Jumat, 20 Juli 2012

PERJANJIAN BISNIS FRANCHISE DAN DAMPAKNYA TERHADAP KELANGSUNGAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DI INDONESIA (DALAM PERSPEKTIF EKONOMI MIKRO)

        
OLEH : H.HANIF HANANI,SH,MH
A.    PENDAHULUAN
Walaupun bisnis franchise mulai berkembang di Amerika Serikat  ratusan tahun yang lalu ketika breweries licensed beer gerdens sebagai alat pendistribusian produk mereka, franchise belum diakui sebagai suatu metode menjalankan bisnis hingga sesudah perang dunia ke II berakhir. Namun , dalam kurun waktu 20 –an tahun terakhir , bisnis franchise telah memberikan dukungan yang sangat besar terhadap keberhasilan Amerika Serikat menempati pasar terbesar di dunia. Dengan menyajikan lebih dari 2.000 perusahaan Amerika Serikat yang mencakup lebih dari 40  sektor ekonomi yang bermacam ragam , sistem franchise baru digunakan bagi penyebaran barang dan jasa secara nasional atau internasional . Di antara jenis-jenis sektor ekonomi yang menggunakan sistem franchise adalah dealer kendaraan bermotor , stasiun pengisian bahan bakar , restoran, toko,hiburan minuman ringan kemasan botol, barang obat-obatan , barang elektonik , barang kosmetik, agen perjalanan, perhotelan, rental kendaraanangkutan, bangunan perumahan, jasa kebersihan (cleaning service) , dan salon kecantikan (beauty salon)
Bisnis franchise merupakan kegiatan usaha penjualan barang secara retail kepeda masyarakat luas. Begitu populernya kegiatan bidang bisnis ini sehingga  cepat sekali berkembang dan meliputi berbagai jenis bidang usaha. Bisnis
franchise diperkenalkan pertama kali oleh  Isaac Singer pada tahun 1851 di Amerika Serikat , seorang pencipta  mesin jahit merek Singer yang terkenal itu. Pelopor bisnis franchise terkenal di Amerika Serikat , antara lain :
1.    The Coca Cola Corporation di bidang minuman;’
2.   Mc Donald’s Corporation di bidang restoran;
3.   General Motor Corporation di bidang otomotif;
4.   Hilton Hotel di bidang perhotelan;
5.   Computer Centre Inc. di bidang komputer ; dan
6.   Jony King di bidang pelayanan kebersihan.
B.    Bisnis Franchise di Indonesia
Di Indonesia bisnis penjualan secararetail semacam franchise mulai dikembangkan , misalnya , Pertamina yang memelopori penjualan bensin secara retail melaui Stasiun Pompa Bensin Umum (SPBU) berdasarkan lisensi pompa bensin yang diberikan oleh Pertamina dan perusahaan Jamu Nyonya Meneer yang melisensikan penjualan jamu kepada pengusaha obat tradisional. Karena sistem franchise begitu menarik dan menguntungkan bagi dunia usaha, bisnis franchise asing masuk ke dan berkembang pesat di Indonesia dengan memberi lisensi kepada pengusaha lokal , seperti perusahaan Coca Cola, Kentucy Fried Chicken, Dunkin Donat, dan lain-lain. Maka dari itu , perkembangannya pun telah merambat dari kota besar ke kota kecil . Tentu saja akibatnya menimbulkan persaingan berat bagi pengusaha kecil lokal yang bergerak di bidang usaha yang sejenis.
Karena bisnis franchise begitu menarik dan menguntungkan, pemerintah berkepentingan untuk mengembangkan bisnis ini di Indonesia guna terciptanya iklim kemitraan usaha melalui pemanfaatan lisensi sistem franchise. Dengan bantuan International Labour Organization (ILO) dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia , kemudian didirikan Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) pada tanggal 22 Nopember 1991. Pada tahun 1995 berdiri pula Asosiasi Restoran Wara laba Indonesia (ARWI) yang mengkhususkan diri di bidang restoran. Asosiasi ini bertujuan mengembangkan sumber daya manusia berkualitas dibidang usaha restoran franchise serta mengembangkan informasi teknologi di bidang usaha restoran terutama mengenai teknologi makanan, peralatan masak, kemasan, kesehatan dan gizi , pengawetan , dan manajemen pelayanan.
