Untuk
            Yayasan Risalah, Jakarta.

Departemen Agama .RI ,2004,.Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam dan     Penyelenggaraan Haji,Pedoman Pejabat Urusan Agama
            Islam              ,Jakarta.

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam ,1997/1998, Kumpulan
            Kasus Urusan Agama Islam,Departemen Agama RI , Jakarta.

----------------------,2003, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah,
            Departemen Agama RI ,
Jakarta.

-----------------------,2003, Pedoman Akad    Nikah, Departemen Agama
            .R.I.Jakarta.

-----------------------,2005, Membina Keluarga Sakinah      ,Departemen
            Agama RI , Jakarta.

-----------------------,2008, Pedoman Penghulu        ,Departemen Agama RI ,
            Jakarta.

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam .2001. Kompilasi Hukum
 Islam di Indonesia .Departemen Agama RI :Jakarta .

Doi, Abdurrahman I .1999, Perkawinan dalam Syari’at Islam, Jakarta

Eko Mardiono, 2007,Perwalian Anak Akibat Kawin Hamil, Hukama (Jurnal
            Pemikiran Islam dan Sosial).IISSN :1978-0974, 74,75,76.

Hamka, 1976, Sejarah Umat Islam Jilid II, Bulan Bintang, Jakarta

Hammudah ‘Abd al-Ati,1984 Keluarga Muslim, alih bahasa Anshari
            Thayib, : Bina Ilmu, Surabaya.

Hartoyo, Soemardji. 2000. Dasar-Dasar Ilmu Administrasi.UNS Press:
            Surakarta

Hasan,Qodir.A,1984.Terjemahan Nailul Authar,Himpunan Hadis-Hadis
 Hukum,Pt.bina ilmu:Surabaya

Hasbullah Bakry, 1985, Kumpulan Lengkap Undang-Undang dan
 Peraturan Perkawinan di Indonesia, cet.ke 3 Ttp,
Djambatan,:Jakarta.

Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang No. 1 Tahun 1974,
            1986:Tinta Mas :Jakarta

Hindun Annisa, 2002, Islam dan Hubungan Seksual yang Sehat, Yayasan
            Kesejateraan Fatayat (YKF) Yogyakarta Ford Soundation , Jakarta.

Husein Muhammad Yusuf.1992.Memilih Jodoh dan Tata Cara meminang
            dalam Islam. Gema Insani Press :Jakarta

Ibrahim Muhammad al-Jamal, 1991, Fiqih Wanita Islam ,Terjemahan,
            Pustaka Panjimas , Jakarta.

Ichtijanto,SA,1978., Laporan Seminar Tentang Pelasanaan Undang-
            Undang Perkawinan, Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama,
            Jakarta.

Imam Al-Ghazali,  al-, Ihya’ Ulum ad- Din, Singapura – Kotabaru-Pinang :
            Sulaiman Mar’I , t.t.,juz II

--------------------,1995,  Menyingkap Hakekat Perkawinan, Adab Tata cara
            Dan Hikmahnya, Alih bahasa, Muhammad Al-Baqir, Penerbit
Karisma, Bandung.

Jafizham, 1977.Persintuhan Hukum Indonesia Dengan Hukum
Perkawinan Islam, Percetakan Mestika, Medan.

Jurnal. 1996 .Law Reform Pembaharuan Hukum. Semarang : Program
            Magister Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Diponegoro

Kamal Muchtar,1992 Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, cet.3,
            Bulan Bintang :Jakarta 

Koentjaraningrat,1993, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia
            Pustaka Utama, Jakarta.


Lexy J. Moleong. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif Bandung : Remaja
            Rosdakarya.

Maftuh Ahnan,1995,.Mutiara Hadits Shohih Bukhori, Penerbit Karya Ilmu:
            Surabaya.

