Kamis, 09 Agustus 2012

WAKAF TUNAI SEBAGAI INVESTASI



OLEH : H.HANIF HANANI,SH,MH


Secara historis, cara yang banyak ditempuh dalam mengembangkan harta wakaf , sesuai informasi dalam buku fiqih ialah dengan jalan mempersewakannya .Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa kebanyakan harta wakaf dalam bentuk harta tetap (fixed asset), seperti lahan pertanian dan bangunan.
Muncul dan berkembangnya lembaga-lembaga keuangan syari’ah dengan prinsip kerja sama bagi hasil, prinsip jual beli, dan prinsip menyewa , akan semakin mempermudah pengelola wakaf (nadzir) untuk menginvestasikan dana-dana wakaf yang terhimpun sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Adapun antara bentuk-bentuk investasi yang dapat dilakukan oleh pengelola wakaf (nadzir) ialah :
1.    Investasi Mudharabah
Investasi mudharabah[1] merupakan salah satu alternatif yang ditawarkan oleh produk keuangan syari’ah guna mengembangkan harta wakaf. Salah satu contoh yang dapat dilakukan oleh pengelola wakaf dengan sistem ini ialah membangkitkan sektor usaha kecil dan menengah dengan memberikan modal usaha kepada petani gurem , para nelayan, pedagang kecil dan menengah (UKM) . Dalam hal ini pengelola wakaf uang berperan sebagai shohibul mal (pemilik modal) yang menyediakan modal 100 % dari usaha/ proyek dengan sistem bagi hasil.
2.    Investasi Musyarakah
Alternatif investasi lainnya ialah investasi dengan sistem musyarakah . Investasi ini hampir sama dengan investasi mudharabah. Hanya saja pada investasi musyarakah ini resiko yang ditanggung oleh pengelola wakaf lebih sedikit, karena modal ditanggung secara bersama oleh dua pemilik kodal atau lebih. Investasi ini memberikan peluang bagi pengelola wakaf untuk menyertakan modalnya pada sektor usaha kecil menengah yang dianggap memiliki kelayakan usaha namun kekurangan modal untuk mengembangkan usahanya.
3.    Investasi Ijarah
Salah satu contoh yang dapat dilakukan dengan sistem investasi ijarah (sewa) ialah mendayagunakan tanah wakaf yang ada. Dalam hal ini pengelola wakaf menyediakan dana untuk mendirikan bangunan diatas tanah wakaf, seperti pusat perbelanjaan (commercial center), rumah sakit , apartemen dll. Kemudian pengelola harta wakaf menyewakan gedung tersebut hingga menutup modal pokok dan keuntungan yang dikehendaki.
4.    Investasi Murabahah
Dalam investasi murabahah mengharuskan pengelola wakaf berperan sebagai interpreneur (pengusaha) yang membeli peralatan dan material yang diperlukan melalui suatu kontrak murabahah. Denmgan investasi ini , pengelola wakaf dapat mengambil keuntungan dari selisih harga pembelian dan penjualan . Manfaat dari investasi ini ialah pengelola wakaf dapat membantu pengusaha-pengusaha kecil yang membutuhkan alat-alat produksi , misalnya tukang jahit yang memerlukan mesin jahit.
Demikian beberapa alternatif pemanfaatan dana wakaf yang dapat dilakukan oleh pengelola wakaf secara langsung (Direct investment). Tentu, tidak hanya sebatas beberapa alternatif diatas . Tapi masih banyak alternatif –alternatif investasi lain yang dapat dilakukan serta dikembangkan oleh pengelola wakaf guna memaksimalkan hasil wakaf. Lebih dari itu , pengelola wakaf jiga dapat menginvestasikan dana wakaf melalui lembaga-lembaga keuangan syari’ah . Dalam hal ini pengelola wakaf (nadzir) hanya sekedar menerima dan menyalurkan hasil dana wakaf dan pengelolaan sepenuhnya diserahkan kepada bank Syari’ah.
 DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab Khalaf, ahkam al Waqaf, Mesir : Matba’ah al mishr, 1951

Adirwan A Karim , Wakaf Berderma Untuk Semua; Wacana dan praktik Filantropi
                Islam, Jakarta ; Teraju , 2004

Daud Ali, Muhammad, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, Jakarta : UI Press,
                1988.

Dawam Rahardjo, Etika ekonomi dan manajemen, PT. Tiara Wacana Yogya,
                Yogyakarta , 1990.

---------Ekonomi Islam; Suatu Kajian Ekonomi Makro, Karim Businnes Consulting,
                Jakarta , 2002

Depag RI, Peraturan Perwakafan ( Waqf Regulations) Depag RI Ditjen Bimas Islam
                dan Urusan Haji Direktorat Urusan Agama Islam , 1998.

Djatnika, Pandangan Islam tentang infaq,sadaqah, zakat danwakaf sebagai
                komponen dalam pembangunan, Surabaya : al Ikhlas , 1983.

Hasan Abdullah Amin , Idarah wa Tasmir mumtalakat al auqaf, Jeddah : Al Ma Tiad
                al Islamy li al buhus wa al Tadrib ala bank al islamy li al Tanmiyah, 1989.

Hasan Langgulung, Azaz-azaz pendidikan Islam , PT .Al-Husna Zikra , Jakarta, 2000.

Hendra Kholid, Wakaf Tunai upaya menyejahterakan umat, Makalah disampaikan
                pada Orientasi Perwakafan Mahasiswa Se Jawa .

Ibn. Taimiyah, Majmu’ al Fatawa , Jilid 18 , Juz 31, Beirut ; Dar al Kutub Ilmiyah,
                2000.

Imam Suhadi, Hukum Wakaf di Indonesia , Yogya : Dua dimensi, 1995.

Irawan dan Surmoko, Ekonomika Pembangunan, BPEF Yogyakarta , 1995.

Jhon L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, Oxford
                University Press, Volume IV , 1995.

M.M. Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam, Jakarta ; PT. Bangkit Daya Insana,
                1995.

