gobagsodorpadhangnjingglang
Jumat, 03 Oktober 2014
Senin, 29 September 2014
IBU
Ibu, kadang aku rindu untuk kembali kerumahmu, ketika sepi dan tak ada yang menghibur lagi
Aku ingin kembali kepangkuanmu, masih kuingat ketika masa kecil, kami berenam sering membuatmu tak nyaman, kami nakal tapi engkau tidak pernah marah, bahkan kadangkala engkau melindungi dan menutupi kesalahanku agar ayah tak menghukum atas kesalahanku.
aku rindu belai kasih sayangmu , tatkala aku sakit engkau terjaga semalaman kau bingung mencari obat untuk menyembuhkan luka-lukaku bekas tersandung,terjatuh ketika bermain bola, kau berusaha menyembuhkan sakitku walau aku tau hanya dengan olesan minyak kelapa, aku tau bukan obat itu yang meringankan lukaku, tapi kasih sayang dan perhatian pada anakmu.
Aku ingin kembali kepangkuanmu, masih kuingat ketika masa kecil, kami berenam sering membuatmu tak nyaman, kami nakal tapi engkau tidak pernah marah, bahkan kadangkala engkau melindungi dan menutupi kesalahanku agar ayah tak menghukum atas kesalahanku.
aku rindu belai kasih sayangmu , tatkala aku sakit engkau terjaga semalaman kau bingung mencari obat untuk menyembuhkan luka-lukaku bekas tersandung,terjatuh ketika bermain bola, kau berusaha menyembuhkan sakitku walau aku tau hanya dengan olesan minyak kelapa, aku tau bukan obat itu yang meringankan lukaku, tapi kasih sayang dan perhatian pada anakmu.
MEMBANGUN KELUARGA SAKINAH
Oleh :
Hanif Hanani Tamjiz putu soeta
Email
:hanifhanani05@gmail.com
Membangun sebuah komitmen
didalam keluarga itu sangat penting masing masing pihak suami atau isteri
sebagai pelaku harus rela untuk menahan ego masing masing, agar tujuan
berkeluarga itu tercapai dengan elegan tanpa harus melaui berbagai macam
konflik yang kadang kala akan memakan korban, mungkin dari anggota keluarga
kita , bahkan sangat mungkin berdampak pada pasangan suami istri itu sendiri.
Kelurga Sakinah , menjadi ultimate goal bagi sebuah keluarga yang
dari keluarga itu akan muncul generasi yang akan datang (the next generation) ,
yang harus kita upayakan agar generasi yang lahir setelah kita itu menjadi
generasi yang unggul, bukankah Nabi kita Muhammad Saw pernah bersabda bahwa
pada hari akhir nanti, umat dari nabi-nabi akan di lombakan dalam hal banyaknya
jumlah atau kwantitasnya , tetapi perlu diingat juga Firman Allah yang
mensinyalir bahwa pada masa mendatang akan lahir generasi yang
“mengkhawatirkan” atau khoofu atau lemah, siapa generasi itu ? yaitu angkatan
muda yang meninggalkan sholat dan memperturutkan hawa nafsu.
Dalam kehidupan modern ini ,
sinyalemen seperti yang saya sebut diatas semakin nampak bahkan menjadi
kenyataan yang sangat mencengangkan ,
masif , merambah lintas strata sosial, bukan hanya lahir dari kalangan proletar tetapi terjadi juga di kalangan
jetset ,the have dan dari
keluarga-keluarga yang dalam masyarakat tampak sebagai keluarga yang terpandang
baik dari sisi ekonomi maupun status sosialnya
Menurut Abraham Maslow, manusia
memiliki lima tingkat kebutuhan hidup yang senantiasa bakal dipenuhi sepanjang
masa hidupnya. Lima tingkatan yang dapat membedakan setiap manusia dari sisi
kesejahteraan hidupnya,
Kebutuhan tersebut berjenjang dari yang paling mendesak hingga yang akan
muncul dengan sendirinya saat kebutuhan sebelumnya telah dipenuhi. Setiap orang
pasti akan melalui tingkatan-tingkatan itu, dan dengan segala daya upaya
ditempuh untuk mencapainya, namun tidak banyak orang yang dapat meraih high
step dari piramida ini.
Lima tingkat kebutuhan dasar menurut teori Abraham Maslow adalah sebagai
berikut :
1. Kebutuhan Pokok
(Fisiologi needs)
Contohnya adalah : Sandang , pakaian, pangan , makanan, papan / rumah, dan kebutuhan biologis seperti buang air besar, buang air kecil, bernafas, dan lain sebagainya.
Contohnya adalah : Sandang , pakaian, pangan , makanan, papan / rumah, dan kebutuhan biologis seperti buang air besar, buang air kecil, bernafas, dan lain sebagainya.
2. Kebutuhan
akan rasa aman (safty needs)
Contoh seperti : Bebas dari tekanan , bebas dari ancaman, bebas dari rasa takut, bebas dari teror.
Contoh seperti : Bebas dari tekanan , bebas dari ancaman, bebas dari rasa takut, bebas dari teror.
3. Kebutuhan
Sosial (social needs)
Misalnya adalah : Memiliki teman, memiliki keluarga, kebutuhan cinta dari lawan jenis, dan lain-lain.
Misalnya adalah : Memiliki teman, memiliki keluarga, kebutuhan cinta dari lawan jenis, dan lain-lain.
