Secara historis, cara yang banyak
ditempuh dalam mengembangkan harta wakaf , sesuai informasi dalam buku fiqih
ialah dengan jalan mempersewakannya .Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa
kebanyakan harta wakaf dalam bentuk harta tetap (fixed asset), seperti lahan pertanian dan bangunan.
Muncul dan berkembangnya
lembaga-lembaga keuangan syari’ah dengan prinsip kerja sama bagi hasil, prinsip
jual beli, dan prinsip menyewa , akan semakin mempermudah pengelola wakaf (nadzir) untuk menginvestasikan
dana-dana wakaf yang terhimpun sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam.
Adapun antara bentuk-bentuk investasi yang dapat dilakukan oleh pengelola wakaf
(nadzir) ialah :
1.Investasi Mudharabah
Investasi mudharabah[1]
merupakan salah satu alternatif yang ditawarkan oleh produk keuangan syari’ah
guna mengembangkan harta wakaf. Salah satu contoh yang dapat dilakukan oleh
pengelola wakaf dengan sistem ini ialah membangkitkan sektor usaha kecil dan
menengah dengan memberikan modal usaha kepada petani gurem , para nelayan, pedagang
kecil dan menengah (UKM) . Dalam hal ini pengelola wakaf uang berperan sebagai
shohibul mal (pemilik modal) yang menyediakan modal 100 % dari usaha/ proyek
dengan sistem bagi hasil.
2.Investasi Musyarakah
Alternatif investasi lainnya ialah
investasi dengan sistem musyarakah . Investasi ini hampir sama dengan investasi
mudharabah. Hanya saja pada investasi musyarakah ini resiko yang ditanggung
oleh pengelola wakaf lebih sedikit, karena modal ditanggung secara bersama oleh
dua pemilik kodal atau lebih. Investasi ini memberikan peluang bagi pengelola
wakaf untuk menyertakan modalnya pada sektor usaha kecil menengah yang dianggap
memiliki kelayakan usaha namun kekurangan modal untuk mengembangkan usahanya.
3.Investasi Ijarah
Salah satu contoh yang dapat dilakukan
dengan sistem investasi ijarah (sewa) ialah mendayagunakan tanah wakaf yang
ada. Dalam hal ini pengelola wakaf menyediakan dana untuk mendirikan bangunan
diatas tanah wakaf, seperti pusat perbelanjaan (commercial center), rumah sakit
, apartemen dll. Kemudian pengelola harta wakaf menyewakan gedung tersebut
hingga menutup modal pokok dan keuntungan yang dikehendaki.
4.Investasi Murabahah
Dalam investasi murabahah mengharuskan
pengelola wakaf berperan sebagai interpreneur
(pengusaha) yang membeli peralatan dan material yang diperlukan melalui suatu
kontrak murabahah. Denmgan investasi ini , pengelola wakaf dapat mengambil
keuntungan dari selisih harga pembelian dan penjualan . Manfaat dari investasi
ini ialah pengelola wakaf dapat membantu pengusaha-pengusaha kecil yang
membutuhkan alat-alat produksi , misalnya tukang jahit yang memerlukan mesin
jahit.
Demikian beberapa alternatif
pemanfaatan dana wakaf yang dapat dilakukan oleh pengelola wakaf secara
langsung (Direct investment). Tentu,
tidak hanya sebatas beberapa alternatif diatas . Tapi masih banyak alternatif
–alternatif investasi lain yang dapat dilakukan serta dikembangkan oleh
pengelola wakaf guna memaksimalkan hasil wakaf. Lebih dari itu , pengelola
wakaf jiga dapat menginvestasikan dana wakaf melalui lembaga-lembaga keuangan
syari’ah . Dalam hal ini pengelola wakaf (nadzir)
hanya sekedar menerima dan menyalurkan hasil dana wakaf dan pengelolaan
sepenuhnya diserahkan kepada bank Syari’ah.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Wahab Khalaf, ahkam al Waqaf,
Mesir : Matba’ah al mishr, 1951
Adirwan A Karim , Wakaf Berderma Untuk
Semua; Wacana dan praktik Filantropi
Islam, Jakarta ;
Teraju , 2004
Daud Ali, Muhammad, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, Jakarta : UI Press,
1988.
Dawam Rahardjo, Etika ekonomi dan manajemen, PT. Tiara Wacana Yogya,
Yogyakarta
, 1990.
---------Ekonomi Islam; Suatu Kajian
Ekonomi Makro, Karim Businnes Consulting,
Jakarta
, 2002
Depag RI, Peraturan Perwakafan ( Waqf
Regulations) Depag RI Ditjen Bimas Islam
dan
Urusan Haji Direktorat Urusan Agama Islam , 1998.
Djatnika, Pandangan Islam tentang infaq,sadaqah, zakat danwakaf sebagai
komponen dalam pembangunan, Surabaya :
al Ikhlas , 1983.