Melalui sistem franchise ini, kegiatan usaha pengusaha kecil di Indonesia dapat berkembang secara wajar dengan menggunakan resep, teknologi,kemasan,pelayanan , dan merek dagang/jasa pihak lain dengan membayar sejumlah royalti berdasarkan lisensi franchise . Disamping itu , pengembangan sumber daya manusia berkualitas menjadi penting melalui pelatihan ketrampilan menjalankan bisnis franchise yang diselenggarakan oleh pihak pengusaha kecil. Para penerima lisensi franchise tidak perlu bersusah payah menciptakan sendiri sitem bisnis , sudah cukup dengan menyediakan sejumlah modal kemitraan usaha dan membayar royalti dengan memanfaatkan sistem franchise asing melalui bisnis lisensi.
Menurut Douglas J Queen (1993) , konsep bisnis franchise yang sudah teruji kemungkinan besar mengimbangi biaya awal dan royalti selanjutnya dari franchise itu. Dengan biaya itu pemilik franchise biasanya menyediakan pelayanan utama berikut ini :j
1.    Pemilihan dan pengkajian lokasi.
2.   Spesifikasi peralatan dan tempat.
3.   Pelatihan manajemen dan staf
4.   Dukungan promosi iklan.
5.   Manfaat pembelian dalam volume.
6.   Merek dagang yang terkenal.
Berdasarkan penyediaan pelayanan tersebut oleh pemilik (franchisor), maka penerima (franchisee) mempertimbangkan kemungkinan memperoleh keuntungan jika menerima franchise melalui lisensi/ perjanjian .
Dengan kata lain , pemilik (franchisor) melisensikan franchisenya disertai penyediaan pelayanan utama , yang dapat menguntungkan franchisee.
C.   Istilah dan Definisi Franchise
Dalam perkembangannya hingga kini , belum ada definisi yang diterima secara universal mengenai istila franchise yang ada. Namun , definisi yang ada berikut ini dikutip dari Washington Franchise Investment Protection Act Pasal 19 . Menurut ketentuan pasal , tersebut :
Franchise adalah suatu kontrak lisan atau tertulis baik secara tegas ataupun secara diam-diam, dalam mana seorang memberikan kepada orang lain suatu lisensi penggunaan nama dagang dan jasa, tipe logo atau berkenaan dengan ciri khas dalam mana kepentingan suatu komunitas dalam bisnis penawaran , penjualan, pendistribusian barang dan jasa secara  grosir atau secara retail, leasing, atau sebaliknya , dan dalam mana franchise diminta untuk membayar langsung atau tidak langsung suatu biaya penggunaan franchise”.
R.B. Simatupang, Menginfentarisasi beberapa karakteristik franchise sebagai berikut :
1.     Franchise harus dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis (kontrak lisensi) antara franchisor dan franchisee yang memuat isi kontrak yang pada dasarnya merupakan kesepakatan hasil negoisasi antara kedua belah pihak.
 2.     Franchisor harus memberikan pelatihan dalam segala aspek bisnis yang akan dilisensikannya kepada franchisee . Franchisor juga memelihara kelangsungan bisnis franchisee dengan memberikan dukungan dalam berbagai aspek bisnis , seperti periklanan , dan pengawasan (supervise)
3.     Franchise boleh beroperasi di bawah kendali franchisor dengan menggunakan nama/merek dagang, format, dan/atau prosedur serta segala reputasi (nama baik) yang dimiliki franchisor.
4.     Franchisee harus mengadakan investasi yang berasal dari sumber-sumber dananya sendiri atau dengan dukungan sumber dana lain, seperti kredit perbankan . Pada outlet yang dikelola franchisee , tidak ada infestasi langsung dari pihak franchisor . Yang lazim adalah pengadaan peralatan dengan fasilitas leasing atau barang dagangan secara cicilan oleh franchisor atau pengadaan gedung oleh franchisor yang disewakan kepada franchisee ke dalam unit usaha yang dikelola franchisee.
5.     Franchisee berhak mengelola secara penuh bisnisnya sendiri.
6.     Franchisee membayar fee atau royalti kepada franchisor atas hak yang diperolehnya dan atas bantuan terus-menerus yang diberikan oleh franchisor . Fee merupakan bentuk beban (charge) yang umum dikenakan oleh franchisor . Royalti umumnya dikenakan oleh franchisor tertentu yang memiliki merek dagang terkenal.
7.     Franchisee berhak memperoleh daerah pemasaran tertentu dimana dia adalah satu-satunya pihak yang berhak memasarkan produk atau jasa yang dihasilkan.
8.     Transaksi yang terjadi antara franchisor dan franchisee bukan merupakan transaksi yang terjadi antara perusahaan induk dan cabang, atau antara cabang dari perusahaan induk yang sama , atau antara individu dan perusahaan yang berada di bawah pengawasannya.
D.  Perjanjian Franchise
1.   Komunikasi Penawaran Franchise

