Sabtu, 14 April 2012

PERANAN PEGAWAI PENCATAT NIKAH (PPN) DAPLAM PENYELESAIAN SENGKETA WALI ADLAL (STUDY KASUS PENYELESAIAN PERNIKAHAN WALI ADLAL DI KUA MUNTILAN)


PERANAN PEGAWAI PENCATAT NIKAH (PPN) DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERNIKAHAN WALI ADLAL
(STUDY KASUS PENYELESAIAN PERNIKAHAN WALI ADLAL DI KUA KECAMATAN MUNTILAN)

TESIS

Disusun Dalam Rangka Memenuhi Persyaratan
Program Magister Ilmu Hukum
Oleh :
H.Hanif Hanani, SH.
B4A007117




PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS  DIPONEGORO
SEMARANG
2009


PERANAN PEGAWAI PENCATAT NIKAH (PPN) DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERNIKAHAN WALI ADLAL
(STUDY KASUS PENYELESAIAN PERNIKAHAN WALI ADLAL DI KUA KECAMATAN MUNTILAN)

TESIS

Disusun Dalam Rangka Memenuhi Persyaratan
Program Magister Ilmu Hukum
Oleh :
H.Hanif Hanani, SH.
B4A007117

PEMBIMBING
Prof.H.Abdullah Kelib,SH.


PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS  DIPONEGORO
SEMARANG
2009




PERANAN PEGAWAI PENCATAT NIKAH (PPN) DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERNIKAHAN WALI ADLAL
 (STUDY KASUS PENYELESAIAN PERNIKAHAN WALI ADLAL DI KUA KECAMATAN MUNTILAN)


Disusun Oleh :
H.Hanif Hanani, SH.
B4A007117

Dipertahankan di depan Dewan Penguji
Pada tanggal : 06 April 2009

Tesis ini telah diterima
Sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar
Magister Ilmu Hukum

Pembimbing                                     Mengetahui
Magister Ilmu Hukum                     Ketua Program


Prof.H.Abdullah Kelib,SH             Prof.Dr.Paulus Hadisuprapto,SH,MH
                                                            NIP. 130 531 702

xvii

MOTTO


1.    Sabda Rosulullah, SAW “ Nikah adalah sunnahku, barangsiapa tidak mengikuti sunnahku (menikah) maka bukan golonganku”
2.    Orang yang paling baik ialah, orang yang paling banyak memberikan manfaat bagi orang lain.









                                                           
 Dipersembahkan :
                                                 Untuk Isteriku terkasih, penyejuk
                                             pandangan mataku,
 Hj. Anik Sulistyanti &
 Ananda Sandy Eka Pradana.




ABSTRAK

Peranan Pegawai Pencatat Nikah Dalam Penyelesaian Sengketa Pernikahan Wali Adlal (Study Kasus Pernikahan Wali Adlal di KUA. Kecamatan Muntilan)
Ada kalanya perkawinan telah disepakati atau disetujui oleh calon suami maupun calon isteri  tetapi ternyata ada pihak lain yang keberatan, pihak lain dapat dipahami , yaitu  wali nikah.Apabila wali nikahnya tidak setuju,maka ada dua pilihan untuk menyelesaikan sengketa tersebut, pilihan  pertama yaitu  melalui madiasi atau tabayun kepada Wali nikah, agar wali nikah setuju dan mau menjadi wali nikah  atau jalan kedua , yakni mengajukan  sengketa antara calon pengantin dan walinya,  kepada Pengadilan Agama (PA) untuk mendapat putusan bahwa walinya adhol atau enggan atau membangkang
Perumusan Masalah dari penelitian ini adalah :Bagaimana gambaran kasus-kasus pernikahan wali adlal di KUA Kecamatan Muntilan ,Bagaimana realisasi penyelesaian sengketa pernikahan wali adlal dan Bagaimana peranan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dalam penyelesaian pernikahan wali adlal  .Tujuan dari penelitian ini adalah ,Untuk memahami  gambaran kasus-kasus pernikahan wali adlal      realisasi penyelesaiannya serta untuk memahami   peranan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dalam penyelesaian sengketa pernikahan wali adlal di KUA Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang.
 Metode Penelitian  ini menggunakan Pendekatan “Yuridis Normatif”
            Kasus pernikahan wali adlal terjadi karena , masing-masing pihak tidak memahami hak dan kewajibannya serta dominasi peran wali nikah.
            Realisasi penyelesaian pernikahan wali adlal di KUA Kecamatan Muntilan adalah dengan jalan musyawarah melalui mediasi oleh PPN dan juga penyelesaian melaui Pengadilan Agama.
            Peran Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dalam penyelesaian sengketa pernikahan wali adlal , PPN bertindak sebagai mediator , PPN bertindak sebagai Pegawai Pencatat Nikah dengan mewakili wali menikahkan calon mempelai serta PPN bertindak sebagai wali hakim setelah terbitnya penetapan wali adlal dari  Pengadilan Agama .

Kata Kunci : Peranan PPN,Penyelesaian Sengketa Pernikahan, Wali Adlal

ABSTRACT

The role Marriage Regisstrar Official in accomplishing of Wali Adlal quarrel (study case of Wali Adlal Marriage in KUA Muntilan District)
When if marriage representative proposes disagreement, Mariage Registrar Official are going to refuse to get registration. Based on the case, it’s provided two overcoming choices to discuss the quarrel. Tabayyun (recheck) firstly directing to marriage guardian, It’s intanded to influence marriage guardian to give permission.The second way is done if the first way failed. It’s enable to propose the quarrel between marriage candidate and marriage guardian to religion court. The goal of the second way is to get decision that disobeydance marriage guardian. The objek of this researc is to understan discription Wali Adlal Marriage Case, the overcoming and the role of Marriage Registrar Official in accomplishing Wali Adlal Marriage Quarrel at KUA Muntilan Subdistrict Magelang Regency.
The method of this research is absolutely using Normative Juridical Approach. This approach is supported by another approach like Comparative Juridical Approach, Documenter Historical Approach and Theoretical Juridical.

Keywords: the role of PPN, accomlishing marriage quarrel, Wali Adlal.











KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum . Wr. Wb.
Alhamdulillahi Robbil ‘alamin, segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah ke haribaan Rosulullah  s.a.w, keluarganya serta shahabatnya, dan para pengikut sunnahnya , Wa Ba’du.
Hanya dengan izin, ridho serta pertolongan Allah, penulis dapat menyelesaikan tesis ini.Bantuan,dorongan dan motivasi dari isteri tercinta senantiasa menambah semangat guna penyelesaian penulisan tesis ini.
Semoga Allah, Tuhan Yang Maha Rahman senantiasa memberikan balasan kepada , pihak-pihak yang secara khusus membantu penulis , sejak dari persiapan ,pelaksanaan  penelitian ,proses penulisan hingga penyelesaian tesis ini, semoga orang-orang yang telah memberikan kebaikan, mendapat limpahan karunia-Nya. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi- tingginya kepada :
1.    Prof.Dr.Paulus Hadisuprapto,SH,MH, Ketua Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro.
2.    Prof. Haji Abdullah Kelib, SH, selaku pembimbing tesis Magister Ilmu Hukum.
3.    Seluruh dosen serta tenaga administrasi Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro.
4.    Bapak H.Bambang Catur Iswanto, SH,MH, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang
5.    Bapak Drs.H.Chamim,MS,M.Ag selaku Kepala Kandepag Kabupaten Magelang, Bapak Drs.H.Kudaifah,MPd.I selaku Kepala Sub. Bagian Tata Usaha Kandepag Kab. Magelang dan Bapak. Drs.H. Ngatmin, MA selaku Kepala Seksi Urusan Agama Islam Kandepag Kabupaten Magelang, yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk mengikuti pendidikan S2 Program Magister Ilmu Hukum.  
6.    Rekan-rekan angkatan II Program Magister Ilmu Hukum Non Reguler , kelas  Universitas Muhammadiyah Magelang.
7.    Rekan-rekan kerja di Kantor Urusan Agama Kecamatan Muntilan
Tidak akan terlupakan , terimakasihku untuk isteriku terkasih Hj. Anik Sulistiyanti dan ananda Sandy Eka Pradana yang telah memberikan do’a,semangat dan dukungan yang tiada ternilai harganya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan tepat waktu.
Penghormatan yang paling dalam, penulis sampaikan kepada Ayahanda Haji Tamjiz almarhum almaghfirullah, Ibunda Hj .Siti Darijah Tamjiz serta Ayah Mertua  Haji Raden Soedarsono almarhum dan ibu mertua Sulastari Soedarsono yang telah mendidik dan memberikan kasih sayang , yang tidak mungkin terbalaskan.
Tiada gading yang tak retak, kesempurnaan hanyalah kepunyaan  Allah Sang pemilik Arsy ,penulis menyadari segala kekurangan dan kekhilafan dalam penulisan tesis ini, saran dan kritik senantiasa penulis harapkan. Semoga Tesis dengan judul “ Peranan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) Dalam Penyelesaian Sengketa Wali Adlal (Study Kasus Penyelesaian Pernikahan Wali Adlal di KUA. Kecamatan Muntilan) ini, dapat memberikan khasanah bagi ilmu pengetahuan.     
Maha Suci Rabb-mu Yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. Semoga kesejahteraan dilimpahkan atas para Rasul. Dan Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.