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid III, Kuwait ; Dar al bayan , 1971

Suroso Imam Zadjuli, Standar Pengawasan akad dan transaksi dalam ekonomi
                syari’ah, Makalah disampaikan pada semi lokakarya Program Pasca sarjana
                IAIN  Jakarta , 24 Juli 2001.

Syafi’I Antonio , Bank Syari’ah ; Dari teori ke praktik, Jakarta ; GIP, 2001

T. Ibrahim Alfian, Mata uang emas kerajaan-kerajaan di Aceh, Sen Penerbitan
                Museum negeri Aceh, Banda Aceh, 1979.

Umer Chapra , The Future of Economics; An Islamic Perspective, Jakarta ; SEBI,
 2001.






[1] Investasinya ialah menggunakan uang untuk mendapatkan uang lebih banyak guns meningkatkan nilai.

MANFAAT WAKAF UANG DALAM KEGIATAN EKONOMI ISLAM

OLEH : H.HANIF HANANI,SH,MH


Salah satu sumber dana sosial potensial di Indonesia adalah dana umat , dana yang berkaitan dengan ajaran keagamaan . Potensi dana umat ini besar karena ajaran agama menjadi motofasi utama masyuarakat untuk berderma. Oleh karena itu , sudah saatnya Indonesia mengembangkan wakaf uang , karena sangat setrategis untuk pembangunan ekonomi umat. Hal-hal yang menjadi urgensi wakaf uang ialah :
1.        Terhadap Wakif (orang yang berwakaf)
Urgensi wakaf uang bagi wakif, ialah seorang wakif tidak lagi memerlukan jumlah uang yang besar untuk dibelikan tanah atau bangunan guna diwakafkan. Karena wakaf uang jumlahnya bisa lebih bervariasi, sehingga orang yang memiliki dana terbatas sudah bisa memulai memberikan dana wakfnya tanpa harus menunggu menjadi konglomerat terlebih dahulu.Hal tersebut tentu akan mendorong masyarakat untuk berwakaf sesuai dengan kemampuan dan
penghasilan yang dimiliki, sehingga akan menarik dan menambah jumlah wakif.
2.      Terhadap Lembaga kuangan Syari’ah
Jika uang wakaf yang terhimpun dapat dikelola oleh bank Syari’ah dengan manajemen yang sangat professional , maka akan berdampak positif bagi pengembangan lembaga keuangan syari’ah , misalnya bertambahnya modal bank Syari’ah dan bertambahnya alternatif perolehan pendapatan bagi lembaga keuangan Syari’ah.

3.      Terhadap kegiatan ekonomi secara makro
a.     Meningkatkan pertumbuhan ekonomi
Menurut Umer Chapra , diantara bahan dasar utama untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan adalah adanya tingkat tabungan dan investasi.[1]
Wakaf uang yang digunakan untuk investasi bisnis seperti yang difatwakan Muhammad ibn Abdullah al-Anshari ternyata mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara, yaitu dengan mentransformasikan tabungan masyarakat menjadi modal investasi. Sekarang kita coba membuat perhitungan dana yang bisa dihimpun dari wakaf uang. Jika ada 20 juta dari umat Islam Indonesia, yang menyerahkan uang sebesar Rp. 50.000 untuk wakaf . Maka dalam kalkulasi sederhana akan diperoleh Rp. 1 triliun dana wakaf yang siap diinvestasikan . Kemudian, serahkan dana yang siap investasi tersebut kepada pengelola profesional yang memberi jaminan esensi jumlahnya tak berkurang dan malah bertambah dengan digulirka sebagai investasi.Apa yang sgera diperoleh dari dana tersebut ? taruhlah dana tersebut sekedar dititipkan di bank Syari’ah dengan bagi hasil 10 % pertahun . Maka, pada akhir tahun sudah ada dana
segar Rp. 100 Miliar yang siap dimanfaatkan.[2]
Dari uraian diatas jelas kiranya jika potensi dana umat yang besar tersebut dapat dihimpun dan dikembangkan dengan profesional dan tanggung jawab . maka , tidak diragukan lagi potensi tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

b.     Pemerataan pertumbuhan ekonomi.
Lebih lanjut , menurut Umer Chapra dalam bukunya , The Tuture of Oconimics, mengungkapkan bahwa sejumlah nilai dan institusi Islam dianggap dapat membantu menciptakan persaudaraan Islam yang ideal, persamaan sosial dan distribusi yang merata.[3]
Sebagai salah satu institusi keagamaan yang erat hubungannya dengan sosial ekonomi yang tidak melihat lintas waktu, wakaf ternyata tidak hanya sekedar mentransformasikan tabungan masyarakat berkecukupan menjadi dana umat , namun juga dapat menjadi salah satu sarana meratakan pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Sekarang coba bayangkan bila Rp. 100 miliar sebagai hasil dari pengelolaan dana wakaf 1 triliun seperti yang kita asumsikan terwujud, maka betapa banyak orang yang hidup digaris kemiskinan dapat merasakan manfaat dana tersebut. Sekian ribu anak yatim bisa disantuni, sekian puluh sekolah dasar dapat dibangun , sekian balai kesehatan bisa didirikan , sekian petani dan pengusaha kecil bisa diberikan modal.
Jadi , jelas kiranya dari beberapa perhitungan diatas, bahwa manfaat wakaf uang ternyata tidak hanya sekedar mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun juga mempu menciptakan pemerataan pendapatan, terutama bagi masyarakat yang semula tidak memiliki peluang usaha menjadi memiliki peluang usaha , dan bagi masyarakat yang semula tidak memiliki pendapatan menjadi memiliki pendapatan.[4]

c.      Stabilitas politik dan ekonomi
Jika asumsi pertama dan kedua diatas ternyata dapat diwujudkan , maka wakaf uang diperkirakan tidak hanya sebatas mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pertumbuhan ekonomi. Lebih dari itu , juga akan mampu menjaga stabilitas polituik yang diakibatkan oleh tidak meratanya pertumbuhan ekonomi dan stabilitas ekonomi akibat tidak seimbangnya antara uang dan barang, disamping gejolak tingkat bunga , nilai tukar dan komoditas serta harga saham yang berlebihan.
Hasil dari pengelolaan dana wakaf , dapat menjaga stabilitas politik akibat kitidakmampuan pemerintah menciptakan pertumbuhan ekonomi , yakni dengan meningkatkan taraf kehidupan masyarakat yang meliputi : Pendapatan yang lebih tinggi dan tersedianya lapangan pekerjaan yang lebih banyak dan sarana pendidikan yang baik. Dan bagi pemerintah juga dapat mengurangi beban APBN dan menambah devisa negara.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab Khalaf, ahkam al Waqaf, Mesir : Matba’ah al mishr, 1951

Adirwan A Karim , Wakaf Berderma Untuk Semua; Wacana dan praktik Filantropi
                Islam, Jakarta ; Teraju , 2004

Daud Ali, Muhammad, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, Jakarta : UI Press,
                1988.

Dawam Rahardjo, Etika ekonomi dan manajemen, PT. Tiara Wacana Yogya,
                Yogyakarta , 1990.

---------Ekonomi Islam; Suatu Kajian Ekonomi Makro, Karim Businnes Consulting,
                Jakarta , 2002

Depag RI, Peraturan Perwakafan ( Waqf Regulations) Depag RI Ditjen Bimas Islam
                dan Urusan Haji Direktorat Urusan Agama Islam , 1998.

Djatnika, Pandangan Islam tentang infaq,sadaqah, zakat danwakaf sebagai
                komponen dalam pembangunan, Surabaya : al Ikhlas , 1983.

Hasan Abdullah Amin , Idarah wa Tasmir mumtalakat al auqaf, Jeddah : Al Ma Tiad
                al Islamy li al buhus wa al Tadrib ala bank al islamy li al Tanmiyah, 1989.

Hasan Langgulung, Azaz-azaz pendidikan Islam , PT .Al-Husna Zikra , Jakarta, 2000.

Hendra Kholid, Wakaf Tunai upaya menyejahterakan umat, Makalah disampaikan
                pada Orientasi Perwakafan Mahasiswa Se Jawa .

Ibn. Taimiyah, Majmu’ al Fatawa , Jilid 18 , Juz 31, Beirut ; Dar al Kutub Ilmiyah,
                2000.

Imam Suhadi, Hukum Wakaf di Indonesia , Yogya : Dua dimensi, 1995.

Irawan dan Surmoko, Ekonomika Pembangunan, BPEF Yogyakarta , 1995.

Jhon L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, Oxford
                University Press, Volume IV , 1995.

M.M. Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam, Jakarta ; PT. Bangkit Daya Insana,
                1995.

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid III, Kuwait ; Dar al bayan , 1971

Suroso Imam Zadjuli, Standar Pengawasan akad dan transaksi dalam ekonomi
                syari’ah, Makalah disampaikan pada semi lokakarya Program Pasca sarjana
                IAIN  Jakarta , 24 Juli 2001.

Syafi’I Antonio , Bank Syari’ah ; Dari teori ke praktik, Jakarta ; GIP, 2001

T. Ibrahim Alfian, Mata uang emas kerajaan-kerajaan di Aceh, Sen Penerbitan
                Museum negeri Aceh, Banda Aceh, 1979.

Umer Chapra , The Future of Economics; An Islamic Perspective, Jakarta ; SEBI,
 2001.





[1] Umer Chapra, The Future of Economics : An Islamic Perspective,(Jakarta;SEBI),h.311
[2] Adiwarman A Karim Berderma untuk semua : Wacana dan praktik Filantropi Islam . (jakarta ; Teraju, 2003) h.97
[3] Umer Chapra , Op.Cit , h. 31
[4] Republika , Wakaf infestasi sudah mendesak” (Republika, Jum’at 17 Mei 2002) h.4

WAKAF UANG DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM OLEH : H.HANIF HANANI,SH,MH Dikalangan ulama fiqih klasik , hukum mewakafkan uang merupakan persoalan yang masih diperselisihkan (debatable, ikhtilaf) . Perselisihan tersebut tidak lepas dari tradisi yang lazim dimasyarakat bahwa mewakafkan harta hanya berkisar pada harta tetap (fixed asset), dan pada penyewaan harta wakaf. Berdasarakan tradisi yang lazim tersebut, maka sebagian ulama masa silam merasa aneh saat mendengar fatwa yang dikeluarkan oleh Muhammad bin Abdullah al- Anshori , murid dari Zufar (sahabat Abu Hanifah) tentang bolehnya berwakaf dalam bentuk uang kontan ; dirham atau dinar, dan dalam bentuk komoditi yang ditimbang atau ditakar (seperti makanan gandum). Yang membuat mereka merasa aneh ialah bagaimana mungkin mempersewakan uang wakaf , bukankah hal itu telah merubah fungsi utama dari uang sebagai alat tukar ? kemudian mereka mempertanyakan , “Apa ayang dapat kita lakukan dngan dana cash dirham? “ Terhadap pertanyaan ini Al-Anshari menjelaskan dengan mengatakan , “ Kita investasikan dana itu dengan cara mudharabah, dan labanya kita sedekahkan . Kita jual benda makanan itu, harganya kita putar dengan usaha mudharabah kemudian hasilnya disedekahkan”. Memang dikalangan mazhab-mazhab fikih , masalah wakaf uang pernah dijadikan bahan perdebatan. Dikalangan Syafi’iyah , seperti dikemukakan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya, al Majmu’, “Dan berbeda pendapat para sahabat kita tentang berwakaf dengan dana dirham dan dinar. Orang yang memperbolehkan berwakaf dengannya, dan yang tidak memperbolehkan mewakafkannya”. Dalam mazhab Hanafi , seperti dikemukakan Ibn “Abidin dalam kitabnya , Hasyyat Ibn “Abidin, soal sah tidaknya mewakafkan uang tergantung adat kebiasaan di satu tempat. Wakaf uang dirham dan dinar sudah menjadi kebiasaan di negeri Romawi, sehingga berdasarkan prinsip diatas, wakaf dirham dan dinar sah ditempat itu dan tidak sah ditempat lain. Secara lebih jelas kebolehan wakaf uang terungkap dalam fatwa yang dikeluarkan oleh al- Anshari diatas. Ibnu Taimiyah dalam kitabnya , Majmu’al Fatawa, meriwayatkan satu pendapat dari kalangan Hanabilah yang membolehkan berwakaf dalam bentuk uang. Di samping ada yang membolehkan terdapat pula ulama yang tidak membolehkannya. Ibn Qudamah dalam kitabnya , al-Mughni meriwayatkan satu pendapat dari sebagian besar kalangan ulama yang tidak membolehkan wakaf uang dirham , dengan alasan dirham dan dinar akan lenyap ketika dibayarkan, sehingga tidak ada lagi wujudnya. Paham yang membolehkan berwakaf dalam bentuk uang , membuka peluang bagi asset wakaf untuk memasuki berbagai usaha investasi seperti syirkah, mudharabah dan lainnya. Dalam catatan sejarah Islam , wakaf uang ternyata sudah dipraktekkan sejak awal abad kedua hijriyah. Diriwayatkan oleh Imam Bukhori bahwa Imam al-Zuhri (wafat 124 H) salah seorang ulama terkemuka dana salah seorang peletak dasar kodifikasi hadits (tadwin al Hadits) memfatwakan, dianjurkannya wakaf uang dinar dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah , sosial dan pendidikan umat Isma. Adapun caranya adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf . Namun demikian , faktor resiko , seperti kerugian yang akan mengancam kesinambungan harta wakaf, perlu dipertimbangkan guna mengantisipasi madharat yang lebih besar. DAFTAR PUSTAKA Abdul Wahab Khalaf, ahkam al Waqaf, Mesir : Matba’ah al mishr, 1951 Adirwan A Karim , Wakaf Berderma Untuk Semua; Wacana dan praktik Filantropi Islam, Jakarta ; Teraju , 2004 Daud Ali, Muhammad, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, Jakarta : UI Press, 1988. Dawam Rahardjo, Etika ekonomi dan manajemen, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta , 1990. ---------Ekonomi Islam; Suatu Kajian Ekonomi Makro, Karim Businnes Consulting, Jakarta , 2002 Depag RI, Peraturan Perwakafan ( Waqf Regulations) Depag RI Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji Direktorat Urusan Agama Islam , 1998. Djatnika, Pandangan Islam tentang infaq,sadaqah, zakat danwakaf sebagai komponen dalam pembangunan, Surabaya : al Ikhlas , 1983. Hasan Abdullah Amin , Idarah wa Tasmir mumtalakat al auqaf, Jeddah : Al Ma Tiad al Islamy li al buhus wa al Tadrib ala bank al islamy li al Tanmiyah, 1989. Hasan Langgulung, Azaz-azaz pendidikan Islam , PT .Al-Husna Zikra , Jakarta, 2000. Hendra Kholid, Wakaf Tunai upaya menyejahterakan umat, Makalah disampaikan pada Orientasi Perwakafan Mahasiswa Se Jawa . Ibn. Taimiyah, Majmu’ al Fatawa , Jilid 18 , Juz 31, Beirut ; Dar al Kutub Ilmiyah, 2000.WAKAF UANG DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMImam Suhadi, Hukum Wakaf di Indonesia , Yogya





OLEH : H.HANIF HANANI,SH,MH


Dikalangan ulama fiqih klasik , hukum mewakafkan uang merupakan persoalan yang masih diperselisihkan (debatable, ikhtilaf) . Perselisihan tersebut tidak lepas dari tradisi yang lazim dimasyarakat bahwa mewakafkan harta hanya berkisar pada harta tetap (fixed asset), dan pada penyewaan harta wakaf.
Berdasarakan tradisi yang lazim tersebut, maka sebagian ulama masa silam merasa aneh saat mendengar fatwa yang dikeluarkan oleh Muhammad bin Abdullah al- Anshori , murid dari Zufar (sahabat Abu Hanifah) tentang bolehnya berwakaf dalam bentuk uang kontan ; dirham atau dinar, dan dalam bentuk komoditi yang ditimbang atau ditakar (seperti makanan gandum).  Yang membuat mereka merasa aneh ialah bagaimana mungkin mempersewakan uang wakaf , bukankah hal itu telah merubah fungsi utama dari uang sebagai alat tukar ? kemudian mereka mempertanyakan , “Apa ayang dapat kita lakukan dngan dana cash dirham? “ Terhadap pertanyaan ini Al-Anshari menjelaskan dengan mengatakan , “ Kita investasikan dana itu dengan cara mudharabah, dan labanya kita sedekahkan . Kita jual benda makanan itu, harganya kita putar dengan usaha mudharabah kemudian hasilnya disedekahkan”.[1]
Memang dikalangan mazhab-mazhab  fikih , masalah wakaf uang pernah dijadikan bahan perdebatan. Dikalangan Syafi’iyah , seperti dikemukakan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya, al Majmu’, “Dan berbeda pendapat para sahabat kita tentang berwakaf dengan dana dirham dan dinar. Orang yang memperbolehkan berwakaf dengannya, dan yang tidak memperbolehkan mewakafkannya”. Dalam mazhab Hanafi , seperti dikemukakan Ibn “Abidin dalam kitabnya , Hasyyat Ibn “Abidin, soal sah tidaknya mewakafkan uang tergantung adat kebiasaan di satu tempat. Wakaf uang dirham dan dinar sudah menjadi kebiasaan di negeri Romawi, sehingga berdasarkan prinsip diatas, wakaf dirham dan dinar sah ditempat itu dan tidak sah ditempat lain. Secara lebih jelas kebolehan wakaf uang terungkap dalam fatwa yang dikeluarkan oleh al- Anshari diatas. Ibnu Taimiyah dalam kitabnya , Majmu’al Fatawa, meriwayatkan satu pendapat dari kalangan Hanabilah yang membolehkan berwakaf dalam bentuk uang.
Di samping ada yang membolehkan terdapat pula ulama yang tidak membolehkannya. Ibn Qudamah dalam kitabnya , al-Mughni meriwayatkan satu pendapat dari sebagian besar kalangan ulama yang tidak membolehkan wakaf uang dirham , dengan alasan dirham dan dinar akan lenyap ketika dibayarkan, sehingga tidak ada lagi wujudnya.
Paham yang membolehkan berwakaf dalam bentuk uang , membuka peluang bagi asset wakaf untuk memasuki berbagai usaha investasi seperti syirkah, mudharabah dan lainnya.
Dalam catatan sejarah Islam , wakaf uang ternyata sudah dipraktekkan sejak awal abad kedua hijriyah. Diriwayatkan oleh Imam Bukhori bahwa Imam al-Zuhri (wafat 124 H) salah seorang ulama terkemuka dana salah seorang peletak dasar kodifikasi hadits (tadwin al Hadits) memfatwakan, dianjurkannya wakaf uang dinar dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah , sosial dan pendidikan umat Isma. Adapun caranya adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf . Namun demikian , faktor resiko , seperti kerugian yang akan mengancam kesinambungan harta wakaf, perlu dipertimbangkan guna mengantisipasi madharat yang lebih besar.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab Khalaf, ahkam al Waqaf, Mesir : Matba’ah al mishr, 1951

Adirwan A Karim , Wakaf Berderma Untuk Semua; Wacana dan praktik Filantropi
                Islam, Jakarta ; Teraju , 2004

Daud Ali, Muhammad, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, Jakarta : UI Press,
                1988.
Dawam Rahardjo, Etika ekonomi dan manajemen, PT. Tiara Wacana Yogya,
                Yogyakarta , 1990.
---------Ekonomi Islam; Suatu Kajian Ekonomi Makro, Karim Businnes Consulting,
                Jakarta , 2002
Depag RI, Peraturan Perwakafan ( Waqf Regulations) Depag RI Ditjen Bimas Islam
                dan Urusan Haji Direktorat Urusan Agama Islam , 1998.
Djatnika, Pandangan Islam tentang infaq,sadaqah, zakat danwakaf sebagai
                komponen dalam pembangunan, Surabaya : al Ikhlas , 1983.
Hasan Abdullah Amin , Idarah wa Tasmir mumtalakat al auqaf, Jeddah : Al Ma Tiad
                al Islamy li al buhus wa al Tadrib ala bank al islamy li al Tanmiyah, 1989.
Hasan Langgulung, Azaz-azaz pendidikan Islam , PT .Al-Husna Zikra , Jakarta, 2000.
Hendra Kholid, Wakaf Tunai upaya menyejahterakan umat, Makalah disampaikan
                pada Orientasi Perwakafan Mahasiswa Se Jawa .
Ibn. Taimiyah, Majmu’ al Fatawa , Jilid 18 , Juz 31, Beirut ; Dar al Kutub Ilmiyah,
                2000.
Imam Suhadi, Hukum Wakaf di Indonesia , Yogya : Dua dimensi, 1995.
Irawan dan Surmoko, Ekonomika Pembangunan, BPEF Yogyakarta , 1995.
Jhon L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, Oxford
                University Press, Volume IV , 1995.
M.M. Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam, Jakarta ; PT. Bangkit Daya Insana,
                1995.
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid III, Kuwait ; Dar al bayan , 1971
Suroso Imam Zadjuli, Standar Pengawasan akad dan transaksi dalam ekonomi
                syari’ah, Makalah disampaikan pada semi lokakarya Program Pasca sarjana
                IAIN  Jakarta , 24 Juli 2001.
Syafi’I Antonio , Bank Syari’ah ; Dari teori ke praktik, Jakarta ; GIP, 2001
T. Ibrahim Alfian, Mata uang emas kerajaan-kerajaan di Aceh, Sen Penerbitan
                Museum negeri Aceh, Banda Aceh, 1979.
Umer Chapra , The Future of Economics; An Islamic Perspective, Jakarta ; SEBI,
 2001.



 



[1] Ibn’Abidin , Raddu al Mukhtar, (Beirut : Dar al Kutub.1994)VI h.555-556

Selasa, 07 Agustus 2012

IKHLAS



OLEH : H.HANIF HANANI,SH,MH

Tersebutlah dalam satu kisah, perbincangan Nabi Musa As dengan umatnya, yang telah beribadah selama 350 tahun, tanpa melakukan perbuatan dosa,  umatnya Nabi Musa itu berkata”wahai Musa AS aku telah beribadah kepada Allah swt selama 350 tahun, tanpa melakukan perbuatan dosa ,dimanakah Allah swt akan meletakkanku di Sorga-Nya ?.Tolong sampaikan pertanyaanku ini kepada Allah swt.
Nabi Musa As, lantas bermunajat pada Allah Swt, dan menanyakan sebagaimana dipesankan , dimana gerangan umatnya yang telah beribadah 350 tahun tersebut hendak ditempatkan, sebagai ujroh atas ibadahnya dan pengabdiannya kepada Allah Swt, namun jawaban Allah sungguh mengejutkan dan mencengangkan, ternyata bukannya Allah Swt menempatkan umat Nabi Musa As, ke surga-Nya, tetapi akan ditempatkan orang itu didasar neraka.  
Ketika Nabi Musa As bertemu kembali dengan umatnya, maka dengan hati-hati disampaikanlah jawaban Allah Swt , atas pertanyaan umatnya tersebut, bahwa Allah Swt, akan menempatkan dia di dasar neraka,orang itu terkejut dengan perasaan sedih ,galau dan gundah gulana ia beranjak dari hadapan Nabi Musa, As. Malamnya ahli ibadah itu terus berfikir mengenai keadaan dirinya . Ia juga mulai berfikir dengan keadaan Saudara-saudaranya, temannya dan orang lain yang mereka baru beribadah, 200 tahun, 300 tahun,bahkan kurang dari itu, dimanakah tempat mereka kelak diakherat?. Pagi harinya ia menjumpai Nabi Musa As, kemudian berkata “ Wahai Musa As, aku rela Allah SWT menempatkan aku kedalam neraka-Nya , akan tetapi aku minta satu permohonan, setelah tubuhku dimasukkan ke Neraka maka jadikanlah tubuhku ini sebesar-besarnya sehingga seluruh pintu Neraka tertutup oleh tubuhku, jadi tidak ada seorangpun akan masuk ke dalamnya”
Pada saat yang lain ketika Nabi Musa As bermunajat kepada Allah Swt, disampaikanlah , tentang keikhlasan umatnya dalam menerima ketentuan Allah, Swt, akan halnya bakal dimasukkannya umatnya ke neraka, maka kemudian Allah mengatakan , bahwa Allah berkenan memasukkan hamba itu ke dalam Surga-Nya yang paling tinggi , karena kepasrahannya terhadap ketentuan Allah Swt.
Saudara…, apa yang bisa petik dari pelajaran diatas, bagaimana mungkin orang yang telah beribadah sekian lamanya, ketika dia berkeinginan dan berambisi , mengambil imbalannya , ternyata yang diperoleh adalah “kemurkaan Allah”, karena apa ? orang itu menduakan Allah Swt dengan mahluknya , bukankah surga yang dia harap adalah mahluk Allah juga,Artinya selama 350 tahun itu, dia beribadah bukan karena Allah Swt, tetapi lebih banyak hanya karena mengharap dia dimasukkan ke Surga, padahal hak prerogratif untuk menentukan hamba, masuk Surga atau Neraka adalah mutlak kewenangan Allah Swt.    
Syaikh Abdul Qodir Al Jailani berkata :
Dunia ibarat pasar , sebentar lagi tidak ada seorangpun yang tinggal dipasar itu . Yakni ketika malam telah tiba dan para penduduk pulang kerumah masing-masing. Berusahalah,  sesungguhnya tidak berjual beli dipasar itu kecuali untuk bekalmu di akherat kelak. Perbekalan sesungguhnya adalah iman kepada Allah Swt , dan ikhlas beramal untuk-Nya. Itulah perbekalan yang dibawa kelak tapi sungguh, bekalmu masih teramat sedikit.
Perbaikilah niat untuk-Nya , berusahalah tidak memakan sesuap nasi ,melangkah sejengkal , atau melakukan amal apapun kecuali dengan niat yang    baik. Perbaikilah hubungan dengan Allah swt, jika telah demikan maka setiap amal, yang dilakukan adalah untuk-Nya , bukan untuk selain Dia. Sifat pura-pura akan hilang , dan niat yang baik itu akan menjadi watak bagi seorang hamba manakala penghambaannya benar-benar untuk Allah swt. Jika Dia telah menolongnya , maka ia akan menjadi kaya dan terhalang dari makhluk sehingga ia tidak memerlukan mereka.
Jika seseorang itu layak untuk Allah swt, maka dia akan bersama-Nya dalam setiap keadaan. Dia akan mengganti dan memindahkannya dari suatu keadaan kepada keadaan yang lain. Sehingga sepenuhnya menjadi beriman, yakin dan ma’rifat bahkan dekat dan musyahadah (menyaksikan). Tinggalkanlah dunia dan carilah akherat , kemudian carilah kedekatan dengan Tuhan. Tinggalkanlah makhluk lalu kembalilah kepada Khaliq.
Allah swt, tidak menuntut bentuk hamba, tetapi yang dituntut adalah maknanya . Yakni ketauhidan dan keikhlasannya , serta hilangnya cinta dunia dan akherat darinya . Bahkan segala sesuatu jauh darinya. Manakala keadaan telah demikian , maka Allah swt, akan mencintainya , dan mengangkatnya diatas lainya.
Magelang, 18 Romadhon 1433 H

PENYEMBELIHAN HEWAN HALAL, MENURUT PANDANGAN HUKUM ISLAM *





OLEH : H. HANIF HANANI,S.H.,M.H.

A.    PENDAHULUAN
Masyarakat memerlukan perlindungan dari pemerintah bagi semua barang yang dimakan dan diminum terutama hasil produksi makanan dan minuman yang selama ini dilakukan, halal menurut ajaran Islam . beberapa ayat Al-qur’an dan Hadits antara lain :
“ Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rizkikan kepadamu , dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya (Al-Maaidah :88)
“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rizki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah. (An-Nahl :114)
“Hai orang-orang yang beriman , makanlah diantara rizki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah , jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah” ( Al-Baqoroh : 172)
Rosulullah SAW bersabda :
“ Sesungguhnya Allah itu baik dan Dia hanya menerima hal-hal yang baik-baik saja”. (H.R. Muslim).
Oleh karena itu  maka pemerintah bersama dengan Ulama / Pemuka agama Islam berkewajiban untuk melakukan pengawasan dari hal-hal yang dapat mempengaruhi kehalalan dari bahan pokok, bahan tambahan, proses produksi dan pengedaran makanan , minuman.
Kasus-kasus makanan halal yang dapat meragukan masyarakat akan mempunyai dampak negatif tidak hannya berpengaruh bagi perusahaan itu sendiri , tetapi juga begi pertumbuhan ekonomi masyarakat dan bangsa pada umumnya. Yang lebih penting lagi bagi seorang muslim dalam hal makan dan minuman adalah suatu yang erat sekali kaitannya dengan ibadah.
Manakala seorang muslim mamakan dan meminum sesuatu yang haram atau najis, maka do’a dan ibadahnya sia-sia dan tidak diterima oleh Allah SWT.
B.   PENGERTIAN ISTILAH
1.    Makanan adalah barang yang dimaksudkan untuk dimakan atau diminum oleh manusia serta bahan yang digunakan dalam produksi makanan dan minuman.
2.   Memproduksi adalah membuat, mengolah (menyembelih), mengubah bentuk, mengawetkan , membungkus, mengedarkan sesuai persyaratan yang berlaku untuk menjamin perlindungan bagi masyarakat.
3.   Mengedarkan adalah menawarkan, menjajakan, menjual , menyerahkan , menyimpan, atau memiliki persediaan ditempat penjualan atau alat angkutan umum .
4.   Ajaran Islam adalah tata aturan Agama yang berdasarkan Al-Qur’an dan hadits untuk mengatur hubungan ritual langsung antara manusia dengan Tuhan , dan antara manusia dengan  sesama manusia serta hubungan antara manusia dengan benda dan alam sekitar . Disamping Al-Qur’an dan hadits , sumber ajaran hukum Islam adalah Ijma’ konsensus ulama dan Qiyas.  
5.   Halal dan Haram.
a.    Halal adalah sesuatu yang dibolehkan menurut ajaran Islam
b.   Makanan halal adalah makanan yang dibolehkan memakannya menurut ajaran
Islam
c.    Minuman halal adalah minuman yang dibolehkan meminumnya manurut ajaran Islam
d.   Haram adalah sesuatu yang dilarang menurut ajaran Islam
e.   Makanan haram adalah makanan yang dlarang memakannya menurut ajaran Islam
Firman Allah :
“ Mereka menanyakan kepadamu apakah yang dihalalkan bagi mereka. Katakanlah : Dihalalkan bagimu yang baik-baik ( dan buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarkannya menurut apa yang diajarkan Allah kepadamu . Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya) dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Alah amat cepat hisab-Nya (Al-Maaidah : 4).
C.   Persyaratan Penyembelihan Hewan Halal Menurut Syari’at Islam
1.   Penyembelih  beragama Islam, taat dan Baligh.
2.   Penyembelih memiliki pengetahuan yang baik dan benar tentang syari’at Islam
3.   Penyembelih mampu mengucapkan Basmallah secara fasih , sehat jasmani dan rohani.
4.   Penyembelih bebas dari luka , penyakit kulit atau penyakit lain yang mencemarkan produk lain.
5.   Hewan yang akan disembelih harus hewan halal memenuhi persyaratan hukum Islam
6.   Hewan yang akan disembelih harus dalam keadaan hidup atau diperkirakan (dengan dilihat) hidup pada saat penyembelihan.
7.   Mengucapkan “Bismillah Allahu Akbar” (dengan nama Allah) harus dinyatakan sebelum penyembelihan setiap hewan.
8.   Peralatan penyembelihan harus tajam dan harus tidak diangkat/ terangkat dari hewan (tetap melekat pada hewan yang disembelih)
9.   Proses penyembelihan harus memotong / memutus tenggorokan (trachea), kerongkongan (oesophagus) dan pembuluh arteri dan vena utama dibagian leher .
10.        Daging hewan yang disembelih dibersihkan dari kotoran dan najis.

D.   HUKUM MENYEMBELIH QURBAN
Sabda Nabi Muhammad ,SAW : “Diterima dari Barra ra. Katanya : “Telah bersabda Rosulullah saw : “Bahwa mula-mula sekali kita kerjakan pada hari ini ialah melakukan sholat. Kemudian kembali pulang lalu menyembelih hewan qurban. Barangsiapa mengerjakannya maka sungguh, ia telah mendapatkan sunah kita. Dan barangsiapa yang menyembelih sebelumnya, maka ia hanyalah daging yang disuguhkannya kepada keluarganya dan tidak termasuk dalam ibadah sedikitpun juga !”
Maka jawab Nabi saw : “Sembelihlah dia , tetapi dia tidaklah cukup bagi orang lain sesudahmu !
Berkata Mutharif bin Amir dari Barra : “Sabda Nabi saw : “ Barangsiapa menyembelih sesudah sholat, maka sempurnalah ibadahnya dan dapatlah olehnya sunah kaum muslimin”
(Riwayat Bukhori dan Muslim)
“ Adh-ha” bermakna hewan yang disembelih – berupa Unta, Sapi, Kerbau dan Kambing- yang disembelih untuk mendekatkan diri kepada ALLah Ta’ala pada hari Id dan tiga hari sesudahnya .
Kata Qodhi Iyadh : “Dinamakan demikian karena penyembelihan dilaksanakan pada waktu dhuha  yaitu waktu naiknya matahari, hingga dengan demikian pengambilan namanya itu ialah dari waktu penyelenggaraannya .
Para ulama berbeda pendapat tentang wajibnya udhiyah (menyembelih qurban) bagi orang yang mampu , Jumhur mengatakan bahwa hukumnya sunat , hingga bila ditinggalkannya tanpa uzur , maka ia tidak berdosa dan tidak diharuskan mengqodho . Diantara tokoh-tokoh yang berpendapat demikian ialah Abu Bakar Shiddik, Umar bin Khotthab, Bilal, Abu Mas’ud al Badari, Said Bin Musayyab, Alqomah, Aswad. Atha, Malik, Ahmad Abu Yusuf, Ibnul Mundzir .
Sebaliknya Rabi’ah, Auza’I, Abu Hanifah dan Laits mengatakan wajib atas orang yang mampu. Pendapat ini juga diikuti sebagaian golongan Maliki.
Sedangkan pendapat yang tekenal dari Abu Hanifah , bahwa ia hanya wajib atas orang mukmin jika hartanya sampai nisab, Wallahu a’lam.

E.    CACAT YANG MENGHALANGI SAHNYA UDH-HIYYAH
Diterima dari Barra bin Azib ra, katanya : “ Rosululloh SAW, bangkit berdiri diantara kami, lalu bersabda : “ ada empat perkara yang tidak boleh ditemukan pada hewan kurban, yang juling dan nyata julingnya, yang sakit dan  nyata sakitnya, yang pincang dan nyata pincangnya , dan yang tua yang sudah tidak punya benak lagi” (H.R. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi serta dinyatakan shahih oleh Hakim).

F.    ORANG YANG BERQURBAN MENYEMBELIH HEWAN QURBAN DENGAN TANGANNYA SENDIRI
Diterima dari Anas ra. Katanya : “ Nabi Saw. Berqurban dengan dua ekor kibasy yang berwarna putih dan bertanduk besar . Keduanya disembelihnya dengan tangannya sambil membaca basmalah dan takbir, dan kakinya ditaruh pada sisi tubuh keduanya “.
(Diriwayatkan oleh Bukhori, Muslim, Nasa-I dan Ibnu Majah)
Penjelasan .
“Kibasy”ialah domba jantan, “Amlahain” atau dua “amlah”, yaitu yang berwarna putih dicampur dengan warna hitam atau merah, tetapi warna putihnya lebih banyak. “Aqronain” artinya bertanduk besar, tapi para ulama sepakat atas bolehnya berqurban dengan hewan yang tidak bertanduk, sementara Abu Hanifah, Syafi’I dan jumhur membolehkan berqurban dengan yang patah tanduk, walaupun berdarah, Hanya Malik menganggapnya cacat , jika patahnya itu berdarah.
Dan Abu Uwanah bin Muhammad meriwayatkan pula dari Anas , bahwa kedua kibasy itu dilukiskannya sebagai yang gemuk-gemuk. Dan Nabi Muhammad Saw, memilih kibasy yang putih, bertanduk besar lagi gemuk, ialah karena rupanya yang baik, dagingnya yang enak dan gajihnya yang banyak.
Dari keterangan diatas dapat diperoleh petunjuk :
1.   Hendaklah orang yang berqurban yang menyembelih hewan qurban dengan tangannya sendiri, yakni jika ia pandai menyembelih dan kuat untuk itu
2.   Boleh berqurban dengan dua ekor hewan
3.   Membaca basmalah dan takbir ketika menyembelih qurban
4.   Memilih hewan qurban yang bertampang bagus, berdaging empuk, dan bergajih banyak
5.   Agar penyembelih menaruh kakinya pada sisi hewan qurban , yakni untuk memantapkan penyembelihan
6.   Disunatkan hewan qurban itu berupa kibasy yang bertanduk besar
7.   Lebih utama lagi jika hewan qurban itu yang jantan karena dagingnya lebih enak.
G.   PENYEMBELIHAN YANG BERPERIKEHEWANAN
Kadangkala kita tidak merasa bahwa apa yang kita perbuat pada hewan-hewan qurban yang akan disembelih itu kurang layak, baik itu perawatan, persiapan penyembelihan sampai pada pelaksanaan penyembelihan maupun pasca penyembelihan atau pendistribusian daging hewan qurban , sebagai contoh kasus dibawah ini dapat kami sampaikan beberapa kejadian dan perlakuan terhadap hewan :
1.   Kasus Daging Sapi Glonggongan
Jangan lupakan Boyolali. Pasalnya , konon dari sinilah pertama kali kasus sapi glonggongan terbongkar pada 1993. Pelakunya warga Cepogo Boyolali. Sapi Glonggongan , sesuai namanya , adalah sapi yang digelontor air ( Jawa : diglonggong) lewat mulutnya sebelum disembelih . Air dimasukkan lewat corong bambu yang dijejalkan dan diikat pada moncong sapi . Lebih sadis lagi , air dipompa dengan jet pump . Perlakuan ini membuat sapi tampak gembrot , karena air menggelembungkan tubuhnya. Setelah itu sapi disembelih, hasilnya bobot tiap kg daging yang dihasilkan bisa lebih berat sampai 3 ons.
Dari segi apapun , daging glonggongan adalah pruduk kejahatan multidimensi, penggelonggongan binatang , jelas merupakan pelanggaran hak asasi mahluk Tuhan. Nabi Muhammad berulang kali menegaskan agar tidak menyiksa binatang, termasuk yang akan disembelih.
2.   Kesalahan Prosesi Penyembelihan
Pada beberapa kejadian penyembelihan hewan qurban sering kita saksikan bahwa panitia kurang menguasai  tata cara menyembelih , maka apa yang terjadi ?, hewan qurban dipaksa oleh beberapa orang dengan cara dipukul , ditarik agar hewan bisa roboh, akibatnya hewan mengalami stress, dan sempat kesakitan sebelum disembelih ,kadang kala waktu menyembelihpun masih diinjak lehernya .
Dikemudian hari, Ressang , pakar kedokteran dari Perancis , menemukan bahwa daging hewan yang disembelih dalam keadaan nyaman berkualitas lebih baik. Yaitu lebih tahan lama disimpan dan rasanya enak. Karena itu hewan yang akan disembelih jangan sampai kecapaian dan stress.
Sebaliknya pemukulan atau penjatuhan hewan , menyebabkan memar dan pendarahan di bawah kulit dan daging . Ini mengakibatkan darah tidak keluar dari tubuh hewan dengan sempurna. Hasil penelitian Epley (1974) menunjukkan , semakin tuntas darah dikeluarkan kian baik mutu dagingnya . Dan menurut Thornton & Gracey (1974) , pengeluaran darah akan sempurna hanya bila binatangnya benar-benar sehat.
3.   Dinegara Barat , sebelum disembelih hewan besar biasanya dipingsankan (stunning) menggunakan bius. Pembiusan dilakukan dengan membekapkan gas karbon (CO2) , menyetrum otak atau menembak binatang dengan captive bolt pistol. Dalam keadaan pingsan barulah hewan itu disembelih.Penelitian Blomquist (1959), Hiner (1971) , Van Der Wall (1975)  dan lain-lain membuktikan bahwa semua bentuk pemingsanan diatas berdampak menurunkan kualitas daging.
Pemerintah dan Majelis Agama Brunei Darussalam , melarang Stunning. Mereka juga menolak ayam impor yang dipingsankan sebelum dipotong. Tapi di banyak  negara Islam lainnya , pemingsanan diijinkan asal benar-benar dikontrol sehingga hewan tidak sampai mati sebelum disembelih.
DAFTAR PUSTAKA
1.   Al-qur’anul Karim
2.   Al-Hadits
3.   Anton Apriyantono, Nurbowo, Panduan Belanja dan Konsumsi Halal, Khairul Bayan , Jakarta : 2003.
4.   Departemen Agama RI, Panduan Sertifikasi Halal, Jakarta : 2003
5.   Departemen Agama RI,Tanya Jawab Seputar Produk Halal, Jakarta : 2003
6.   Departemen Agama, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal, Jakarta : 2003
7.   Majelis Tertinggi Urusan Keislaman Mesir, Makanan dan Minuman serta Hewan Qurban Sembelihan, Angkasa, Bandung : 2001

·        Disampaikan dalam acara Pembinaan Produk Halal , Senin , 28 Desember  2009  di KUA. Kec. Muntilan .