Mahmud Al-Shabbagh.1993.Al-Sa’adah Al-Jawjiyyah fi Al-Islam. Dar Al-
            A’tisham :      Mesir

Mahmud Yunus.1990. Hukum Perkawinan dalam Islam menurut mazhab
            ,Syafi’I,Hanafi, Maliki, Hambali . PT.Hida Karya :Jakarta

Mahmud Al-Shabbah,1993, Tuntunan  Keluarga Bahagia Menurut
            Islam,Alih Bahasa ,Bahruddin Fannani,PT.Remaja Rosda Karya,
            Bandung,1993

Majelis Ulama Indonesia , 1986,Tuntunan Perkawinan Bagi Umat Islam
 Indonesia,     Sekretariat MUI :Jakarta .

Maria Ulfah Subadio, SH,1981, Perjuangan Mencapai Undang-Undang
            Perkawinan, Yayasan Idayu, Jakarta.

Mochtar Kusumaatmadja, SH.,Prof.Dr,1976, Hukum, Masyarakat dan
            Pembangunan Hukum Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan
            Kriminologi Fak. Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

M. Quraish Shihab,.1996,Wawasan Alqur’an,Mizan: Bandung

M Thalib, 1991, 40 Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak,Pustaka
            Al-Kautsar:Yogjakarta

Mudhofar Badri, Ahmad Harir,2002, Panduan Pengajaran Fiqih
Perempuan di Pesantren, Yayasan Kesejahteraan Fatayat:
Yogyakarta

Musthafa Al.Gholayini,1976, Idhatun Nasyi-in, Bimbingan Menuju Ke
            Akhlak Yang Luhur.CV.Toha Putra: Semarang.

------------------,1975.,Hukum Perkawinan Nasional, Zahir : Medan.

Muchtar Yahya, dan Fatchurrahman, 1993.,Dasar-dasar Pembinaan
            Hukum Fiqh Islami, al-Ma’arif: Bandung.

Muhammad Jawad Mughniyah,1994, terjemahan,Fiqh Lima
 Mazhab,Basrie Press,        Jakarta


Muhammad Abdul Halim Hamid,.1994, Bagaimana Membahagiakan Isteri
            (Kaifa Tus’id Zaujatak ?),Citra Islami Press : Solo.


Muh Zahid, 2003.,Dua Puluh Lima Tahun Pelaksanaan Undang-Undang
Perkawinan, Proyek Peningkatan  Tenaga Keagamaan Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji,
Jakarta.

Mukhotib, MD.,2002, Menghapus Poligami , Mewujudkan
            Keadilan,Yayasan Kesejahteraan fatayat (YKF) Ford Foundation
            Jakarta, Yogyakarta.

----------------,2002, Seksualitas : Menggugat Konstruksi Islam,Yayasan
            Kesejahteraan fatayat (YKF) Ford Foundation Jakarta, Yogyakarta.

----------------,2002, HIV/AIDS : Pesantren Bilang Bukan
            Kutukan,Yayasan Kesejahteraan fatayat (YKF) Ford Foundation
            Jakarta, Yogyakarta.

----------------,2002, Menghapus Perkawinan Anak, Menolak
            Ijbar,Yayasan Kesejahteraan fatayat (YKF) Ford Foundation
            Jakarta, Yogyakarta.

-----------------,1992, 60 Pedoman Rumah Tangga Islamy, Pustaka Al-
            Kaustar, Jakarta.

Munawir Sjadzali,1415 H/1994 M “ Relevansi Hukum Keluarga Islam
            dengan kebutuhan Masa Kini”, dalam Prospek Hukum Islam Dalam
            Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, cet . 1 ,PP-
            IKAHA : Jakarta

-----------------,1994.,Prospek Hukum Islam Dalam Kerangka
            Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, PP-IKAHA: Jakarta.

Murtadha Muthahhari, 1995, Hak-hak Wanita Dalam Islam, Alih
bahasa,M.Hashem, Penerbit Lentera, Jakarta.

Musthafa Helmy, 2008,Perkawinan & Keluarga,Badan Penasehatan ,
            Pembinaan   dan Pelestarian Perkawinan (BP.4) Pusat: Jakarta.