Hasan Abdullah Amin , Idarah wa Tasmir mumtalakat al auqaf,
Jeddah : Al Ma Tiad
al
Islamy li al buhus wa al Tadrib ala bank al islamy li al Tanmiyah, 1989.
Hasan Langgulung, Azaz-azaz pendidikan Islam , PT .Al-Husna Zikra , Jakarta, 2000.
Salah satu sumber
dana sosial potensial di Indonesia adalah dana umat , dana yang berkaitan
dengan ajaran keagamaan . Potensi dana umat ini besar karena ajaran agama
menjadi motofasi utama masyuarakat untuk berderma. Oleh karena itu , sudah
saatnya Indonesia mengembangkan wakaf uang , karena sangat setrategis untuk
pembangunan ekonomi umat. Hal-hal yang menjadi urgensi wakaf uang ialah :
1.Terhadap Wakif (orang yang berwakaf)
Urgensi
wakaf uang bagi wakif, ialah seorang wakif tidak lagi memerlukan jumlah uang
yang besar untuk dibelikan tanah atau bangunan guna diwakafkan. Karena wakaf
uang jumlahnya bisa lebih bervariasi, sehingga orang yang memiliki dana
terbatas sudah bisa memulai memberikan dana wakfnya tanpa harus menunggu
menjadi konglomerat terlebih dahulu.Hal tersebut tentu akan mendorong
masyarakat untuk berwakaf sesuai dengan kemampuan dan
penghasilan yang dimiliki, sehingga akan menarik
dan menambah jumlah wakif.
2.Terhadap Lembaga kuangan Syari’ah
Jika uang
wakaf yang terhimpun dapat dikelola oleh bank Syari’ah dengan manajemen yang
sangat professional , maka akan berdampak positif bagi pengembangan lembaga
keuangan syari’ah , misalnya bertambahnya modal bank Syari’ah dan bertambahnya
alternatif perolehan pendapatan bagi lembaga keuangan Syari’ah.
3.Terhadap kegiatan ekonomi secara makro
a.Meningkatkan pertumbuhan ekonomi
Menurut
Umer Chapra , diantara bahan dasar utama untuk mencapai pertumbuhan ekonomi
yang berkesinambungan adalah adanya tingkat tabungan dan investasi.[1]
Wakaf
uang yang digunakan untuk investasi bisnis seperti yang difatwakan Muhammad ibn
Abdullah al-Anshari ternyata mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu
negara, yaitu dengan mentransformasikan tabungan masyarakat menjadi modal
investasi. Sekarang kita coba membuat perhitungan dana yang bisa dihimpun dari
wakaf uang. Jika ada 20 juta dari umat Islam Indonesia, yang menyerahkan uang
sebesar Rp. 50.000 untuk wakaf . Maka dalam kalkulasi sederhana akan diperoleh
Rp. 1 triliun dana wakaf yang siap diinvestasikan . Kemudian, serahkan dana
yang siap investasi tersebut kepada pengelola profesional yang memberi jaminan
esensi jumlahnya tak berkurang dan malah bertambah dengan digulirka sebagai
investasi.Apa yang sgera diperoleh dari dana tersebut ? taruhlah dana tersebut
sekedar dititipkan di bank Syari’ah dengan bagi hasil 10 % pertahun . Maka,
pada akhir tahun sudah ada dana
Dari
uraian diatas jelas kiranya jika potensi dana umat yang besar tersebut dapat
dihimpun dan dikembangkan dengan profesional dan tanggung jawab . maka , tidak
diragukan lagi potensi tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
b.Pemerataan pertumbuhan ekonomi.
Lebih
lanjut , menurut Umer Chapra dalam bukunya , The Tuture of Oconimics, mengungkapkan bahwa sejumlah nilai dan
institusi Islam dianggap dapat membantu menciptakan persaudaraan Islam yang
ideal, persamaan sosial dan distribusi yang merata.[3]
Sebagai
salah satu institusi keagamaan yang erat hubungannya dengan sosial ekonomi yang
tidak melihat lintas waktu, wakaf ternyata tidak hanya sekedar
mentransformasikan tabungan masyarakat berkecukupan menjadi dana umat , namun
juga dapat menjadi salah satu sarana meratakan pertumbuhan ekonomi suatu
negara.
Sekarang
coba bayangkan bila Rp. 100 miliar sebagai hasil dari pengelolaan dana wakaf 1
triliun seperti yang kita asumsikan terwujud, maka betapa banyak orang yang
hidup digaris kemiskinan dapat merasakan manfaat dana tersebut. Sekian ribu
anak yatim bisa disantuni, sekian puluh sekolah dasar dapat dibangun , sekian
balai kesehatan bisa didirikan , sekian petani dan pengusaha kecil bisa diberikan
modal.
Jadi ,
jelas kiranya dari beberapa perhitungan diatas, bahwa manfaat wakaf uang
ternyata tidak hanya sekedar mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun juga
mempu menciptakan pemerataan pendapatan, terutama bagi masyarakat yang semula
tidak memiliki peluang usaha menjadi memiliki peluang usaha , dan bagi
masyarakat yang semula tidak memiliki pendapatan menjadi memiliki pendapatan.[4]
c.Stabilitas politik dan ekonomi
Jika
asumsi pertama dan kedua diatas ternyata dapat diwujudkan , maka wakaf uang diperkirakan
tidak hanya sebatas mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan
pertumbuhan ekonomi. Lebih dari itu , juga akan mampu menjaga stabilitas
polituik yang diakibatkan oleh tidak meratanya pertumbuhan ekonomi dan
stabilitas ekonomi akibat tidak seimbangnya antara uang dan barang, disamping
gejolak tingkat bunga , nilai tukar dan komoditas serta harga saham yang
berlebihan.
Hasil
dari pengelolaan dana wakaf , dapat menjaga stabilitas politik akibat
kitidakmampuan pemerintah menciptakan pertumbuhan ekonomi , yakni dengan
meningkatkan taraf kehidupan masyarakat yang meliputi : Pendapatan yang lebih
tinggi dan tersedianya lapangan pekerjaan yang lebih banyak dan sarana
pendidikan yang baik. Dan bagi pemerintah juga dapat mengurangi beban APBN dan
menambah devisa negara.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Wahab Khalaf, ahkam al Waqaf, Mesir : Matba’ah al mishr, 1951
Adirwan
A Karim , Wakaf Berderma Untuk Semua; Wacana dan praktik Filantropi
Islam, Jakarta ; Teraju , 2004
Daud
Ali, Muhammad, Sistem Ekonomi Islam,
Zakat dan Wakaf, Jakarta : UI Press,
1988.
Dawam
Rahardjo, Etika ekonomi dan manajemen,
PT. Tiara Wacana Yogya,
Yogyakarta , 1990.
---------Ekonomi
Islam; Suatu Kajian Ekonomi Makro, Karim Businnes Consulting,
Jakarta , 2002
Depag
RI, Peraturan Perwakafan ( Waqf Regulations) Depag RI Ditjen Bimas Islam
dan Urusan Haji Direktorat
Urusan Agama Islam , 1998.
Djatnika,
Pandangan Islam tentang infaq,sadaqah,
zakat danwakaf sebagai
komponen
dalam pembangunan, Surabaya : al
Ikhlas , 1983.
Hasan
Abdullah Amin , Idarah wa Tasmir
mumtalakat al auqaf, Jeddah : Al Ma Tiad
al Islamy li al buhus wa al
Tadrib ala bank al islamy li al Tanmiyah, 1989.
Hasan
Langgulung, Azaz-azaz pendidikan Islam
, PT .Al-Husna Zikra , Jakarta, 2000.
Dikalangan ulama fiqih klasik , hukum mewakafkan uang merupakan
persoalan yang masih diperselisihkan (debatable,
ikhtilaf) . Perselisihan tersebut tidak lepas dari tradisi yang lazim
dimasyarakat bahwa mewakafkan harta hanya berkisar pada harta tetap (fixed asset), dan pada penyewaan harta
wakaf.
Berdasarakan tradisi yang lazim tersebut, maka sebagian ulama masa silam
merasa aneh saat mendengar fatwa yang dikeluarkan oleh Muhammad bin Abdullah
al- Anshori , murid dari Zufar (sahabat Abu Hanifah) tentang bolehnya berwakaf
dalam bentuk uang kontan ; dirham atau dinar, dan dalam bentuk komoditi yang
ditimbang atau ditakar (seperti makanan gandum). Yang membuat mereka merasa aneh ialah
bagaimana mungkin mempersewakan uang wakaf , bukankah hal itu telah merubah
fungsi utama dari uang sebagai alat tukar ? kemudian mereka mempertanyakan ,
“Apa ayang dapat kita lakukan dngan dana cash dirham? “ Terhadap pertanyaan ini
Al-Anshari menjelaskan dengan mengatakan , “ Kita investasikan dana itu
dengan cara mudharabah, dan labanya kita sedekahkan . Kita jual benda makanan
itu, harganya kita putar dengan usaha mudharabah kemudian hasilnya disedekahkan”.[1]
Memang
dikalangan mazhab-mazhab fikih , masalah
wakaf uang pernah dijadikan bahan perdebatan. Dikalangan Syafi’iyah , seperti
dikemukakan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya, al Majmu’, “Dan berbeda pendapat
para sahabat kita tentang berwakaf dengan dana dirham dan dinar. Orang yang
memperbolehkan berwakaf dengannya, dan yang tidak memperbolehkan
mewakafkannya”. Dalam mazhab Hanafi , seperti dikemukakan Ibn “Abidin dalam
kitabnya , Hasyyat Ibn “Abidin, soal sah tidaknya mewakafkan uang tergantung
adat kebiasaan di satu tempat. Wakaf uang dirham dan dinar sudah menjadi
kebiasaan di negeri Romawi, sehingga berdasarkan prinsip diatas, wakaf dirham
dan dinar sah ditempat itu dan tidak sah ditempat lain. Secara lebih jelas
kebolehan wakaf uang terungkap dalam fatwa yang dikeluarkan oleh al- Anshari
diatas. Ibnu Taimiyah dalam kitabnya , Majmu’al
Fatawa, meriwayatkan satu pendapat dari kalangan Hanabilah yang membolehkan
berwakaf dalam bentuk uang.
Di samping ada yang membolehkan terdapat pula ulama yang tidak
membolehkannya. Ibn Qudamah dalam kitabnya , al-Mughni meriwayatkan satu
pendapat dari sebagian besar kalangan ulama yang tidak membolehkan wakaf uang
dirham , dengan alasan dirham dan dinar akan lenyap ketika dibayarkan, sehingga
tidak ada lagi wujudnya.
Paham yang membolehkan berwakaf dalam bentuk uang , membuka peluang bagi
asset wakaf untuk memasuki berbagai usaha investasi seperti syirkah, mudharabah
dan lainnya.
Dalam catatan sejarah Islam , wakaf uang ternyata sudah dipraktekkan
sejak awal abad kedua hijriyah. Diriwayatkan oleh Imam Bukhori bahwa Imam
al-Zuhri (wafat 124 H) salah seorang ulama terkemuka dana salah seorang peletak
dasar kodifikasi hadits (tadwin al Hadits)
memfatwakan, dianjurkannya wakaf uang dinar dan dirham untuk pembangunan sarana
dakwah , sosial dan pendidikan umat Isma. Adapun caranya adalah dengan
menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha kemudian menyalurkan keuntungannya
sebagai wakaf . Namun demikian , faktor resiko , seperti kerugian yang akan
mengancam kesinambungan harta wakaf, perlu dipertimbangkan guna mengantisipasi
madharat yang lebih besar.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Wahab Khalaf, ahkam al Waqaf, Mesir : Matba’ah al mishr, 1951
Adirwan
A Karim , Wakaf Berderma Untuk Semua; Wacana dan praktik Filantropi
Islam, Jakarta ; Teraju , 2004
Daud
Ali, Muhammad, Sistem Ekonomi Islam,
Zakat dan Wakaf, Jakarta : UI Press,
1988.
Dawam
Rahardjo, Etika ekonomi dan manajemen,
PT. Tiara Wacana Yogya,
Yogyakarta , 1990.
---------Ekonomi
Islam; Suatu Kajian Ekonomi Makro, Karim Businnes Consulting,
Jakarta , 2002
Depag
RI, Peraturan Perwakafan ( Waqf Regulations) Depag RI Ditjen Bimas Islam
dan Urusan Haji Direktorat
Urusan Agama Islam , 1998.
Djatnika,
Pandangan Islam tentang infaq,sadaqah,
zakat danwakaf sebagai
komponen
dalam pembangunan, Surabaya : al
Ikhlas , 1983.
Hasan
Abdullah Amin , Idarah wa Tasmir
mumtalakat al auqaf, Jeddah : Al Ma Tiad
al Islamy li al buhus wa al
Tadrib ala bank al islamy li al Tanmiyah, 1989.
Hasan
Langgulung, Azaz-azaz pendidikan Islam
, PT .Al-Husna Zikra , Jakarta, 2000.
Tersebutlah dalam satu
kisah, perbincangan Nabi Musa As dengan umatnya, yang telah beribadah selama 350
tahun, tanpa melakukan perbuatan dosa, umatnya Nabi Musa itu berkata”wahai Musa AS
aku telah beribadah kepada Allah swt selama 350 tahun, tanpa melakukan
perbuatan dosa ,dimanakah Allah swt akan meletakkanku di Sorga-Nya ?.Tolong
sampaikan pertanyaanku ini kepada Allah swt.
Nabi
Musa As, lantas bermunajat pada Allah Swt, dan menanyakan sebagaimana
dipesankan , dimana gerangan umatnya yang telah beribadah 350 tahun tersebut
hendak ditempatkan, sebagai ujroh atas ibadahnya dan pengabdiannya kepada Allah
Swt, namun jawaban Allah sungguh mengejutkan dan mencengangkan, ternyata
bukannya Allah Swt menempatkan umat Nabi Musa As, ke surga-Nya, tetapi akan
ditempatkan orang itu didasar neraka.
Ketika
Nabi Musa As bertemu kembali dengan umatnya, maka dengan hati-hati
disampaikanlah jawaban Allah Swt , atas pertanyaan umatnya tersebut, bahwa
Allah Swt, akan menempatkan dia di dasar neraka,orang itu terkejut dengan
perasaan sedih ,galau dan gundah gulana ia beranjak dari hadapan Nabi Musa, As.
Malamnya ahli ibadah itu terus berfikir mengenai keadaan dirinya . Ia juga
mulai berfikir dengan keadaan Saudara-saudaranya, temannya dan orang lain yang
mereka baru beribadah, 200 tahun, 300 tahun,bahkan kurang dari itu, dimanakah
tempat mereka kelak diakherat?. Pagi harinya ia menjumpai Nabi Musa As,
kemudian berkata “ Wahai Musa As, aku rela Allah SWT menempatkan aku kedalam
neraka-Nya , akan tetapi aku minta satu permohonan, setelah tubuhku dimasukkan
ke Neraka maka jadikanlah tubuhku ini sebesar-besarnya sehingga seluruh pintu
Neraka tertutup oleh tubuhku, jadi tidak ada seorangpun akan masuk ke dalamnya”
Pada
saat yang lain ketika Nabi Musa As bermunajat kepada Allah Swt, disampaikanlah
, tentang keikhlasan umatnya dalam menerima ketentuan Allah, Swt, akan halnya
bakal dimasukkannya umatnya ke neraka, maka kemudian Allah mengatakan , bahwa
Allah berkenan memasukkan hamba itu ke dalam Surga-Nya yang paling tinggi ,
karena kepasrahannya terhadap ketentuan Allah Swt.
Saudara…,
apa yang bisa petik dari pelajaran diatas, bagaimana mungkin orang yang telah
beribadah sekian lamanya, ketika dia berkeinginan dan berambisi , mengambil
imbalannya , ternyata yang diperoleh adalah “kemurkaan Allah”, karena apa ?
orang itu menduakan Allah Swt dengan mahluknya , bukankah surga yang dia harap
adalah mahluk Allah juga,Artinya selama 350 tahun itu, dia beribadah bukan
karena Allah Swt, tetapi lebih banyak hanya karena mengharap dia dimasukkan ke Surga,
padahal hak prerogratif untuk menentukan hamba, masuk Surga atau Neraka adalah mutlak
kewenangan Allah Swt.
Syaikh
Abdul Qodir Al Jailani berkata :
Dunia
ibarat pasar , sebentar lagi tidak ada seorangpun yang tinggal dipasar itu .
Yakni ketika malam telah tiba dan para penduduk pulang kerumah masing-masing.
Berusahalah, sesungguhnya tidak berjual
beli dipasar itu kecuali untuk bekalmu di akherat kelak. Perbekalan
sesungguhnya adalah iman kepada Allah Swt , dan ikhlas beramal untuk-Nya.
Itulah perbekalan yang dibawa kelak tapi sungguh, bekalmu masih teramat
sedikit.
Perbaikilah
niat untuk-Nya , berusahalah tidak memakan sesuap nasi ,melangkah sejengkal ,
atau melakukan amal apapun kecuali dengan niat yang baik. Perbaikilah hubungan dengan Allah swt,
jika telah demikan maka setiap amal, yang dilakukan adalah untuk-Nya , bukan
untuk selain Dia. Sifat pura-pura akan hilang , dan niat yang baik itu akan
menjadi watak bagi seorang hamba manakala penghambaannya benar-benar untuk
Allah swt. Jika Dia telah menolongnya , maka ia akan menjadi kaya dan terhalang
dari makhluk sehingga ia tidak memerlukan mereka.
Jika
seseorang itu layak untuk Allah swt, maka dia akan bersama-Nya dalam setiap
keadaan. Dia akan mengganti dan memindahkannya dari suatu keadaan kepada
keadaan yang lain. Sehingga sepenuhnya menjadi beriman, yakin dan ma’rifat
bahkan dekat dan musyahadah (menyaksikan). Tinggalkanlah dunia dan carilah
akherat , kemudian carilah kedekatan dengan Tuhan. Tinggalkanlah makhluk lalu
kembalilah kepada Khaliq.
Allah
swt, tidak menuntut bentuk hamba, tetapi yang dituntut adalah maknanya . Yakni
ketauhidan dan keikhlasannya , serta hilangnya cinta dunia dan akherat darinya
. Bahkan segala sesuatu jauh darinya. Manakala keadaan telah demikian , maka
Allah swt, akan mencintainya , dan mengangkatnya diatas lainya.
Masyarakat
memerlukan perlindungan dari pemerintah bagi semua barang yang dimakan dan
diminum terutama hasil produksi makanan dan minuman yang selama ini dilakukan,
halal menurut ajaran Islam . beberapa ayat Al-qur’an dan Hadits antara lain :
“ Dan makanlah makanan yang halal lagi
baik dari apa yang Allah telah rizkikan kepadamu , dan bertaqwalah kepada Allah
yang kamu beriman kepada-Nya (Al-Maaidah :88)
“Maka makanlah yang halal lagi baik
dari rizki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah,
jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah. (An-Nahl :114)
“Hai orang-orang yang beriman ,
makanlah diantara rizki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan
bersyukurlah kepada Allah , jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah” (
Al-Baqoroh : 172)
Rosulullah
SAW bersabda :
“ Sesungguhnya Allah itu baik dan Dia
hanya menerima hal-hal yang baik-baik saja”. (H.R. Muslim).
Oleh
karena itu maka pemerintah bersama
dengan Ulama / Pemuka agama Islam berkewajiban untuk melakukan pengawasan dari
hal-hal yang dapat mempengaruhi kehalalan dari bahan pokok, bahan tambahan,
proses produksi dan pengedaran makanan , minuman.
Kasus-kasus
makanan halal yang dapat meragukan masyarakat akan mempunyai dampak negatif
tidak hannya berpengaruh bagi perusahaan itu sendiri , tetapi juga begi
pertumbuhan ekonomi masyarakat dan bangsa pada umumnya. Yang lebih penting lagi
bagi seorang muslim dalam hal makan dan minuman adalah suatu yang erat sekali
kaitannya dengan ibadah.
Manakala
seorang muslim mamakan dan meminum sesuatu yang haram atau najis, maka do’a dan
ibadahnya sia-sia dan tidak diterima oleh Allah SWT.
B. PENGERTIAN ISTILAH
1. Makanan adalah barang yang dimaksudkan untuk
dimakan atau diminum oleh manusia serta bahan yang digunakan dalam produksi
makanan dan minuman.
2.Memproduksi adalah
membuat, mengolah (menyembelih), mengubah bentuk, mengawetkan , membungkus,
mengedarkan sesuai persyaratan yang berlaku untuk menjamin perlindungan bagi
masyarakat.
3.Mengedarkan adalah
menawarkan, menjajakan, menjual , menyerahkan , menyimpan, atau memiliki persediaan
ditempat penjualan atau alat angkutan umum .
4.Ajaran Islam adalah
tata aturan Agama yang berdasarkan Al-Qur’an dan hadits untuk mengatur hubungan
ritual langsung antara manusia dengan Tuhan , dan antara manusia dengan sesama manusia serta hubungan antara manusia
dengan benda dan alam sekitar . Disamping Al-Qur’an dan hadits , sumber ajaran
hukum Islam adalah Ijma’ konsensus ulama dan Qiyas.
5.Halal dan Haram.
a. Halal adalah sesuatu yang dibolehkan menurut
ajaran Islam
b.Makanan halal
adalah makanan yang dibolehkan memakannya menurut ajaran
Islam
c.Minuman halal
adalah minuman yang dibolehkan meminumnya manurut ajaran Islam
d.Haram adalah
sesuatu yang dilarang menurut ajaran Islam
e.Makanan haram
adalah makanan yang dlarang memakannya menurut ajaran Islam
Firman Allah :
“ Mereka menanyakan kepadamu apakah
yang dihalalkan bagi mereka. Katakanlah : Dihalalkan bagimu yang baik-baik (
dan buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan
melatihnya untuk berburu, kamu mengajarkannya menurut apa yang diajarkan Allah
kepadamu . Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu dan sebutlah nama
Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya) dan bertaqwalah kepada Allah,
sesungguhnya Alah amat cepat hisab-Nya (Al-Maaidah : 4).
C. Persyaratan Penyembelihan Hewan Halal Menurut
Syari’at Islam
1.Penyembelih beragama Islam, taat dan Baligh.
2.Penyembelih memiliki
pengetahuan yang baik dan benar tentang syari’at Islam
3.Penyembelih mampu
mengucapkan Basmallah secara fasih , sehat jasmani dan rohani.
4.Penyembelih bebas
dari luka , penyakit kulit atau penyakit lain yang mencemarkan produk lain.
5.Hewan yang akan
disembelih harus hewan halal memenuhi persyaratan hukum Islam
6.Hewan yang akan
disembelih harus dalam keadaan hidup atau diperkirakan (dengan dilihat) hidup
pada saat penyembelihan.
7.Mengucapkan
“Bismillah Allahu Akbar” (dengan nama Allah) harus dinyatakan sebelum
penyembelihan setiap hewan.
8.Peralatan
penyembelihan harus tajam dan harus tidak diangkat/ terangkat dari hewan (tetap
melekat pada hewan yang disembelih)
9.Proses
penyembelihan harus memotong / memutus tenggorokan (trachea), kerongkongan (oesophagus)
dan pembuluh arteri dan vena utama dibagian leher .
10.Daging hewan yang
disembelih dibersihkan dari kotoran dan najis.
D. HUKUM MENYEMBELIH QURBAN
Sabda
Nabi Muhammad ,SAW : “Diterima dari Barra
ra. Katanya : “Telah bersabda Rosulullah saw : “Bahwa mula-mula sekali kita
kerjakan pada hari ini ialah melakukan sholat. Kemudian kembali pulang lalu
menyembelih hewan qurban. Barangsiapa mengerjakannya maka sungguh, ia telah
mendapatkan sunah kita. Dan barangsiapa yang menyembelih sebelumnya, maka ia
hanyalah daging yang disuguhkannya kepada keluarganya dan tidak termasuk dalam
ibadah sedikitpun juga !”
Maka jawab Nabi saw : “Sembelihlah dia
, tetapi dia tidaklah cukup bagi orang lain sesudahmu !
Berkata Mutharif bin Amir dari Barra :
“Sabda Nabi saw : “ Barangsiapa menyembelih sesudah sholat, maka sempurnalah
ibadahnya dan dapatlah olehnya sunah kaum muslimin”
(Riwayat
Bukhori dan Muslim)
“
Adh-ha” bermakna hewan yang disembelih – berupa Unta, Sapi, Kerbau dan Kambing-
yang disembelih untuk mendekatkan diri kepada ALLah Ta’ala pada hari Id dan
tiga hari sesudahnya .
Kata
Qodhi Iyadh : “Dinamakan demikian karena penyembelihan dilaksanakan pada waktu
dhuha yaitu waktu naiknya matahari,
hingga dengan demikian pengambilan namanya itu ialah dari waktu penyelenggaraannya
.
Para
ulama berbeda pendapat tentang wajibnya udhiyah (menyembelih qurban) bagi orang
yang mampu , Jumhur mengatakan bahwa hukumnya sunat , hingga bila
ditinggalkannya tanpa uzur , maka ia tidak berdosa dan tidak diharuskan
mengqodho . Diantara tokoh-tokoh yang berpendapat demikian ialah Abu Bakar
Shiddik, Umar bin Khotthab, Bilal, Abu Mas’ud al Badari, Said Bin Musayyab,
Alqomah, Aswad. Atha, Malik, Ahmad Abu Yusuf, Ibnul Mundzir .
Sebaliknya
Rabi’ah, Auza’I, Abu Hanifah dan Laits mengatakan wajib atas orang yang mampu.
Pendapat ini juga diikuti sebagaian golongan Maliki.
Sedangkan
pendapat yang tekenal dari Abu Hanifah , bahwa ia hanya wajib atas orang mukmin
jika hartanya sampai nisab, Wallahu a’lam.
E. CACAT YANG MENGHALANGI SAHNYA UDH-HIYYAH
Diterima
dari Barra bin Azib ra, katanya : “
Rosululloh SAW, bangkit berdiri diantara kami, lalu bersabda : “ ada empat
perkara yang tidak boleh ditemukan pada hewan kurban, yang juling dan nyata
julingnya, yang sakit dan nyata
sakitnya, yang pincang dan nyata pincangnya , dan yang tua yang sudah tidak
punya benak lagi” (H.R. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi serta dinyatakan shahih oleh
Hakim).
F. ORANG YANG BERQURBAN MENYEMBELIH HEWAN QURBAN
DENGAN TANGANNYA SENDIRI
Diterima
dari Anas ra. Katanya : “ Nabi Saw. Berqurban dengan dua ekor kibasy yang
berwarna putih dan bertanduk besar . Keduanya disembelihnya dengan tangannya
sambil membaca basmalah dan takbir, dan kakinya ditaruh pada sisi tubuh
keduanya “.
(Diriwayatkan
oleh Bukhori, Muslim, Nasa-I dan Ibnu Majah)
Penjelasan
.
“Kibasy”ialah domba jantan, “Amlahain” atau dua “amlah”,
yaitu yang berwarna putih dicampur dengan warna hitam atau merah, tetapi warna
putihnya lebih banyak. “Aqronain”
artinya bertanduk besar, tapi para ulama sepakat atas bolehnya berqurban dengan
hewan yang tidak bertanduk, sementara Abu Hanifah, Syafi’I dan jumhur
membolehkan berqurban dengan yang patah tanduk, walaupun berdarah, Hanya Malik
menganggapnya cacat , jika patahnya itu berdarah.
Dan Abu Uwanah bin
Muhammad meriwayatkan pula dari Anas , bahwa kedua kibasy itu dilukiskannya
sebagai yang gemuk-gemuk. Dan Nabi Muhammad Saw, memilih kibasy yang putih,
bertanduk besar lagi gemuk, ialah karena rupanya yang baik, dagingnya yang enak
dan gajihnya yang banyak.
Dari
keterangan diatas dapat diperoleh petunjuk :
1.Hendaklah orang
yang berqurban yang menyembelih hewan qurban dengan tangannya sendiri, yakni
jika ia pandai menyembelih dan kuat untuk itu
2.Boleh berqurban
dengan dua ekor hewan
3.Membaca basmalah
dan takbir ketika menyembelih qurban
4.Memilih hewan
qurban yang bertampang bagus, berdaging empuk, dan bergajih banyak
5.Agar penyembelih
menaruh kakinya pada sisi hewan qurban , yakni untuk memantapkan penyembelihan
6.Disunatkan hewan
qurban itu berupa kibasy yang bertanduk besar
7.Lebih utama lagi
jika hewan qurban itu yang jantan karena dagingnya lebih enak.
G. PENYEMBELIHAN YANG BERPERIKEHEWANAN
Kadangkala
kita tidak merasa bahwa apa yang kita perbuat pada hewan-hewan qurban yang akan
disembelih itu kurang layak, baik itu perawatan, persiapan penyembelihan sampai
pada pelaksanaan penyembelihan maupun pasca penyembelihan atau pendistribusian
daging hewan qurban , sebagai contoh kasus dibawah ini dapat kami sampaikan
beberapa kejadian dan perlakuan terhadap hewan :
1.Kasus Daging Sapi
Glonggongan
Jangan
lupakan Boyolali. Pasalnya , konon dari sinilah pertama kali kasus sapi
glonggongan terbongkar pada 1993. Pelakunya warga Cepogo Boyolali. Sapi
Glonggongan , sesuai namanya , adalah sapi yang digelontor air ( Jawa :
diglonggong) lewat mulutnya sebelum disembelih . Air dimasukkan lewat corong
bambu yang dijejalkan dan diikat pada moncong sapi . Lebih sadis lagi , air
dipompa dengan jet pump . Perlakuan ini membuat sapi tampak gembrot , karena
air menggelembungkan tubuhnya. Setelah itu sapi disembelih, hasilnya bobot tiap
kg daging yang dihasilkan bisa lebih berat sampai 3 ons.
Dari
segi apapun , daging glonggongan adalah pruduk kejahatan multidimensi,
penggelonggongan binatang , jelas merupakan pelanggaran hak asasi mahluk Tuhan.
Nabi Muhammad berulang kali menegaskan agar tidak menyiksa binatang, termasuk
yang akan disembelih.
2.Kesalahan Prosesi
Penyembelihan
Pada
beberapa kejadian penyembelihan hewan qurban sering kita saksikan bahwa panitia
kurang menguasai tata cara menyembelih ,
maka apa yang terjadi ?, hewan qurban dipaksa oleh beberapa orang dengan cara
dipukul , ditarik agar hewan bisa roboh, akibatnya hewan mengalami stress, dan
sempat kesakitan sebelum disembelih ,kadang kala waktu menyembelihpun masih
diinjak lehernya .
Dikemudian
hari, Ressang , pakar kedokteran dari
Perancis , menemukan bahwa daging hewan yang disembelih dalam keadaan nyaman
berkualitas lebih baik. Yaitu lebih tahan lama disimpan dan rasanya enak.
Karena itu hewan yang akan disembelih jangan sampai kecapaian dan stress.
Sebaliknya
pemukulan atau penjatuhan hewan , menyebabkan memar dan pendarahan di bawah
kulit dan daging . Ini mengakibatkan darah tidak keluar dari tubuh hewan dengan
sempurna. Hasil penelitian Epley (1974)
menunjukkan , semakin tuntas darah dikeluarkan kian baik mutu dagingnya . Dan
menurut Thornton & Gracey (1974) ,
pengeluaran darah akan sempurna hanya bila binatangnya benar-benar sehat.
3.Dinegara Barat ,
sebelum disembelih hewan besar biasanya dipingsankan (stunning) menggunakan bius. Pembiusan dilakukan dengan membekapkan
gas karbon (CO2) , menyetrum otak atau menembak binatang dengan captive bolt pistol. Dalam keadaan
pingsan barulah hewan itu disembelih.Penelitian Blomquist (1959), Hiner (1971) , Van Der Wall (1975) dan lain-lain membuktikan bahwa semua bentuk
pemingsanan diatas berdampak menurunkan kualitas daging.
Pemerintah dan Majelis Agama Brunei Darussalam , melarang Stunning. Mereka juga menolak ayam impor yang dipingsankan sebelum
dipotong. Tapi di banyak negara Islam
lainnya , pemingsanan diijinkan asal benar-benar dikontrol sehingga hewan tidak
sampai mati sebelum disembelih.
DAFTAR
PUSTAKA
1.Al-qur’anul
Karim
2.Al-Hadits
3.Anton
Apriyantono, Nurbowo, Panduan Belanja dan
Konsumsi Halal, Khairul Bayan , Jakarta : 2003.
4.Departemen
Agama RI, Panduan Sertifikasi Halal,
Jakarta : 2003
5.Departemen
Agama RI,Tanya Jawab Seputar Produk Halal,
Jakarta : 2003
6.Departemen
Agama, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem
Produksi Halal, Jakarta : 2003
7.Majelis
Tertinggi Urusan Keislaman Mesir, Makanan
dan Minuman serta Hewan Qurban Sembelihan, Angkasa, Bandung : 2001
·Disampaikan
dalam acara Pembinaan Produk Halal , Senin , 28 Desember 2009 di KUA. Kec. Muntilan .