4. Kebutuhan
Penghargaan (Esteem needs)
Dalam kategori ini dibagi menjadi dua jenis, Eksternal dan Internal.
- Sub kategori eksternal meliputi : Pujian, piagam, tanda jasa, hadiah, dan banyak lagi lainnya.
- Sedangkan sub kategori internal sudah lebih tinggi dari eskternal, pribadi tingkat ini tidak memerlukan pujian atau penghargaan dari orang lain untuk merasakan kepuasan dalam hidupnya.
Dalam kategori ini dibagi menjadi dua jenis, Eksternal dan Internal.
- Sub kategori eksternal meliputi : Pujian, piagam, tanda jasa, hadiah, dan banyak lagi lainnya.
- Sedangkan sub kategori internal sudah lebih tinggi dari eskternal, pribadi tingkat ini tidak memerlukan pujian atau penghargaan dari orang lain untuk merasakan kepuasan dalam hidupnya.
5. Kebutuhan
Aktualisasi Diri
Yaitu kebutuhan akan aktualisasi diri atau jati diri sebagai manusia yang
butuh identitas dan pengakuan dari orang lain.
Alfin Tofler, pernah meramalkan masa depan
manusia modern ini dengan mengatakan
bahwa manusia akan tergoda dengan tiga hal : 1. Food 2. Fasion dan 3. Fun. Mari kita telaah masing masing hal
yang diindikasi menggoda manusia modern itu. Food atau makanan, semestinya makan yang menjadi kebutuhan primer
manusia, agar manusia menjadi lebih berdaya
, lebih sehat atau paling tidak,dapat meningkatkan mobilitas dari manusia , tetapi
kenyatannya sekarang ini manusia dihadapkan kepada berbagai macam penyakit yang
timbul dari efek buruk apa yang telah dikonsumsinya, mungkin makanan yang
mestinya hanya untuk mencukupi kebutuhan perut bergeser menjadi trend atau gaya
hidup yang berlebih lebihan , foya-foya dan tidak lagi memikirkan orang lain ,
bahkan makan menjadi tujuan hidup,hidup
untuk makan bukan lagi makan untuk hidup ,
jadinya ada golongan manusia yang
sekali makan harganya bisa cukup untuk makan orang satu kampung , inilah
mungkin yang disebut sebagi manusia “Abdul
butun” atau pengabdi perut.
Fashion, atau
pakaian , tujuan adanya pakaian adalah untuk menutup aurot , ,sebenarnya itu
tujuan utamanya , apalagi bagi komunitas umat Islam , pakaian itu dirancang untuk menutup aurot sebagai sarana
beribadah kepada Tuhan, sebab tanpa menutup aurot ibadah kita , terutama sholat
tidak ada nilainya tanpa dipenuhi syarat tertutupnya aurot. Namun dalam
perkembangan mode , pakaian berubah
menjadi style atau gaya , maka fungsi dari pakaian yang tujuan semula menjadi
penutup itu telah dimanipulasi menjadi sarana untuk riya’,pamer atau sesuatu yang didewa-dewakan , orang
cenderung berlomba bisa berpakaian trendy,
branded, tanpa memahamai
kaidah-kaidah berpakaian yang wajar, benar dan humanis. Bahkan yang lebih ironis lagi gaya pakaian muslimah yang
lazim disebut jilbab beralih menjadi jilbob,
yaitu pakaian yang sekedar hanya
menutupi rambut , tetapi tidak menutupi aurot “Dada” yang semestinya wajib
“diamankan”, apa jadinya ?
Fun : atau
kesenangan , orang modern berlomba-lomba untuk mengejar kesenangan, kadang lupa
bahwa hidup didunia ini hanya bersifat sementara, dan apa yang didapatkan
dengan cara-cara tidak fair pasti akan berakibat buruk. Dalam bahasa Alqur’an
kesenagan ini sering disebut sahawat atau keinginan, ketertarikan , dihiasi manusia itu dengan kesenangan
terhadap wanita, anak-anak keturunan, dan kesenangan yang berlebihan terhadap
emas dan perak, kuda-kuda perang , dan binatang ternak dan sawah ladang, itulah
perhiasan kehidupan didunia, dan kepada Allah tempat kembali yang terbaik.Berpijak
dari keterangan ini jelaslah bahwa kesenangan yang ada didunia ini sifatnya
semu, sementara dan hanyalah perhiasan kehidupan dan tujuan hidup yang ideal adalah
mempersiapkan tempat kembali, untuk bertanggung jawab kepada Sang Maha
Pencipta.Bukankan manusia diciptakan ini untuk menyiapkan Rumah yang baik di
kampung Akhirat, walaupun dunia tidak harus dilupakan , kita hanya disuruh
berbuat dan bertindak baik, akhsan sebagaimana Allah telah berbuat baik kepada
kita, dengan menyempurnakan penciptaan manusia lebih sempurna dari mahluk yang
lain, dan kita juga di larang membuat kerusakan dimuka bumi, dan Tuhan tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas atau tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan.Secara tidak sadar kita kadangkala menjadi mahluk yang paling buas,
melibihi perilaku binatang yang paling buas sekalipun, bahkan binatang Harimau
yang telah dijuluki binatang buas sekalipun, rekornya dapat dikalahkan oleh
mahluk kecil dan lemah yaitu manusia.Harimau juga mencari makan ,berburu mangsa
tetapi setelah mendapatkan satu mangsa harimau hanya makan ala kadarnya,
disimpan sedikit untuk persediaan barangkali nanti dia tidak berhasil
memperoleh hewan buruan, tetapi manusia dengan keserakahannya bahkan berkilah
menumpuk harta untuk makan, tetapi kalau dikalkulasi dimakan anak cucu tujuh
turunan hartanya tidak akan habis.Banyak juga manusia yang berlaku dan
bertindak menjadi serigala bagi manusia lain Homo homini lupus
Salamkanci , Medio September 2014
Jumat, 30 Mei 2014
MAKALAH TEORI HUKUM
LATAR BELAKANG DAN PERKEMBANGAN
CRITICAL LEGAL STUDIES
Oleh : H.Hanif Hanani Tamjiz putu Soeta
A.
LATAR BELAKANG CRITICAL LEGAL STUDIES
Teori hukum tradisional mengajarkan,
hukum merupakan seperangkat aturan dan prinsip-prinsip yang memungkinkan
masyarakat mempertahankan ketertiban dan kebebasannya. Para penganut teori
hukum tradisional berkeyakinan bahwa hukum haruslah netral dan dapat diterapkan
kepada siapa saja secara adil, tanpa memandang kekayaan, ras, gender atau
harta. Meskipun mereka tidak satu pendapat mengenai apakah dasar yang terbaik
bagi prinsip-prinsip hukum, yakni apakah dasarnya adalah wahyu Tuhan, etika
sekuler, pengalaman masyarakat, atau kehendak mayoritas. Akan tetapi, umumnya
mereka setuju terhadap kemungkinan terpisahnya antara hukum dan politik, hukum
tersebut menurut mereka akan diterapkan oleh pengadilan secara adil.
Para teoritisi postmodern
percaya, pada prinsipnya hukum tidak mempunyai dasar yang objektif dan tidak
ada yang namanya kebenaran sebagai tempat berpijak dari hukum. Dengan kata
lain, hukum tidak mempunyai dasar berpijak, yang ada hanya kekuasaan.
Akhir-akhir ini, mereka yang disebut juga dengan golongan antifoundationalistis,
telah mendominasi pikiran-pikiran tentang teori hukum dan merupakan pembela
gerakan Critical Legal Studies. Yang menjadi
ukuran bagi hukum bukanlah benar atau salah, bermoral atau tidak bermoral
melainkan hukum merupakan apa saja yang diputuskan dan dijalankan oleh kelompok
masyarakat yang paling berkuasa.
Karena itu, para postmodernist ini
menentang hukum dengan mengatakan bahwa hukum tidak berdasarkan benar atau
salah secara universal, tetapi hanya perwujudan kekuasaan oleh 1 (satu)
kelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat lainnya. Dalam bidang hukum.
Muncul gerakan yang menantang teori hukum tradisional, gerakan itu disebut
dengan gerakan critical legal studies.
Critical
Legal Studies timbul sebagai kritik terhadap keadaan krisis hukum yang gagal
berperan sebagai alat perubahan dan sebagai alat untuk mencapai keadilan yang
sebenarnya. Krisis hukum itu bersumber pada gejolak sosial pada masa
tahun 1960-an. Pada masa itu, praktik hukum menampilkan 2 (dua) wajah keadilan
yang kontras. Di satu sisi, beberapa pengadilan dan beberapa bagian dari
profesi hukum telah menjadi juru bicara bagi kelompok masyarakat yang tidak
beruntung. Tetapi di sisi yang lain, pada saat yang bersamaan, hukum
menampilkan sosoknya yang dilengkapi dengan sepatu boot dan berlaku represif
untuk membasmi setiap anggota masyarakat yang membangkang.
Critical Legal Studies
merupakan sebuah gerakan yang muncul pada tahun tujuh puluhan di Amerika
Serikat. Critical Legal Studies lahir karena pembangkangan atas ketidak puasan
terhadap teori dan praktek hukum pada saat itu, khususnya terhadap teori dan
praktek hukum dalam bidang-bidang sebagai berikut :
Terhadap pendidikan hukum
Pengaruh politik yang sangat kuat terhadap
dunia hukum
Kegagalan peran hukum dalam menjawab
permasalahan yang ada
Sebagaimana diketahui bahwa banyak
kekecewaan terhadap filsafat,teori, dan praktek hukum yang terjadi di paruh
kedua dari abad ke-20. Sedangkan aliran lama yang mainstream saat itu, semisal
aliran realisme hukum, di samping perannya semakin tidak bersinar, semakin
tidak populer, dan juga ternyata tidak dapat menjawab berbagai tantangan zaman
di bidang hukum. Sangat terasa, terutama pada akhir abad ke-20, bahwa
diperlukan adanya suatu aliran dan gebrakan baru dalam praktek, teori, dan
filsafat hukum untuk menjawab tantangan zaman tersebut.
Menyadari akan kebobrokan hukum yang sudah sampai pada
tataran teoritis dan filsafat ini, maka pada akhir abad ke-20, tepatnya mulai
dekade 1970-an, beberapa ahli hukum mulai melihat hukum dengan kacamata yang
kritis, bahkan sangat kritis, dengan gerakannya yang terbilang revolusioner,
akhimya memunculkan suatu aliran baru dalam filsafat hukum, yang kemudian
dikenal dengan sebutan “aliran hukum kritis” (critical legal studies).
Gerakan critical legal studies mulai eksis dalam dekade 1970-an
yang merupakan hasil dari kofrensi tahun 1977 tentang critical legal studies di
Amerika serikat. Pada saat yang hampir bersamaan atau beberapa
waktu setelah itu, kelompok-kelompok ahli hukum dengan paham yang serupa tetapi
bervariasi dalam style, metode dan fokus , juga lahir secara terpisah dan
independen di beberapa negara lain selain Amerika Serikat, seperti di Jerman,
Prancis.
Di
Inggris, gerakan critical legal studies ini dibentuk dalam konferensi tentang
critical legal studies pada tahun 1984. Pada tahun tersebut, diundang para ahli
hukum untuk membicarakan pendekatan yang kritis terhadap hukum, mengingat
adanya kesenjangan yang besar antara hukum dalam teori (law in books)
dengan hukum dalam kenyataan (law in actions) dan kegagalan masyarkat
merespon masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat.
Konferensi yang dianggap sebagai peletakan batu pertama bagi lahirnya gerakan
Critical Legal Studies tersebut dilakukan oleh suatu organizing committee yang
beranggotakan sebagai berikut: Abel, Heller, Horwitz, Kennedy, Macaulay,
Rosenblatt, Trubek, Tushnet dan Unger. Meskipun aliran critical legal studies
belum tentu juga mempunyai teori yang bersifat alternatif, tetapi paling tidak,
dia sudah punya sejarah.
Fokus sentral pendekatan critical legal
studies adalah untuk mendalami dan menganalisis keberadaan doktrin-doktrin
hukum, pendidikan hukum dan praktek institusi hukum yang menopang dan mendukung
sistem hubungan-hubungan yang oppressive dan tidak egaliter. Teori
kritis bekerja untuk mengembangkan alternatif lain yang radikal, dan untuk
menjajagi peran hukum dalam menciptakan hubungan politik, ekonomi dan dan
sosial yang dapat mendorong terciptanya emansipasi kemanusiaan.
Dalam perkembangan lebih lanjut,
pendekatan critical legal studies telah melahirkan generasi kedua yang
lebih menitikberatkan pemikiran dan perjuangannya dengan menggunakan hukum
untuk merekontruksi kembali realitas sosial yang baru. Mereka berusaha keras
untuk membuktikan bahwa di balik hukum dan tatanan sosial yang muncul di
permukaan sebagai sesuatu yang netral, di dalamnya penuh dengan bias terhadap
kultur, ras atau gender. Generasi
kedua dari critical legal studies sekarang muncul dalam wujud
Feminist Legal Theories, Critical Race Theoriest, Radical Criminology dan juga
Economic Theory of Law.
B.POKOK-POKOK
PEMIKIRAN CRITICAL LEGAL STUDIES
- Mengkritik
hukum yang berlaku yang nyatanya memihak ke politik dan sama sekali tidak
netral.
- Mengkritik
hukum yang sarat dan dominan dengan ideologi tertentu.
- Mempunyai
komitmen yang besar terhadap kebebasan individual sesuai dengan
batasan-batasan tertentu. Karena itu aliran ini banyak berhubungan dengan
emansipasi kemanusiaan. Karena hal itulah, maka tidak mengherankan apabila
pada perkembangannya di kemudian hari Critical Legal Studies ini
melahirkan pula Feminist Legal Theory dan Critical Race Theory.
- Kurang
mempercayai bentuk-bentuk kebenaran yang abstrak dan pengetahuan yang
benar-benar objekif. Karena itu, ajaran ini menolak keras ajaran-ajaran
dalam aliran positivisme hukum. Aliran critical legal studies menolak
unsur kebenaran objektif dari ilmu pengetahuan hukum, dan menolak-pula
kepercayaan terhadap unsur keadilan, ketertiban, dan kepastian hukum yang
objektif, sehingga mereka mengubah haluan hukum untuk kemudian digunakan
sebagai alat untuk menciptakan emansipasi dalam dunia politik, ekonomi,
dan sosial budaya.
- Menolak
perbedaan antara teori dan praktek, dan menolak juga perbedaan antara
fakta dan nilai yang merupakan karakteristik dari paham liberal. Dengan
demikian aliran ini menolak kemungkinan teori murni (pure teory)
tetapi lebih menekankan pada teori yang memiliki daya pengaruh terhadap
transfomasi sosial yang praktis. Sejalan dengan hal itu, namun dalam kalimat yang berbeda,
Gary Minda dengan mengutip pendapat dari James Boyle mengatakan bahwa, “Critical
Legal Studies offered not merely a theory of law, but a hopeful
self-conception of a politically active, socially responsible [vision] of
a noble calling”.
Pada prinsipnya, critical legal studies menolak anggapan
ahli hukum tradisional yang mengatakan sebagai berikut:
- Hukum itu
objektif. Artinya, kenyataannya adalah tempat berpijaknya hukum
- Hukum itu
sudah tertentu. Artinya, hukum menyediakan jawaban yang pasti dan dapat
dimengerti
- Hukum itu
netral, yakni tidak memihak pada pihak tertentu.
Disamping
menolak ketiga anggapan tersebut, para penganut ajaran critical legal studies
mengajukan pandangannya sebagai berikut:
Hukum mencari legitimasi yang salah
Dalam hal ini,
hukum mencari legitimasi dengan cara yang salah yaitu dengan jalan mistifikasi,
dengan menggunakan prosedur hukum yang berbelit, dan bahasa yang susah
dimengerti, yang merupakan alat pemikat sehingga pihak yang ditekan oleh yang
punya kuasa cepat percaya bahwa hukum adalah netral
Hukum dibelenggu oleh kontradiksi-kontradiksi
Dalam hal ini,
pihak penganut critical legal studies percaya bahwa setiap kesimpulan hukum
yang telah dibuat selalu terdapat sisi sebaliknya, sehingga kesimpulan hukum tersebut
hanya merupakan pengakuan terhadap pihak kekuasaan. Dengan hukum yang demikian,
mereka akan berseru ”pilih sisi/pihakmu, tetapi jangan berpura-pura menjadi
objektif”. Dalam hal ini, hakim akan memihak pada salah satu pihak (yang kuat)
yang dengan sendirinya akan menekan pihak lain.
Tidak ada yang namanya prinsip-prinsip dasar dalam hukum
Ahli hukum yang
tradisional percaya bahwa prinsip yang mendasari setiap hukum adalah ”pemikiran
yang rasional”. Akan tetapi menurut penganut aliran ini, pemikiran rasional itu
merupakan ciptaan masyarakat juga, yang merupakan pengakuan terhadap kekuasaan.
Karena itu, tidak ada kesimpulan hukum yang valid yang diambil dengan jalan
deduktif maupun dengan verifikasi empiris.
Hukum Tidak Netral
Penganut
critical legal studies berpendapat bahwa hukum tidak netral, dan hakim hanya
berpura-pura atau percaya secara naif bahwa dia mengambil putusan yang netral
dan tidak memihak dengan mendasari putusannya pada undang-undang, yurisprudensi
atau prinsip-prinsip keadilan. Padahal mereka, selalu bisa dan selalu
dipngaruhi oleh ideologi, legitimasi, mistifikasi yanng dianutnya untuk
memperkuat kelas yang dominan.
Di samping itu, aliran critical legal
studies ini juga berbeda secara konsepsi dengan pendekatan hukum secara
sosiologis (sociolegal studies). Pendekatan pada hukum secara sosiologis
memiliki kelemahan utama berupa terabaikannya karakter orientasi kebijaksanaan
hukum (policy oriented). Khusus untuk masalah ini, berbagai altematif
pendekatan baru telah dilakukan oleh para ahli hukum, seperti munculnya ajaran
berupa sosiologi hukum kritis (critical sociology of law) atau
pendekatan pada hukum (dan juga pada fenomena sosial lainnya) berupa pendekatan
secara dialektikal yang modern, semacam yang dilakukan oleh ahli pikir seperti
Derrida, atau bahkan seperti yang dimunculkankan oleh Hegel, yang kemudian
dikembangkan lebih lanjut, antara. lain oleh Bhaskar, dengan doktrinnya berupa
“realisme kritikal dialektis” (dialectical critical realism). Pendekatan
nonkonvensional terhadap hukum seperti ini sudah barang tentu sangat
bertentangan dengan pendekatan-pendekatan hukum secara klasik, yang terialu
menekankan pada cara berpikir “identitas” (identity thinking).
Aliran critical legal studies merupakah
suatu aliran yang bersikap anti-liberal, antiobjektivisme, antiformalisme, dan
antikemapanan dalam teori dan filsafat hukum, yang dengan dipengaruhi oleh pola
pikir postmodern, neomarxism, dan realisme hukum, secara radikal mendobrak
paham hukum yang sudah ada sebelumnya, yang menggugat kenetralan dan
keobjektifan peran dari hukum, hakim, dan penegak hukum lainnya terutama dalam
hal keberpihakan hukum dan penegak hukum terhadap golongan yang
kuat/mayoritas/berkuasa/kaya dalam rangka mempertahankan hegemoninya, atau
keberpihakan hukum terhadap politik dan ideologi tertentu.
Esensi pemikiran critical legal studies
terletak pada kenyataan bahwa hukum adalah politik. Dari pemikiran law is
politics itu, critical legal studies berarti sudah langsung menolak dan
menyerang keyakinan para positivis dalam ilmu hukum yang mengembangkan
pemikiran hukum liberal. Critical Legal Studies berusaha untuk membuktikan
bahwa di balik hukum dan tatanan sosial yang muncul ke permukaan sebagai
sesuatu yang netral, sebenarnya di dalamnya penuh dengan muatan kepentingan
tertentu yang bias kultur, ras, gender, bahkan kepentingan ekonomi. Menurut
pandangan critical legal studies, doktrin hukum yang selama ini terbentuk,
sebenarnya lebih berpihak kepada mereka yang mempunyai kekuatan (power), baik
itu kekuatan ekonomi, politik ataupun militer. Oleh karena itulah, maka dalam
memahami masalah hukum juga harus selalu dilihat dari konteks power-relations.
Sebagai salah satu contoh dari hal
tersebut di atas, dapat dilihat dari praktik hubungan antarnegara. Dalam
hubungan antarnegara, kekuatan sering digunakan oleh negara maju terhadap
negara berkembang untuk:
- Terlibat
dalam kebijakan dalam negeri negara berkembang.
- Menekan
negara berkembang agar negara berkembang itu melakukan tindakan yang
sesuai dengan kebijakan dari negara maju.
Proses intervensi dan penekanan yang dilakukan oleh
negara maju seperti itulah yang kemudian dibungkus dengan suatu bentuk
perjanjian internasional, agar tampak lebih manusiawi. Dalam keadaan yang
demikian itu, maka tepatlah jika Karl Marx menganggap bahwa fungsi utama dari
hukum itu adalah untuk menyelubungi atau menutup-nutupi hubungan antarkekuatan
yang timpang.
Ada
berbagai macam varian di dalam arus critical legal studies. Varian itu
disebabkan karena adanya beragam latar belakang sumber intelektual dan
orientasi politik dari para pemikir yang ada di dalam critical legal studies.
Walaupun memang berisiko mengakibatkan terjadinya penyederhanaan dalam
memandang critical legal studies, tetapi setidaknya dapat disebutkan 3 (tiga)
varian utama dalam pemikiran critical legal studies ini, yaitu:
- Arus
pemikiran yang diwakili oleh Unger, yang mencoba mengintegrasikan 2 (dua)
paradigma yang saling bersaing, yaitu paradigma konflik dan paradigma
konsensus.
- Arus
pemikiran yang diwakili oleh David Kairys, yang mewakili tradisi pemikiran
hukum marxis atau tepatnya mewarisi kritik marxis terhadap hukum liberal
yang dianggap hanya melayani sistem kapitalisme. Arus pemikiran ini
mempunyai kecenderungan kepada sosialisme humanistik sebagai komitmen
politiknya.
- Arus
pemikiran yang diwakili oleh Kennedy, yang menggunakan metode ekletis yang
membaurkan sekaligus perspektif strukturalis, fenomenologis dan
neo-marxis.
Roberto Unger dalam bukunya mengakui
tentang adanya penjabaran dari pihak yang boleh dibilang konservatif terhadap
kritik kaum critical legal studies tentang formalisme. Menurut pihak
konservatif tersebut, kritikan oleh kaum critical legal studies tersebut hanya
valid jika ditujukan terhadap konstruksi hukum yang sistematik dari para ahli
hukum yang sangat ambisius dan tidak valid jika ditujukan terhadap argumentasi
yang khusus dan problem oriented dari pihak lawyer dan hakim dalam praktek.
Akan tetapi, menurut Unger, kritik kaum critical legal studies terhadap ajaran
formalisme, sebenarnya juga dalam rangka mempertahankan ajaran formalisme
dengan berbagai argumentasi, di samping, juga dalam rangka menunjukkan bahwa
tidak benar tindakan yang memisahkan antara penalaran hukum (legal reasoning)
dan politik, ideologi, dan filsafat.
Para penganut aliran Critical Legal
Studies juga mengritik pandangan modern tentang organisasi pemerintahan. Sebab,
menurut para penganut aliran critical legal studies tersebut bahwa setiap
sarana untuk membatasi kekuasaan negara, akan cenderung juga merugikan
masyarakat. Karena itu, diperlukan suatu cara yang bersifat resolusi, di mana
dapat terjadi pembatasan kekuasaan negara tanpa membatasi aktivitas negara yang
bersifat transformatif.
Critical
Legal Studies menyatakan bahwa masyarakat liberal dipenuhi dengan dominasi dan
hierarkhi. Kelas atas membentuk struktur yang berlaku bagi lainnya untuk
memperlancar kehidupannya. Negara hukum yang ideal adalah yang
dapat menandai kontradiksi dan hierarkhi dalam masyarakat liberal. Jika
dikatakan bahwa hukum tidak bertugas untuk menemukan kebenaran, tetapi
menemukan kompleksitas yang telah ada, maka teori hukum tidak akan bermakna
tanpa teori sosial.
Kebenaran pernyataan tentang kehidupan
sosial sesungguhnya telah dikondisikan oleh seluruh sistem sosial yang berlaku.
Kebenaran bersifat relatif menurut masyarakat tertentu atau kelompok sejarah
tertentu. Seseorang secara keseluruhan struktur sosial adalah produk sejarah,
bukan alam. Sejarah dipenuhi dengan pertentangan-pertentangan, dan aturan
sosial merupakan garis pemisah yang menggambarkan posisi masing-masing.
Kekuatan menjadi hak, kepatuhan menjadi tugas, dan untuk sementara pembagian
hierarkhi sosial menjadi kabur.
Critical
Legal Studies mencoba untuk mempengaruhi realitas sosial. Struktur yang
ada merupakan penggunaan kepercayaan dan asumsi yang menciptakan suatu
masyarakat dalam realitas hubungan antar manusia. Struktur kepercayaan atau
ideology tersebut memiliki potensi terselubung dalam tendensinya untuk
mempertahankan dinamikanya sendiri untuk menciptakan doktrin hukum yang
menyalahkan kondisi dan alam. Bagi critical legal studies, kesadaran hukum
adalah alat yang berhubungan dengan pikiran untuk melakukan penindasan. Hal ini
merupakan cara untuk menyembunyikan atau menghindari kebenaran fundamental
bahwa segala sesuatu itu dalam proses perubahan dan kehadiran.
Namun demikian, walaupun ada beragam
arus pemikiran dalam critical legal studies ini, para pemikir critical legal
studies tersebut tetaplah bersatu dalam pokok pemikiran yang tidak puas dan
melancarkan kritik terhadap paradigma hukum liberal. Untuk mengkritisi doktrin
hukum yang telah terbentuk selama ini, critical legal studies menggunakan
metode:
- Trashing,
yaitu dilakukan untuk mematahkan atau menolak pemikiran hukum yang telah
terbentuk. Teknik trashing dilakukan untuk menunjukkan kontradiksi dan
kesimpulan yang bersifat sepihak berdasarkan asumsi yang meragukan.
- Deconstruction,
adalah membongkar pemikiran hukum yang telah terbentuk. Dengan melakukan
pembongkaran ini, maka dapat dilakukan rekonstruksi pemikiran hukum.
- Genealogy,
adalah penggunaan sejarah dalam menyampaikan argumentasi. Genealogy
digunakan karena interpretasi sejarah sering didominasi oleh pihak yang
memiliki kekuatan. Interpretasi sejarah ini yang kemudian digunakan untuk
memperkuat suatu konstruksi hukum.
C.KELEBIHAN DAN KEKURANGAN CRITICAL
LEGAL STUDIES
Kelebihan critical legal studies terdiri dari berbagai
macam pemikiran yang dikemukakan oleh banyak ahli hukum. Pemikiran-pemikiran
tersebut bervariasi dari pemikiran yang bercirikan marxian ortodok sampai pada
pemikiran post-modern. Ada beberapa kesepahaman antara pemikiran-pemikiran
tersebut, yaitu ketidakpercayaan terhadap netralitas hukum, struktur sosial
yang hierarkhis dan didominasi ideologi kelompok tertentu, dan keinginan untuk
merombak struktur sosial.
Kekritisan critical legal studies dalam memahami realitas
sosial dan tata hukum serta komitmen untuk mengembangkan teori hukum
berdasarkan praksis sosial untuk merombak struktur sosial yang hierarkhis
adalah kelebihan utama critical legal studies. Kekuatan ini diwujudkan dalam
bentuk analitis kritis terhadap tata hukum, nilai-nilai
dan rasio-rasio hukum yang digunakan oleh para hakim yang selama ini disebut
netral dan benar secara obyektif.
dan rasio-rasio hukum yang digunakan oleh para hakim yang selama ini disebut
netral dan benar secara obyektif.
Kelebihan lain dari critical legal studies adalah
perhatiannya yang sangat besar
terhadap pengakuan individu sebagai subyek kehendak utama dalam tatanan sosial.
Kelebihan ini seperti membangkitkan kembali pandangan eksistensialis Kant-ian
yang akhir-akhir tergerus oleh gelombang modern dan industri sehingga
menimbulkan keterasingan individu subyektif karena tersedot arus budaya massa yang
abstrak.
terhadap pengakuan individu sebagai subyek kehendak utama dalam tatanan sosial.
Kelebihan ini seperti membangkitkan kembali pandangan eksistensialis Kant-ian
yang akhir-akhir tergerus oleh gelombang modern dan industri sehingga
menimbulkan keterasingan individu subyektif karena tersedot arus budaya massa yang
abstrak.
Namun teori ini tidak terlepas dari berbagai kekurangan.
Sebagaimana pemikiran kritis, apabila tidak digunakan secara tepat dengan
mengingat tujuan dan batas penggunaan, kritisisme bisa berujung pada nihilisme.
Atau paling tidak terjebak pada lingkaran kritik tanpa ujung dalam tingkatan
wacana sehingga melupakan tugas praktis terhadap masyarakat.
Kelemahan lain adalah dari sifat asli pemikiran kritis
yang selalu
dalam dirinya sendiri melakukan dekonstruksi sehingga perubahan dan gejolak
selalu terjadi. Padahal realitas masyarakat selalu cenderung mempertahankan
nilai-nilai dan tatanan lama dan hanya mengijinkan perubahan yang tidak terasa.
Akibatnya critical legal studies sangat sulit menjadi mainstream pembangunan hukum. Tugas utama critical legal studies adalah melancarkan kritik untuk perubahan yang dilakukan oleh orang lain.
dalam dirinya sendiri melakukan dekonstruksi sehingga perubahan dan gejolak
selalu terjadi. Padahal realitas masyarakat selalu cenderung mempertahankan
nilai-nilai dan tatanan lama dan hanya mengijinkan perubahan yang tidak terasa.
Akibatnya critical legal studies sangat sulit menjadi mainstream pembangunan hukum. Tugas utama critical legal studies adalah melancarkan kritik untuk perubahan yang dilakukan oleh orang lain.
D.PERKEMBANGAN CRITICAL LEGAL STUDIES
DI INDONESIA
Critical Legal Studies bagi kalangan hukum di
Indonesia sendiri masih dianggap
baru. Perkembangan awal critical legal studies digunakan oleh kalangan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk memahami kebijakan dan struktur hukum yang menindas. Hal ini sesuai dengan mainstream utama pemikiran LSM yang cenderung kritis dengan menggunakan pemikiran-pemikiran marxian dan mazhab kritis. Namun untuk saat ini kita tidak tahu apakah para aktivis LSM masih cenderung kritis dalam pemikiran-pemikirannya.
baru. Perkembangan awal critical legal studies digunakan oleh kalangan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk memahami kebijakan dan struktur hukum yang menindas. Hal ini sesuai dengan mainstream utama pemikiran LSM yang cenderung kritis dengan menggunakan pemikiran-pemikiran marxian dan mazhab kritis. Namun untuk saat ini kita tidak tahu apakah para aktivis LSM masih cenderung kritis dalam pemikiran-pemikirannya.
Saat ini Indonesia berada dalam masa
transisi yang ditandai oleh pergulatan kekuatan-kekuatan yang mencoba untuk
mendominasi baik dari dalam negeri maupun kekuatan kapitalis internasional yang
sangat-sangat membahayakan. Maka sudah saatnya pemikiran-pemikiran critical
legal studies juga digunakan untuk memahami, mengkritik, membangun, dan
menerapkan hukum di Indonesia yang terlalu banyak carut marut di dalam
penerapannya
Pemikiran
Critical Legal Studies juga telah mempengaruhi pemikiran para ahli hukum di
Indonesia. Hal itu dapatlah dipahami, karena keadaan hukum di Indonesia mirip
dengan keadaan hukum di Amerika Serikat pada saat Critical Legal Studies ini
lahir. Jadi dengan demikian, penggunaan metode yang ditawarkan oleh Critical
Legal Studies memang akan sangat membantu dalam memberikan pemahaman terhadap
keadaan hukum di Indonesia. Untuk hal ini, menarik juga untuk memperhatikan
pendapat dari Ifdhal Kasim yang menyatakan: “Kajian-kajian hukum Critical Legal
Studies saya kira sangat relevan kita gunakan dalam menganalisis proses-proses
hukum di Indonesia, dalam menganalisis proses-proses pembentukan dan
penerapannya maupun untuk menganalisis suatu doktrin hukum dan bagaimana ia
telah berfungsi mengabsahkan suatu sistem sosial atau kebijakan tertentu. Saya kira
memang sangat diperlukan suatu analisis yang dapat mengungkap “hidden
political intentions” di belakang berbagai konsep, doktrin dan
proses-proses hukum di sini”.
Penggunaan critical legal studies untuk
menganalisis hukum di Indonesia
paling mudah dilakukan terhadap pembangunan hukum pada masa orde baru. Pada
masa inilah dapat dilihat secara jelas kepentingan-kepentingan ekonomi dan
politik dominan yang menghuni ide tata hukum. Kepentingan atas pertumbuhan
ekonomi memaksa kebijakan kemudahan usaha dengan jalan pemberian kredit yang
disertai dengan deregulasi dan debirokratisasi. Kepentingan pembangunan ekonomi
mensyaratkan stabilitas politik yang dilakukan dengan cara mengurangi hak sipil
dan politik rakyat
paling mudah dilakukan terhadap pembangunan hukum pada masa orde baru. Pada
masa inilah dapat dilihat secara jelas kepentingan-kepentingan ekonomi dan
politik dominan yang menghuni ide tata hukum. Kepentingan atas pertumbuhan
ekonomi memaksa kebijakan kemudahan usaha dengan jalan pemberian kredit yang
disertai dengan deregulasi dan debirokratisasi. Kepentingan pembangunan ekonomi
mensyaratkan stabilitas politik yang dilakukan dengan cara mengurangi hak sipil
dan politik rakyat
Selain hal tersebut, perlu pula
diperhatikan, bahwa pada saat menggunakan metode critical legal studies dalam
menganalisis keadaan hukum di Indonesia, tetaplah harus memperhatikan
faktor-faktor tertentu yang sifatnya khas dan mungkin hanya ada di Indonesia,
seperti faktor nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia atau faktor agama.
Bahkan untuk faktor agama ini, akan sangat mungkin menjadi hambatan untuk
dilakukannya kajian yang kritis terhadap hukum.
Misalnya saja, tentu akan sulit untuk melakukan kajian yang kritis terhadap
kemungkinan dibentuknya peraturan perundang-undangan yang melegalkan perkawinan
sesama jenis kelamin (homoseksual) di Indonesia. Hambatan terhadap kajian
kritis semacam itu, tentu terletak pada keyakinan masyarakat Indonesia yang
pada umumnya masih menganggap bahwa perilaku homoseksual itu adalah dilarang
oleh agama (bertentangan dengan nilai agama). Jadi, dalam menggunakan metode
critical legal studies ini tetaplah “kontekstualisasinya diperlukan”.
DAFTAR PUSTAKA
Anom Surya Putra, Teori Hukum Kritis: Struktur Ilmu
dan Riset Teks, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003
Fitzpatrict, Peter dan Alan Hunt, Critical Legal Studies, Basil
Blackwell Ltd, New York, 1987
Fuady, Munir, Aliran Hukum Kritis (Paradigma
Ketidakberdayaan Hukum). PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.
Roberto Mangabeira Unger, The Critical Legal Studies Movement ,
Harvard University Press, Cambridge, 1986
W , Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum Susunan I,
(diterjemahkan Mohammad Arifin), Rajawali Press, Jakarta, 1990
W , Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum Susunan III,
(diterjemahkan Mohammad Arifin), Rajawali Press, Jakarta, 1990
Munir Fuady, Aliran Hukum
Kritis (Paradigma Ketidakberdayaan Hukum), Bandung: Citra Aditya Bakti,
2003, hal 1.
Abdulkadir
Jailani, “Hukum Internasional Pasca Perang Irak: Legalisasi Politik
Internasional dan Politisasi Hukum Internasional”, dimuat dalam Jurnal
Hukum Internasional, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum
Universitas Indonesia (Volume 2, Nomor 2, Januari 2005), hal 336
Hikmahanto
Juwana, “Hukum Internasional dalam Konflik Kepentingan Ekonomi Negara
Berkembang dan Maju”, (Pidato Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap
dalam Ilmu Hukum Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Depok, 10 November 2001), hal 7.
Ifdhal Kasim, Mempertimbangkan Critical Legal
Studies dalam Kajian Hukum di Indonesia,terjemahan dari karya Roberto
Mangabeira Unger, The Critical Legal Studies Movement, Cambridge Harvard
University Press, 1986, hal. 24
Anom Surya Putra, Teori Hukum Kritis: Struktur
Ilmu dan Riset Teks, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal 18
Roberto Mangabeira Unger, The Critical Legal
Studies Movement , Harvard University Press, Cambridge, 1986, hal 18
Langganan:
Postingan (Atom)