M. Yahya Harahap,1993 “ Materi Kompilasi Hukum Islam” , dalam Dr.
            Moh Mahfud MD.,S.H.,S.U. (dkk) (ed.) , Peradilan Agama dan
Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia,UII Press:
Yogyakarta.

Nani Suwondo, SH., 1992., Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum
            dan Masyarakat,Ghalia, Jakarta.

Noeng Muhadjir . 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. UNS Press
            :Surakarta

Noor Rahmat,2002, Hak Memilih Pasangan, Tidak Perlu Ada, Yayasan
            Kesejahteraan Fatayat (YKF) Yagyakarta, Ford  Foundation,
            Jakarta.

Perkawinan & Keluarga .2008. Jakarta : Badan Penasehatan, Pembinaan
            dan Pelestarian Perkawinan (BP.4) Pusat: Jakarta.

Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta.

Peunoh.Daly.1988, Hukum Perkawinan Islam, Bulan Bintang :Jakarta

R. Soetojo Prawirohamidjojo,1998, Pluralisme Dalam Perundang-

undangan      Perkawinan di Indonesia, : Airlangga University

Press,Surabaya

Sayyid As Sabiq, Fiqh as-Sunnah,1403 H/1983 M cet.4,Dar al- Fikr:
            Beirut 

-----------------,1981.,Fiqh as Sunnah,II,Dar al Fiqr: Beirut.

Sayuti Thalib, 1976.,Pembaharauan Hukum Islam di Indonesia,
            Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

-----------------,1992. Hukum Kekeluargaan Indonesia (berlaku bagi umat
            Islam).UI. Press :Jakarta

Soetojo Prawirohamidjojo.,1988, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan
            Perkawinan di Indonesia, Universitas Airlangga Press, Surabaya.

Suharsimi Arikunto.2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan dan
            Praktek.PT.Asdi Mahasatya: Jakarta.

Sutopo,H.B. 2002. Metodologi Penelitian kualitatif.UNS.Press: Surakarta

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
1983. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Departemen P&K : Jakarta

T.O. Ihromi, 1999.,Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, Yayasan Obor
            Indonesia, Jakarta.

Toha Husein, H.A. 2002, Poligami, Kenapa Harus Dipertahankan,
            Yayasan Kesejahteraan Fatayat (YKF), Yogyakarta, Ford
            Foundation, Jakarta.

William F. Ogburn dan Meyer F.Nimkoff,1964. A. Handbook of Sociology  

 Outledge& Kegan Paul Lmt,London.

Wirjono Prodjodikoro, SH.,DR,R.,1981., Hukum Perkawinan Indonesia,

            Sumur Bandung, Bandung.

Yahya Harahap, 1989.,Kedudukan Kewenangan dan Acara Acara
            Peradilan Agama Undang-Undang no: 7 tahun 1989, Pustaka
            Kartini, Jakarta.




[1] Departemen Agama RI,2004, Pedoman Pejabat Urusan Agama Islam, Ditjen Bimas
Islam dan Penyelenggaraan Haji, Jakarta, hal.346.
[2] Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan , cet.3(Jakarta: Bulan
Bintang,1993),hlm.1
[3] Abd ar-Rahman al-Jaziri , Al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al- Arba’ah ( Mesir. Al-Muktabah  at-
Tijariyah al- Kubra, 1969) ,Juz IV:1.
[4] Abu Zahroh , ‘Aqd az-Zawad wa Asaruh(ttp, Dar al-Fikr  al Arabi,t.t),hlm.44.