Franchisor biasanya mencari franchisee dengan mengiklankan bisnis franchise tertentu sebagai  penawaran. Kemudian , franchisor mengirim franchisee kit menjelaskan dengan istilah-istilah yang potensial berhasil dalam bisnis franchise tertentu . Pelaku bisnis dengan sedikit pengalaman yang sudah ada dan modal terbatas yang sangat tertarik untuk mengadakan hubungan bisnis franchise , mempelajari dokumen promosi dari franchisor , studi pasar , dan statistik yang tampaknya sangat persuasif . Bahkan , pada mulanya franchisee sungguh percaya atas bimbingan dari franchisor . Namun, menghadapi kontrol franchisor terhadap franchise yang tidak mudah ditembus, akan menghadapi kesulitan dan menimbulkan masalah hukum.
2.   Bentuk Perjanjian Franchise
Franchise diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara franchisor dengan franchisee. Perjanjian franchise dibuat dalam bahasa Indonesia dan terhadapnya berlaku hukum Indonesia (Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997) . Perjanjian dalam bentuk tertulis memberikan kepastian hukum kepada kedua belah pihak dalam memenuhi kewajiban dan memperoleh hak yang telah disepakati . walaupun ditentukan dibuat dalam bahasa Indonesia , perjanjian franchise dapat juga dibuat terjemahannya dalam bahasa asing terutama bahasa Inggris agar dapat dipahami dengan baik oleh kedua belah pihak . Apabila perjanjian franchise di buat di Indonesia, berlaku hukum Indonesia, walaupun salah satu pihak adalah warga negara asing.
Sebelum membuat perjanjian , franchisor wajib menyampaikan keterangan secara tertulis dan benar kepada franchisee . Ketentuan ini dimaksudkan agar franchisor dan franchisee memiliki dasar awal yang kuat dalam melakukan kegiatan bisnis franchise secara sehat dan terbuka. Keterangan tertulis yang dimaksud tercantum dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 dan juga dalam Pasal 5
 Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 Tahun 1997 yang sekurang-kurangnya mengenai:
a.    Identitas franchisor berikut keterangan mengenai kegiatan usahanya termasuk neraca dan daftar laba rugi selama dua tahun terakhir.
b.   Hak kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang menjadi objek franchise.
c.    Persyaratan yang harus dipenuhi franchisee , antara lain, mengenai cara pembayaran , ganti kerugian, wilayah pemasaran, dan pengawasan mutu.
d.   Bantuan atau fasilitas yang ditawarkan franchisor kepada franchisee, antara lain bantuan pelatihan, keuangan , pemasaran, pembukuan, dan pedoman kerja.
e.    Hak dan kewajiban franchisor dan franchisee.
f.     Cara-cara dan syarat pengakhiran , pemutusan, dan perpanjangan perjanjian franchisee.
g.    Hal-hal lain perlu diketahui franchisee dalam rangka pelaksanaan perjanjian franchise.
E.   Klausula Perjanjian Franchise
Menurut ketentuan Pasal 7 Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 Tahun 1997, perjanjian franchise antara franchisor dan franchisee sekurang-kurangnya memuat klausula mengenai hal-hal berikut ini :
1.   Nama, alamat,tempat kedudukan perusahaan masing-masing pihak.
2.   Nama dan jabatan masing-masing pihak yang berwebang menandatangani perjanjian .
3.   Nama dan jenis hak kekayaan intelektual , penemuan atau ciri khas usaha, misalnya, sistem manajemen , cara penjualan atau penataan atau cara pendistribusian yang merupakan karakteristik yang menjadi objek franchise.
4.   Hak dan kewajiban masing-masing pihak serta bantuan dan fasilitas yang diberikan kepada franchisee.
5.   Penunjukan wilayah  pemasaran bisnis franchise dalam perjanjian franchise dapat mencakup seluruh atau sebagian wilayah Indonesia.
6.   Jangka waktu perjanjian dan tata cara perpanjangan perjanjian serta syarat-syarat perpanjangan perjanjian.
7.   Cara penyelesaian perselisihan.
8.   Ketentuan-ketentuan pokok yang disepakati yang dapat mengakibatkan pemutusan atau berakhirnya perjanjian.
9.   Ganti kerugian dalam hal terjadi pemutusan perjanjian.
10.        Tata cara pembayaran imbalan.
11.        Penggunaan barang atau bahan hasil produksi dalam negeri yang dihasilkan dan dipasok oleh pengusaha kecil.
12.        Pembinaan , bimbingan, dan pelatihan kepada franchisee.
F.   Dampak Bisnis Franchise
1.   Dampak Positif
Dampak positif adalah manfaat atau keunggulan yang dapat memperoleh dari perkembangan bisnis franchise . Manfaat tersebut merupakan keberhasilan dari segi bisnis dan sumber daya manusia karena berkaitan dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi (transfer of knowledge ang technology). Beberapa dampak positif tersebut adalah sebagai berikut :
a.    Sistem Franchise merupakan peluang bagi franchisee untuk memulai karir di bidang bisnis kendatipun dengan modal dan pengalaman terbatas. Peluang ini didukung oleh persediaan bahan yang terjamin, penggunaan sebagian besar teknik penjualan , dan terbunkanya akses ke pelatihan dan pengawasan. Goodwill pemasaran yang diketahui secara nasional , merek dagang, dan jasa
b.    berkualitas tinggi , tidak hanya bermanfaat bagi franchisee secara individual , tetapi juga bagi franchisor sebagai pemilik franchise yang menghasilkan royalti.
c.    Usaha kecil / menengah cepat berkembang karena penerapan sistem kemitraan . dalam hubungan ini , franchisee sebagai pemegang lisensi bermitra usaha dengan usaha kecil dan menengah untuk pasokan bahan produk dan memasarkan produk siap pakai.Dalam hubungan kemitraan , franchisee berstatus sebagai pendorong, pengoordinasi, dan/atau pembina berkembangnya usaha kecil dan menengah.
d.   Penggunaan sumber daya manusia dan teknologi satu paket melaui lisensi franchise . Malalui perjanjian franchise , karyawan dilatih dan bekerjaprofesional yang didukung oleh penggunaan teknologi dalam rangka transfer of knowledge and technology. Ini berarti ada pembinaan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia dibidang bisnis yang didukung teknologi.
e.    Bisnis franchise kecil kemungkinan mengalami kerugian karena manajemen oleh pihak franchisor . dalam hubungan ini , kedua belah pihak franchisor dan franchisee menjalankan bisnis mencari keuntungan . jika franchisee berhasil memperoleh keuntungan dari bisnisnya di bawah pengawasan franchisor yang sudah berpengalaman, franchisor juga berhasil meraup keuntungan melalui royalti yang diterimanya dari franchisee.
f.     Tidak perlu repot menciptakan bisnis baru karena bisnis yang akan dijalankan sudah disiapkan oleh franchisor , yang meliputi menejemen franchise , pelatihan karyawan profesioanl , pelayanan dan kebersihan , serta disiplin kerja yang tinggi.
2.   Dampak Negatif
Selain dari dampak positif , ada juga dampak negatif dari bisnis franchise. Dampak negatif merupakan bentuk kerugian atau kelemahan yang perlu diatasi/diantisipasi
 agar tidak menimbulkan kerugian lebih jauh terutama dalam rangka pengembangan sumber daya manusia berkualitas dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dampak negatif tersebut, antara lain :
a.    Basnis franchise dapat mematikan krativitas penemuan baru di bidang bisnis dan teknologi karena merasa sudah puas dengan yang ada melalui lisensi franchise. Pihak franchisee dimanjakan oleh franchisor hanya bertumpu pada bisnis franchise miliknya yang sudah mapan.
b.   Tidak ada upaya modifikasi bisnis karena hanya mengandalkan lisensi bisnis franchise yang sudah baku dan harus dipatuhi oleh franchisee . Melakukan modifikasi berarti melanggar perjanjian franchise yang akan mengakibatkan pembatalan hubungan bisnis.
c.    Teknologi tidak berkembang karena hanya bergantung pada paket teknologi yang sudah ditetapkan dalam lisensi franchise , Ini berarti hambatan bagi kemajuan pembangunan . Karena lisensi farnchise harus didaftarkan , ada kemungkinan ditolak pendaftarannya sebab melanggar asas hukum lisensi.
d.   Sikap menerima apa adanya karena dimanjakan oleh lisensi franchise . Dalam hal ini , pihak franchise tertutup upaya menghasilkan hak kekayaan intelektual baru melalui penemuan bisnis dalam kurun waktu bertahun-tahun , kecuali keuntungan ekonomi (profit) . Kalau ada penemuan baru selama menjalankan franchise , biasanya hak kekayaan intelektualnya menjadi milik franchisor.
e.    Franchisor sering melakukan pengawasan secara intensif terhadap perbuatan franchise mengenai pelaksanaan bisnis franchise bersama dengan aspek-aspek lain dari hubungan franchisor – franchisee, sehingga dapat menimbulkan masalah hukum yang rumit (complicated).

G.  Kesimpulan
Dari beberapa hal yang telah dipaparkan diatas baik tentang perkembangan bisnis franchise, perkembangannya di Indonesia, pengaturannya dan dampak yang ditimbulkan baik dari sisi positif maupun dampak dari sisi negatif dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.   Bisnis Franchise atau di Indonesia dikenal dengan waralaba berkembang sangat pesat , bahkan merambah tidak hanya dikota-kota besar namun sampai di kota-kota kecil, untuk itu pemerintah perlu memberikan regulasi/ pengaturan agar bisnis tersebut tidak disalahgunakan oleh pengusaha- pengusaha besar, dan kehadiran franchise di Indonesia   dapat memberikan kontribusi bagi kemakmuran rakyat.
2.   Regulasi dimaksud paling tidak dapat memberikan batasan-batasan ruang gerak franchise dari perusahaan raksasa , agar tidak mematikan usaha kecil dan menengah .Misalnya pemerintah dapat memberikan proteksi agar perusahaan  raksasa seperti : Carefour, Giant Supermarket, dan lain-lain, tidak berdampingan dengan pasar tradisional, sehingga otomatis pasar tradisional akan tersisih bahkan lambat laun akan mati karena kalah dalam persaingan.
3.   Pemerintah perlu memberikan pelatihan-pelatihan, manajemen , permodalan bagi usaha kecil dan menengah agar menjadi kuat , agar mereka tidak menjadi penonton dinegeri sendiri, tetapi benar-benar menjadi pelaku usaha yang handal .
















DAFTAR PUSTAKA


Amrizal , 1996. Hukum Bisnis Deregulasi dan Joint Venture di Indonesia. Penerbit Djambatan ,         Jakarta.
Atmadja, Z Asikin. 1989. Yurisprudensi Indonesia. Penerbit Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta.
Muhammad,Abdulkadir.2006. Hukum Perusahaan Indonesia. PT Citra Aditya Bakti, Bandung
Nasution, Az. 1999. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar . Penerbit Daya Widya,
          Jakarta.
Queen,J. Douglas. 1993.Pedoman Membeli dan Menjalankan Franchise. Terjemahan Susanto           Budidarmo. Elex Media Komputindo, Jakarta.










Jumat, 06 Juli 2012

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PELAKU BISNIS WARALABA (FRANCHISE) DI INDONESIA (DALAM PERSPEKTIF EKONOMI MAKRO)


OLEH : H.HANIF HANANI,SH,MH
A.    PENDAHULUAN
Franchise merupakan suatu metode pemasaran atau pendistribusian dengan mana suatu pihak memberikan kepada pihak lain hak atau privilege untuk melakukan bisnis dengan cara tertentu di suatu tempat tertentu selama periode waktu tertentu .Cara ini kadang-kadang menimbulkan kesulitan untuk membedakan tipe hubungan bisnis yang satu dengan tipe hubungan bisnis yang lain . Pembedaan tersebut hanya mungkin dapat dipahami melalui perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak . Sebagaimana diketahui , di Amerika Serikat disamping perundang-undangan yang dibuat oleh negara-negara bagian (state) atau oleh pemerintah federal, masih berlaku common law system yang menerapkan asas-asas hukum tidak tertulis dan kepatutan (equity) termasuk juga mengenai bisnis franchise.
sudah menerbitkan undang-undang yang secara spesifik mengatur tentang franchise . Federal Trade Commission Amerika Serikat juga sudah menerbitkan peraturan-peraturan yang lingkupnya mengatur juga tentang franchise  apabila timbul kesulitan dalam hubungan bisnis franchise , kedua pihak boleh mempertimbangkan pemegang hak untuk melakukan bisnis sebagai kontraktor independen yang sudah disepakati .
Akan tetapi , jika pemberi hak mengakhiri hubungan bisnisnya dengan pemegang hak ,



pemegang hak boleh berupaya untuk mengkhususkan hubungan bisnisnya sebagai suatu franchise. Bahkan , sebelum hubungan antara kedua belah pihak menjadi perselisihah yang kurang enak (sours) , badan pemerintah cenderung memandang . hubungan itu sebagai salah satu pekerjaan, bukan kontrak independen. Jika pemegang privilege itu seorang pekerja atau lebih berperan sebagai agen daripada seorang kontraktor independen , undang-undang menghendaki agar pemberi hak itu memotong upah pekerja untuk kepentingan jaminan sosial dan ganti kerugian akibat kecelakaan pekerja. Tambahan lagi, dalam keadaan demikian, pemberi hak boleh tunduk pada ketentuan Undang-undang Tenaga Kerja dan Antitrust.
B.   Pengaturan Bisnis Franchise di Indonesia
Karena bisnis franchise begitu menarik dan menguntungkan bagi pengusaha kecil atau pengusaha lokal , pemerintah memandang perlu mengatur bisnis tersebut . Untuk menciptakan tertib usaha dengan sisten franchise serta perlindungan terhadap konsumen , dipandang perlu menetapkan ketentuan tentang franchise dengan peraturan pemerintah. Pada tanggal 18 Juni 1997 di undangkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentan Waralaba (Franchise) melalui Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 49.
Peraturan Pemerintah ini merupakan peraturan pelaksanaan dari KUHPdt (Stb.Nomor 23 Tahun 1847) dan Undang-Undang Pengaturan Perusahaan 1934 (Stb. Nomor 86 Tahun 1938). Peraturan Pemerintah ini terdiri atas sebelas pasal dan mulai berlaku sejak diundangkan, yaitu pada tanggal 18 juni 1997.
Untuk meningkatkan peranan dan keikutsertaan masyarakat luas dalam bisnis franchise  , perlu adanya peran serta pengusaha kecil dan

menengah , baik sebagai franchisor , frnchisee, maupun sebagai pemasok  (supplier) barang dan/atau jasa. Bisnis franchise perlu dikembangkan dalam rangka mendorong pertumbuhan dan pengembangan national franchisor. Setiap pengusaha yang menjalankan bisnis franchise wajib mendaftarkan bisnis franchise-nya itu sehingga dapat diketahui perkembangan franchise secara nasional . Pendaftaran bisnis franchise merupakan pelaksanaan dari peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba (Franchise).
Untuk melaksanakan pendaftaran tersebut, maka pada tanggal 30 Juli 1997 Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) telah mengeluarkan Surat Keputusan Menperindag Nomor 259/MPP/Kep/7/1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba (Franchise) . Keputusan tersebut terdiri dari 8 Bab dan 26 Pasal , mulai berlaku sejak ditetapkan , yaitu pada tanggal 30 Juli 1997.
C.   Persayaratan Bisnis Franchise
1.   Menutamakan Produksi dalam Negeri
Franchisor dan Franchisee harus mengutamakan penggunaan barang dan atau bahan hasil produksi dalam negeti sebanyak banyaknya sepanjang memenuhi standar mutu barang dan jasa yang disediakan dan atau dijual berdasarkan perjanjian franchise . Franchisor melakukan pembinaan serta memberi bimbingan dan pelatihan kepada franchise . Hal ini diatur dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 Tahun 1997 dengan rumusan yang sama.
2.   Mengutamakan Pengusaha Kecil dan Menengah


Franchisor mengutamakan pengusaha kecil dan menengah sebagaimana franchisee atau franchisee lanjutan dan/atau pemasok (supplier) dalam rangka penyediaan dan atau pengadaan barang dan jasa. Dalam hal franchisee atau franchisee lanjutan bukan merupakan pengusaha kecil dan menengah , franchisor dan franchisee lanjutan wajib mengutamakan kerja sama dan/atau pasokan barang dan/atau jasa dari pengusaha kecil dan menengah (Pasal 17 Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 Tahun 1997).
3.   Bisnis franchise dapat diselenggarakan untuk dan di seluruh wilayah Indonesia dan pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan perkembangan sosial dan ekonomi dan dalam rangka pengembangan usaha kecil dan menengah (Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997) . Penyelenggaran franchise pada dasarnya dilakukan secara bertahap terutama di ibukota propinsi. Pengembangan franchise diluar ibu kota provinsi seperti di ibu kota kabupaten/ kota dan tempat-tempat tertentu lainnya yang memerlukan kehadiran franchise dilakukan secara bertahap dan dengan memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan usaha dan tingkat pertumbuhan sosial dan ekonomi terutama dalam rangka pengembangan usaha kecil dan menengah di wilayah yang bersangkutan.
Selanjutnya , penyelenggaraan franchise diatur dalam Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 Tahun 1997. Bisnis franchise dapat dilakukan disemua ibu kota provinsi dan kota/tempat tertentu lainnya di daerah kabupaten yang ditetapkan dari waktu ke waktu oleh Menteri (Pasal 18 ayat (1) Kepeutusan Menteri Perindag Nomor 259 Tahun 1997). Lokasi  bisnis franchise di ibu kota provinsi yang berada di pasar tradisional dan di luar pasar modern ( mall,

supermarket, departement store, dan shopping centre) hanya dibolehkan bagi bisnis franchise yang diselenggarakan oleh pengusaha kecil  (Pasal 18 ayat (3) Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 Tahun 1997).
Bisnis franchise di kota/ tempat tertentu lainnya di daerah kabupaten ditetapkan oleh Menteri secara bertahap dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat, tingkat perkembangan sosial dan ekonomi dan dalam rangka pengembangan usaha kecil dan menengah di wilayah yang bersangkutan (Pasal 18 ayat (2) Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 Tahun 1997) .
Dikecualikan oleh ketentuan Pasal 18 tersebut adalah kegaiatan bisnis franchise yang memperdagangkan khusus barang/makanan/minuman dan jasa tradisional khas Indonesia dapat diselenggarakan di seluruh wilayah Indonesia oleh usaha kecil dan menengah dan/atau mengikutsertakan usaha kecil dan menengah (Pasal 20 Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 tahun 1997).
4.   Larangan Lebih dari satu Franchise
Franchisor dilarang menunjuk lebih dari satu franchisee di lokasi tertentu yang berdekatan untuk barang dan/atau jasa yang sama dan menggunakan merek yang sama apabila diketahui atau patut diketahui bahwa penunjukan lebih dari satu franchise itu akan mengakibatkan ketidak layakan bisnis franchise di lokasi tersebut. Larangan ini berlaku juga bagi franchise utama untuk menunjuk lebih dari satu franchisee lanjutan.
Apabila di suatu lokasi yang berdekatan sudah adan bisnis franchise yang dilakukan oleh franchisee atau franchisee lanjutan , di lokasi tersebut dilarang didirikan usaha yang merupakan cabang dari

franchisor yang bersangkutan dengan merek yang sama , kecuali untuk barang dan atau jasa yang berbeda (Pasal 19 Keputusan menteri Perindag Nomor 259 tahun 1997).
D.   Pendaftaran Bisnis Franchise
1.   Pelaksanaan Pendaftaran.
Setiap bisnis franchise selalu diperoleh melalui lisensi/perjanjian franchise . Perjanjian franchise beserta keterangan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) didaftarkan di Departemen Perindustrian dan Perdagangan oleh franchisee paling lambat tiga puluh hari terhitung sejak berlakunya perjanjian franchise. Saat berlakunya perjanjian franchise ditetapkan dalam masing-masing perjanjian franchise . Pendaftaran yang dimaksud dilaksanakan untuk kepentingan pembinaan bisnis  franchise (Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997)
Ketentuan pendaftaran dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 dilaksanakan oleh Keputusan Menperindag Nomor 259 Tahun 1997. Dalam Pasal 11 Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 tahun 1997 ditentukan:
a.    Setiap franchisee atau franchisee lanjutan wajib mendafarkan perjanjian  franchise termasuk keterangan tertulis dari franchisor , pada Departemen Perindustrian dan Perdagangan c.q. pejabat yang berwenang menerbitkan Surat Tanda  Pendaftaran Usaha Waralaba/franchise yang disingkat STPUW.
b.   Pendaftaran tersebut dilakukan dengan cara mengisi daftar isian permintaan STPUW yang dapat diminta secara Cuma-Cuma di Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri atau di Kantor Wilayah Deperindag setempat dan dilakukan dalam waktu


c.    selambat-lambatnya tiga puluh hari kerja terhitung mulai tanggal berlakunya perjanjian franchise.
d.   Daftar isian permintaan STPUW dibuat dalam rangkap dua ditanda tangani oleh franchisee atau franchisee lanjutan dan kuasanya.
Daftar isian permintaan STPUW yang telah diisi dan ditandatangani diserahkan kepada pejabat yang berwenang menerbitkan STPUW dengan dilengkapi fotocopi masing-masing satu eksemplar terdiri atas :
a.    Perjanjian franchise beserta keterangan tertulis.
b.   Surat Izin Usaha Perdagangan atau Surat Izin Usaha dari Departemen Teknis lainnya (Pasal 12 Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 tahun 1997).
Apabila daftar isian permintaan STPUW beserta berkas kelengkapnya dinilai telah lengkap dan benar , selambat-lambatnya dalam lima hari kerja pejabat yang berwenang menerbitkan STPUW .Namun apabila daftar isian permintaan STPUW beserta berkas kelengkapannya dinilai belum lengkap dan benar , selmbat-lambatnya dalam lima hari kerja pejabat yang berwenang menolak permintaan penerbitan STPUW disertai dengan  alasan-alasan penolakan . Bagi pemohon yang permintaannya ditolak , setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam keputusan ini dapat mengajukan kembali permintaan STPUW.
Siapakah pejabat yang berwenang menerbitkan SPTUW ? Menurut ketentuan Pasal 15 Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 Tahun 1997 ,kewenangan pemberian STPUW dilimpahkan kepada pejabat yang berwenang menerbitkan STPUW sebagai berikut :
a.    STPUW bagi franchisee dari franchisor luar negeri diterbitkan oleh Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri dengan menggunakan formulir yang telah ditentukan.
b.   STPUW bagi franchisee dari Franchisor dalam negeri dan franchisee lanjutan yang berasal dari franchise dalam negeri dan luar negeri adalah Kantor Wilayah Deperindag setempat dengan menggunakan formulir yang telah ditentukan .
Masa berlaku STPUW sesuai dengan masa berlaku perjanjian antara franchisor dan franchisee atau perjanjian antara franchisee utama dan franchisee lanjutan (Pasal 13 Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 tahun 1997).
2.   Akibat Pemutusan Perjanjian Franchise
Menurut ketentuan Pasal 14 Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 Tahun 1997 :
     Apabila franchisor memutuskan perjanjian franchise dengan franchisee sebelum berakhir masa berlaku perjanjian franchise , dan kemudian menunjuk franchisee yang baru , maka penerbitan STPUW bagi franchisee yang baru hanya diberikan kalau franchisee utama telah menyelesaikan   segala permasalahan yang timbul sebagai akibat dari pemutusan tersebut yang dituangkan dalam bentuk Surat Pernyataan bersama (clean break).
E.   Sanksi Hukum
Franchisee atau franchisee lanjutan yang memperoleh STPUW diberikan “peringatan tertulis” apabila :
1.   Tidak melaksanakan kewajuban sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 Tahun 1997.
2.   Tidak memenuhi kewajiban pajak kepada pemerintah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
3.   Ada laporan atau pengaduan dari pejabat yang berwenang atau pemegang hak kekayaan intelaktual bahwa franchisor atau franchisee melakukan pelanggaran hak kekayaan intelaktual, seperti hak cipta, paten, atau merek (Pasal 22 ayat (1) Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 Tahun 1997)
Pasal 22 ayat (2) Keputusan yang sama mengatur tentang “pembekuan STPUW” . Menurut ketentuan tersebut, STPUW dapat dibekukan apabila franchisee atau franchisee lanjutan :
a.    Telah mendapatkan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebanyak tiga kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing stu bulan, yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya.
b.   Sedang diperiksa di sidang pengadilan karena didakwa melakukan  tindak pidana ekonomi atau perbuatan lain yang berkaitan dengan kegiatan usahanya , atau melakukan pelanggaran atas hak kekayaan intelektual.
Pembekuan STPUW sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a berlaku selama enam bulan terhitung sejak 1 (satu) bulan setelah tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis yang ketiga (ayat 3) . Pembekuan STPUW sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)



huruf b berlaku sampai dengan dikeluarkannya keputusan badan peradila  yang berkekuatan hukum tetap (ayat 4) STPUW yang dibekukan dapat dicairkan kembali pada:
a.    Franchisee  atau franchisee lanjutan sudah melaksanakan kewajibannya;
b.   Selama enam bulan dalam masa pembekuan franchisee atau franchisee lanjutan telah melakukan perbaikan atau telah melaksanakan kewajiban sesuai dengan ketentuan dimaksud dalam Pasal 21 dan telah melaksanakan kewajiban pajak kepada pemerintah sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
c.    Dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana ekonomi atau pelanggaran di bidang hak kekayaan intelektual sesuai dengan keputusan badan peradilan yang telah berkekuatan hukum tetap (ayat 5)
Pencabutan SIUP diatur dalam Pasal 23 Keputusan Menteri Perindag Nomor 259 Tahun 1997. Franchisee atau Franchisee lanjutan yang telah dicabut STPUW-nya dan tetap melaksanakan kegiatan bisnis franchisee dikenakan sanksi pencabutan SIUP atau izin lain yang sejenis sesuai dengan ketentuan yang berlaku (ayat 1).

F.   Kesimpulan
Dari beberapa keterangan diatas yang telah dipaparkan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.   Perjanjian bisnis franchise perlu diatur oleh pemerintah agar tidak terjadi suatu transaksi bisnis yang merugikan pihak-pihak yang melakukan perjanjian , maupun pihak lain termasuk masyarakat .

2.   Untuk melindungi kepentingan pihak-pihak terkait ,pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentang waralaba (Franchise) melalui Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 49.
3.   Sanksi hukum juga dapat diberlakukan apabila franchisor , franchisee dan franchisee lanjutan , tidak melaksanakan kewajiban, tidak memenuhi kewajiban pajak  atau melakukan pelanggaran hak kekayaan intelaktual, hak cipta , paten , atau merek.















DAFTAR PUSTAKA

Amrizal , 1996. Hukum Bisnis Deregulasi dan Joint Venture di Indonesia. Penerbit Djambatan ,           Jakarta.
Atmadja, Z Asikin. 1989. Yurisprudensi Indonesia. Penerbit Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta.
Muhammad,Abdulkadir.2006. Hukum Perusahaan Indonesia. PT Citra Aditya Bakti, Bandung
Nasution, Az. 1999. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar . Penerbit Daya Widya,
          Jakarta.
Sudaryatmo. 1999. Hukum dan Advokasi Konsumen. Penerbit PT Citra Aditya Bakti , Bandung.
Queen,J. Douglas. 1993.Pedoman Membeli dan Menjalankan Franchise. Terjemahan Susanto           Budidarmo. Elex Media Komputindo, Jakarta.