                                                                  Semarang,    Maret 2009
                                                                  Penulis


                                                                  Hanif Hanani





DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………………….. ...   i
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………….................   ii
HALAMAN MOTTO……………………………………………………………. iii
ABSTRAK……  …………………………   …………………………………    iv
ABSTRACT…  ………………………………………………………………     v
KATA PENGANTAR………………………………………………………… ...vi
DAFTAR ISI…………………………………………………………………..    ix
BAB I  :           PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang……………………………………………... 1
B.   Perumusan Masalah………………………………………13
C.   Tujuan /Kegunaan Penelitian…………………………… 15
D.   Kerangka Pemikiran / Kerangka Teoritik………………. 16
E.   Metode Penelitian………………………………………… 20
F.    Sistematika Penulisan …………………………………… 21
BAB II :           TINJAUAN PUSTAKA
A.   Perkawinan Menurut Hukum Islam……………………. 23
B.   Pengertian Nikah…………………………………………  29
C.   Tujuan dan Fungsi Nikah……………………………….   37
D.   Rukun Nikah………………………………………………  45
E.   Wali Nikah…………………………………………………  53
F.    Larangan Nikah…………………………………………..   58
G.   Pengertian Wali Adlal…………………………………….. 68
H.   Peraturan Perkawinan di Indonesia……………………  72
BAB III            HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A.   Gambaran Kasus-kasus  Pernikahan
 Wali Adlal di KUA. Kecamatan Muntilan……………     79
B.   Realisasi Penyelesaian Sengketa Pernikahan
Wali Adlal di KUA.Kecamatan Muntilan…………….    108
C.   Peran Pegawai Pencatat Nikah (PPN) KUA
Kecamatan Muntilan Dalam Penyelesaian  
Pernikahan Wali Adlal …………………………………. 130
D.   Analisis …………………………………………………..  157
BAB IV           PENUTUP
A.   Kesimpulan……………………………………………..    161
B.   Saran…………………………………………………….   163
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………...  166
LAMPIRAN-LAMPIRAN
x
BAB  I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Keharusan adanya seorang wali dalam pernikahan menjadi syarat dan rukun, meskipun ada pendapat yang tidak mengharuskannya.Kedudukan wali dalam perkawinan sebagian ulama menyebutkannya sebagai rukun dan sebagian lagi menyebutkannya sebagai syarat. Perwalian hanya dijabat oleh keluarga laki-laki dari pengantin wanita . Sementara pejabat negara yang ditunjuk, dalam kaitan ini biasanya dilakukan oleh aparat Kantor Urusan Agama (Kepala KUA atau PPN) bisa menjadi wali pengganti jika wali nasabnya berhalangan, dengan sebutan wali hakim.
Mengenai wali nikah , ia merupakan unsur yang penting bagi mempelai wanita yang akan bertindak untuk menikahkannya . Yang menjadi wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam , yakni muslim, akil, dan baligh. Wali nikah tersebut terdiri dari wali nasab dan wali hakim. Ditetapkannya wali nikah sebagai rukun perkawinan karena untuk melindungi kepentingan wanita itu sendiri, melindungi integritas moralnya serta memungkinkan terciptanya perkawinan yang berhasil .
Institusi perwalian dalam perkawinan lebih bersifat kewajiban daripada hak. ,paling tidak merupakan sintesis dari keduanya .
Disamping beberapa pemaparan diatas, kajian yang akan kita angkat dalam penulisan Tesis ini adalah ruang lingkup Kantor Urusan Agama Kecamatan Muntilan sebagai tempat penelitian.
Kantor Urusan Agama Kecamatan Muntilan  mempunyai sebagian tugas  dan fungsi Kantor Departemen Agama Kabupaten Magelang di bidang Urusan Agama Islam dalam Wilayah Kecamatan Muntilan serta mengkoordinasikan kegaiatan-kegiatan dan melaksanakan kegiatan sektoral maupun lintas sektoral di wilayah Kecamatan.
Dalam melaksanakan tugas tersebut KUA menyelenggarakan  fungsi :
1.    Fungsi Teknis :
Fungsi teknis KUA merupakan tempat pelayanan nikah dan rujuk serta memberikan pembinaan dan bimbingan dibidang kepenghuluan, kemasjidan, zakat, wakaf, baitul maal, ibadah sosial dan mebina keluarga sakinah
2.    Fungsi administratif :
Fungsi administratif  yaitu mengelola  administrasi ketatausahaan, kepegawaian, keuangan, dokumentasi dan sebagainya.
Mengingat  Kantor Urusan Agama Kecamatan Muntilan adalah bagian dari unsur aparat pemerintah dalam jajaran Departemen Agama di bawah Departemen Agama Kabupaten Magelang, maka didalam melaksanakan tugas tersebut , Kantor Urusan Agama selalu mengacu kepada peraturan-peraturan yang ada dan petunjuk dari Departemen Agama Kabupaten Magelang .
Bab 1 Pasal 1.a (ketentuan umum) peraturan Menteri Agama Republik Indonesia nomor 2 tahun 1990, tentang kewajiban Pegawai Pencatat Nikah disebutkan : “ Kantor Urusan Agama Kecamatan yang selanjutnya disebutkan KUA Kecamatan adalah Instansi Departemen Agama di Kecamatan yang melaksanakan sebagian tugas Kantor Departemen Agama dibidang Urusan Agama Islam “
Kantor Urusan Agama  mempunyai tugas pokok, terdiri dari beberapa sub pokok yaitu :
1.    Bidang Doktik
2.    Bidang Kepenghuluan
3.    Bidang Kemasjidan
4.    Bidang bimbingan perkawinan
5.    Bidang Zawaibsos
Uraian Tugas  Kepala KUA. Kecamatan Muntilan :
1.    Melaksanakan  sebagaian tugas Kantor Departemen Agama Kabupaten Maegelang dibidang urusan Agama Islam Wilayah  Kecamatan Muntilan.
2.    Bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas KUA Kecamatan.
3.    Melaksanakan tugas koordinasi dengan WASPENDAIS, PENAMAS dan koordinasi dengan isntansi terkait.
4.    Membantu pelaksanaan tugas pemerintah dan pembangunan di bidang agama.
Sebagai Pegawai Pencatat Nikah (PPN)
1.    Menerima pemberitahuan nikah.
2.    Mendaftar, menerima dan meneliti kehendak nikah terhadap calon mempelai dan wali serta mengumumkanya.
3.    Mengamankan serta mencatat peristiwa nikah di kantor maupun diluar kantor.
4.    Melakukan pengawasan nikah/ rujuk menurut agama Islam
5.    Melakukan kegiatan pelayanan dan konsultasi nikah/ rujuk serta pengembangan kepenghuluan.
6.    Bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan administrasi NTCR.[1]
Allah menjadikan perkawinan yang diatur menurut syariat Islam sebagai penghormatan dan penghargaan yang tinggi terhadap harga diri , yang diberikan oleh Islam khusus untuk manusia .
Dalam hukum Islam, perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi rukun  dan syarat perkawinan, untuk melaksanakan perkawinan harus ada : Calon suami; Calon Isteri ; Wali Nikah ;  Dua orang saksi dan ; Ijab serta Kabul, jelasnya perkawinan tidak sah apabila salah satu dari lima hal diatas tidak terpenuhi.
Perkawinan dalam ilmu fiqih dipakai istilah nikah dan ziwaj .[2] Nikah menurut bahasa mempunyai arti wata’ yang berarti bersetubuh , dan dam yang berarti menghimpit , menindih atau berkumpul . Terlepas dari perbedaan pendapat ulama tentang makna secara hakekat dan majaz , nikah tetap mengandung unsur aqod dan wata’ sekaligus [3] . Nikah didefinisikan dengan : “suatu akad yang menghalalkan hubungan seksual antara suami dan isteri, dan yang menimbulkan hubungan hak dan kewajiban antara keduanya [4] .
Perkawinan mencakup tiga aspek , yaitu : Hukum, sosial, dan agama  .Dari aspek hukum , perkawinan merupakan suatu perjanjian yang
 mempunyai karakteristik khusus yaitu : (1)  perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa persetujuan kedua belah pihak; (2) kedua belah pihak saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian tersebut berdasarkan ketentuan yang sudah ada ; dan (3) Persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hak dan kewajiban masing-masing pihak .
Dari aspek sosial , perkawinan mempunyai arti penting yaitu : (1) orang yang melakukan atau pernah melakukan perkawinan mempunyai kedudukan yang lebih dihargai daripada mereka yang belum kawin; (2) Menempatkan kaum wanita pada posisi yang lebih terhormat , misalnya sebelum adanya peraturan perkawinan , wanita dulu bisa dimadu tanpa batas dan tanpa bisa berbuat banyak , tetapi menurut ajaran Islam poligami hanya dibatasi paling banyak empat orang, itupun dengan syarat-syarat tertentu sebagaimana ditetapkan dalam surat An-Nisa’ ayat 3.
Dari aspek agama (ibadah) , perkawinan dipandang dan dijadikan basis suatu masyarakat yang baik dan teratur . Perkawinan tidak hanya dipertalikan dengan ikatan lahir, tetapi diikat juga dengan batin dan jiwa . Menurut Islam , perkawinan tidak hanya sebagai perjanjian biasa melainkan perjanjian suci.
Berdasarkan aspek-aspek yang terkandung didalamnya itulah, dalam perkawinan Islam tidak dikenal adanya perbedaan pengertian secara sakral dan sekuler. Ia mengandung kedua elemen itu sekaligus. Perkawinan dalam Islam merupakan lembaga sosial yang datang dari Allah (divine institution) [5]
Kompilasi Hukum Islam (KHI) mendefinisikan , perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan , yaitu akad  yang sangat kuat atau mitsaaqon gholidhon untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah Pasal 2 [6]
Dalam perkawinan Islam,ditetapkan dasar-dasar sebagai prinsip-prinsip umumnya , antara ialah :
Pertama : kerelaan , persetujuan, dan pilihan . dalam suatu perkawinan terdapat hak-hak beberapa pihak yang harus dipenuhi , yaitu : hak Allah, hak orang-orang yang akan kawin , dan hak wali [7].
Pemenuhan hak Allah ialah dalam pelaksanaan perkawinan itu harus diindahkan ketentuan Allah. Apabila hak Allah ini tidak diindahkan , perkawinan tersebut menjadi batal demi hukum. Misalnya perkawinan antara seorang laki-laki dan  perempuan yang haram dinikahi , baik haram untuk selamanya (at-tahrim al-muabbad) atau haram untuk sementara waktu (at-tahrim al-mu’aqqat)
Yang berkaitan dengan pemenuhan hak orang-orang yang akan kawin dan hak wali, bahwa pelaksanaan perkawinan oleh seorang wali sebelumnya harus meminta persetujuan kedua calon mempelai. Begitu juga perkawinan itu harus dilaksanakan oleh wali yang berhak . Apabila hak masing-masing pihak ada yang tidak diindahkan , perkawinannya masuk kategori dapat dibatalkan. Mereka berhak mengajukan pembatalan [8].          Kedua , perkawinan untuk selama-lamanya . Sekalipun tidak melarang perceraian , Islam menutup segala pintu yang mungkin menimbulkan perceraian dan mengharamkan perkawinan untuk selama waktu tertentu. Hal ini terbukti dengan (1) tidak menganggap sah suatu sighot akad nikah jika didalamnya terdapat perkataan yang mengandung pembatasan waktu perkawinan [9], (2) mengharamkan nikah mut’ah , yaitu mengharamkan nikah muhallil , yaitu nikah yang tujuannya untuk membolehkan seorang wanita yang telah ditalak tiga dikawini kembali oleh bekas suaminya [10]
            Dasar-dasar perkawinan ini ditetapkan untuk mencapai tujuan pensyariatannya , di antaranya ialah (1) memperoleh keturunan sah yang akan melangsungkan keturunan dan cita-cita umat manusia, (2) Memelihara umat manusia dari kejahatan dan kerusakan (3) Menimbulkan rasa cinta antara suami dan isteri , menimbulkan rasa kasih sayang antara orang tua dan anak-anaknya dan sesama anggota keluarga , dan (4) Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama dari masyarakat yang besar atas dasar cinta dan kasih sayang .[11] Dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam merumuskan , perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumahtangga yang sakinah, mawaddah , dan rahmah (pasal 3)
            Guna merealisasi tujuan perkawinan sebagaimana dimaksud , dibutuhkan rukun dan syarat-syarat tertentu. Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan, untuk melaksanakan perkawinan harus ada :
Calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi , dan ijab qobul . [12]
Ketentuan Kompilasi ini berbeda dengan pendapat yang menyatakan bahwa saksi tidak termasuk rukun  dan sebaliknya pendapat yang menyatakan bahwa mahar termasuk rukun . Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut di atas, unsur-unsur rukun tersebut mempunyai syarat sendiri- sendiri.
Peranan wali disinggung dalam Al-Qur’an antara lain pada dua ayat di bawah ini , yang artinya “ Apabila kalian menjatuhkan talak kepada isteri , dan mereka telah menghabiskan masa iddahnya , maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya apabila terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf “ (Surat Al-Baqoroh ayat 232)
Dalam ayat lain disebutkan :
“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu” (Al-Baqoroh, ayat: 221)
Dua ayat ini memang diarahkan (dikhithabkan) untuk para wali para wanita yang hendak dinikahkan, Menurut Imam Syafi’I RA, dua ayat ini sangat menjelaskan posisi dan kedudukan wali dalam pernikahan. Sebab masalah wali juga dipertegas oleh Rosululloh, SAW melalui berbagai Haditsnya.
Dalam Hadits sahih riwayat Imam Ahmad RA dan Imam empat perawi hadits lainnya menyebutkan bahwa  Rosululloh ,SAW bersabda :
“ Tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya wali” Menurut Syaikh Ismail Al-Kahlani Ash-Shan’ani, mengutip pendapat sejumlah ahli fiqih karyanya subulus salam , bentuk makna hadits ini bukan menyatakan tidak sempurna pernikahan tanpa wali, tapi menyatakan tidak sahnya pernikahan tanpa wali. Sebab Hadits ini juga didukung Hadits-Hadits berikutnya :
Dalam Hadits Aisyah,RA disebutkan bahwa Rosululloh ,SAW bersabda : “ Sesungguhnya nikah dengan tanpa wali itu batal, batal, dan batal”. Dalam Hadits riwayat Aisyah RA yang lain juga disebutkan keharusan wali itu dalam Hadits :
“Siapapun wanita yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahannya batal. Jika ia disetubuhi maka baginya berhak atas mas kawin sebagai ganti kenikmatan yang diberikan. Jika wali berhalangan atau menolak, maka penguasa (sultan atau imam dan jajarannya) menjadi wali bagi wanita yang tak memiliki wali”.
Posisi wali jika diibaratkan dengan perdagangan , ia adalah pemilik barang yang dijual kepada pihak lain . Sehingga tidak mungkin ada barang yang dijual  namun tidak ada penjualnya.
Hampir seluruh ulama sepakat mensyaratkan adanya wali dalam pernikahan, kecuali Imam Hanafi,RA. Imam Hanafi menyebutkan bahwa tidak harus mempergunakan wali dengan menganalogkan (kiaskan) dengan perdagangan. Artinya, jika wanita itu telah memiliki kecerdasan untuk menentukan dirinya, maka ia boleh menikahkan dirinya , seperti ia berhak menjual barang miliknya. Imam Hanafi,RA menyebut keberadaan wali sebagai sunah, alasan Imam Hanafi ,RA yang lain, menurut Dr. wahbah Azzuhaily dalam Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, ada perbedaan pendapat dalam menafsirkan khitab ayat pertama di atas tadi. Jika kalangan ulama lainnya menyebut khitab ayat tadi kepada wali, Imam Hanafi melihatnya tidak. Ayat tadi justru diarahkan kepada wanita . Namun kalangan ahli fiqih, seperti dikutip Al-Kahlani, menolak kias Hanafi tersebut karena ada nash  jelas (sharih) yang memang mengharuskan adanya wali dalam pernikahan.Dalam Hadits riwayat Abu Hurairoh RA disebutkan bahwa Rosulullah SAW bersabda :” Wanita tidak boleh menikah dengan wanita , dan wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri kecuali dengan wali”
Sementara mazhab Az-Zahiri, hanya mensyaratkan wali untuk pengantin yang masih berstatus gadis . Jika sudah berstatus janda tak diperlukan lagi wali. Mazhab ini berdasarkan Hadits Rosulullah SAW  yang diriwayatkan Imam Muslim dari Ibnu Abbas RA.
“ Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya . Dan seorang gadis harus ditawarkan .Dan kesediaan seorang gadis (untuk menikah) adalah diamnya”.
Sementara syarat wali adalah beragama Islam , baligh, dan laki-laki . Yang tidak bisa menjadi wali adalah non muslim , anak kecil, dan wanita. Sementara yang masih dalam perdebatan kalangan ahli fiqih adalah hamba sahaya , fasiq,dan idiot (safih) .Sedangkan kecerdasan atau kematangan (Ar-rusyd) menjadi perdebatan juga. Imam Syafi’I RA mensyaratkan seorang wali harus matang dan dewasa (ar-rusyd) . Sedangkan imam Hanafi RA membutuhkan itu, sebab , jika laki-laki , muslim, dan telah baligh, meskipun ia tidak cerdas , bisa saja menjadi wali tanpa ada masalah yang menghalangi.



B.   Perumusan Masalah
Apabila kita membicarakan tentang perkawinan maka perhatian kita tidak akan lepas dari hukum Islam, sebab perkawinan adalah merupakan salah satu bagian dari hukum Islam.Di dalam hukum Islam perkawinan atau pernikahan adalah merupakan suatu lembaga hukum yang sangat penting dan sudah menjadi syariat dan kebiasaan  dalam kehidupan beragama.Oleh karena itu perkawinan merupakan cabang yang terpenting dalam hukum Islam.
Mengingat akan arti pentingnya persoalan tentang perkawinan ini ,maka Undang-undang  Nomor 22  Tahun 1946 telah mengatur masalah ini sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 ayat (1)  Nikah yang dilakukan menurut agama Islam selanjutnya disebut nikah, diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya . Talak dan Rujuk yang dilakukan menurut agama Islam selanjutnya disebut Talak dan Rujuk diberitahukan kepada Pegawai Pencatat Nikah.
Oleh karena Undang-undang Nomor 2 Tahun 1946 dirasa belum lengkap maka pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan. Dalam Pasal 1 Undang-undang tersebut dinyatakan tentang dasar perkawinan yaitu :


Pasal 1 :
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan  membentuk keluarga  ( rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 2 ayat (2)
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
            Bahwa dalam pencatatan nikah yang telah kita sebutkan sangatlah penting artinya bagi keabsahan, kepastian hukum dan kekuatan hukum nikah itu sendiri, seperti disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Maka peneliti disini akan mengupas tentang peranan Pegawai Pencatat Nikah (PPN)  KUA Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang, dalam pelaksanaan pencatatan Pernikahan
Dalam hal ini Pegawai Pencatat Nikah bertindak menyelesaikan permasalahan yang timbul terhadap sengketa perkawinan antara calon isteri dan wali nasab yang adlal atau enggan menjadi wali nikah, dikaitkan dengan hukum Islam dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dari beberapa permasalahan yang telah dipaparkan dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.    Bagaiamanakah gambaran kasus-kasus pernikahan wali adlal   di KUA Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang ?
2.    Bagaimana realisasi penyelesaian sengketa pernikahan karena wali adlal ?
3.    Bagaimana  peranan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dalam penyelesaian sengketa pernikahan wali adlal di KUA Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang.?

C.Tujuan atau Kegunaan Penelitian
1.    Untuk memahami  gambaran kasus-kasus pernikahan wali adlal   di KUA Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang.
2.    Untuk memahami  realisasi penyelesaian sengketa pernikahan karena wali adlal .
3.    Untuk memahami   peranan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dalam penyelesaian sengketa pernikahan wali adlal di KUA Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang.
Kegunaan/ Manfaat   Penelitian :
1.    Manfaat Teoritis :
a.  Untuk mencari dan mengumpulkan data-data yang dianalisa dan diolah , ditelaah untuk kemudian disusun dalam bentuk tesis.
b.  Menambah pengetahuan dan wawasan penulis di bidang pernikahan dan memberikan sumbangan pemikiran untuk memantapkan teori tentang  penyelesaian sengketa pernikahan wali adlal.
2.    Manfaat Praktis  :
a.    Bagi Kantor Urusan Agama Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang , diharapkan sebagai bahan masukan dalam  penyelesaian sengketa pernikahan wali adlal.
b.    Sebagai referensi untuk melaksanakan penelitian sejenis   secara mendalam.
D.   Kerangka Pemikiran/ Kerangka Teoritik
Pegawai Pencatat Nikah (PPN) disamping mempunyai tugas untuk melakukan pencatatan nikah, juga dituntut untuk dapat meyelesaikan permasalahan yang timbul mengenai perkara-perkara yang berhubungan dengan keabsahan pernikahan, baik itu menyangkut permasalahan wali, calon pengantin maupun syarat-syarat lain .Pegawai Pencatat Nikah(PPN) adalah pegawai pada  Kantor Urusan Agama Kecamatan .
PPN juga harus segera menyelesaikan dan mencarikan jalan keluar apabila timbul sengketa antara pihak-pihak yang berkaitan dengan sahnya pernikahan.
Wali adlal adalah wali calon pengantin wanita, (ayah,kakek, saudara laki-laki atau kelompok wali akrob) yang enggan untuk menikahkan calon pengantin karena alasan-alasan tertentu.
Ada kalanya perkawinan yang telah disepakati atau disetujui oleh calon suami maupun calon isteri  tetapi ternyata ada pihak lain yang keberatan, pihak lain dapat dipahami , yaitu  wali nikah, padahal wali nikah adalah merupakan salah satu rukun nikah,  dalam sabdanya Rosulullah Saw mengatakan “Tidak ada Nikah tanpa wali” artinya perkawinan tidak sah apabila tidak disetujui oleh walinya(Wali Akrob atau wali Ab’ad).
Apabila wali nikahnya tidak setuju, dapat dipastikan akan terjadi sengketa dalam pelaksanaan pencatatan perkawinan, dan pihak pencatat atau Pegawai Pencatat Nikah (PPN) akan menolak melakukan pencatatan, maka ada dua pilihan untuk menyelesaikan sengketa tersebut, pilihan yang pertama yaitu  melalui madiasi atau tabayun kepada Wali nikah, agar wali nikah setuju dan mau menjadi wali nikah  atau jalan kedua apabila jalan pertama menemui kebuntuan, yakni mengajukan  sengketa antara calon pengantin dan walinya,  kepada Pengadilan Agama (PA) untuk mendapat putusan bahwa walinya adhol atau enggan atau membangkang.Maka Pengadilan Agama akan memutuskan bahwa perkawinan dapat dilaksanakan dengan wali Hakim, yaitu Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sekaligus Kepala KUA Kecamatan setempat, sesuai Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim.
Adapun ketentuan wali nikah dalam Kompilasi Hukum Islam, diatur pada pasal-pasal, sebagai berikut :
Pasal 19 :
Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya
Pasal 20 :
(1)  Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh
(2)  Wali nikah terdiri dari :
a.    Wali nasab;
b.    Wali hakim.
Pasal 21 :
  1. Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.
Pasal 23 :
(1)   Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.
(2)   Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.
Penyelesaian Sengketa Pernikahan, adalah usaha-usaha dari PPN untuk mencari jalan keluar agar pihak-pihak yang bersengketa dapat mengambil jalan islah (perdamaian) agar permasalahan pernikahan dapat dilaksanakan tanpa merugikan kedua belah pihak. Pencatatan pernikahan adalah hal ihwal pencatatan yang meliputi pemeriksaan , pelaksanaan dan pengawasan terhadap pernikahan yang dilaksanakan di Kantor Urusan Agama (KUA) sesuai dengan Undang-undang Nomor  1 tahun 1974 dan kompilasi Hukum Islam serta hukum munakahat.







D.   Metode Penelitian
1.    Metode Pendekatan
Pembahasan atas permasalahan pokok dalam penelitian ini menggunakan Pendekatan “Yuridis Normatif”.
2.     Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian, yaitu diskriptif analitis untuk menggambarkan dan memahami bahasan-bahasan  yang berkaitan dengan peranan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dalam Penyelesaian Sengketa Pernikahan Wali adlal .
Obyek penelitian yaitu KUA. Kecamatan Muntilan
3.    Jenis  Data                                                              
Penelitian ini disesuaikan dengan pendekatan yang digunakan , yaitu lebih dititik beratkan pada penelitian hukum yang normatif dengan melakukan penelitian kepustakaan.

4.    Metode Pengumpulan data
Data merupakan faktor yang sangat mendasar dalam penelitian .Data sangat diperlukan dalam penelitian untuk membuktikan kebenaran suatu peristiwa atau pengetahuan. Untuk mendapatkan data yang obyektif diperlukan suatu teknik pengumpulan data yang digunakan sebagai alat pengumpul atau pengambilan data.
           
E.   Sistimatika Penulisan .
Tesis ini berisi empat Bab yang mempunyai hubungan erat dan disusun dengan sistimatika sebagai berikut :
Bab I , dalam Bab  ini, memuat secara umum isi dari tesis yang memuat Latar Belakang, , Tujuan/ Kegunaan Penelitian, Metode Penelitian , Kerangka Pemikiran dan Sistimatika Penulisan
Hal-hal tersebut dimasukkan dalam Bab ini agar setiap pembaca mengetahui secara umum terhadap penulisan yang dipaparkan dalam tesis ini
Bab. II tentang Tinjauan Pustaka, dalam Bab ini diuraikan secara teoritis tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah Perkawinan Menurut Hukum Islam , Pengertian Nikah, Tujuan dan Fungsi Nikah, Rukun Nikah, Wali Nikah,Larangan Nikah dan Pengertian Wali Adlal serta Peraturan-peraturan  Perkawinan di Indonesia, dimasukkannya hal-hal tersebut dalam Bab     II, ialah untuk mendukung Bab  III.        
Bab III,Hasil Penelitian dan Analasis, di dalam Bab ini berisi  hasil-hasil penelitian dan analilisis yang diperoleh terhadap :
Gambaran kasus-kasus pernikahan wali adlal   di KUA Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang,Realisasi penyelesaian sengketa pernikahan karena wali adlal  dan Peranan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dalam penyelesaian sengketa pernikahan wali adlal di KUA Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang.
 Dimasukkannya hasil penelitian dan pembahasan dalam BAB ini , supaya dapat menerapkan apa yang terkandung dalam Bab-bab sebelumnya ,  terutama Bab II.
Bab IV , Penutup ,Bab ini berisi tentang Kesimpulan dan Saran-saran dari uraian diatas atau dari hasil-hasil penelitian yang mungkin sangat diperlukan dalam meningkatkan peran Pegawai Pencatat Nikah dalam menyelesaikan sengketa pernikahan wali adlal, dikaitkan dengan pelaksanaan Undang – undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, dimasa mendatang.
 Daftar Kepustakaan
 Lampiran – lampiran.






BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 
A.   Perkawinan Menurut Hukum Islam
Perkawinan dalam bahasa Arab ialah nikah. Menurut syara’, hakekat nikah itu adalah aqod antara calon laki isteri untuk membolehkan keduanya bergaul sebagai suami isteri.
Firman Allah artinya : ”Nikahilah mereka itu dengan izin keluarganya”. Yakni hendaklah aqadkan nikah mereka itu dengan izin keluarganya.
Dalam pada itu ada juga arti nikah bersetubuh sebagai arti kata kiasan (majaz) seperti sabda Nabi Muhammad S.A.W : Artinya : Dikutuki Allah orang yang bernikah (bersetubuh) dengan tangannya (onani). Dengan keterangan itu nyatalah, bahwa arti nikah ada dua : berkawin dan bersetubuh.
            Tujuan perkawinan adalah berdasarkan atas :
a.    Firman Allah :   
         Artinya : Hendaklah kamu nikahi yang baik bagimu diantara wanita.
b.    Sabda Nabi Muhammad S.A.W.
Artinya : Hai sekalian pemuda, siapa yang sanggup bersetubuh (karena ada   belanja nikah), hendaklah berkawin.
      Maka nyatalah bahwa Islam dan Rosul-Nya menganjurkan perkawinan, sebab itu orang Islam melakukan perkawinan karena mengikuti perintah Allah.
c.    Firman Allah :
Artinya : Dan diantara keterangan-Nya, bahwa Ia (Allah) menjadikan isteri bagimu dari bangsamu, supaya boleh kamu tinggal dengan damai bersama dia serta menjadikan berkasih-sayang dan cinta mencintai diantara kamu. Sungguh yang demikian menjadi ayat bagi kaum yang berfikir.
Menurut keterangan ayat ini nyatalah tujuan perkawinan, supaya kedua suami isteri tinggal di rumah dengan damai serta cinta mencintai antara satu dengan yang lain.
Perkawinan yang tidak dapat mendirikan rumah tangga dengan damai dan berkasih-sayang serta cinta mencintai antara kedua suami isteri, maka telah terjatuh dari tujuan perkawinan yang sebenarnya.
Rosululloh S.A.W dalam Hadits Syarifnya telah memberikan alasan-alasan yang mendorong seseorang untuk kawin sabda Beliau :
”Wanita itu dikawin karena empat hal : karena hartanya, keturunannya, kecantikan dan karena agamanya. Rebut dan pilihlah wanita yang beragama, karena jika tidak, kedua tanganmu akan lengket di tanah.”
Nabi menyebutkan harta, keturunan dan kecantikan sebagai salah satu daya tarik wanita. Namun beliau menganjurkan agar memilih wanita yang beragama, karena orang yang berhasil mendapatkan dan menikahi wanita yang Sholihah akan menikmati ketenangan jiwa dan kebahagiaan hidup dan kelapangan dalam mendidik generasi penerus yang bermutu. Beliau memperingatkan dengan keras dengan orang yang mengabaikan soal agama, dan hanya  memperhatikan soal harta, kecantikan dan lain-lain.
Sabda beliau ”Taribat yadaka, kedua tanganmu akan lengket dengan tanah artinya akan menderita kerugian di dunia dan akherat”.
Dalam hal ini Al-Qadhi Nashiruddin Al-Baidhawi berkata :
”Bagi orang yang berbudi luhur dan beragama akan mengutamakan dan mendahulukan agama diatas segala-galanya. Begitu pula dalam hal memilih seorang wanita untuk mendampingi hidupnya, yang dapat membantu dia dalam berlomba-lomba mendapat ridho-Nya. Atau malah dapat menjerumuskan kearah maksiat dan dosa. Dia akan memilih wanita yang mempunyai pendidikan yang baik, dari keturunan yang baik, dan yang subur. Karena faktor-faktor itulah yang dapat menyelamatkan kehidupan di dunia akherat. ”[13]
Setelah kita ketahui tentang manfaat dan anjuran untuk melakukan perkawinan akan lebih baik apabila kita telaah tentang hukum-hukum perkawinan itu sendiri, adapun hukum perkawinan menurut agama Islam antara lain :
a.    Perkawinan itu hukumnya sunnat menurut pendapat kebanyakan ulama (jumhur).
b.    Menurut Daud (ahli zahir) hukumnya wajib bagi orang yang kuasa dan mampu.
c.    Setengah ulama berpendapat, bahwa perkawinan itu ada yang wajib, ada yang sunnat dan ada yang haram. 
Perkawinan itu wajib bagi orang yang takut akan jatuh dirinya kelembah perzinaan serta sanggup berkawin.
Perkawinan itu haram bagi seseorang yang tidak mau menunaikan kewajibannya terhadap isterinya, baik nafkah lahir maupun batin.
Mengenai hukum perkawinan, banyak dikemukakan oleh para ahli hukum Islam, definisi-definisi tersebut antara lain sebagai berikut :
1.        Jumhur (termasuk Syafi’i) berpendapat bahwa hukum perkawinan itu sunnat. Dalilnya ialah bahwa amar (anjuran) dalam ayat : fankihu dan dalam hadits : falyatazauwaj yang tersebut adalah anjuran sunnat bukan wajib. Karena amar itu dinamai amar irsyad, yaitu anjuran untuk kemaslahatan dunia.
Imam Syafi’i mengemukakan beberapa keterangan untuk dalil, bahwa amar itu irsyad :
Artinya : ”Hendaklah dikawini perempuan-perempuan yang menjanda diantaramu dan orang-orang yang shalih diantara sahaya-sahayamu (laki-laki, perempuan). Jika mereka miskin, Allah akan mengayakan mereka dengan karunia-Nya. Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi mengetahui.”(Q.S. An-Nur : 32)
Allah menganjurkan kepada umat manusia supaya mengawini perempuan janda dan sekali-kali jangan takut berkawin sebab kurang kekayaan, karena jika mereka itu miskin Insya Allah Tuhan akan mengayakan.
Maka anjuran perkawinan itu adalah anjuran irsyat (Sunnat), karena kadang-kadang perkawinan itu menjadi sebab mendapat kekayaan. Bandingannya hadits Nabi S.A.W
Artinya : Berjalanlah kamu supaya kami sehat dan mendapat rezeki. Maka anjuran berjalan itu adalah amar irsyat, bukan amar wajib.
Allah menyebutkan dalam Al-Qur’an wanita-wanita tua yang tidak mengharap perkawinan lagi, maka tiada Allah melarang mereka itu berbuat demikian dan tidak pula menganjurkan perkawinan kepada mereka itu, sebagai bukti, bahwa amar itu amar irsyat.[14]  
2.         Dalil  Daud (Ahli Zahir)[15]
Adapun dalil pendapat Daud yang mengatakan bahwa perkawinan itu adalah wajib bagi orang-orang yang berkuasa dan mampu, ialah bahwa mar pada ayat dan hadits tersebut adalah amar (suruhan) wajib diikuti dan ditaati dan tidak boleh ditakwilkan (diputar-putar) kepada yang lain, seperti amar sunnat, amar ibahah (boleh), amar irsyad dan sebagainya.
Tetapi jumhur berpendapat, bahwa kita manusia yang diberi Allah akal dan pikiran, bukan saja berpegang kepada yang tersurat, melainkan harus memikirkan pula yang tersirat.
3.        Dalil pendapat setengah ulama :
Adapun dalil pendapat setengah ulama, bahwa perkawinan itu ada yang wajib, ada yang sunnat dan ada yang haram, maka semata-mata memikirkan kemaslahatan seseorang yang bersangkutan. Inilah dalil yang dinamakan : marshalih-mursalah, artinya kemaslahatan mutlak, yakni sesuatu itu dihukumkan wajib, sunnat, atau haram, karena mengingat kemaslahatannya saja.
         Yang mengakui dalil ini ialah Imam Maliki.[16]
Setelah meninjau dalil-dalil tersebut itu dapatlah kita mengambil kesimpulan, bahwa pendapat jumhur (termasuk Syafi’i) adalah lebih kuat dan lebih mu-tamad, yakni hukum perkawinan itu menurut asalnya dan pada umumnya adalah sunnat.
Dalam pada itu, boleh jadi hukumnya wajib bagi sebagian orang atau haram bagi sebagian yang lain, mengingat keadaan perseorangannya.[17]






B.   Pengertian Nikah
Dalam Hadits Tirmiddy dari Abu Hurairah, pernah Rosululloh S.A.W bersabda :
Artinya : ”Tiga golongan yang berhak ditolong oleh Allah : Pejuang dijalan Allah, Mukotib (budak yang membeli dirinya dari tuannya) yang mau melunasi pembayarannya dan orang yang menikah karena mau menjauhkan diri dari yang haram”.
Pernikahan atau perkawinan dalam pandangan Islam bukan hanya merupakan bentuk formalisasi hubungan suami-isteri atau pemenuhan kebutuhan fitrah insani semata, tetapi jauh lebih dari itu merupakan amal ibadah yang disyari’atkan.Nikah didefinisikan : ”Suatu aqod yang menghalakan hubungan seksual antara suami dan isteri , dan yang menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya.[18]
Pernikahan merupakan ’aqd al Tamlik ,dapat juga diartikan ’aqd al ibahah, pernikahan diartikan sebagai membolehkan melakukan hubungan seksual antara suami dan isteri tanpa ada kepemilikan secara penuh.[19]
Dikatakan sebagai  ibadah karena secara jelas Allah dan rasul-Nya[20] mensyari’atkan nikah sebagai perintah yang harus dilaksanakan seperti termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah :
-          Surat Al Maidah  ayat (3) memerintahkan : ”Maka kawinilah olehmu perempuan-perempuan yang baik bagimu, dua, tiga, atau empat.” 
-          Surat Al Maidah ayat (1) ”Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabbmu yang telah menciptakanmu dan menjadikan isteri dari padanya, dan dari pada keduanya berkembang biak laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah yang kamu saling meminta dengan nama-Nya dan takutlah akan memutuskan silaturahmi”.
Lebih tegas lagi diperintahkan oleh Rosululloh S.A.W kepada kaum muda yang sudah memiliki kesiapan, hendaknya segera menikah tanpa harus banyak berpikir dan menunggu-nunggu, karena nikah itu perbuatan yang mulia dan disukai oleh Al-Khaliq. Bahkan beliau mengingatkan amal yang terpuji ini merupakan sebagian dari kesempurnaan pelaksanaan agama. Jadi barang siapa yang belum menunaikan nikah berarti ia belum mampu melaksanakan agama secara sempurna.
Sabda Rosul :
”Wahai para pemuda, barang siapa diantara kamu telah menikah, hendakah ia nikah. Sesungguhnya dengan demikian akan lebih bisa  menundukkan pandangan mata dan lebih leluasa menjaga kemaluannya, barang siapa yang tidak sanggup, maka sebaiknya
berpuasa saja sesungguhnya itu akan menciptakan keseimbangan”
(Hadits riwayat Muslim)
”Manakala seseorang telah beristeri, telah menyempurnakan separuh Dien,maka takutlah kepada Allah untuk menyempurnakan separuh yang lain.” (Hadits Riwayat. Baihaqi)
Memang pernikahan adalah merupakan kebutuhan fitrah setiap insan yang tidak boleh dihindari. Seiring dengan berkembangnya kebutuhan biologis manusia, maka tumbuh pula dorongan seksualnya, jika dorongan-dorongan seksualnya tidak disalurkan maka akan terjadi kegelisahan sosial, akan terjadi malapetaka kemanusiaan yang merusak.
            Maka Islam sebagai aturan hidup yang sesuai dengan fitrah manusia memberikan jalan keluar penanggulangan kebutuhan seksual, disamping aspek-aspek hidupan lainnya. Islam tidak setuju dengan sikap membujang. Karena ini melanggar fitrah kemanusiaan. Rosululloh marah besar ketika mendengar salah seorang sahabat berniat hendak membujang terus.
Beliau bersabda :
”Sesungguhnya aku ini menikahi wanita, barang siapa yang tidak mengikuti sunnahku maka ia bukan termasuk golonganku”
Nabi ,pernah menegur Abdullah yang meninggalkan hak isteri melakukan hubungan seksual, karena Abdullah terlalu sibuk beribadah.[21]
Inilah bukti keselarasan antara ajaran Islam dengan tuntutan biologi atau fitrah kemanusiaan. Islam hadir untuk memberi jawaban terhadap seluruh persoalan insani. Tidak ada satu persoalanpun yang tidak diatur dalam Islam.
Sedangkan Ta’rif perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong-menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan muhrim.
Nikah ialah sunah yang dikehendaki Allah untuk dikerjakan hamba-hamba-Nya guna menjalankan bahtera kehidupan.[22]
Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang terutama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Bukan saja perkawinan itu satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan berumah-tangga dan turunan, tetapi perkawinan itu dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara satu kaum dengan yang lain, serta perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya.
Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami isteri dan keturunan, bahkan antara dua keluarga. Dari sebab baiknya pergaulan antara isteri dengan suaminya, kasih mengasihi akan berpindahlah kebaikan itu kepada semua keluarga dari kedua belah pihaknya, sehingga mereka menjadi satu dalam segala urusan bertolong-menolong sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan menjaga segala kejahatan. Selain itu, dengan perkawinan seseorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya. Islam agama yang menggalakkan dan memberi motivasi kepada setiap orang untuk berumah tangga. [23]Dalam agama Islam justru yang tercela adalah orang yang tidak mau berumah tangga. Jadi kalau sudah waktunya kita berumah tangga masih menunda dengan berbagai alasan, lalu mati maka keadaan kita adalah sejelek-jeleknya orang mukmin yang mati.Itulah sebabnya Imam Malik berpesan ”Sekiranya saya akan mati beberapa saat lagi, sedangkan isteri saya sudah meninggal dunia maka saya akan segera kawin lagi”. Karena apa? Karena takut bertemu dengan Allah dalam keadaan membujang. Jadi kita tidak perlu menunda perkawinan lagi setelah isteri kita meninggal dunia. Tetapi kalau isteri yang ditinggal mati suaminya, dia harus menunggu empat bulan sepuluh hari untuk Iddah, kalau dia tidak hamil. Jika ia hamil, dia harus menunggu sampai anaknya lahir.
            Demikianlah rasa takut para salaf (ulama-ulama dahulu) kepada Allah, kalau mereka mati dalam keadaan membujang.
Sebaliknya orang-orang jahiliyah berbangga membujang sampai umur tua. Mereka punya anggapan, akan menjadi rebutan wanita kalau bertahan sebagai bujangan. Sikap seperti ini termasuk sikap kekufuran. Karena telah mengingkari perintah Allah untuk meramaikan atau memakmurkan bumi sekalian mengurusnnya dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu bagaimana mau memakmurkan bila penghuninya tidak mau berketurunan, yang akibatnya manusia akan punah dalam satu generasi.[24]
Tidak dipungkiri bahwa seseorang itu secara naluriah ingin menyalurkan syahwatnya. Seandainya membujang maka dicarilah usaha-usaha untuk menyalurkan syahwatnya itu. Maka jalan keluarnya tiada lain adalah cara-cara yang tidak dibenarkan oleh syari’at Islam.[25]
             Sebagai akibatnya adalah merajalela prostitusi, banyak gadis yang hamil diluar nikah, kasus perkosaan, eksploitasi wanita dan sebagainya. Kalau sudah demikian,maka yang menjadi korban  paling besar adalah kaum wanita. Mereka diperlakukan tidak lebih sebagai barang mainan.  Kalau kondisinya sudah demikian berati kerusakan dunia sebagaimana dinubuatkan oleh Rosululloh,SAW sudah terbukti.
Seseorang yang menyalahi fitrah menikah akan menemui akibat-akibatnya, diantaranya ketidakseimbangan fisik dan psikis. Misalnya menurut fitrahnya manusia itu makan, maka kalau tidak mau makan, berarti membiarkan dirinya dalam kebinasaan. Demikian juga halnya perkawinan, yang merupakan fitrah manusia untuk melakukannya. Karena itu akan terganggu keseimbangan psikis bagi orang-orang yang hidupnya membujang diantaranya :
a.    Keseimbangan untuk melangkah kepada sesuatu yang seharusnya dikerjakan.
b.    Akan lebih senang mengutamakan diri sendiri atau egoisme.
c.    Menghindari tanggung jawab yang berat.
Adapun pengertian nikah atau perkawinan menurut beberapa sarjana Islam telah merumuskan antara lain :
 Mahmud Yunus :
”Perkawinan ialah aqad antara calon laki-isteri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syari’at”[26]
Sayuti Thalib:
”Pengertian perkawinan itu ialah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan”[27]
M. Idris Ramulyo, :
”Perkawinan menurut Islam ialah suatu perjanjian suci yang kuat yang kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, aman tenteram bahagia dan kekal”[28]
            Bermacam-macam pendapat yang dikemukakan orang mengenai pengertian perkawinan itu tidaklah memperlihatkan adanya pertentangan yang sungguh-sungguh antar satu pendapat dengan pendapat yang lain tetapi lebih memperlihatkan keinginan pihak perumus dalam memasukkan unsur-unsur perkawinan itu kedalam rumusannya.[29]
            Para ulama Mazhab sepakat bahwa pernikahan baru dianggap sah jika dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab dan qabul antara wanita yang dilamar dengan lelaki yang melamarnya, atau antara pihak yang menggantikannya seperti wakil dan wali, dan dianggap tidak sah hanya semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa adanya akad.[30]




C.   Tujuan dan Fungsi Nikah
Agama Islam mensyari’atkan perkawinan dengan tujuan-tujuan tertentu antara lain ialah :
1.    Untuk melanjutkan keturunan.
2.    Untuk menjaga diri dari perbuatan-perbuatan maksiat.
3.    Menimbulkan rasa cinta kasih sayang.
4.    Untuk menghormati sunnah Rosul.
5.    Untuk membersihkan keturunan.[31]
Keturunan adalah penting dalam rangka pembentukan umat Islam yaitu umat yang menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan maksiat yang dilarang oleh agama, dan mengamalkan syari’at Islam dengan memupuk rasa kasih sayang didalam semua anggota keluarga  dalam lingkup lebih luas juga akan dapat menimbulkan kedamaian didalam masyarakat yang didasarkan pada rasa cinta kasih terhadap sesama. Dengan melakukan perkawinan juga berarti bahwa seorang muslim telah mengikuti dan menghormati sunnah Rosulnya, dan melalui perkawinan akan dapat membuat terang keturunan, siapa anak siapa dan keturunan siapa, sehingga tidak akan ada orang-orang yang tidak jelas asal-usulnya.[32]
Al-Ghazali juga mengatakan ada lima faedah (keuntungan) perkawinan : Memperoleh anak,mematahkan (menyalurkan) syahwat, menghibur diri, menambah anggota keluarga dan berjuang melawan kecenderungan nafsu (dengan menangani dan mengatasi bermacam keadaan yang timbul karena semua itu).[33]
Perkawinan adalah merupakan kebutuhan fitri setiap manusia yang memberi banyak hasil yang penting antara lain :
1.    Pembentukkan sebuah keluarga yang didalamnya seseorang dapat menemukan kedamaian pikiran. Orang yang tidak kawin bagaikan seekor burung tanpa sarang. Perkawinan merupakan perlindungan bagi seseorang yang merasa seolah-olah hilang dibelantara kehidupan, orang dapat melakukan pasangan hidup yang akan berbagi dalam kesenangan dan penderitaan.
2.    Gairah seksual merupakan keinginan yang kuat dan juga penting. Setiap orang harus mempunyai pasangan untuk memenuhi kebutuhan seksualnya dalam lingkungan yang aman dan tenang. Orang harus menikmati kepuasan seksual dengan cara yang benar dan wajar.  Orang-orang yang tidak mau kawin seringkali menderita ketidak teraturan, baik secara fisik maupun psikologis. Ketidak teraturan semacam itu dan juga persoalan-persoalan tertentu merupakan akibat langsung dari penolakan kaum muda terhadap perkawinan.
3.    Reproduksi atau sebagai wadah untuk melangsungkan keturunan. Melalui perkawinan, perkembangbiakan manusia berlanjut. Anak-anak adalah hasil perkawinan dan merupakan faktor penting dalam memantapkan fondasi keluarga dan juga merupakan sumber kebahagiaan sejati bagi orang tua mereka.[34]
            Dengan perkawinan juga, bahwa suami isteri telah berkumpul pada ikatan yang dalam yang penuh kasih sayang, penuh tolong menolong untuk merawat anak-anak.[35]
Sesungguhnya hubungan kasih sayang antara pria dan wanita merupakan kebutuhan biologis yang perlu direalisir, dan nikah merupakan aturan yang mesti dipatuhi untuk melaksanakannya. Namun demikian pernikahan dalam Islam bukan sekedar memenuhi kebutuhan biologis atau formalisasi hubungan keduanya yang sah, tetapi ia mempunyai tujuan yang mulia, yaitu dalam rangka menjalankan perintah Allah dan RosulNya serta melestarikan kekhalifahan manusia dimuka bumi dengan menurunkan keturunan-keturunan yang sah dalam masyarakat, dalam suatu rumah tangga yang damai dan teratur.
            Bahkan Rosulullah sendiri amat mencintai umatnya yang berketurunan banyak, apalagi anak-anak yang lahir dari hubungan suami isteri yang sah yang akan menambah populasi kaum mu’minin.
Sabda Rosulullah :
”Nikahlah, perbanyaklah keturunan. Sebab dihari Qiamat kelak aku akan membanggakan kalian dimuka umat-umat yang lain” (Hadits Syarif).
Pernikahan juga akan mengantarkan manusia kepada ketentraman, suasana sejuk yang membebaskan diri dari kegelisahan dan rasa gundah gulana, apabila perkawinan itu  sendiri berdiri atas landasan Syar’i.
Sungguh amat jelas bahwa perkawinan yang terjadi pada mahluk hidup , baik tetumbuhan, binatang, maupun manusia , adalah untuk keberlangsungan dan pengembangbiakan mahluk yang bersangkutan.[36]
Tapi sebaliknya, rumah tangga akan menjadi sebuah neraka kecil apabila tegak diluar landasan Islam.
Jika demikian tujuan pernikahan yang sebenarnya, maka dapat dipastikan suatu perkawinan  yang tidak dapat mendirikan keluarga sakinah, berarti jauh dari apa yang dianjurkan oleh Islam itu sendiri.
Di zaman yang sedang dilanda krisis moral seperti sekarang ini, banyak kalangan muda yang tidak mempunyai keberanian untuk menikah . Mereka takut mendayung bahtera rumah tangga dengan segala beban resikonya. Ditambah lagi orang tua mereka kebanyakan tidak mau membantu anak-anaknya pada langkah awal memasuki jenjang berkeluarga.
Sesungguhnya terjadi kenyataan yang tidak sinkron. Disatu pihak kita menekankan para pemuda pemudi agar menunda perkawinan. Alasannya kurang dewasa belum bisa mengurus keluarga atau belum cukup umur. Sementara dipihak lain membiarkan mereka dipermainkan oleh rangsangan-rangsangan yang begitu besar lewat realita kultur budaya yang ma’siati, melalui koran, majalah, film, dan sarana-sarana yang lebih destruktif. Mampukah mereka menahan keinginannya yang menggebu, atau dibiarkan saja mereka melakukan perzinahan atau perbuatan yang sejenis.Zina ada enam macam : Zina mata, zina lisan,zina bibir, zina tangan, zina kaki dan zina hati .[37]
Sangat disesalkan bilamana mereka tidak berani menikah yang sesungguhnya itu merupakan ibadah, hanya karena takut menanggung resiko ekonomi lalu melampiaskannya dengan cara yang justru memakan biaya lebih besar disamping dosa. Allah yang maha pemurah menjanjikan bagi orang yang mau menikah dalam firmannya.
” Hendaklah kamu mengawinkan orang-orang yang sendirian (belum menikah) diantaramu dan orang-orang yang shalih diantara hambamu yang laki-laki dan yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kekayaan kepada mereka dengan karuniaNya  Allah maha luas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui ( QS An Nur 32).
Adapun fungsi atau faedah nikah atau perkawinan disebutkan oleh  Mahmud Yunus : 
Allah menjadikan mahlukNya berpasang-pasang, menjadikan manusia laki-laki perempuan, menjadikan hewan jantan dan betina begitu pula tumbuh-tumbuhan dan lain-lain sebagainya.
Hikmahnya ialah supaya manusia hidup berpasang-pasang hidup dua sejoli,  hidup laki isteri, membangunkan rumah tangga yang damai dan teratur. Untuk itu haruslah diadakan ikatan dan pertalian yang kokoh yang tak mudah putus dan diputuskan, ialah akad nikah atau ijab, kabul perkawinan. Bila akad nikah telah dilangsungkan, maka mereka telah berjanji dan bersetia, akan membangun rumah tangga yang damai dan teratur, akan sehidup semati, sesakit sesenang mereka menjadi satu keluarga.
Dalam pada itu mereka melahirkan keturunan yang sah dalam masyarakat. Kemudian keturunan itu akan membangun pula rumah tangga yang baru dan keluarga yang baru dan begitulah seterusnya.
Dari beberapa keluarga dan rumah tangga itu berdirilah, kampung, dan dari beberapa kampung berdirilah desa dan dari beberapa desa lahirlah negeri.
Inilah hikmahnya Allah menjadikan Adam sebagai khalifah dimuka bumi, sehingga anak-anaknya berkembang biak meramaikan dan memakmurkan bumi yang luas ini. Dalam pada itu Allah menjadikan apa-apa yang dibumi ini kebaikan dan kemaslahatan anak Adam itu.
Agama Islam menetapkan bahwa untuk membangun rumah tangga yang damai dan teratur itu, haruslah dengan perkawinan dan akad nikah yang sah, serta diketahui sekurang-kurangnya dua orang saksi, bahkan dianjurkan supaya diumumkan kepada tetangga dan karib kerabat dengan mengadakan pesta perkawinan (walimahan).
Dengan demikian terpeliharalah keturunan tiap-tiap keluarga dan mengenal tiap-tiap anak kepada bapaknya, terjauh dari bercampur aduk antara satu keluarga dengan yang lain atau anak-anak yang tak kenal ayahnya.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   
Lain dari pada itu kehidupan suami - isteri dengan keturunannya turun temurun berhubungan rapat dan bersangkut paut bahkan bertali temali, laksana rantai yang sama kuat dan tak ada putusnya.
Alangkah malangnya nasib seorang wanita yang menyia-nyiakan kecantikannya waktu masih muda dengan berfoya-foya  dan pergaualan bebas tanpa batas. Kemudian setelah habis manis sepah dibuang, maka wanita itu tinggal seorang diri, tak ada suami yang memeliharanya dan anak yang menyayanginya, bahkan tak ada keluarga yang membujuknya, seolah-olah ia tinggal dalam neraka dunia, sesudah mengecap surga dunia beberapa waktu.
Berlainan dengan nasib seorang wanita yang bersuami waktu mudanya. Setelah tiba waktu tua, disampingnya ada suami yang memeliharanya, dan anak yang mencintainya, seolah-olah ia hidup dalam surga dunia sejak dari kecil sampai waktu tuanya.
Inilah hikmah berkawin dan itulah faedah mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur. Lain dari pada itu faedah berkawin ialah memeliharakan diri seorang, supaya jangan jatuh kelembah kejahatan (perzinahan),dua macam dosa besar  terdapat pada faraj , yaitu berzina , dan liwath (homosexs atau lesbian).[38]Karena bila ada istri disampingnya tentu akan terhindarlah dari pada melakukan pekerjaan yang keji itu. Begitu juga wanita yang ada disampingnya suami, tentu akan terjauh dari ma’siat tersebut.[39]