[5] Hammudah ‘Abd al-‘Ati, Keluarga Muslim, alih bahasa Anshari Thoyib (Surabaya :
PT.Bina Ilmu,1984) hlm.72)
[6]Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Bandung : Humaniora Utama Press,t.t.),hlm.18 
[7] Kamal Muchtar, Asas-asas, hlm. 18
[8] Kamal Muchtar, Asas-asas,hlm.19.
[9] Abu Zahroh, ‘Aqd. Hlm.82
[10] As-Sayyid as-Sabiq, Fiqh,II :35
[11] Ibid,II:39
[12] Kompilasi., hlm.21
[13] Husein Muhammad Yusuf, Memilih jodoh dan tata cara meminang dalam Islam.
Jakarta : Gema Instansi Press, 1992, hal. 26
[14] Mahmud Yunus,1990,  Hukum Perkawinan dalam Islam menurut mazhab Syafi’I
 Hanafi, Maliki Hambali, Jakarta : PT Hida Karya, hal. 2,3.
[15] Mahmud Yunus,. op. cit. hal. 3,4.
[16] Mahmud Yunus,. op. cit., hal 4.5.
[17] Mahmud Yunus, , op. cit., hal. 5
[18] Abu Zahroh, ‘Aqd  az-Zawad waAsaruh (ttp.,Dar-al-Fikr al-Arabi,t.t.) hlm.44
[19] Hindun Annisa, 2002, Islam dan Hubungan Seksual yang Sehat, Yayasan
Kesejateraan Fatayat (YKF) Yogyakarta Ford Soundation , Jakarta.
[20] Asaf.A.A. Fyzee, 1981,Outline of Muhammad  Law, edisi 4 , cet. 5 (New Delhi: Oxford
University Press, ) , hlm. 88
[21] Ahmad Harir,2002, Islam , Aborsi dan Keluarga Berencana, Yayasan kesejahteraan
Fatayat (YKF) Yogyakarta, Ford Foundation, Jakarta.
[22] Ibrahim Muhammad al-Jamal, 1991, Fiqih Wanita Islam ,Terjemahan, Pustaka
Panjimas ,Jakarta.hal.15
[23] M.Tholib,1992, 60 Pedoman Rumah Tangga Islamy, Pustaka Al-Kaustar, Jakarta.
 Hal.20
[24] M.Tholib, Op.Cit.hal.21
[25] Ibid. Hal.22
[26] Mahmud Yunus.1981, Hukum Perkawinan dalam Islam. Jakarta : Hidakarya Agung,
, cetakan ke 9, hal. 1
[27] Sayuti Thalib. Hukum Kekeluargaan Indonesia (berlaku bagi Umat Islam). Jakarta : UI- Press, hal.47.
[28] Op.Cit,hal.49
[29] Op.Cit.hal.55
[30] Muhammad Jawad Mughniyah,1994, terjemahan,Fiqh Lima Mazhab,Basrie Press,
Jakarta, hal.61
[31] Rusli dan R. tama.1984, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya.  Shantika
 dharma,Bandung, Cetakan pertama hal. 22-23.
[32] Asmin, Status Perkawianan Antar Agama ditinjau dari UU Perakawianan No. 1/1974.
 PT Dian Rakyat.Jakarta, hal.29
23. Al-Ghazali,1995, Menyingkap Hakekat Perkawinan, alih bahasa Muhammad al-Baqir,
Karisma, hal.24
[34] M. Muslihudin.1992, Menciptakan keluarga Bahagia.Karya Ilmu  Surabaya ,hal.36
[35] Bahay al- Khauly,1988. Islam dan persoalan Wanita Moderen, Alih bahasa,Rosihin A.
Gani,CV Ramadhani, Solo.Hal.51
[36] Mahmud Al-Shabbahh, 1993,Tuntunan  Keluarga Bahagia Menurut Islam,Alih Bahasa
,Bahrudidin Fannani,PT.Remaja Rosda Karya, Bandung, hal.1
[37] Baihaqi, 900Materi-materi Pokok untuk dakwah dan khotbah,Darul Ulum Press,
Jakarta, 2001.hal.283.
[38] Ahmad Solihin dan I I Sufyana M Bakri, 1990, Khutbah Pilihan ,Sinar Baru
Algesindo.Bandung.hal.126
[39] Mahmud Yunus, Op. cit. hal, 6,7,8.
[40] Murtadha Muthahhari , 1995,Hak-hak Wanita dalam Islam, alih bahasa M. Hashem,
Penerbit Lentera, Bandung,hal.41
[41] Ahmad Mudjab Mahalli,2002, Wahai Pemuda Menikahlah, Menara Kudus, Jogjakarta.
Hal.121
[42] Asmin . Op. Cit., hal. 29,30,31.
[43]. Mahmud Yunus. Op. cit., hal. 16
[44] Asmin. op. Cit., hal 31
[45] Departemen Agama, 1991/1992,Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah. Jakarta
: Badan Kesejahteraan Masji (BKM) Pusat, , hal. 19
[46] Departemen Agama ,Op. Cit. Hal 19,20.
[47] Departemen Agama RI, 2003,Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN), Dirjen Bimas
Islam & Urusan Haji, Jakarta, hal. 24
[48] Departemen Agama , Op.Cit. Hal.33
[49] Noor Rahmat,2002, Hak Memilih Pasangan, Tidak Perlu Ada, Yayasan Kesejahteraan
Fatayat (YKF) Yagyakarta, Ford  Foundation, Jakarta.
[50] Departemen Agama, Ibid , hal. 34
[51] Ahmad Hanafi,1970, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta
[52] Toha Husein, H.A. 2002, Poligami, Kenapa Harus Dipertahankan, Yayasan
Kesejahteraan Fatayat (YKF), Yogyakarta, Ford Foundation, Jakarta.Hal. 2
[53] Departemen Agama, Op.cit., hal. 22,23,24,25,26,27,28.
[54] Terjemahan Nailul Authar,1984, A. cadir Hasan Dkk, Surabaya PT. Bina Ilmu,
 hal. 21,98.

[55] Murtadha Muthahhari,1981. Wanita Dalam Islam, Penerbit Lentera, Jakarta.Hal.41
[56] Murtadha Muthahhari,Opcit. Hal. 42
[57] Sayyid Sabiq,1990,Fikih Sunnah,Terjemahan.PT. Alma’arif ; Bandung hal. 28
[58] Arso Sosroatmodjo dan A.wasit Aulawi,1975, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bulan
 Bintang,Jakarta, hlm.9
[59] William F. Ogburn dan Meyer F.Nimkoff,1964, A. Handbook of Sociology ( London:
Outledge& Kegan Paul Lmt,. hal.488.
[60] R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di
Indonesia, (Surabaya : Airlangga University Press,1988) hlm.13
[61] Departemen Agama, Op. Cit., hal.211
[62] Ibid, hal. 225
[63] Departemen Agama, Op. Cit., Hal.259, 260
[64] Departemen Agama RI, 2003, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, Proyek
Peningkatan Tenaga Keagamaan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan
Penyelenggaraan Haji, Jakarta.hal.6
[65] Departemen Agama, Opcit. Hal.7-27
[66] Wawancara Dengan AF (Nama inisial) ,calon pengantin di KUA. Kec. Muntilan pada
tanggal 5 Januari 2009.
[67] Wawancara dengan MA (nama inisial), ayah kandung /wali dari calon pengantin putri
( AF) , pada tanggal 10 Januari 2009.
[68] Wawancara, pada tanggal,10 Pebruari 2009, dengan Bapak Sutikno,SH ,Penghulu
pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Muntilan.
[69] Departemen Agama RI, 2005, Membina Keluarga Sakinah, Ditjen Bimas Islam dan
Penyelenggaraan Haji Direktorat Urusan Agama Islam, Jakarta. Hal. 24
[70] Departemen Agama RI, 2003,Pedoman Pelaksanaan Akad Nikah, Dirjen Bimas Islam
dan Penyelenggaraan Haji, Proyek Peningkatan Tenaga Keagamaan, Jakarta,
hal. 9
[71] Departemen Agama RI, Sighot Taklik Talak, pada buku Nikah untuk suami/ isteri 
(Kutipan Akta Nikah) .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar